Baim tersenyum. Tipis. Samar.
"Aku akan melakukan apa pun agar kamu gak selalu bersedih, Ayu," katanya lembut. "Kamu harus menjaga kualitas ASI-mu untuk anak-anakku." Ia mengangguk seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah alasan yang tepat. "Yah… itu alasanku membantumu."Bohong.Tapi setidaknya, itulah satu-satunya alasan yang bisa ia berikan saat ini. Alasan yang paling masuk akal. Meskipun jauh di lubuk hatinya ia ingin mengatakan, "aku melakukan ini karena mencintaimu."Ayu mengepalkan tangan di depan dadanya, sorot matanya kini tegas. "Saya janji nggak akan bersedih lagi, Mas. Saya juga akan melawan… siapa pun yang menindas saya," suaranya mantap, tanpa ragu.Baim menatapnya sejenak, lalu bibirnya melengkung dalam senyum tipis. Ada sesuatu di matanya—kelegaan. Namun, seolah baru teringat sesuatu, ia tiba-tiba meraih tangan Ayu. Jemarinya hangat, menggenggam erat."Ayu… Ikuti aku."Ayu terhenyak. JantungnyaSari terperanjat, lalu buru-buru menarik tangan Ayu dari rambut Fatma. "Ayu! Kamu apa-apaan sih?! Lepasin!"Napas Ayu memburu, jemarinya masih mencengkeram erat. Di belakang mereka, Arjuna terus menangis, tangisannya menusuk telinga, mencerminkan luka yang sama di hati Ayu.Ayu akhirnya melepaskan rambut Fatma dengan kasar. Napasnya masih tersengal, matanya menatap tajam ke arah dua pengasuh itu."Gendong Arjuna. Sekarang!" suaranya dingin, nyaris seperti perintah. "Kalau kalian masih memperlakukan si kembar seperti ini, aku gak akan segan-segan kasih pelajaran."Fatma mengusap kepalanya yang masih terasa nyeri, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus ketakutan."Ayu... Kamu kok jadi begini, sih?" tanya Sari, suaranya melemah.Ayu menatap mereka tanpa ragu. "Kalian yang memaksa aku jadi begini," ujarnya, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena penuh tekad. "Aku gak pernah berbaik hati pada orang yang zalim. Da
Sari menggeleng pelan, alisnya berkerut dalam. "Iya. Dia bukan seperti Ayu yang kita kenal dulu," gumamnya, suaranya sarat kebingungan. Jemarinya mengetuk meja dapur, seakan berharap menemukan jawaban di sana."Ayu yang kita kenal, bukankah dia lemah lembut dan polos?" lanjutnya, kali ini lebih pelan. "Kenapa dia tiba-tiba jadi seganas itu ya?"Di sudut meja makan, Indri yang tengah menyendok sarapannya terhenti. Ia menegakkan punggung, matanya membesar. "Ada apa? Pagi-pagi wajah kalian udah kayak awan mendung gitu," tanyanya, menatap mereka bergantian.Sari duduk di meja makan, mengaduk sendoknya tanpa niat makan. Fatma di sebelahnya masih sibuk mengelus rambutnya yang tadi dijambak Ayu."Ini si Fatma," kata Sari akhirnya, suaranya sedikit pelan tapi penuh arti. "Baru aja abis dijambak sama Ayu."Indri yang sedang menyeruput kopi spontan berdiri. Cangkir nyaris terjatuh saat tangannya menggebrak meja. "Apa?! Serius kalian?""Ngapain juga ak
Fatma dan Sari saling melirik, tapi tak ada yang berani buka suara.Indri, sebaliknya, malah menyeringai. Tatapannya tajam, penuh tantangan. "Iya. Kami membicarakanmu. Kenapa?"Ayu tersenyum miring, nada suaranya ringan, tapi menusuk. "Nggak apa-apa, sih. Pasti kamu mulai suka sama aku, ya? Makanya selalu kepo sama kehidupanku."Sari menahan napas, Fatma menggigit bibir. Mereka tahu betul Indri tak akan membiarkan sindiran itu berlalu begitu saja.Dan benar saja.Indri mendengus tajam, wajahnya seketika berubah masam. "Ih… najis! Aku justru makin gak suka sama kamu!"Ketegangan kembali mengisi ruangan. Hanya suara Bi Imah yang sibuk mengaduk panci yang terdengar, seakan menjadi satu-satunya hal yang masih berjalan normal di dapur itu.Bi Imah datang membawa mangkuk berisi rebusan daun katuk, lalu meletakkannya di meja dekat Ayu."Indri… cukup." Suaranya tegas, tapi tetap lembut.Indri mendengus, menyilangka
Seperti api tersulut bensin, wajah Indri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Hei, Ayu!" suaranya melengking. "Gak tahu diri banget kamu, ya! Pak Baim itu masih punya istri! Kamu juga punya suami!"Ia melangkah lebih dekat, hampir menudingkan jari ke wajah Ayu. "Teganya ya kamu jadi pelakor!"Udara di dapur seketika menjadi lebih panas. Fatma dan Sari menahan napas, mata mereka melebar, sementara Bi Imah yang baru kembali dari sudut ruangan hanya menggeleng pelan, menghela napas panjang.Ayu masih diam, tapi kali ini tatapannya mulai berubah. Tidak lagi penuh sindiran, tapi lebih tajam. Seolah dalam kepalanya, ia sedang memutuskan apakah akan membalas... atau membiarkan Indri tenggelam dalam amarahnya sendiri.Ayu menyandarkan satu tangan di pinggang, bibirnya melengkung tipis. Tatapannya menusuk langsung ke mata Indri."Indri... Indri," suaranya terdengar pelan, tapi penuh ejekan. "Kasihan kamu ya. Gak dapet respon dari Mas Baim. Makanya
Mak Ti mengangguk kecil, kemudian berjalan menuju telepon. "Biar saya panggilkan lewat saluran telepon, Pak."Baim mengangguk. "Terima kasih, Mak..." Suaranya terdengar lebih lembut kini, seraya matanya kembali menyapu ruangan, menangkap sisa kehangatan yang sempat terhenti oleh kehadirannya.Matanya sesekali melirik ke arah Fatma dan Sari yang duduk di sofa. Ia menyandarkan satu tangan ke pinggang, lalu berkata dengan nada tenang, "Oh ya. Fatma... Sari. Aku sudah ambil ASIP di rumah sakit. Kalian ambil di mobil, ya."Fatma menegakkan punggungnya, sementara Sari menoleh dengan tatapan bertanya."Hari ini Ayu ikut denganku. Kemungkinan sampai malam. Jadi kalian susui si kembar dengan ASIP dulu."Fatma dan Sari segera bangkit. "Baik, Pak," jawab mereka hampir bersamaan, lalu bergegas keluar rumah.Dari sudut ruangan, Indri menyipitkan mata, bibirnya sedikit mengerucut. Ada yang menggelitik rasa ingin tahunya. Ia akhirnya melangkah mendekat, me
Baim mengangguk, matanya lurus ke jalan di depan. "Yah. Di pesta itu, pasti akan banyak wartawan. Kamera di mana-mana. Kamu harus berdiri di sana sebagai seorang ratu." Ia menoleh lagi, menatap Ayu dengan sorot mata yang tajam namun hangat. "Tegakkan kepalamu. Jangan pernah tertunduk, setakut apa pun kamu nantinya. Tetaplah pura-pura berani seperti sekarang."Ayu terpaku. Kata-kata itu menyusup ke dalam dirinya, menggetarkan sesuatu yang selama ini rapuh. Ia menatap Baim dalam-dalam, seakan mencari kepastian."Tapi… bagaimana kalau saya gagal, Mas?" suaranya pelan, nyaris berbisik.Baim tak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu tersenyum, kali ini lebih lembut. "Kamu nggak boleh gagal," ucapnya mantap. "Aku akan mengawasimu dari kejauhan."Ayu menggigit bibirnya. Pikirannya berkecamuk. Kata-kata Baim seperti sebuah perisai, tapi di saat yang sama, ketakutan itu tetap men
Ayu mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti dirinya. "Tapi... mungkinkah saya bisa cantik?"Baim menatap mata Ayu dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa perkataannya benar. "Kamu sudah cantik, Ayu. Polesan ini hanya akan membuat kecantikanmu semakin bersinar."Ayu terenyuh. Baim adalah orang pertama yang pernah memujinya. Sementara Jaka, suaminya, bahkan tak pernah sudi menatap wajahnya lama-lama. Terlebih lagi mertua dan iparnya—yang selama ini hanya memberinya cacian dan hinaan. Hal itu membuatnya tidak percaya diri dan yakin bahwa dirinya memang sehina itu."Ayu… apa yang membuatmu ragu?" tanya Baim."Saya… saya tidak yakin bisa terlihat menarik, bahkan dengan riasan sekalipun.""Ayu, lupakan mereka yang merendahkanmu. Orang yang menganggapmu tak berharga hanyalah mereka yang tak mampu melihat keistimewaanmu. Di tangan yang tepat, kamu akan selalu bernilai."Setelah berpikir sedikit lama, Ayu akhirnya mantap u
Ayu mengangguk, meski hatinya masih berdegup kencang.Baim melangkah pergi, meninggalkan Ayu dengan debaran hebat di dadanya. Punggungnya semakin menjauh, tetapi jejak kehadirannya masih tertinggal di hati Ayu, menggetarkan seluruh perasaannya."Ya Allah, Mas… Bagaimana mungkin aku bisa menahan perasaan ini?" batinnya lirih.Ia menarik napas panjang, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya. Matanya jatuh pada tas yang tergeletak di dekatnya—tas yang dibelikan Baim tempo hari. Perlahan, ia meraihnya, jemarinya menelusuri permukaannya seakan mencari jawaban.Ia teringat kata-kata Baim saat memberikannya tas itu. "Kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti."Ayu tersenyum miris. "Ternyata dia benar."Siapa sangka, hari itu telah tiba. Hari di mana ia harus berdiri tegak, menyaksikan suaminya bersanding dengan wanita lain di pela
"Apaan sih, Mas..."Sentuhan itu nyaris kena, tapi Ayu lebih cepat menghindar. Tubuhnya bergeser tanpa banyak usaha, menolak Jaka tanpa perlu tenaga.Jaka menyeringai kecil. "Yakin nggak mau? Nindi aja ketagihan.""Aku nggak sebodoh dia, Mas," desis Ayu. Matanya menusuk, pandangan dingin penuh penghinaan. "Mau-maunya melayani cowok mokondo."Seketika itu juga, pintu kamar terbuka.Nindi muncul, setengah berlari, memeluk Jaka dari belakang. Kain tipis membalut tubuhnya, nyaris transparan, memperlihatkan kulit bersih yang seperti sengaja dipamerkan."Mas Jaka... Ayolah. Aku masih mau lagi," suara Nindi terdengar manja.Jaka menggenggam tangan Nindi yang melingkar di pinggangnya. Ia terkekeh kecil, seolah pamer."Sayang... Kita kedatangan tamu," katanya sambil melirik Ayu.Nindi mengerucutkan bibir. "Dia itu bukan tamu, Mas. Dia juga istri kamu, kan? Suruh aja dia masuk. Pas banget rumah kita kayak kapal pecah. Biar
"Aku gak nyangka. Hidup Ayu setragis ini," bisik Laura. Kelopak matanya jatuh. Matanya berkaca-kaca. "Tragis? Memangnya Ayu kenapa, Bu?" tanya Indri, penasaran. Laura tak langsung menjawab. Ia menurunkan surat itu sedikit, lalu membalik halaman terakhir. Di sana, stempel kepolisian tampak samar, tapi jelas. "Ini… sepertinya surat perjanjian dengan suaminya. Dikeluarkan oleh kepolisian," gumamnya. Suara Laura terdengar jauh lebih pelan. Bukan karena ragu—melainkan karena beban. Amarah yang tadi menyulut-nyulut kini seolah meleleh begitu saja. Tatapannya tidak lagi membenci. Justru ada sesuatu yang menyerupai iba di sana. "Dikeluarkan oleh kepolisian? Memangnya itu surat apa, Bu?" Laura menarik napas dalam, menggeleng pelan. "Indri…" panggilnya, dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Jangan pernah ceritakan soal ini pada siapa pun. Termasuk Mas Bai
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang?"Baim menunduk, kedua bahunya turun seolah menahan beban yang tak terlihat. Tangannya meremas ujung jas, dan napas berat keluar perlahan dari sela-sela bibir. Di dalam dadanya, sesuatu terasa mengganjal, mencekik, membuat pikirannya kacau.Ia tetap berdiri mematung. Tatapan kosongnya melekat pada pintu yang tertutup rapat—sebuah jalan keluar yang terasa begitu jauh.Langkah kaki terdengar mendekat, membuat Baim menoleh pelan."Yoga..." suaranya serak, nyaris hanya bisikan. "Apa sebenarnya hubungan Bram dengan Gubernur?"Yoga berhenti beberapa langkah dari Baim, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada telinga lain yang mengintai. Ia melangkah lebih dekat, membungkuk sedikit, lalu berbisik di samping Baim, nadanya seperti mengendap di udara."Beliau adalah salah satu donatur utama dalam pemilihan Gubernur. Setelah itu, bisnis-bisnisnya tumbuh pesat, bahkan termasuk yang tidak ter
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Suara Baim terdengar berat. Seperti menahan beban yang teramat besar.Suasana di ruang rapat Hotel Gran Mahakam ini tampak mencekam. Lampu kristal menggantung tenang di atas meja panjang yang penuh oleh wajah-wajah tegang. Dua puluh pasang mata menatap ke arah ujung meja, tempat Baim duduk, jasnya rapi tapi kerah kemeja bagian dalam tampak sedikit kusut—seperti baru saja disesuaikan dengan tergesa.Tangan seorang pria paruh baya mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja, semakin cepat, semakin gelisah. "Kami gak mau tau," katanya akhirnya, suaranya berat dan memotong udara yang sejak tadi pekat. "Bagaimanapun juga, Baim harus turun dari jabatannya. Dia sudah mencoreng nama perusahaan."Baim menarik napas dalam, tapi matanya tak bergeming dari lawan bicaranya. Di balik ketenangan itu, jarinya menggenggam lengan kursi sedikit lebih erat."Pak…" katanya pelan, hampir seperti memohon tapi tetap berusaha menjaga
"Itu... suara mobil Pak Baim?" kata Indri lirih, lalu melesat ke pintu.Daun pintu terayun lebar, dan sinar matahari siang langsung menusuk matanya. Panas aspal memantulkan cahaya menyilaukan. Indri menyipit, menelusuri jalan dengan pandangan gelisah."Biar aku lihat... jangan-jangan itu memang dia."Laura melipat tangan di dada, satu alis terangkat. "Benar, kan? Kamu sengaja mengulur waktu biar Mas Baim datang mencegah kamu pergi."Ayu membuka mulut, tapi tak sempat bicara. Indri masuk kembali sambil menutup pintu dengan gerakan cepat. "Bukan. Ternyata cuma taksi online," ujarnya menyeringai.Ayu menatap Laura, matanya sempit seperti bilah silet. Sebuah senyum tipis, penuh ejekan, muncul di wajahnya."Andai saya mau, saya bisa minta Mas Baim datang sekarang juga. Tapi saya cukup tahu diri."Laura mendengus. "Baguslah. Kalau begitu, cepat pergi!"Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjal
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya