Jaka hanya terkekeh, lalu menepis tangan Ayu. "Jangan rusak malamku, Yu. Aku sedang bersenang-senang."
Ayu terhuyung selangkah ke belakang, tangannya mencengkeram rok lusuhnya erat-erat. Matanya membelalak, tetapi suaranya tetap bergetar. "Nggak, Mas. Ayo pulang. Anak kita sedang menunggu di rumah sakit."
Jaka hanya menggeram pelan, tak melawan saat Ayu menggamit lengannya. Tubuhnya limbung, hampir jatuh ke trotoar.
Sebuah taksi melintas, Ayu buru-buru melambaikan tangan. Mobil itu berhenti, dan dengan sisa tenaganya, ia membopong tubuh suaminya yang berat ke dalam mobil.
Ketika pintu taksi tertutup, napas Ayu memburu. Ia menatap lurus ke depan, menahan isak. Hatinya terasa lebih dingin dari embusan AC yang menyapu kulitnya.
Sesampainya di rumah, Ayu mengempaskan tubuh Jaka ke sofa. Tubuh suaminya terkulai, kepalanya miring ke samping, napas berat berbau alkohol meme
Dokter tersenyum sambil menatap bayi kembar yang tertidur pulas di balik kaca. "Mereka sudah menunjukkan perkembangan yang sangat bagus, Pak Baim. Masing-masing berat badannya sudah mencapai 3,2 sampai 4 kg. Itu adalah peningkatan yang sangat baik untuk bayi prematur."Baim menghela napas lega, bahunya yang sempat tegang mulai merosot sedikit. "Syukurlah, Dok. Jadi, kapan saya bisa membawa mereka pulang?"Dokter melipat tangan di depan dada. "Tiga hari lagi, mereka sudah siap keluar dari rumah sakit. Saat ini, mereka sudah tidak tidur di inkubator lagi," jelasnya.Baim mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada bayi-bayinya. "Lalu bagaimana selama mereka di rumah, Dok? Dan bagaimana dengan ibu susunya yang setiap hari datang ke rumah sakit?"Dokter menepuk dahinya ringan seolah baru teringat. "Ohh iya. Kemarin saya sudah mencatat nomor telepon ibu itu."Ia merogoh saku jas putihnya, mengeluarkan secarik kertas yang sedikit terlipat. "Ini nomor ib
"Ya Allah, kenapa hari ini sepi banget ya?" Ayu bergumam pelan, matanya melirik dagangannya yang masih banyak.Udara pagi masih dingin ketika Ayu sibuk memilah tumpukan sayur mayur di lapaknya. Tangannya bergerak lincah, memisahkan daun yang layu, sementara lengan bajunya ia gunakan untuk mengelap keringat yang mulai mengembun di kening.Pasar masih sepi. Hanya beberapa pembeli yang melintas, kebanyakan sekadar melihat tanpa membeli. Ia menghela napas. Sejak melahirkan, lapaknya tak lagi seramai dulu."Apa mungkin, pelanggan mengira aku sudah gak jualan lagi?" pikirnya, menggigit bibir. Tapi ia tak punya pilihan. Ia butuh uang untuk biaya rumah sakit bayinya.Matahari mulai naik, sinarnya menyapu kios-kios yang berjejer. Ayu menegakkan badan, tersenyum tipis pada seorang ibu yang mendekat."Silakan, Bu. Sayurnya masih segar," ucapnya penuh harap.Ibu itu memegang beberapa ikat bayam, lalu mengangguk. "Kamu Ayu, kan? Lama gak kelihatan.
Ayu menggeleng, air matanya jatuh deras. "Belum, Dok. Saya… Saya nggak punya uangnya." Suaranya pecah dalam isakan.Dokter menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Wajahnya menyiratkan iba, tapi tangannya tetap terlipat di depan dada. Ada batas yang tak bisa ia langgar.Di ruangan itu, Ayu menangis tanpa suara. Sementara di dalam NICU, waktu terus berdetak tanpa menunggu siapa pun.Langkah-langkah cepat bergema di lorong rumah sakit. Seorang suster muncul tergesa-gesa, wajahnya penuh kepanikan."Dok, cepat! Bayi sudah sangat kritis!" suaranya hampir tertelan suara sirine yang meraung dari ruang NICU.Dokter anak tak menunggu lama. Bersama Ayu, mereka berlari menuju ruangan itu. Ayu hampir tak bisa merasakan kakinya sendiri, tubuhnya lunglai oleh ketakutan yang menggumpal di dadanya."Tunggu di sini, Bu!" perintah suster begitu mereka tiba. Ia segera menutup pintu, meninggalkan Ayu di luar dengan jantung yang berdegup kenca
"Maaf, Bu. Kalau belum dibayar, jenazah akan ditahan di rumah sakit." Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan telak. Dunianya berputar. Pandangannya mengabur. Ayu membuka mulut, ingin berbicara, tetapi tubuhnya lebih dulu tumbang. Lalu segalanya menjadi gelap. Saat Ayu membuka mata, cahaya putih menyilaukan penglihatannya. Dengungan samar suara alat medis terdengar di sekelilingnya. Ia mencoba bangun, tapi tubuhnya terasa lemah. "Bayiku…" suaranya serak. Ia mencoba mengangkat tangannya, meraba udara seolah mencari sesuatu yang hilang. "Di mana bayiku?" Seorang perawat segera menghampiri, menenangkan Ayu yang mulai gelisah. "Bu, tenang dulu, ya. Bayi Ibu sudah disimpan di kamar jenazah." Ayu membeku. "Apa?" Ia menatap perawat itu dengan mata membelalak. "Jadi bayi saya benar-benar meninggal, Sus? Saya nggak mimpi?" Perawat menatapnya dengan penuh simpati. "Iya, Bu Ayu. Bayi Ib
"Kenapa Mas Jaka sama sekali nggak peduli? Aku sendirian, Mas!" Ruangan mendadak sunyi. Percakapan yang tadi terdengar ramai terhenti begitu saja. Semua mata kini tertuju padanya. Ayu tak peduli. Dadanya naik turun, tangisnya pecah, tubuhnya lunglai, tetapi kemarahan di dalamnya terus membakar. Jaka bergerak, menghampirinya, meraih tangannya dengan genggaman erat. Lalu membawanya masuk ke dalam ruang keluarga. "Ayu, berhenti menangis. Katakan pelan-pelan apa yang terjadi?" suaranya lebih rendah, tapi Ayu bisa merasakan ketegangan Jaka di baliknya. Ayu menatap suaminya dengan mata merah dan penuh luka. "Anak kamu sudah meninggal, Mas..." suaranya serak. "Dia meninggal karena aku nggak punya biaya untuk operasi."1 Napasnya memburu. Tangannya mengepal. "Di mana tanggung jawab kamu sebagai ayah? Di mana?!" Pukulan-pukulan kecil mendarat di dada Jaka, tapi itu bukan sekadar amarah. Itu luka. Itu ke
Tapi Hayati tak menghentikan langkahnya."Ayu, sudah..."Sebuah tangan kuat menariknya berdiri. Jaka. Wajahnya penuh penyesalan, tapi juga ketidakberdayaan."Mas, tolong lakukan sesuatu..." suara Ayu pecah. "Tolong bantu aku bawa pulang jenazah Bintang. Aku mohon, Mas..."Dari kejauhan, suara Hayati menggema, penuh perintah. "Jaka! Cepat kembali ke ruang tamu!"Jaka menunduk, ragu. Lalu, dengan gerakan cepat, ia menyelipkan sesuatu ke tangan Ayu—sebuah kartu ATM."Ayu, maaf... Aku nggak becus jadi suami maupun ayah."Ayu menatap kartu itu. Jemarinya bergetar saat menyentuhnya."Ini nggak banyak... Hanya lima juta. Semoga bisa sedikit membantu.""Jaka!" Hayati kembali memanggil, kali ini lebih keras.Jaka menatap Ayu sejenak, lalu melangkah mundur. "Aku ke depan dulu. Maafin aku..."Dan seperti itu saja, ia pergi, meninggalkan Ayu bersama Maharani di ruang keluarga yang terasa semakin d
Ayu mengangguk. "Baik, Kak. Terima kasih." Ia menggenggam kertas itu erat. Dalam hatinya, ia berharap ini adalah jawaban atas masalahnya. Namun, tanpa ia sadari, senyum Rani semakin melebar, seakan menikmati permainan yang baru saja dimulai. Maharani menyandarkan tubuhnya ke sofa, bibirnya melengkung puas saat melihat punggung Ayu yang menghilang di balik pintu. Ada binar aneh di matanya, seolah menikmati sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu. Keesokan harinya, Ayu berdiri di depan cermin kecil di rumah megah milik suaminya. Meski sebenarnya rumah itu sangat bertolak belakang dengan keadaan Ayu sebenarnya. Wajahnya terlihat lebih segar setelah mandi, meski lingkaran hitam di bawah matanya tak bisa hilang begitu saja. Ia mengenakan rok span hitam yang membalut kakinya hingga selutut, dipadukan dengan hem putih yang membuatnya tampak lebih rapi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan sedikit lipstik ia ol
Pria itu tertawa kecil, nada suaranya terdengar geli. "Hahaha… Kamu tidak sedang pura-pura polos, kan?"Ayu mengerjap, matanya bergerak gelisah ke kanan dan kiri. "Sa-saya, maksud saya…"Pria itu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Ayu. Aroma parfum maskulin bercampur alkohol menusuk hidungnya."Kamu seorang profesional, bukan?" suaranya merendah, nyaris seperti bisikan.Tenggorokan Ayu tercekat. "I-iya, saya profesional, Tuan. Saya bisa mencuci baju, membersihkan rumah, saya juga bisa memasak."Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Apa menurutmu seragam itu bisa dipakai untuk bersih-bersih rumah?"Ayu menunduk, tangannya kembali menjembreng pakaian itu. Cahaya lampu membuat kainnya tampak semakin transparan.Darahnya berdesir. Mulutnya terasa pahit. Ayu yakin ada yang sangat salah di sini. Ia meneliti pakaian di tangannya.Kain itu sangat tipis, dengan corak totol hi
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal