Jasmine menatap Noah dengan serius, suaranya tegas, tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.
"Ingat, Noah Dirgantara. Aku tidak ingin mengambil posisi Zora. Aku hanya ingin kita menikmati kebersamaan ini selama kita masih terikat dalam kontrak. Jika kau melakukan hal yang tidak kusukai terhadap Zora, jangan salahkan aku jika aku akan meninggalkanmu selamanya."
Noah menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit ditebak. Matanya yang tajam seperti meneliti setiap sudut wajah Jasmine, seolah mencari celah untuk membantah. Namun, akhirnya, ia menghela napas panjang dan mengangguk.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu. Sampai bayi kita lahir, kita akan kembali ke kehidupan semula, sesuai perjanjian. Soal takdir setelahnya, itu urusan nanti."
Jasmine tersenyum kecil, merasa lega dengan jawaban itu. Ia tahu Noah bukan tipe pria yang mudah menurut, tetapi setidaknya kali ini, ia berhasil m
Jasmine menatap takjub ke arah meja yang dipenuhi berbagai hidangan laut. Aroma gurihnya begitu menggoda, dan tampilan setiap hidangan tampak begitu menggugah selera.Matanya berbinar saat ia menoleh ke arah August. "Ini semua terlihat luar biasa. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Bisa kau jelaskan satu per satu?" tanyanya antusias.August tertawa kecil sebelum mulai menunjuk ke beberapa hidangan di hadapannya. "Ini adalah grilled lobster dengan saus lemon butter, yang di sebelahnya itu paella seafood khas Mediterranean. Lalu, ada king crab dengan saus pedas, dan ini hidangan spesialku, scallop dengan saus krim truffle."Jasmine mengangguk penuh kagum. "Semuanya terlihat lezat," gumamnya.Noah yang duduk di sampingnya tersenyum tipis. "Daripada hanya mengagumi, lebih baik kau langsung mencicipinya."Tanpa ragu, Jasmine mulai mencicipi satu per satu. Setiap gigitan terasa begi
August mengeluarkan sebotol wine terbaiknya dari rak kayu di sudut ruangan. Ia tersenyum sambil menunjukkan botol itu ke arah Jasmine."Sebagai tamu kehormatan, kau harus mencoba ini, Jasmine. Ini koleksi spesialku, hanya aku sajikan untuk orang-orang yang berarti bagiku," katanya dengan bangga.Jasmine tersenyum sopan, tapi sebelum ia sempat menolak, Noah dengan cepat mengangkat tangan, menghentikan August."Dia tidak bisa minum, August," suara Noah terdengar tegas. "Jasmine sedang hamil. Saat ini sudah di bulan ke 5."August mengerutkan kening, lalu tatapannya bergeser pada Jasmine sebelum kembali menatap Noah dengan ekspresi penuh pemahaman."Begitu rupanya," gumam August sambil mengembalikan wine itu ke tempatnya. "Baiklah, aku akan membuatkan sesuatu yang lebih cocok untuk ibu hamil. Jus segar dan beberapa makanan ringan. Aku tahu wanita hamil sering merasa lapar, apalagi ji
”Bagaimana Noah kenapa kau diam? Apakah aku juga orang asing bagimu?” ulang Jasmine, menatap Noah tajam.Noah menoleh padanya, menatapnya dengan intens. Lalu, senyum kesal tersungging di bibirnya. Jasmine tahu dia sengaja mengumpan Noah untuk bertindak, dan pria itu akhirnya menanggapinya."Awalnya, aku tidak suka keberadaanmu," aku Noah, dengan jujur. "Tapi ternyata kamu berbeda."Tanpa peringatan, Noah mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Jasmine singkat, membuatnya terkejut.August yang melihat itu langsung tertawa. "Wow, wow. Apa aku harus pergi agar kalian bisa menikmati waktu berdua?" godanya.Jasmine hanya bisa menunduk, sementara Noah kembali menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai, seolah tidak terjadi apa-apa.Tapi dalam hatinya, Jasmine tahu... ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka. Sesuatu
Jasmine kembali ke hotel sendirian. Langkahnya terasa ringan di luar, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Entah kenapa, mendengar Noah akan menemui Zora membuatnya sedikit tidak nyaman.Ia duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya di cermin. Tangannya mengusap perutnya yang mulai membesar. "Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh. Seperti yang Noah bilang, kita hanya terikat dalam kontrak."Tapi... benarkah hanya kontrak?Sementara itu, di tempat lain, Noah tiba di apartemen Zora. Wanita itu sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi serius. Sebotol wine terbuka di meja, tapi gelas di depannya masih penuh. Sepertinya, ini bukan pertemuan biasa."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Noah langsung.Zora menatapnya dengan mata tajam. "Kau mulai berubah, Noah."Noah menyandarkan punggungnya, ekspresinya tetap datar. "Aku tidak mengerti maksu
Jasmine mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Angin malam berhembus pelan, membuat lampu-lampu jalan berpendar lembut di kejauhan."Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya."Benarkah?" Juan menyipitkan matanya, seolah mencoba menembus kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata Jasmine. "Kalau kau baik-baik saja, kenapa aku merasa ada kesedihan di matamu?"Jasmine terkesiap. Kata-kata Juan begitu menusuk, seolah menggali sisi hatinya yang selamaini ia coba tutupi.Jasmine menghela napas dan menatap Juan dalam-dalam. "Aku hanya menjalani hidupku sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, Juan."Juan tersenyum miris. "Jadi kau benar-benar akan terus bersama Suamimu?"Jasmine menggigit bibirnya. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti.Juan mengejutkan di kalima
Suasan itu akhirnya mencair ketika Juan membuka suara.Juan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sepertinya aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjemput Jasmine. Aku hampir berpikir harus mengantarnya pulang sendiri."Nada suaranya terdengar santai, tapi Noah bisa merasakan sindiran halus di dalamnya.Noah tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak benar-benar hangat. "Terima kasih karena sudah menemani istriku, Juan. Tapi sekarang, dia akan pulang denganku."Jasmine bisa merasakan ketegangan di antara kedua pria itu. Ia tahu Noah sedang menahan diri.Jasmine pun buru-buru melangkah ke arah mobil dan membuka pintu. "Ayo pergi, Noah."Noah tidak langsung masuk. Ia masih menatap Juan sejenak sebelum akhirnya berkata,"Jangan mengganggunya lagi, Juan."Juan tersenyum tipis. "Aku tidak pernah mengganggunya. Aku hanya member
Noah berdiri di ambang pintu kamar hotel, memandang ke arah Jasmine yang duduk diam di sudut tempat tidur. Posisi tubuh Jasmine sedikit membungkuk, matanya tertunduk, seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya keheningan yang mengisi ruangan.Langkah kaki Noah terasa berat ketika ia mendekati tempat tidur, perasaan ragu menggelayuti setiap gerakannya. Begitu dekat, ia perlahan berlutut di depan Jasmine, memegang kedua tangan Jasmine dengan hati-hati, seolah takut jika ia terlalu keras, semuanya akan hancur."Jasmine," suara Noah terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Aku sangat egois. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, tapi aku... Aku hanya takut."Jasmine tetap terdiam, tidak mengangkat wajahnya. Tidak ada reaksi dari dirinya. Hanya hening yang terasa semakin tebal di antara mereka. Noah merasa cemas, namun dia terus memegang tangan Jasmine dengan penuh harap, berharap wanita itu akan menatapnya, memberi ke
Jasmine masih terjaga. Waktu sudah beranjak larut, tetapi pikirannya terus berputar. Cahaya bulan menembus tirai tipis, memantulkan siluet samar di dinding kamar.Lengan Noah masih melingkar di tubuhnya, membuatnya terjebak dalam kehangatan yang bertolak belakang dengan semua yang ia rasakan. Jantungnya berdegup lebih cepat setiap kali napas pria itu berembus di lehernya.Lalu, dalam keheningan yang menusuk, suara Noah terdengar pelan, hampir seperti bisikan."Maaf."Jasmine membeku. Kata itu terdengar seperti sesuatu yang begitu berat untuk diucapkan oleh Noah Dirgantara.Ia tidak tahu harus merespons seperti apa. Mata Jasmine tetap terbuka, menatap kosong ke langit-langit. Rasa perih yang selama ini ia pendam kembali menguar, membasahi dadanya dengan emosi yang bercampur aduk.Entah permintaan maaf untuk apa. Untuk malam-malam dingin yang selalu berakhir tanpa kepastian? Untuk statusnya yang masih berada di antara batas abu-abu perasaan dan kontrak? Atau untuk sesuatu yang lebih bes
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab
Sementara itu, Jasmine dan Noah kembali ke hotel mereka setelah menghadiri resepsi diplomatik kecil yang digelar di Konsulat Lioren. Jasmine merasa kelelahan, namun damai. Dunia tampaknya menyambut pidatonya dengan antusias. Belasan negara telah menyatakan niat bergabung dalam Koalisi Anti-Korupsi Korporat Dunia.Namun di lobi hotel, salah satu staf keamanan mendekati mereka.“Maaf, Ibu Jasmine. Mobil pengawal Anda terlihat mengalami kerusakan. Kami menyarankan Anda untuk naik kendaraan cadangan yang sudah disiapkan.”Kiara, yang datang bersama dari belakang, menyipitkan mata. “Mobil rusak? Tapi tadi pagi sudah dicek.”Noah langsung tanggap. “Tunda. Kita tetap di sini sampai tim teknis kita periksa langsung.”Sementara staf itu berlalu, Jasmine berbisik, “Perasaanmu juga tidak enak?”Noah mengangguk. “Sangat.”Tiga puluh menit kemudian, laporan datang. Salah satu baut rem ken
Jasmine berdiri. Langkahnya mantap menuju podium. Cahaya lampu menyorot wajahnya, dan ribuan mata tertuju padanya.Ia membuka pidatonya dengan suara yang tenang tapi tegas.“Terima kasih atas kesempatan ini. Nama saya Jasmine Jorse. Hari ini, saya tidak hanya berbicara sebagai pemimpin sebuah perusahaan, tapi sebagai saksi dari bagaimana sistem keuangan yang tidak terawasi bisa menghancurkan keluarga, kepercayaan, dan masa depan.”Ia berhenti sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.“Saya lahir dari darah seorang industrialis yang jujur dan seorang ibu yang mencintai keadilan. Mereka dibunuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sistem yang membiarkan korupsi tumbuh di balik nama-nama besar.”Hening. Beberapa orang mulai menegakkan badan.“Selama puluhan tahun, banyak dari kita menutup mata atas praktik-praktik keuangan gelap yang dikemas dalam bahasa legal. Kita memberi ruang bagi orang seperti Leonhart Vasmer dan
“Jas... Ada seseorang dari dalam Levara Group mengirimkan pesan rahasia.”Jasmine berdiri. “Siapa?”Kiara menyerahkan sebuah flashdisk dan dokumen cetak.“Namanya tidak disebut, tapi tanda tangannya mencocok dengan seorang analis senior bernama Aline Köhler. Dia dikabarkan sudah lama tidak muncul di media, dan ternyata... dia menyimpan dokumen internal.”Jasmine membuka file pertama di layar laptop. Di sana, terdapat ratusan halaman laporan transfer dana fiktif, rekaman rapat tertutup yang memperlihatkan Leonhart menyuruh stafnya menekan media, dan yang paling mencengangkan: dokumen strategi hukum menyerang Jasmine, tertanggal sebulan sebelum gugatan didaftarkan.“Aline memberikan semua ini?” bisik Jasmine, nyaris tak percaya.Kiara mengangguk. “Dia bilang dalam pesannya: ‘Saya tidak bisa melawan langsung. Tapi saya percaya kamu bisa.’”Jasmine memandang laya
Sore hari, Jasmine menerima kabar bahwa Levara Group secara resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Komersial Internasional Avenhurst.“Gugatan ini tidak berdasar,” ujar Kiara. “Tapi tetap harus kita jawab.”Jasmine membaca dokumen gugatan. Tuduhannya kejam: penyalahgunaan informasi pribadi, sabotase ekonomi, dan pencemaran nama baik.“Dia menyerang dari jalur hukum karena sudah kalah di jalur fakta,” ucap Jasmine pelan. “Tapi kita tidak boleh gegabah. Kita jawab elegan. Kita buktikan kebenaran bisa berjalan lurus tanpa harus menabrak.”Malam hari, setelah hari yang panjang dan rapat yang tak ada habisnya, Jasmine akhirnya kembali ke kamar hotel tempat ia menginap bersama Noah. Penerangan temaram, lampu-lampu kota Eresia berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil dari balik jendela kaca.Noah sudah menunggunya. Ia duduk di sofa dengan mengenakan kaus gelap dan celana santai, rambutnya sedikit acak.“Kau terlihat seperti ratu perang yang baru pulang dari medan tempur,” gumam
Tangannya bergetar.“Noah,” bisiknya saat pria itu menghampiri.“Ada apa?”Jasmine menyodorkan dokumen itu dengan mata basah. “Mereka… mereka tidak hanya berkhianat. Mereka membunuh.”Sesi kedua sidang dibuka dengan panggilan terhadap saksi ahli forensik kendaraan. Ia menjelaskan bahwa tingkat kerusakan sistem rem tidak mungkin terjadi karena usia atau kelalaian servis. Ia menunjukkan simulasi digital yang menunjukkan titik-titik sabotase.Hakim terlihat terguncang. Lucas mulai gelisah. Ia mencoba berdiskusi dengan pengacaranya, tapi mikrofon ruang sidang menangkap ucapannya:“Aku bilang hentikan semua jejak itu. Kenapa masih ada yang muncul?”Sorotan kamera langsung diarahkan ke wajahnya. Raut panik dan kemarahan membuatnya tak lagi mampu menyembunyikan kecemasan.Jaksa Norell lalu berdiri dengan bukti tambahan.“Yang Mulia, kami memohon agar Lucas Greif ditahan tanpa syarat selama penyelidikan. Bukti menunjukkan adanya potensi penghilangan jejak, tekanan terhadap saksi, dan keterlib
Noah, yang melihat semua itu, langsung menghubungi Jasmine.“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi jangan biarkan hal-hal itu mengalihkanmu.”“Aku tidak akan mundur,” sahut Jasmine tegas. “Tapi aku tidak bisa bohong, ini melelahkan.”“Aku akan ke Eresia besok,” kata Noah. “Kamu tidak harus hadapi ini sendirian lagi.”Jasmine terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Terima kasih. Mungkin kali ini... aku memang butuh bahumu lebih dari sekadar kata-kata.”Sore itu, Jasmine duduk sendiri di taman kecil belakang kantor EILI. Suara burung camar terdengar samar. Ia menutup mata sejenak.Langkah kaki menghampiri. Noah datang, lebih cepat dari yang dijanjikan. Pria itu berdiri di depannya, dengan senyum penuh kehangatan.“Aku tahu kau bilang besok,” kata Jasmine, sedikit terkejut.“Aku tahu kau butuh hari ini.”Jasmine berdiri. Mereka saling mendekat, lalu tanpa banyak kata, Noah menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu lama. Lama sekali. Seolah seluruh dunia menjadi latar belakang bisu.Saat Jasmine