Satu bulan telah berlalu sejak kasus Jonathan mulai diproses di pengadilan. Waktu yang berjalan lambat, seolah tiap detiknya diukir dengan darah dan keringat. Hari ini, sidang putusan akhirnya digelar.Ruang sidang dipenuhi aura tegang, bagai aliran listrik tak kasat mata yang merambati setiap sudut ruangan. Kalen duduk di kursi pengunjung, jari-jarinya mencengkeram lututnya dengan erat, seakan takut kehilangan pijakan di dunia yang terasa begitu tak pasti.Ia tidak ingin kecolongan lagi seperti sebelumnya, saat laporan pertamanya hampir tak membuahkan hasil, tenggelam dalam lautan birokrasi yang dingin dan tak berperasaan.Kali ini, ia harus memastikan Jonathan mendapatkan hukuman yang setimpal. Matanya membara, memancarkan api dendam yang telah lama ia padamkan, namun tak pernah benar-benar mati.Pintu ruangan terbuka, dan hakim memasuki ruangan dengan langkah berat penuh kewibawaan.Palunya diketukkan ke meja, menciptakan dentuman nyaring yang seakan menggema di rongga dada Kalen.
"Amora?" Nadya terhenyak, matanya membulat ketika sosok itu muncul di ambang pintu rumahnya, seperti bayangan samar yang terbentuk dari embusan angin malam. "Kau?"Amora mengangguk perlahan, sehalus daun yang melayang ke permukaan danau yang tenang. "Bolehkah aku masuk?"Nadya mengerjapkan mata, seakan tak yakin bahwa ini nyata. Senyum tipis terbit di bibirnya, seperti bulan sabit yang enggan tenggelam. "Tentu. Silakan masuk."Langkah-langkah mereka menggema lembut di dalam rumah, seakan membisikkan cerita lama yang tak pernah benar-benar berakhir.Di ruang tamu yang diterangi cahaya kuning temaram, Nadya mempersilakan Amora duduk di sofa empuk berlapis kain beludru. Ia sendiri duduk di seberangnya, menatap tamunya dengan sorot mata yang ingin menguak rahasia yang mungkin tersembunyi dalam sorot redup mata Amora."Apa kau ingin bertemu dengan Melvin?" tanya Nadya, suaranya selembut hembusan angin yang menyusup di antara tirai jendela.Amora menggeleng pelan, hela napasnya melarikan ke
"Aku akan kembali ke London untuk meneruskan cita-citaku di sana," ucap Amora, suaranya mengalun pelan, seperti hembusan angin senja yang menyelusup di antara celah dedaunan.Nadya, yang tengah menyeruput teh hangat di sampingnya, mendadak terdiam. Uap tipis dari permukaan cangkirnya melayang samar, seolah ikut membawa kepingan-kepingan kenangan yang perlahan menguap ke udara.Matanya menatap Amora, diam dan dalam, seakan ingin menangkap setiap makna tersembunyi di balik kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir sahabatnya.Setelah beberapa saat yang terasa lebih panjang dari seharusnya, Nadya bertanya dengan suara nyaris berbisik, "Apa kau tidak akan kembali dalam waktu lama?"Amora tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya cerah, seperti rembulan yang tersaput awan tipis. "Aku tidak yakin," jawabnya, suaranya bagaikan riak kecil di danau yang tenang."Tapi aku pasti akan mengabari kalian semua. Aku pasti akan merindukan Melvin, keponakanku."Nadya ikut tersenyum, namun ada soro
"Dari mana kau tahu bahwa Rania ingin membuat Nadya dan Kalen bersama?” tanya Amora dengan nada penuh kecurigaan, suaranya mencicit tajam, membelah kesunyian di antara mereka, seperti kilatan petir yang menyambar langit gelap malam.Nala tampak membeku menatap Amora yang tiba-tiba saja ada di sana, tubuhnya seakan membatu, seakan jiwanya terjebak dalam suatu kabut yang tak terlihat. “Apa yang kau lakukan di sini, Amora?” tanyanya dengan nada datarnya, suara itu keluar begitu datar seolah mencoba menutup rapat-rapat gejolak yang mulai merembes dalam hatinya, tapi matanya, matanya seolah menceritakan sesuatu yang lain.“Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kau di sini dan menyalahkan Rania? Apa salahnya jika Nadya dan Kalen masih sama-sama saling mencintai dan Rania ingin mengembalikan mereka?” Suara Amora terdengar lebih tegas, namun ada kegamangan di balik kata-katanya, seperti angin yang berdesir membawa kabar buruk dari kejauhan.Nala mengepalkan tangannya mendengarnya. Ia t
“Apa maksudmu, Amora? Aku rasa, selama ini Mama sangat menyayangi Rania. Dan mungkin saat dia tahu Rania mencari tahu tentang Nadya, Mama kecewa padanya,” ucap Kalen, suaranya terdengar ragu.Kebingungan melintas di wajahnya, seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang yang menenangkan, namun kini dihadapkan pada kenyataan yang mengganggu.Amora tersenyum tipis, namun ada getir yang terselip di sana. “Dan kau berpikir bahwa ibumu menyayangi Rania layaknya mertua pada menantu?” Ia menggeleng pelan. “Kau salah besar, Kalen. Aku rasa, ibumu tidak tulus menyayangi kakakku.”Kalen terdiam, tubuhnya menegang. Kata-kata Amora menggema dalam benaknya, menciptakan celah dalam keyakinan yang selama ini ia pegang. “Aku tidak mengerti maksudmu, Amora,” katanya, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.Amora menghela napas panjang. Matanya menerawang, seperti sedang menggali kenangan yang dulu pernah ia abaikan. “Aku pernah melihat Rania menangis di pelukan Mama,” ucapnya l
“Tentu saja tidak!” Jonathan langsung mengelak, suaranya terdengar tegas, hampir seperti ledakan kemarahan yang tertahan. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, ekspresinya penuh ketidaksenangan atas tuduhan yang dilayangkan Kalen.“Aku dengannya memang sempat berdebat. Tapi, aku tidak pernah berniat menyabotase mobilnya karena bagiku itu tidak ada gunanya.” Rahangnya mengeras saat mengatakannya, matanya menatap tajam ke arah Kalen.“Sebab sebelum Rania memintaku menceraikan Nadya, aku sudah berencana melakukannya.”Kalen terdiam. Di dalam dadanya, sebuah ketidakpastian mulai muncul. Pikirannya berputar, mencoba memilah-milah mana kebenaran dan mana kebohongan dari mulut Jonathan.“Apa kau yakin?” suaranya lebih dalam, mencerminkan kecurigaan yang belum juga reda. “Siapa tahu kau menyuruh seseorang untuk menyabotase mobil Rania?”Jonathan menyunggingkan senyum tipis—senyum yang tak bisa diterjemahkan sepenuhnya oleh Kalen. Ada sesuatu di balik senyum itu, sesuatu yang entah itu penghin
‘Nadya. Jika buku ini sudah ada di tanganmu, itu artinya aku telah berhasil membuatmu kembali pada Kalen. Aku sangat senang meski mungkin tak bisa melihatmu kembali pada Kalen.’Nadya menahan napasnya, jari-jarinya semakin erat menggenggam buku diary itu. Ada sesuatu yang begitu menyesakkan saat membaca tulisan Rania.Seolah… seolah Rania tahu bahwa usianya tidak akan panjang.Keningnya berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang semakin menyesak di dada. “Apa maksudmu menulis seperti ini, Rania? Apa yang kau ketahui sebenarnya?” gumamnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar.Tangan Nadya bergerak dengan ragu, tetapi dorongan untuk mencari tahu lebih jauh membuatnya membuka lembaran berikutnya.‘Tolong sampaikan permintaan maafku pada Kalen karena tidak pernah bisa mencintainya sepenuh hatiku. Sebab di hatiku hanya ada nama yang telah pergi lebih dulu dariku. Aku hanya melanjutkan hidup dengan Kalen.’Hatinya terasa seperti diremas. Ia bisa merasakan kejujuran Rania yang terukir da
“Aku tidak menyangka jika orang yang telah mencelakai Rania adalah ibuku sendiri,” lirih Kalen dengan suara serak setelah menonton beberapa rekaman rahasia yang Rania tinggalkan.Setiap potongan gambar, setiap kata dalam percakapan antara Rania dan Nala—ibunya—menusuk hati Kalen seperti belati. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya nyaris tak bisa menopang kenyataan yang baru saja ia telan.“Mama hanya pura-pura baik di depanku, dan Rania menutupi itu semua…” lanjutnya pelan. “Dan mungkin inilah alasan dia mencarimu, Nadya.”Suara Kalen pecah. Ia menunduk, kedua tangannya mengusap wajahnya, berusaha menyembunyikan isak yang tak lagi bisa ia tahan.Napasnya tersengal di sela-sela tangisan lirih yang mulai tak terbendung.Selama ini ia berpikir bahwa ibunya, meski keras dan sering membuatnya kesal, tetaplah seorang ibu yang mencintainya.Tapi kenyataan yang terkuak justru jauh dari harapan—sosok yang ia panggil "Mama" ternyata adalah sosok yang mengoyak hidupnya dari balik bayangan.Ia telah m
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan