Kinara sudah bosan mendengar kalimat yang sama dari mulut suaminya, dia sangat mengerti bahwa dirinya tak cukup menarik untuk bisa menggoda pria itu. Kepercayaan diri Kinara juga perlahan mulai menghilang hingga hampir tak bersisa, semua itu berkat kalimat pedas yang selalu Dipta ucapkan kepadanya. “Kamu dan tubuhmu tak akan mampu membuatku bergairah.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kinara, seolah-olah mengingatkan Kinara agar terus sadar diri dan tidak menaruh harapan lebih kepada Dipta. Beberapa kali dia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan pria yang dia cintai saja rasanya bisa semenyedihkan ini, padahal dulu Kinara pikir dia akan sangat bahagia ketika hidup dengan pria yang dia cintai. Namun sepertinya Kinara lupa, bahwa akan jauh lebih bahagia jika dia hidup dengan pria yang mencintainya. “Hembusan nafasmu itu berisik, aku gak bisa tidur.” Suara berat Dipta tiba-tiba terdengar. Kinara menoleh ke
“Minta dipeluk terus?” Kinara terkekeh sinis sambil meremas kertas yang berada dalam genggamannya, merasa konyol dengan ucapan Dipta semalam untuk menghindari kecurigaan Inggit. Tiba-tiba Mela yang berjalan di sisinya menyenggol pelan bahu Kinara. “Mikirin apa sih, Kin?” Perhatian Kinara beralih, dia menoleh dalam gerakan cepat lalu menggeleng. “Enggak, lagi bad mood aja.” “Hati-hati, ini kita mau meeting, jangan sampai Pak Dipta tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, apalagi sampai gak fokus, bisa kena amuk nanti,” ujar Mela, memperingati sahabatnya itu. Kinara melengos dan mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak berminat untuk bertemu dengan suaminya hari ini, tapi mau bagaimana lagi, beberapa staf administrasi diminta untuk menghadiri meeting oleh Kepala Staf mereka, mana mungkin Kinara berani menolak. Sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu Kinara. “Fokus, Pak Dipta udah ada di depan sana.” Kinara mengalihkan pandangan ke depan dan menemukan pria yang tampil menawan dal
“Terima kasih, tapi aku lagi diet,” balas Kinara, dia tersenyum miring setelah berhasil mengirim pesan penolakan atas pemberian Dipta itu. Padahal kalimat itu merupakan sebuah kebohongan besar, Kinara bukan wanita yang terobsesi pada berat badan ideal, dia sudah kurus begini, tak perlu lagi melakukan diet. “Buat kamu aja, Mel,” ucap Kinara sambil menggeser cheese cake serta lemon tea kiriman Dipta ke arah Mela. Tentu saja senyuman Mela langsung terbit setelah itu, sedangkan Kinara kembali beranjak untuk menghirup udara segar. Sepertinya dia ingin pergi ke tempat sunyi selama beberapa saat saja. Tungkai Kinara mulai bergerak menuju tangga darurat, satu-satunya tempat paling sunyi dan aman untuk berpikir tentang berbagai hal. Kinara lantas duduk di salah satu anak tangga sambil menyandarkan kepalanya pada tembok, kedua matanya terpejam. Baru Kinara sadari bahwa dia merasa begitu lelah setelah resmi menjadi istri Dipta, banyak beban pikiran yang mendadak muncul dan membuatnya kesulit
“Pak Freddy minta datanya direkap sekarang, Kin.” Kedua mata Kinara melebar, baru juga dia mematikan laptop dan meraih sling bagnya, Mela sudah kembali duduk di sisinya dengan ekspresi lesu. Kinara jadi ikutan memasang wajah mendung. “Serius, Mel? Jam kerja kita tinggal satu jam lagi loh, nanggung,” rengeknya. Mela mengangguk lesu. “Mana ada kata nanggung di kamus hidup Pak Freddy, kita selesaikan aja, lagian beliau udah janji mau kasih bonus buat kita, kita juga dapat tambahan uang dari hasil lembur, lumayan buat beli sneakers yang kemarin aku mau.” Suara decakkan Kinara mulai terdengar, wanita itu kembali duduk dan menendang-nendang udara dengan kesal, lalu menatap tajam ke arah ruang kerja kepala staf administrasi yang tidak lain adalah Pak Freddy. “Gak bisa, aku harus pulang cepat karena ada urusan mendesak,” putus Kinara, dia kembali berdiri, namun Mela segera meraih lengannya. “Kamu mau dipecat, Kin?” Wanita yang sudah mengikat rambutnya secara asal itu mendesah frustasi,
“Aku kira kamu gak akan pulang hari ini,” sindir Kinara sambil menaruh tasnya ke atas sofa, lalu dia juga ikut duduk di sana dan membiarkan Dipta meninggalkannya sendirian untuk pergi ke kamar. Merasa diabaikan, Kinara mulai memanggil, “Mas Dipta?” Terdengar suara berdecak, Dipta menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Kinara. “Aku sudah memenuhi keinginanmu, aku gak pergi ke mana pun malam ini. Sudah puas?” Kepala Kinara menggeleng dalam waktu cepat, dia segera berdiri dan menghampiri Dipta, namun pria itu justru mundur, seakan menganggap Kinara virus yang harus dia jauhi. Hati Kinara tertohok, dia menghentikan langkahnya dan melayangkan tatapan kecewa. “Aku gak akan merasa puas sebelum kamu mengizinkan aku untuk tidur di kamar utama.” Tidak ada tanggapan, Dipta justru membuang muka. “Mas, seharusnya ini gak jadi masalah karena kita juga bisa tidur bersama di rumah orangtuamu.” “Itu karena kita sedang berada dalam situasi yang terdesak,” ucap Dipta, masih tetap menola
"Ayo berangkat," ajak Dipta sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dia menganggap ucapan Kinara barusan sebagai angin lalu, tampak menghindar dan tak mau memperpanjang pembahasan soal itu. Kinara tersenyum kecut, dia masih bertahan di tempatnya berdiri sekalipun Dipta sudah sampai di luar pintu apartemen yang terbuka, menunggunya. "Enggak jadi?" tanya Dipta. Perasaan Kinara sepertinya tidak berharga bagi pria itu, Dipta tak perlu repot-repot untuk menjaga ataupun menenangkannya, semua itu tergambar jelas dari sikap Dipta yang acuh tak acuh kepada Kinara yang sudah siap menumpahkan air mata. "Mau berantem?" tanya balik Kinara sambil menatap lurus ke arah suaminya. Dipta melengos. "Aku sudah reservasi, kalau kamu gak niat pergi ya sudah," katanya sambil berbalik dan menutup pintu dengan gerakan kasar. "Brengsek!" umpat Kinara, dia menengadahkan wajahnya untuk menghalau air mata yang siap turun. Lalu menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, menguatka
"Kalau kamu tidak suka, kamu gak mungkin membalas ciumanku," lanjut Dipta dengan senyuman miring di wajahnya. Mulut Kinara terkunci rapat, dia membuang pandangan ke luar jendela mobil untuk menyembunyikan wajahnya yang diyakini sudah berubah menjadi merah. Dipta terkekeh pelan dan mulai menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya meninggalkan basement untuk menuju ke sebuah restoran. Sepanjang perjalanan, Kinara hanya bungkam. Dia merasa sangat malu karena menyadari bahwa dia menikmati apa yang Dipta lakukan kepadanya, Kinara yang tidak pernah tersentuh oleh pria mana pun akhirnya merasakan bagaimana hebatnya sebuah ciuman, bahkan Kinara sempat membayangkan saat di mana dia dan Dipta akan melangkah ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar berciuman. Menyadari isi kepalanya yang mulai berlayar terlalu jauh, Kinara segera menggeleng, berharap itu bisa menyingkirkan isi kepalanya yang sangat mengganggu. Akan sangat memalukan jika Dipta tahu bahwa fantasi liar di dalam diri Kinara mulai
“Dasar egois!” Dipta tercengang mendengar kalimat istrinya, dia melengos dan terkekeh sinis. “Demi apa pun aku tidak pernah memaksamu untuk menikah denganku.” Pada akhirnya semua berbalik menjadi kesalahan Kinara, wanita itu menunduk dan tersenyum getir, menatap kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuan. Merasa tak mendapatkan respon berarti dari Kinara, Dipta lantas beranjak. “Aku ke toilet dulu,” pamitnya. Wajah Kinara kembali terangkat, dia menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Lalu bibirnya mengulas senyuman getir, dia merangkum wajahnya sendiri dengan frustasi. Sedangkan Dipta, pergi ke toilet adalah upaya menghindar yang dia lakukan untuk mengakhiri perdebatan dengan istrinya yang tak pernah berujung. Isi kepala pria itu sudah dipenuhi oleh berbagai masalah yang menyerangnya akhir-akhir ini.Alasan utama Dipta tak menginginkan pernikahan ini adalah karena dia belum menyelesaikan berbagai urusan yang entah kapan akan selesai, melibatkan Kinara secara tidak l
Suara berdecak bisa ditangkap jelas oleh telinga Kinara, setelahnya dia lihat Dipta bergerak menjauh dari tubuh Kinara, meraih kembali pakaiannya yang baru beberapa menit terlepas dari tubuh dan mengenakannya kembali.Melihat hal itu, Kinara mengulum senyum. Tak dia pedulikan lagi suhu tubuhnya yang masih tinggi, lagi pula Kinara tak yakin tujuan Dipta melakukan metode skin to skin ini apakah murni untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya, atau justru modus semata. Satu hal yang bisa dia sadari adalah Dipta yang mulai goyah.“Gak jadi bantuin aku, Mas?” goda Kinara. Dipta segera bangkit dan melangkah menuju pintu kamar Kinara. “Enggak, kayaknya metode ini gak efektif buat kamu.”Sekeras tenaga Kinara menahan tawa. “Gak efektif menurunkan suhu tubuhku, tapi malah bikin kamu panas, ‘kan, Mas?”Pria itu berdeham dan buru-buru meninggalkan istrinya yang sudah tak lagi bisa menahan tawa, Kinara puas sekali melihat Dipta yang tampak canggung. Tak berselang lama, belum juga tawa Kinara mere
Setelah malam-malam panjang yang membuatnya terlelap dalam dekapan hangat Dipta, Kinara terbangun dalam kondisi kurang baik, kepalanya pusing, dia merasakan tubuhnya hangat. Perempuan itu terduduk di atas tempat tidur, berusaha mengumpulkan nyawa selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia mendengar suara bising dari luar kamar, Kinara memutuskan untuk segera beranjak. Langkah kecilnya membawa Kinara menuju dapur, dia melihat suaminya mondar-mandir di sana, memindahkan beberapa mangkuk ke atas meja makan. “Kamu lagi apa?” Dipta menoleh ke belakang dan tersenyum lembut, Kinara sempat tertegun menyaksikan senyum sehangat matahari pagi muncul di wajah suaminya. Ini terasa bagai mimpi karena biasanya Dipta tidak seperti ini. “Duduk, Kin,” perintah pria itu sambil menaruh dua gelas air putih ke atas meja makan. Kinara berjalan ragu dan duduk di hadapan suaminya, matanya menatap awas ke arah Dipta dengan kening yang berkerut dalam. Dipta membalas tatapan Kinara dengan sorot mata lembut
“Kin, udah selesai?” Kinara terkesiap karena ketahuan menguping, dia mengangguk dengan canggung dan melanjutkan langkah menghampiri anak dan ibu yang semula membicarakannya. Ibu Gavin terlihat sama terkejutnya dengan dia, perempuan paruh baya itu beranjak dan tersenyum hangat. “Makan malam di sini ya?” Pandangan Kinara beralih pada Gavin yang tersenyum lembut sembari mengangguk, karena merasa harus menghargai Ibu Gavin, pada akhirnya Kinara mengangguk setuju. Meskipun beberapa jam yang lalu dia mengunjungi sebuah restoran dengan menu yang luar biasa enak, nyatanya dia sudah menghabiskan banyak tenaga untuk melawan para pria jalanan di gang sempit tadi, Kinara juga tidak bisa menikmati makan malamnya dengan Dipta ketika isi kepalanya penuh sekali. “Ibu baru aja bikin rendang loh,” ungkap Ibu Gavin. “Wah, kayaknya Ibu jago masak ya?” tanya Kinara, air liurnya nyaris menetes melihat makanan yang tersaji di meja makan. Wanita paruh baya itu terkekeh. “Kalau kamu mau belajar masak, b
"Lepas!"Kinara memberontak dengan keras, menyentak tangan kedua pria yang tampak mabuk itu dan menendang pria yang tadi menyentuhnya. Aroma minuman keras yang menguar dari mulut ketiga pria itu membuat Kinara semakin merasa takut. Setelah berhasil terbebas, Kinara segera berbalik dan berlari cepat, setidaknya dia harus sampai di jalan utama agar bisa meminta pertolongan kepada siapa pun yang kebetulan lewat. “Tolong!” Kinara terus berteriak karena melihat ketiga pria itu masih mengejarnya. Dia melepaskan sepatunya dalam gerakan cepat, lalu melemparkannya ke arah tiga pria itu. Sehingga kaki Kinara kini menyentuh jalanan secara langsung. Tak peduli kepada tubuhnya yang semakin menggigil, Kinara terus berlari. “Aw!” Dia meringis ketika merasakan sesuatu yang tajam menyentuh telapak kakinya, karena merasa tak punya waktu untuk memeriksanya, Kinara terus berlari hingga dia tiba di jalan utama.“Kinara?”Wanita itu berhenti bergerak dan menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Gavin s
“Dasar egois!” Dipta tercengang mendengar kalimat istrinya, dia melengos dan terkekeh sinis. “Demi apa pun aku tidak pernah memaksamu untuk menikah denganku.” Pada akhirnya semua berbalik menjadi kesalahan Kinara, wanita itu menunduk dan tersenyum getir, menatap kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuan. Merasa tak mendapatkan respon berarti dari Kinara, Dipta lantas beranjak. “Aku ke toilet dulu,” pamitnya. Wajah Kinara kembali terangkat, dia menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Lalu bibirnya mengulas senyuman getir, dia merangkum wajahnya sendiri dengan frustasi. Sedangkan Dipta, pergi ke toilet adalah upaya menghindar yang dia lakukan untuk mengakhiri perdebatan dengan istrinya yang tak pernah berujung. Isi kepala pria itu sudah dipenuhi oleh berbagai masalah yang menyerangnya akhir-akhir ini.Alasan utama Dipta tak menginginkan pernikahan ini adalah karena dia belum menyelesaikan berbagai urusan yang entah kapan akan selesai, melibatkan Kinara secara tidak l
"Kalau kamu tidak suka, kamu gak mungkin membalas ciumanku," lanjut Dipta dengan senyuman miring di wajahnya. Mulut Kinara terkunci rapat, dia membuang pandangan ke luar jendela mobil untuk menyembunyikan wajahnya yang diyakini sudah berubah menjadi merah. Dipta terkekeh pelan dan mulai menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya meninggalkan basement untuk menuju ke sebuah restoran. Sepanjang perjalanan, Kinara hanya bungkam. Dia merasa sangat malu karena menyadari bahwa dia menikmati apa yang Dipta lakukan kepadanya, Kinara yang tidak pernah tersentuh oleh pria mana pun akhirnya merasakan bagaimana hebatnya sebuah ciuman, bahkan Kinara sempat membayangkan saat di mana dia dan Dipta akan melangkah ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar berciuman. Menyadari isi kepalanya yang mulai berlayar terlalu jauh, Kinara segera menggeleng, berharap itu bisa menyingkirkan isi kepalanya yang sangat mengganggu. Akan sangat memalukan jika Dipta tahu bahwa fantasi liar di dalam diri Kinara mulai
"Ayo berangkat," ajak Dipta sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dia menganggap ucapan Kinara barusan sebagai angin lalu, tampak menghindar dan tak mau memperpanjang pembahasan soal itu. Kinara tersenyum kecut, dia masih bertahan di tempatnya berdiri sekalipun Dipta sudah sampai di luar pintu apartemen yang terbuka, menunggunya. "Enggak jadi?" tanya Dipta. Perasaan Kinara sepertinya tidak berharga bagi pria itu, Dipta tak perlu repot-repot untuk menjaga ataupun menenangkannya, semua itu tergambar jelas dari sikap Dipta yang acuh tak acuh kepada Kinara yang sudah siap menumpahkan air mata. "Mau berantem?" tanya balik Kinara sambil menatap lurus ke arah suaminya. Dipta melengos. "Aku sudah reservasi, kalau kamu gak niat pergi ya sudah," katanya sambil berbalik dan menutup pintu dengan gerakan kasar. "Brengsek!" umpat Kinara, dia menengadahkan wajahnya untuk menghalau air mata yang siap turun. Lalu menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, menguatka
“Aku kira kamu gak akan pulang hari ini,” sindir Kinara sambil menaruh tasnya ke atas sofa, lalu dia juga ikut duduk di sana dan membiarkan Dipta meninggalkannya sendirian untuk pergi ke kamar. Merasa diabaikan, Kinara mulai memanggil, “Mas Dipta?” Terdengar suara berdecak, Dipta menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Kinara. “Aku sudah memenuhi keinginanmu, aku gak pergi ke mana pun malam ini. Sudah puas?” Kepala Kinara menggeleng dalam waktu cepat, dia segera berdiri dan menghampiri Dipta, namun pria itu justru mundur, seakan menganggap Kinara virus yang harus dia jauhi. Hati Kinara tertohok, dia menghentikan langkahnya dan melayangkan tatapan kecewa. “Aku gak akan merasa puas sebelum kamu mengizinkan aku untuk tidur di kamar utama.” Tidak ada tanggapan, Dipta justru membuang muka. “Mas, seharusnya ini gak jadi masalah karena kita juga bisa tidur bersama di rumah orangtuamu.” “Itu karena kita sedang berada dalam situasi yang terdesak,” ucap Dipta, masih tetap menola
“Pak Freddy minta datanya direkap sekarang, Kin.” Kedua mata Kinara melebar, baru juga dia mematikan laptop dan meraih sling bagnya, Mela sudah kembali duduk di sisinya dengan ekspresi lesu. Kinara jadi ikutan memasang wajah mendung. “Serius, Mel? Jam kerja kita tinggal satu jam lagi loh, nanggung,” rengeknya. Mela mengangguk lesu. “Mana ada kata nanggung di kamus hidup Pak Freddy, kita selesaikan aja, lagian beliau udah janji mau kasih bonus buat kita, kita juga dapat tambahan uang dari hasil lembur, lumayan buat beli sneakers yang kemarin aku mau.” Suara decakkan Kinara mulai terdengar, wanita itu kembali duduk dan menendang-nendang udara dengan kesal, lalu menatap tajam ke arah ruang kerja kepala staf administrasi yang tidak lain adalah Pak Freddy. “Gak bisa, aku harus pulang cepat karena ada urusan mendesak,” putus Kinara, dia kembali berdiri, namun Mela segera meraih lengannya. “Kamu mau dipecat, Kin?” Wanita yang sudah mengikat rambutnya secara asal itu mendesah frustasi,