“Kami masih mencari tahu. Tapi ada satu hal yang pasti… ini bukan ancaman biasa.”Zora mengepalkan tangannya. Matanya menajam, penuh kemarahan.Tanpa membuang waktu, ia segera masuk kembali ke kamar. “Noah,” panggilnya tegas.Noah menoleh, melihat ekspresi Zora yang semakin serius. “Apa lagi?”Zora menatapnya tajam. “Kita harus bergerak sekarang. Vanesia punya seseorang di belakangnya, dan kita tidak tahu seberapa jauh mereka bisa bertindak.”Noah berdiri, ekspresinya berubah lebih dingin. “Aku sudah menyiapkan segalanya.”Zora menyipitkan mata. “Kau akan melakukan apa?”Noah tidak menjawab. Ia menoleh ke arah Jasmine yang masih duduk di ranjang, menatap mereka dengan bingung.Zora menatap Noah dengan penuh kewaspadaan. “Katakan padaku kau tidak ak
Pria itu menelan ludah, lalu akhirnya berkata, “Dante.”Noah langsung menegang. Nama itu tidak asing baginya.Zora menatap Noah. “Kau kenal dia?”Noah mengangguk pelan. “Dante adalah salah satu orang yang bekerja untuk kelompok kriminal di Bulgarion.”Zora memutar bola matanya. “Jadi Vanesia benar-benar sudah masuk ke dunia bawah.”Noah mengepalkan tangannya. “Ini sudah melewati batas.”Zora menyeringai. “Apa kau mau kita mainkan permainan yang sama?”Noah menatapnya. “Kita buat mereka menyesal.”Di mansion Dirgantara, Jasmine berjalan pelan di taman belakang. Udara pagi terasa segar, tapi hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi.Langkahnya terhenti saat mendengar suara la
Wajah Vanesia memucat. “Apa?! Tidak mungkin!”Pria itu tidak peduli. Mereka langsung memborgol tangannya.Dante, yang berdiri di sudut ruangan, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Ia sudah tahu ini akan terjadi.Vanesia mencoba memberontak. “Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!”Tapi semua itu sia-sia. Ia akhirnya diseret keluar kantor dengan wajah penuh kemarahan dan kepanikan.Dan di luar, Noah sudah berdiri dengan jas hitamnya, menatapnya dengan tatapan dingin.Vanesia menggigit bibirnya. “Kau yang melakukan ini?”Noah tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada polisi untuk membawanya pergi.Saat Vanesia dimasukkan ke dalam mobil polisi, ia menjerit. “Noah! Kau akan menyesal!”Tapi Noah tetap diam, menatapnya pergi dengan ekspresi dingin.Jasmine, ya
Hari-hari berlalu, dan hubungan Jasmine dengan Zora semakin dekat. Suatu hari, Zora mengajaknya untuk berbelanja.“Kita perlu membeli beberapa barang baru untuk rumah,” kata Zora dengan senyum lembut. “Bagaimana kalau kau ikut denganku? Sekalian kita mencari sesuatu yang kau butuhkan.”Jasmine sedikit ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.”Mereka pergi ke butik terkenal di pusat kota. Zora tampak sangat antusias memilih pakaian dan aksesori, sementara Jasmine hanya sesekali memberikan pendapat.Saat mereka berada di bagian gaun, Zora mengambil satu gaun berwarna biru tua dan menyerahkannya pada Jasmine.“Kau harus mencoba ini,” ucapnya penuh semangat.Jasmine mengambil gaun itu dengan sedikit canggung. “Aku?”Zora mengangguk. “Tentu saja. Aku yakin gaun in
“Itu… yang membuatku merasa bersalah,” ucap Zora lirih. “Tapi mau bagaimana lagi? Aku mencintaimu, Noah. Aku tidak bisa kehilanganmu.”Hening.Jasmine berdiri kaku di tempatnya, air matanya hampir jatuh. Ia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Perasaan sakit dan dikhianati membanjiri hatinya.Ia telah berusaha menjaga perasaan Zora, mencoba menghormati batasan mereka, bahkan mulai menganggap Zora segalanya. Tapi kini, ia menyadari bahwa semua perlakuan baik itu bukan karena tulus. Itu semua hanya bagian dari sebuah rencana untuk mempertahankan pernikahan Zora dan Noah.”Aku hanya alat.” Jasmine merasa nafasnya sesak. Ia harus pergi dari sini sebelum dirinya kehilangan kendali.Dengan langkah ringan namun tergesa, ia berjalan menjauh sebelum ada yang menyadari keberadaannya.&
Pagi-pagi sekali, sebelum siapa pun bangun, Jasmine mulai mengemasi barang-barangnya. Ia memasukkan pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper kecil, memastikan bahwa ia tidak meninggalkan apa pun yang berarti.Setelah selesai, ia berdiri di depan cermin sekali lagi, menatap dirinya sendiri.”Saatnya pergi.”Jasmine menarik napas dalam-dalam, lalu meraih koper dan membuka pintu kamar dengan hati-hati. Langkahnya pelan dan terukur, memastikan bahwa tidak ada yang menyadari kepergiannya.Namun, saat ia hampir mencapai pintu utama, suara berat menghentikan langkahnya.“Noah?”Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat pria itu berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan mata tajam.“Kau mau ke mana?” tanya Noah dingin.Jasmine menggenggam koper di tangannya lebih erat. “Aku… aku hanya ingin pergi sebentar.&rd
Jasmine sedikit tertegun, tetapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. “Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”Juan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku hanya penasaran. Kau selalu datang sendiri untuk kontrol. Tidak ada suami yang menemani, tidak ada yang menanyakan kondisimu secara langsung di rumah sakit… dan yang paling mencurigakan, aku tidak pernah melihat cincin di jarimu.”Jasmine tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya seolah ingin menunjukkan sesuatu. “Aku memang jarang memakai cincin pernikahan.”Juan mengernyit. “Lalu, di mana suamimu sekarang?”Jasmine menatapnya dengan ekspresi tenang. “Seperti yang orang-orang tahu… suamiku sedang bertugas di daerah konflik.”Juan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Jadi dia tentara?”Jasmine tersenyum samar. &ld
Zora menatapnya tajam. “Noah peduli padamu. Bahkan jika dia tidak menyadarinya sendiri.”Jasmine terdiam. Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lebih baik, tetapi entah kenapa justru membuat dadanya semakin sesak.“Dia tidak mencariku,” gumam Jasmine lirih. “Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa dia peduli?”Zora tersenyum tipis. “Karena Noah adalah pria yang keras kepala. Dia mungkin tidak mencarimu sekarang, tapi bukan berarti dia tidak memikirkanmu.”Jasmine menggigit bibirnya, merasa perasaannya semakin kacau.Zora menyesap kopinya pelan sebelum berkata, “Aku hanya ingin kau tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak akan menghalangimu untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri.”Jasmine menatapnya dengan ekspresi bingung.“Apa maksudmu?”Zora menghela napas panjang. &l
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan
Di dalam ruang server, ratusan rak digital bersinar dengan cahaya biru. Kiara dan tim IT mulai mengakses sistem. Bunyi klik-klak keyboard terdengar di antara ketegangan."Kami berhasil masuk ke lapisan pertama!" teriak Kiara."Teruskan. Kita butuh semua data!" seru Jasmine.Tiba-tiba, alarm menyala merah."Ada sistem pemicu otomatis. Kalau kita tidak selesai dalam dua belas menit, seluruh data akan dihancurkan secara otomatis," teriak Evan."Kita bisa bypass! Tapi kita butuh waktu dan ketenangan!" seru Kiara.Noah menjaga pintu, senjata disiagakan. Sementara Jasmine berdiri di belakang Kiara, matanya terpaku pada satu monitor yang menampilkan nama-nama... dan di antara semua itu, muncul sebuah file bernama: ORION FILE – Master Authorization."Buka itu," perintah Jasmine cepat.Kiara membuka file tersebut. Di dalamnya: catatan transaksi rahasia, video pertemuan Leonhart dan tokoh-tokoh dunia, serta satu nama kode utama: The Architect – real ID pending unlock."Kita menemukannya," gumam
Pagi di Arenia tidak seperti biasanya. Setelah malam penuh ketegangan dan pengakuan dari Sebastian Warde, udara pagi itu terasa lebih berat, seolah kota tua itu menyimpan napas untuk menunggu langkah selanjutnya dari Jasmine Jorse. Di ruang rapat sementara Project Axis yang terletak di lantai paling atas hotel, seluruh tim telah berkumpul.Sebastian, kini masih dalam pengawasan ketat, duduk di pojok ruangan dengan pengacara dan dua pengawal bersenjata. Wajahnya tampak lesu, tapi sorot matanya menyiratkan kelegaan setelah membuka sebagian besar rahasia yang ia simpan selama bertahun-tahun.Di hadapan semua orang, Jasmine berdiri di depan layar digital besar. Data dari Sebastian mulai ditampilkan: alur dana gelap, nama-nama pemilik perusahaan fiktif, dan diagram jaringan yang saling terkait dari Valmora, Zurich, hingga Lioren dan bahkan negara netral seperti Eresia."Semua ini mengarah pada satu hal," ucap Jasmine lantang. "Bukan hanya Leonhart, tapi seluruh sistem. Sistem yang selama i
Jasmine yang sejak tadi diam, merasa darahnya mendidih. Dia berdiri tegak, matanya memandang pesan itu seakan menantang. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," ucapnya, suaranya penuh tekad dan keberanian yang tak bisa dipadamkan. "Kita akan berhadapan langsung."Seketika, seluruh ruangan terasa hening, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga mereka. Waktu terasa berhenti sejenak, dan semuanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Keputusan telah dibuat. Mereka harus menghadapi musuh mereka, apapun risikonya.Malam itu, langit Arenia dipenuhi bintang-bintang yang seolah menyaksikan perjalanan mereka. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa nuansa ketegangan yang semakin tebal. Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi dari pertempuran terakhir yang akan segera meletus. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Setiap pilihan yang mereka ambil sekarang akan menentukan masa depan mereka.Jasmine
Mata Jasmine menyipit. Satu teka-teki terungkap, tetapi gambaran yang lebih besar tampak lebih mengerikan."Bagaimana dengan bukti?" tanya Kiara. "Ada rekaman, dokumen?"Sebastian mengangguk. "Ada. Semua transaksi, semua perintah, disimpan di server rahasia. Aku tahu koordinatnya. Ada di luar Arenia, di fasilitas bawah tanah di Eresia.""Kau mau mengantar kami ke sana?" tanya Noah, nadanya datar.Sebastian mengangguk dengan cepat. "Asal kau jamin keselamatanku... aku akan bawa kalian ke semua bukti."Jasmine mengangguk. "Kalau begitu, kita bergerak besok. Tapi sebelum itu, kau akan menuliskan seluruh kesaksianmu di bawah sumpah."Sebastian mulai menulis. Tangan gemetar, keringat menetes di dahinya.Kiara membantu mengamankan dokumen. Evan menghubungi pengacara Project Axis untuk memastikan semuanya sah secara hukum internasional.Saat Sebastian sibuk menulis, Jasmine berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam Aren
Kiara memegang tablet kecil yang terhubung ke jaringan deteksi panas. "Tiga orang bersenjata di depan, enam puluh meter. Mereka berjaga.""Itu pasti markas Sebastian," bisik Evan.Mereka berbelok ke gang kecil, berhenti di balik dinding batu berlumut."Kita harus hati-hati," ujar Noah. "Begitu kita masuk, tidak ada jalan mundur."Jasmine menarik napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdentum keras di dadanya."Aku siap," katanya.Kiara mengirimkan sinyal disruptor untuk menjatuhkan kamera pengawas sementara. Evan bergerak cepat membobol kunci pintu dengan alat digital.Saat pintu terbuka sedikit, suara langkah tergesa terdengar dari dalam."Dia tahu kita datang!" seru Evan.Tanpa pikir panjang, Jasmine dan Noah menyerbu masuk. Suara benturan kayu dan desakan sepatu memenuhi udara.Di lantai atas, Sebastian Warde berusaha kabur lewat jendela, namun Noah lebih cepat. Ia menarik pria itu jatuh ke lantai deng