“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta.
Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.”
Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak.
“Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung.
Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk.
“Kinara?”
Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara.
“Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama.
Tentu saja kepergian Dipta membuat Kinara mematung di tempat, ini sungguh tak sesuai dengan dugaan Kinara, dia kira Dipta akan menjelaskan soal Maura, namun ternyata pria itu malah pergi tanpa menjelaskan apa pun.
“Aku ini memang tidak penting untuk Mas Dipta, dia tidak pernah mau peduli soal perasaanku,” monolog Kinara sambil tersenyum kecut.
Hembusan nafas kasar mengantarkan Kinara menuju pintu keluar, sejujurnya dia ingin menangis, namun dia sudah berjanji untuk tidak terlihat lemah lagi, Kinara harus kuat demi bisa mendapatkan hati Dipta.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti di lobi apartemen, Kinara menemukan sepasang sepatu sudah ada di dekatnya, wajahnya mendongkak dan mendapati Gavin sudah berdiri di depannya sambil tersenyum ramah.
“Hai,” sapa pria bertubuh tinggi itu.
Kinara balas tersenyum. “Kenapa Bapak ada di sini?”
Gavin terkekeh. “Memang harus memanggil saya pakai panggilan Bapak? Kesannya saya sudah tua sekali ya?”
Kedua mata Kinara melebar, dia menggeleng. “Bukan, saya cuma mau bersikap sopan saja. Masa panggil nama?”
Pria berlesung pipit itu mengangguk. “Boleh juga, panggil Gavin saja.”
Kinara tertawa sumbang dan memutuskan untuk tidak menuruti pria itu. “Bapak mau ketemu Mas Dipta?”
Gavin mendelik dan mengangguk. “Kalau begitu, di luar jam kerja kamu bisa memanggil saya Mas Gavin.” Ada jeda sejenak sebelum kemudian Gavin melanjutkan, “Sepertinya ada yang menganggu pikiran suamimu akhir-akhir ini ya?”
Kening Kinara berkerut, pertanyaan itu rasanya kurang tepat jika ditujukan kepadanya, meskipun dia berdekatan dengan Dipta, pria itu tidak pernah mengajak Kinara berbicara soal apa yang dia rasakan.
Kinara ingin membuka mulutnya dan mulai menanyakan soal Dipta, namun dia urungkan karena merasa ini privasi dalam rumah tangganya. Jika dia menanyakan soal itu, bisa saja Gavin tahu bahwa hubungan Kinara dan Dipta tidak berjalan normal seperti pasangan pada umumnya.
“Ya, sepertinya dia sibuk memikirkan sesuatu akhir-akhir ini,” balas Kinara.
“Kalau begitu, saya pamit ke kantor ya, Mas?”
Gavin mengangguk kaku dan membiarkan Kinara melangkah melewatinya, sesaat setelah wanita itu pergi, dia berbalik dan memandang punggung Kinara yang semakin menjauh.
“Rumit,” celetuk Gavin, kemudian dia melanjutkan langkahnya untuk menuju ke unit apartemen Dipta.
***
“Sudah berapa cangkir kopi yang kamu minum, Kinara?”
Kinara terkesiap kala mendengar suara Dipta yang terasa dekat, dia menoleh dan mendapati pria itu bersandar pada dinding pantry. Lalu pandangannya mengarah pada pintu yang tertutup rapat.
“Mas Dipta sengaja datang ke sini untuk membuat semua karyawan curiga?” tanya Kinara. “Bukannya Mas sendiri yang bilang bahwa aku harus menyembunyikan hubungan kita?”
Dipta terkekeh sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Kamu terlalu banyak bicara.”
Wanita itu mendelik, dia merasa sulit memahami Dipta sekalipun mereka sudah saling mengenal sejak kecil. “Kenapa ke sini?”
“Ingin memastikan berapa cangkir kopi yang kamu minum hari ini,” jawab Dipta yang terdengar tidak masuk akal di telinga Kinara.
Mata Kinara menyipit. “Serius? Bukan karena kamu merasa bersalah karena kejadian semalam?”
Ada sebuah keyakinan yang menyusup ke dalam kepala Kinara, bisa saja Dipta merasa bersalah atas informasi yang Kinara berikan tadi pagi, menyebutkan nama wanita lain ketika hendak mencium istrinya tentu saja kesalahan yang sangat fatal bagi Kinara.
Merasa tertuduh, Dipta lantas melangkah ke arah Kinara yang masih bertahan di dekat meja pantry. Pria itu merebut secangkir kopi yang mulai dingin dari tangan Kinara, memperhatikan cairan berwarna hitam itu selama beberapa saat, lalu menyesapnya dan menaruh cangkir itu ke atas meja.
Kedua tangannya bertumpu pada ujung meja, mengurung Kinara di setiap sisi tubuh wanita itu. Tanpa mengatakan kalimat apa pun, Dipta memiringkan wajahnya, memfokuskan pandangan pada benda kenyal yang seolah-olah menantangnya sejak semalam.
Mulut Kinara bungkam, hembusan nafas Dipta yang menerpa wajahnya membuat dia kehilangan fokus, begitu benda kenyal itu menyentuh bibirnya, kedua mata Kinara melebar.
Tidak ada pergerakan sama sekali, hanya sebuah kecupan yang kemudian diakhiri Dipta dalam waktu cepat, bahkan Kinara tak sempat meresapinya.
“Jangan bahas lagi soal kejadian semalam,” perintah Dipta dengan tatapan dinginnya.
Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu. Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik. “Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang. Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela. “Lama banget perginya.” Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di s
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan
“Wajar kalau aku payah, aku gak pernah berciuman!” Dipta mendelik, tanpa Kinara memberitahunya, dia juga sudah bisa menebak sejauh mana kemampuan wanita itu soal sentuhan fisik, terlihat dari gerakan bibirnya yang kaku dan kepayahan membalas pagutan Dipta beberapa detik lalu. “Tidur, besok kita harus ke kantor.” Kinara harus kembali menelan pil pahit setelah mendengar ucapan suaminya, terlebih ketika Dipta berjalan maju dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memunggungi Kinara yang masih bergeming di tempat. Bodohnya dia mengharapkan akan melewati malam yang panjang dengan Dipta kala pria itu tidak sudi menyentuhnya, meskipun Kinara tak tahu apa alasannya selain karena pria itu tidak menginginkan dia sebagai istrinya. “Aku kurang cantik ya, Mas?” Dipta menghembuskan nafas lelah dan memilih untuk menulikan kedua telinganya, kedua matanya terpejam, pura-pura tertidur agar punya alasan untuk menghindari pertanyaan Kinara. “Atau aku kurang menggoda?” tanya Kinara lagi. Dia
Kinara sudah bosan mendengar kalimat yang sama dari mulut suaminya, dia sangat mengerti bahwa dirinya tak cukup menarik untuk bisa menggoda pria itu. Kepercayaan diri Kinara juga perlahan mulai menghilang hingga hampir tak bersisa, semua itu berkat kalimat pedas yang selalu Dipta ucapkan kepadanya. “Kamu dan tubuhmu tak akan mampu membuatku bergairah.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kinara, seolah-olah mengingatkan Kinara agar terus sadar diri dan tidak menaruh harapan lebih kepada Dipta. Beberapa kali dia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan pria yang dia cintai saja rasanya bisa semenyedihkan ini, padahal dulu Kinara pikir dia akan sangat bahagia ketika hidup dengan pria yang dia cintai. Namun sepertinya Kinara lupa, bahwa akan jauh lebih bahagia jika dia hidup dengan pria yang mencintainya. “Hembusan nafasmu itu berisik, aku gak bisa tidur.” Suara berat Dipta tiba-tiba terdengar. Kinara menoleh ke
“Minta dipeluk terus?” Kinara terkekeh sinis sambil meremas kertas yang berada dalam genggamannya, merasa konyol dengan ucapan Dipta semalam untuk menghindari kecurigaan Inggit. Tiba-tiba Mela yang berjalan di sisinya menyenggol pelan bahu Kinara. “Mikirin apa sih, Kin?” Perhatian Kinara beralih, dia menoleh dalam gerakan cepat lalu menggeleng. “Enggak, lagi bad mood aja.” “Hati-hati, ini kita mau meeting, jangan sampai Pak Dipta tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, apalagi sampai gak fokus, bisa kena amuk nanti,” ujar Mela, memperingati sahabatnya itu. Kinara melengos dan mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak berminat untuk bertemu dengan suaminya hari ini, tapi mau bagaimana lagi, beberapa staf administrasi diminta untuk menghadiri meeting oleh Kepala Staf mereka, mana mungkin Kinara berani menolak. Sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu Kinara. “Fokus, Pak Dipta udah ada di depan sana.” Kinara mengalihkan pandangan ke depan dan menemukan pria yang tampil menawan dal
“Terima kasih, tapi aku lagi diet,” balas Kinara, dia tersenyum miring setelah berhasil mengirim pesan penolakan atas pemberian Dipta itu. Padahal kalimat itu merupakan sebuah kebohongan besar, Kinara bukan wanita yang terobsesi pada berat badan ideal, dia sudah kurus begini, tak perlu lagi melakukan diet. “Buat kamu aja, Mel,” ucap Kinara sambil menggeser cheese cake serta lemon tea kiriman Dipta ke arah Mela. Tentu saja senyuman Mela langsung terbit setelah itu, sedangkan Kinara kembali beranjak untuk menghirup udara segar. Sepertinya dia ingin pergi ke tempat sunyi selama beberapa saat saja. Tungkai Kinara mulai bergerak menuju tangga darurat, satu-satunya tempat paling sunyi dan aman untuk berpikir tentang berbagai hal. Kinara lantas duduk di salah satu anak tangga sambil menyandarkan kepalanya pada tembok, kedua matanya terpejam. Baru Kinara sadari bahwa dia merasa begitu lelah setelah resmi menjadi istri Dipta, banyak beban pikiran yang mendadak muncul dan membuatnya kesulit
“Pak Freddy minta datanya direkap sekarang, Kin.” Kedua mata Kinara melebar, baru juga dia mematikan laptop dan meraih sling bagnya, Mela sudah kembali duduk di sisinya dengan ekspresi lesu. Kinara jadi ikutan memasang wajah mendung. “Serius, Mel? Jam kerja kita tinggal satu jam lagi loh, nanggung,” rengeknya. Mela mengangguk lesu. “Mana ada kata nanggung di kamus hidup Pak Freddy, kita selesaikan aja, lagian beliau udah janji mau kasih bonus buat kita, kita juga dapat tambahan uang dari hasil lembur, lumayan buat beli sneakers yang kemarin aku mau.” Suara decakkan Kinara mulai terdengar, wanita itu kembali duduk dan menendang-nendang udara dengan kesal, lalu menatap tajam ke arah ruang kerja kepala staf administrasi yang tidak lain adalah Pak Freddy. “Gak bisa, aku harus pulang cepat karena ada urusan mendesak,” putus Kinara, dia kembali berdiri, namun Mela segera meraih lengannya. “Kamu mau dipecat, Kin?” Wanita yang sudah mengikat rambutnya secara asal itu mendesah frustasi,
Suara berdecak bisa ditangkap jelas oleh telinga Kinara, setelahnya dia lihat Dipta bergerak menjauh dari tubuh Kinara, meraih kembali pakaiannya yang baru beberapa menit terlepas dari tubuh dan mengenakannya kembali.Melihat hal itu, Kinara mengulum senyum. Tak dia pedulikan lagi suhu tubuhnya yang masih tinggi, lagi pula Kinara tak yakin tujuan Dipta melakukan metode skin to skin ini apakah murni untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya, atau justru modus semata. Satu hal yang bisa dia sadari adalah Dipta yang mulai goyah.“Gak jadi bantuin aku, Mas?” goda Kinara. Dipta segera bangkit dan melangkah menuju pintu kamar Kinara. “Enggak, kayaknya metode ini gak efektif buat kamu.”Sekeras tenaga Kinara menahan tawa. “Gak efektif menurunkan suhu tubuhku, tapi malah bikin kamu panas, ‘kan, Mas?”Pria itu berdeham dan buru-buru meninggalkan istrinya yang sudah tak lagi bisa menahan tawa, Kinara puas sekali melihat Dipta yang tampak canggung. Tak berselang lama, belum juga tawa Kinara mere
Setelah malam-malam panjang yang membuatnya terlelap dalam dekapan hangat Dipta, Kinara terbangun dalam kondisi kurang baik, kepalanya pusing, dia merasakan tubuhnya hangat. Perempuan itu terduduk di atas tempat tidur, berusaha mengumpulkan nyawa selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia mendengar suara bising dari luar kamar, Kinara memutuskan untuk segera beranjak. Langkah kecilnya membawa Kinara menuju dapur, dia melihat suaminya mondar-mandir di sana, memindahkan beberapa mangkuk ke atas meja makan. “Kamu lagi apa?” Dipta menoleh ke belakang dan tersenyum lembut, Kinara sempat tertegun menyaksikan senyum sehangat matahari pagi muncul di wajah suaminya. Ini terasa bagai mimpi karena biasanya Dipta tidak seperti ini. “Duduk, Kin,” perintah pria itu sambil menaruh dua gelas air putih ke atas meja makan. Kinara berjalan ragu dan duduk di hadapan suaminya, matanya menatap awas ke arah Dipta dengan kening yang berkerut dalam. Dipta membalas tatapan Kinara dengan sorot mata lembut
“Kin, udah selesai?” Kinara terkesiap karena ketahuan menguping, dia mengangguk dengan canggung dan melanjutkan langkah menghampiri anak dan ibu yang semula membicarakannya. Ibu Gavin terlihat sama terkejutnya dengan dia, perempuan paruh baya itu beranjak dan tersenyum hangat. “Makan malam di sini ya?” Pandangan Kinara beralih pada Gavin yang tersenyum lembut sembari mengangguk, karena merasa harus menghargai Ibu Gavin, pada akhirnya Kinara mengangguk setuju. Meskipun beberapa jam yang lalu dia mengunjungi sebuah restoran dengan menu yang luar biasa enak, nyatanya dia sudah menghabiskan banyak tenaga untuk melawan para pria jalanan di gang sempit tadi, Kinara juga tidak bisa menikmati makan malamnya dengan Dipta ketika isi kepalanya penuh sekali. “Ibu baru aja bikin rendang loh,” ungkap Ibu Gavin. “Wah, kayaknya Ibu jago masak ya?” tanya Kinara, air liurnya nyaris menetes melihat makanan yang tersaji di meja makan. Wanita paruh baya itu terkekeh. “Kalau kamu mau belajar masak, b
"Lepas!"Kinara memberontak dengan keras, menyentak tangan kedua pria yang tampak mabuk itu dan menendang pria yang tadi menyentuhnya. Aroma minuman keras yang menguar dari mulut ketiga pria itu membuat Kinara semakin merasa takut. Setelah berhasil terbebas, Kinara segera berbalik dan berlari cepat, setidaknya dia harus sampai di jalan utama agar bisa meminta pertolongan kepada siapa pun yang kebetulan lewat. “Tolong!” Kinara terus berteriak karena melihat ketiga pria itu masih mengejarnya. Dia melepaskan sepatunya dalam gerakan cepat, lalu melemparkannya ke arah tiga pria itu. Sehingga kaki Kinara kini menyentuh jalanan secara langsung. Tak peduli kepada tubuhnya yang semakin menggigil, Kinara terus berlari. “Aw!” Dia meringis ketika merasakan sesuatu yang tajam menyentuh telapak kakinya, karena merasa tak punya waktu untuk memeriksanya, Kinara terus berlari hingga dia tiba di jalan utama.“Kinara?”Wanita itu berhenti bergerak dan menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Gavin s
“Dasar egois!” Dipta tercengang mendengar kalimat istrinya, dia melengos dan terkekeh sinis. “Demi apa pun aku tidak pernah memaksamu untuk menikah denganku.” Pada akhirnya semua berbalik menjadi kesalahan Kinara, wanita itu menunduk dan tersenyum getir, menatap kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuan. Merasa tak mendapatkan respon berarti dari Kinara, Dipta lantas beranjak. “Aku ke toilet dulu,” pamitnya. Wajah Kinara kembali terangkat, dia menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Lalu bibirnya mengulas senyuman getir, dia merangkum wajahnya sendiri dengan frustasi. Sedangkan Dipta, pergi ke toilet adalah upaya menghindar yang dia lakukan untuk mengakhiri perdebatan dengan istrinya yang tak pernah berujung. Isi kepala pria itu sudah dipenuhi oleh berbagai masalah yang menyerangnya akhir-akhir ini.Alasan utama Dipta tak menginginkan pernikahan ini adalah karena dia belum menyelesaikan berbagai urusan yang entah kapan akan selesai, melibatkan Kinara secara tidak l
"Kalau kamu tidak suka, kamu gak mungkin membalas ciumanku," lanjut Dipta dengan senyuman miring di wajahnya. Mulut Kinara terkunci rapat, dia membuang pandangan ke luar jendela mobil untuk menyembunyikan wajahnya yang diyakini sudah berubah menjadi merah. Dipta terkekeh pelan dan mulai menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya meninggalkan basement untuk menuju ke sebuah restoran. Sepanjang perjalanan, Kinara hanya bungkam. Dia merasa sangat malu karena menyadari bahwa dia menikmati apa yang Dipta lakukan kepadanya, Kinara yang tidak pernah tersentuh oleh pria mana pun akhirnya merasakan bagaimana hebatnya sebuah ciuman, bahkan Kinara sempat membayangkan saat di mana dia dan Dipta akan melangkah ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar berciuman. Menyadari isi kepalanya yang mulai berlayar terlalu jauh, Kinara segera menggeleng, berharap itu bisa menyingkirkan isi kepalanya yang sangat mengganggu. Akan sangat memalukan jika Dipta tahu bahwa fantasi liar di dalam diri Kinara mulai
"Ayo berangkat," ajak Dipta sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dia menganggap ucapan Kinara barusan sebagai angin lalu, tampak menghindar dan tak mau memperpanjang pembahasan soal itu. Kinara tersenyum kecut, dia masih bertahan di tempatnya berdiri sekalipun Dipta sudah sampai di luar pintu apartemen yang terbuka, menunggunya. "Enggak jadi?" tanya Dipta. Perasaan Kinara sepertinya tidak berharga bagi pria itu, Dipta tak perlu repot-repot untuk menjaga ataupun menenangkannya, semua itu tergambar jelas dari sikap Dipta yang acuh tak acuh kepada Kinara yang sudah siap menumpahkan air mata. "Mau berantem?" tanya balik Kinara sambil menatap lurus ke arah suaminya. Dipta melengos. "Aku sudah reservasi, kalau kamu gak niat pergi ya sudah," katanya sambil berbalik dan menutup pintu dengan gerakan kasar. "Brengsek!" umpat Kinara, dia menengadahkan wajahnya untuk menghalau air mata yang siap turun. Lalu menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, menguatka
“Aku kira kamu gak akan pulang hari ini,” sindir Kinara sambil menaruh tasnya ke atas sofa, lalu dia juga ikut duduk di sana dan membiarkan Dipta meninggalkannya sendirian untuk pergi ke kamar. Merasa diabaikan, Kinara mulai memanggil, “Mas Dipta?” Terdengar suara berdecak, Dipta menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Kinara. “Aku sudah memenuhi keinginanmu, aku gak pergi ke mana pun malam ini. Sudah puas?” Kepala Kinara menggeleng dalam waktu cepat, dia segera berdiri dan menghampiri Dipta, namun pria itu justru mundur, seakan menganggap Kinara virus yang harus dia jauhi. Hati Kinara tertohok, dia menghentikan langkahnya dan melayangkan tatapan kecewa. “Aku gak akan merasa puas sebelum kamu mengizinkan aku untuk tidur di kamar utama.” Tidak ada tanggapan, Dipta justru membuang muka. “Mas, seharusnya ini gak jadi masalah karena kita juga bisa tidur bersama di rumah orangtuamu.” “Itu karena kita sedang berada dalam situasi yang terdesak,” ucap Dipta, masih tetap menola
“Pak Freddy minta datanya direkap sekarang, Kin.” Kedua mata Kinara melebar, baru juga dia mematikan laptop dan meraih sling bagnya, Mela sudah kembali duduk di sisinya dengan ekspresi lesu. Kinara jadi ikutan memasang wajah mendung. “Serius, Mel? Jam kerja kita tinggal satu jam lagi loh, nanggung,” rengeknya. Mela mengangguk lesu. “Mana ada kata nanggung di kamus hidup Pak Freddy, kita selesaikan aja, lagian beliau udah janji mau kasih bonus buat kita, kita juga dapat tambahan uang dari hasil lembur, lumayan buat beli sneakers yang kemarin aku mau.” Suara decakkan Kinara mulai terdengar, wanita itu kembali duduk dan menendang-nendang udara dengan kesal, lalu menatap tajam ke arah ruang kerja kepala staf administrasi yang tidak lain adalah Pak Freddy. “Gak bisa, aku harus pulang cepat karena ada urusan mendesak,” putus Kinara, dia kembali berdiri, namun Mela segera meraih lengannya. “Kamu mau dipecat, Kin?” Wanita yang sudah mengikat rambutnya secara asal itu mendesah frustasi,