Tubuh Gayatri panas dan mengeluarkan keringat dingin. Di tengah malam yang sunyi ini Gayatri sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara karena karena menangis dalam diam. Dirinya merasa nelangsa karena sedang sakit tapi tidak ada yang mengurus, juga Gayatri tidak bisa mengurus kedua anaknya, sekarang anaknya ditelantarkan dan bahkan kedua anaknya tidak makan malam sama sekali karena dimarahi oleh neneknya.
Gayatri memeras kompres yang sudah mendingin. Ia kembali berbaring sambil mengusap kepala anak-anaknya. Jika saja Gayatri masih memiliki kedua orang tua, mungkin hidup Gayatri tidak terlalu berat seperti ini. Dan andaikan saja ibu mertua serta iparnya berperilaku baik, hidupnya yang tinggal bersama di keluarga suami pasti tidak akan menderita.Pagi harinya tubuh Gayatri sudah agak mendingan meskipun suhu tubuhnya masih cukup panas tetapi kepalanya tidak terlalu berat dan pusing. Rutinitas paginya seperti biasa, masak dari jam empat subuh dan beres-beres rumah. Hari ini rencananya Gayatri akan mencari kayu bakar dan mengambil rumput untuk pakan kambing. Sementara ibu mertuanya akan pergi ke kebun di bagian selatan untuk kembali memetik kapulaga dan kopi. Mungkin nanti Gayatri akan membantunya jika pekerjaannya sudah selesai.Pukul setengah tujuh Gayatri sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Damilah juga sudah pergi ke sekolah mengendarai motor milik Gayatri yang semenjak Hendar meninggal barang-barang milik Gayatri diambil alih oleh adik iparnya itu, termasuk kamar tidurnya.Bu Nining juga sudah pergi ke sawah, kini giliran Gayatri yang pergi ke kebun. Terpaksa juga Gayatri membawa kedua anaknya ya karena ke kebunnya sekarang hanya sebentar untuk mencari kayu bakar saja. Setelah sarapan dan meminum obat, Gayatri langsung pergi ke kebun yang berbatasan dengan sawah, ia terlebih dahulu akan mengambil rumput untuk kambing sebelum matahari semakin naik dan membuat rumput cepat layu.Tubuh Gayatri mulai mengeluarkan keringat dingin lagi, kepalanya juga sedikit agak pusing. Padahal Gayatri baru saja bekerja belum lama, rumput yang terkumpul juga baru dapat seperempat karung. Istirahat sejenak, Gayatri selonjoran di bawah pohon pepaya, matanya terpejam saking pusingnya kepala dia. Sepuluh menit kemudian, tubuh Gayatri sudah agak mendingan. Ia kemudian melanjutkan mengambil rumput. Tidak berapa lama ada Bu Sari dan Pak Juned datang yang sama akan mengambil rumput juga.Melihat Gayatri yang terlihat loyo dan sayu, pasangan suami istri itu membantu Gayatri karena merasa kasihan. Selain itu Pak Juned juga membawakan satu karung berisi rumput itu ke rumah Gayatri. Bu Sari juga membantu membawakan kayu bakar yang tadi sudah dikumpulkan sebelumnya oleh Gayatri juga Ghifari.Sampai di rumah, Gayatri tidur sebentar sekitar lima belas menit. Setelah itu ia memasak nasi dan sayur juga balado telur. Setelah semua selesai, Gayatri kembali tidur untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya.Bu Nining baru datang, wajahnya terlihat kesal karena Gayatri tidak datang membantunya. Sekarang di rumah Bu Nining sedang berteriak-teriak memanggil Gayatri, menyuruh Gayatri menyapu pekarangan rumah karena banyak daun berserakan akibat hari ini mulai ada angin kencang.Ghifari yang sedang bermain di ruang tengah buru-buru berlari ke luar dan mengambil sapu lidi. Dengan tenaga yang seadanya Ghifari mulai mengayunkan sapu lidi tersebut dan menyapu dedaunan yang berserakan."Dari kemarin sakit mulu, nyusahin aja." Bu Nining menggerutu. Ia menutup pintu dapur dengan cara membantingnya dan menimbulkan suara dentuman yang keras.Bu Nining kemudian mengambil alih sapu yang sedang digunakan oleh Ghifari. Mulutnya tidak pernah berhenti mengomel dan terus menjelek-jelekkan Gayatri di depan Ghifari yang meskipun anaknya masih kecil tapi Ghifari tahu mana yang baik dan mana yang buruk."Nenek kenapa jelek-jelek terus ibu? Ibu Ghifari sedang sakit. Tadi saja waktu di kebun ibu pingsan.""Kamu anak kecil tahu apa, hah?"Meskipun tidak tahu secara spesifik apa itu pingsan dan hanya tahu dari mulut orang dewasa, tapi Ghifari mengerti kalau pingsan itu tiba-tiba terjatuh dan mata terpejam tidak sadarkan diri seperti orang yang sedang tidur."Tadi juga ibu waktu di kebun pulangnya sempat digotong sama orang-orang.""Kamu kecil-kecil sudah berani berbohong. Kamu juga berani melawan. Dasar si Gayatri itu gak becus ngedidik anak.""Assalamualaikum, Bu Nining." Tiba-tiba Bu Sari datang membawa kantong kresek berukuran sedang."Waalaikumsalam, Bu Sari. Ada apa ya tiba-tiba datang ke sini bersama ibu-ibu yang lain?""Saya sama ibu-ibu pengajian datang ke sini mau menjenguk Gayatri.""Gayatri gak usah dijenguk, dia itu lagi sehat-sehat saja.""Nggak kok, Bu. Gayatri itu sedang sakit. Tadi waktu ngambil rumput sama saya Gayatri pingsan, lho.""Alah, itu bukan sakit, cuma pura-pura. Lagipula si Gayatri itu kalau sakit suka dirasa. Dia mah manja orangnya, lemah."Bu Sari dan ibu-ibu yang lain saling pandang. "Kalau berkenan, boleh kami lihat keadaan Gayatri?""Bu Sari, saya sudah bilang kalau Gayatri itu sedang tidak sakit. Kalau sakit parah sih silakan saja jenguk, ini cuma sakit masuk angin biasa. Dasar si Gayatri itu hobinya ngerepotin orang-orang saja.""Bu Sari bisa tunggu Ghifari dan Baiq? Ghifari mau ke mesjid sekarang. Tapi Ghifari mau mandi dulu."Ghifari ini temannya cucu Bu Sari, Ikmal namanya. Mereka memang sering ke mesjid bersama."Iya boleh. Nanti katanya Ikmal juga akan datang ke sini."Mau tidak mau Bu Nining mempersilakan rombongan ibu-ibu itu masuk ke dalam rumah. Selagi Bu Nining sedang berada di dapur, Bu Sari masuk ke dalam kamar dan melihat kondisi Gayatri. Betapa terkejutnya Bu Sari melihat kondisi Gayatri yang sangat pucat seperti tidak memiliki setetes darah dalam tubuhnya. Seluruh badannya juga panas."Gayatri, ayo kita pergi ke dokter. Kamu harus diperiksa."Gayatri menggeleng lemah. Ia tidak bisa mengeluarkan suara barang satu kata pun."Gayatri, ayo kamu harus diperiksa. Kalau kamu sakit terus, ibu kasihan sama kamu dan anak-anak kamu karena gak ada yang ngurus. Kamu tahu sendiri, kan, ibu mertua kamu itu kayak gimana."Ibu-ibu yang lain memanggil Alin supaya bisa membujuk Gayatri. Bu Nining yang mendengar suara keributan di ruang tengah kemudian menghampiri."Ada apa ini?" tanyanya."Kami mau bawa Gayatri ke dokter.""Gayatri gak perlu dibawa ke dokter. Nanti juga sembuh sendiri.""Bu Nining buta? Gak bisa lihat kalau Gayatri seperti mayat hidup?" Alin membalas dengan ucapan yang sangat tajam. Tanpa menerima persetujuan dari Bu Nining, Alin dan ibu-ibu yang lain membantu menggotong tubuh Gayatri dan dimasukkan ke dalam mobil.Sebelum berangkat, Alin berbicara lagi pada Bu Nining. "Ibu Nining gak perlu cemas uang ibu habis. Tenang saja, Gayatri masih punya uang untuk berobat, ongkos mobil dan membiayai makan anak-anaknya. Bu Nining gak bakal rugi, kok. Kalau Gayatri gak sembuh-sembuh gara-gara gak berobat, yang ada nanti Bu Nining yang repot karena gak ada yang bantu seluruh pekerjaan Bu Nining."Wajah Bu Nining sangat masam. Dirinya memang paling tidak suka diajari oleh anak kecil seperti Alin yang belum setengahnya merasakan asam garam kehidupan. Apalagi ini Alin selalu saja ikut campur dalam kehidupan keluarga Bu Nining. Kalau nanti Gayatri sudah sembuh, Bu Nining akan melarang Gayatri berteman dengan Alin karena Bu Nining tidak mau jika nanti Gayatri bisa melawan dirinya gara-gara hasutan dari teman terdekatnya itu.Setelah dua hari dirawat di puskesmas, Gayatri akhirnya sembuh dan pulang ke rumah. Selama Gayatri sakit, yang berjaga di puskesmas hanya Alin saja, sementara ibu mertua dan adik iparnya sama sekali tidak mengurusi Gayatri, mereka hanya datang menjenguk satu kali saja, itupun datang hanya sepuluh menitan saja, setelah itu mereka pulang.Kedua anak Gayatri menginap di puskesmas, mereka tidak mau satu rumah dengan nenek dan bibinya karena takut dimarahi seperti yang selalu dilakukan oleh Bu Nining. Apalagi Bu Nining itu orangnya tidak mau diberikan beban, dia tidak mau mengurus anak kecil yang sulit diatur dan hanya ingin main terus tanpa bisa patuh atau dibujuk.Melihat sikap ibu mertua dan ipar, darah Alin kembali mendidih. Alin tidak habis pikir kenapa ada seorang nenek yang sama sekali tidak sayang pada cucunya sendiri. Padahal cucunya ini bukan hasil dari zina, bukan pula pembawa aib atau petaka. Yang membuat Alin semakin marah itu yaitu ketika mengetahui kalau kartu ATM dan buku t
Sudah beberapa hari ini Baiq sering sekali menangis tiba-tiba, apalagi setiap malam hari sampai subuh Baiq tidak pernah berhenti menangis dan sulit untuk tidur lagi. Dibujuk dengan berbagai cara tetap tidak mempan. Bu Nining yang terganggu dengan suara tangisan dari Baiq itu selalu marah-marah dan pernah mengusir Gayatri juga kedua anaknya karena terus-menerus mengganggu tidurnya."Mungkin Baiq teringat dengan ayahnya," ucap Bu Uri ketika Gayatri bercerita pada ibu juragan sayuran itu."Kadang Ghifari juga sering tiba-tiba ingat sama ayahnya.""Apa dulu Hendar ada keinginan yang belum tercapai untuk anak-anaknya?"Gayatri mencoba mengingat-ingat rencana jangka panjang yang dulu disusun oleh mereka berdua."Dulu sebelum Mas Hendar mau merantau ke Bandung, katanya nanti kalau sehabis lebaran mau khitanan Ghifari sama Baiq, sekalian akikah semuanya.""Begitu, ya?" Bu Uri mengangguk-angguk. "Kayaknya kedua anak kamu harus segera dikhitan, Tri.""Kira-kira biayanya berapa ya, Bu?""Waktu j
Gayatri menaburkan bunga ke atas air laut dermaga, ini sudah ke empat puluh harinya Hendar. Waktu memang tak terasa cepat berlalu, rasa-rasanya baru saja kemarin Hendar masih berada di sisinya, bermain dengan kedua anaknya, mengajaknya jalan-jalan dan lain sebagainya. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan, hanya tinggal rindu saja yang tersisa."Ibu, suatu hari nanti kita akan tinggal di seberang laut sana. Kita akan pergi naik kapal ferry dari sini ke pulau Jawa."Tangan Gayatri mengelus kepala Ghifari. Entah siapa yang mengajarkan Ghifari hal seperti itu. Semenjak kehilangan Hendar, cara berpikir Ghifari memang sedikit agak berbeda, pikiran dan ucapannya bahkan tindakannya sedikit agak seperti orang dewasa."Tunggu Ghifari besar, ya, Bu. Ghifari janji akan membahagiakan ibu dan tidak akan membuat ibu menangis juga bersedih lagi.""Terima kasih ya, Nak." Gayatri memeluk tubuh mungil Ghifari.Saat posyandu minggu kemarin, kedua anaknya memiliki berat badan yang tidak ideal. Hal itu d
"Anak kamu bulan depan seharusnya masuk TK kan, Tri?" tanya Bu Oom. Gayatri mengangguk. "Iya, Bu. Tapi kata ibu mertua saya Ghifari katanya jangan dimasukkan ke TK, ibu sudah dari dulu berbicara seperti itu."Bu Oom menyeruput kopi hitamnya setelah itu ia mengambil sepotong goreng tahu isi dan memakannya. "Pikiran ibu mertua kamu itu memang terlalu kolot, terbelakang, heran deh.""Maaf ya, Tri, bukan bermaksud menyinggung. Tapi kayaknya kalau kamu nanti mau nikah lagi, Bu Nining gak bakalan setuju," ucap Bu Enah."Saya gak kepikiran mau nikah lagi, Bu. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan saya, janda anak dua. Tanggungannya banyak.""Kamu itu masih muda, Tri. Apalagi kamu cantik, pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu. Buktinya belum empat puluh hari suami kamu meninggal kan waktu itu ada yang datang menanyai kamu. Itu artinya dia memang tulus sama kamu juga anak kamu."Bu Oom mengangguk setuju. "Iya. Dan sepertinya anak Pak Lurah juga tertarik sama kamu, Tri."Gayatri
"Mbak Gayatri!" Darsa memanggil Gayatri yang hendak pulang sehabis babad tanah di kebun jagung yang baru ditanam dua minggu lalu."Ada apa, Den?"Darsa terdiam sebentar kemudian menjawab, "Kebetulan saya hendak ke rumah Pak RT Yoyo, rumahnya Mbak Gayatri satu RT kan dengan beliau? Bagaimana kalau Mbak Gayatri pulangnya bareng saya saja?""Tidak usah, Den. Terima kasih. Saya hari ini tidak akan langsung pulang ke rumah, saya akan mampir sebentar ke rumah Bu Uri." Gayatri menolaknya dengan senyuman tipis."Rumahnya Bu Uri di mana?""Di kampung sebelah.""Yang juragan sayuran itu bukan? Oh iya saya tahu rumahnya. Saya juga tadi di suruh ke sana sama bapak, mau memberikan surat undangan dari desa kepada para petani. Besok lusa di balai desa akan diadakan penyuluhan penggunaan insektisida dan pupuk baru."Gayatri menimang-nimang. Apa dirinya terima saja tawaran pulang bersama ini? Lumayan dirinya nanti tidak akan terlalu lelah karena naik kendaraan."Tri, ayo!" Bu Oom berada di belakang be
Gayatri menangis tersedu sambil menaburkan bunga ke atas permukaan air laut pelabuhan Bakauheni. Mengelap air mata yang membasahi pipinya, Gayatri mencium puncak kepala anak keduanya yang baru berusia dua tahun, sementara tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdiri di sampingnya yang baru berusia lima tahun.Bukan hanya Gayatri seorang saja yang menangis di sana, tetapi banyak orang-orang juga yang menangis sedih lantaran harus mengikhlaskan orang-orang terdekat dan yang dicintainya menghilang, pergi untuk selama-lamanya dan raganya tidak akan pernah ditemukan. Menghilang dalam gelap, dingin dan dalamnya lautan lepas.Sudah hampir dua pekan kapal feri yang mengangkut penumpang dari lampung menuju pelabuhan merak itu hilang. kabarnya kapal feri tersebut tenggelam di sekitaran Selat Sunda. Dari banyaknya penumpang kapal, hanya sekitar tujuh puluhan orang yang ditemukan, termasuk korban selamat yang hanya bisa dihitung dengan jari.Angin laut menerpa wajah Gayatri yang terlihat sang
Piring makan keramik itu terbang melayang kemudian jatuh ke atas lantai dapur dan pecahannya berhamburan ke mana-mana. Bu Nining sengaja melemparkan piring tersebut karena kesal pada Gayatri, pasalnya Gayatri tidak memasak masakan kesukaan Bu Nining dan Damilah. Hari ini Gayatri tidak masak karena tukang sayur keliling tidak dagang dan jika Gayatri berbelanja ke pasar, dirinya harus mengeluarkan uang tambahan untuk ojek karena jarak antara pasar dan rumahnya sangat jauh."Ibu sama Damilah itu bukan domba yang setiap hari harus makan hijau-hijauan." Bu Nining kembali melemparkan sendok dan gelas."Kamu mau bikin darah ibu makin naik gara-gara ibu harus memakan sayur daun singkong ini?""Bukan begitu, Bu...""Terus maksud kamu apa? Kamu jadi orang pelit banget! Kamu pikir kamu hidup di sini sama siapa? Rumah yang kamu tinggali ini awalnya tanahnya milik siapa? Siapa yang membiayai rumah ini pas dibangun, hah?"Bu Nining kembali mengungkit-ungkit perihal harta warisan yang memang sudah d
"Gayatri!!! Bangun!!! Mau sampai kapan kamu tidur terus, hah?! Jadi orang gak guna banget!"Gayatri membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya sangat pusing hingga pandangannya pun berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga dan memang memaksakan diri, Gayatri bangun dari tidurnya. Matanya melirik ke arah jam dinding berwarna cokelat kehitaman itu, ternyata sudah pukul lima pagi.Ghifari yang juga terbangun karena suara teriakan dari neneknya itu langsung berlari ke luar kamar, memberitahukan keadaan ibunya yang sekarang sedang sakit. Ghifari tahu karena tadi dirinya menyentuh pipi Gayatri yang suhunya cukup panas.Bu Nining masuk ke kamar, dengan wajah yang terlihat kesal, dirinya memarahi Gayatri meskipun tahu kalau menantunya itu katanya kurang enak badan."Kamu itu tidak usah manja. Jangan sakit! Ibu tidak mau mengurus kamu dan anak-anak kamu. Nyusahin aja!" Sebelum Bu Nining angkat kaki dari kamar, beliau menambahkan. "Sana pergi ke warung beli obat biar cepat sembuh. Kalau sakit itu
"Mbak Gayatri!" Darsa memanggil Gayatri yang hendak pulang sehabis babad tanah di kebun jagung yang baru ditanam dua minggu lalu."Ada apa, Den?"Darsa terdiam sebentar kemudian menjawab, "Kebetulan saya hendak ke rumah Pak RT Yoyo, rumahnya Mbak Gayatri satu RT kan dengan beliau? Bagaimana kalau Mbak Gayatri pulangnya bareng saya saja?""Tidak usah, Den. Terima kasih. Saya hari ini tidak akan langsung pulang ke rumah, saya akan mampir sebentar ke rumah Bu Uri." Gayatri menolaknya dengan senyuman tipis."Rumahnya Bu Uri di mana?""Di kampung sebelah.""Yang juragan sayuran itu bukan? Oh iya saya tahu rumahnya. Saya juga tadi di suruh ke sana sama bapak, mau memberikan surat undangan dari desa kepada para petani. Besok lusa di balai desa akan diadakan penyuluhan penggunaan insektisida dan pupuk baru."Gayatri menimang-nimang. Apa dirinya terima saja tawaran pulang bersama ini? Lumayan dirinya nanti tidak akan terlalu lelah karena naik kendaraan."Tri, ayo!" Bu Oom berada di belakang be
"Anak kamu bulan depan seharusnya masuk TK kan, Tri?" tanya Bu Oom. Gayatri mengangguk. "Iya, Bu. Tapi kata ibu mertua saya Ghifari katanya jangan dimasukkan ke TK, ibu sudah dari dulu berbicara seperti itu."Bu Oom menyeruput kopi hitamnya setelah itu ia mengambil sepotong goreng tahu isi dan memakannya. "Pikiran ibu mertua kamu itu memang terlalu kolot, terbelakang, heran deh.""Maaf ya, Tri, bukan bermaksud menyinggung. Tapi kayaknya kalau kamu nanti mau nikah lagi, Bu Nining gak bakalan setuju," ucap Bu Enah."Saya gak kepikiran mau nikah lagi, Bu. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan saya, janda anak dua. Tanggungannya banyak.""Kamu itu masih muda, Tri. Apalagi kamu cantik, pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu. Buktinya belum empat puluh hari suami kamu meninggal kan waktu itu ada yang datang menanyai kamu. Itu artinya dia memang tulus sama kamu juga anak kamu."Bu Oom mengangguk setuju. "Iya. Dan sepertinya anak Pak Lurah juga tertarik sama kamu, Tri."Gayatri
Gayatri menaburkan bunga ke atas air laut dermaga, ini sudah ke empat puluh harinya Hendar. Waktu memang tak terasa cepat berlalu, rasa-rasanya baru saja kemarin Hendar masih berada di sisinya, bermain dengan kedua anaknya, mengajaknya jalan-jalan dan lain sebagainya. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan, hanya tinggal rindu saja yang tersisa."Ibu, suatu hari nanti kita akan tinggal di seberang laut sana. Kita akan pergi naik kapal ferry dari sini ke pulau Jawa."Tangan Gayatri mengelus kepala Ghifari. Entah siapa yang mengajarkan Ghifari hal seperti itu. Semenjak kehilangan Hendar, cara berpikir Ghifari memang sedikit agak berbeda, pikiran dan ucapannya bahkan tindakannya sedikit agak seperti orang dewasa."Tunggu Ghifari besar, ya, Bu. Ghifari janji akan membahagiakan ibu dan tidak akan membuat ibu menangis juga bersedih lagi.""Terima kasih ya, Nak." Gayatri memeluk tubuh mungil Ghifari.Saat posyandu minggu kemarin, kedua anaknya memiliki berat badan yang tidak ideal. Hal itu d
Sudah beberapa hari ini Baiq sering sekali menangis tiba-tiba, apalagi setiap malam hari sampai subuh Baiq tidak pernah berhenti menangis dan sulit untuk tidur lagi. Dibujuk dengan berbagai cara tetap tidak mempan. Bu Nining yang terganggu dengan suara tangisan dari Baiq itu selalu marah-marah dan pernah mengusir Gayatri juga kedua anaknya karena terus-menerus mengganggu tidurnya."Mungkin Baiq teringat dengan ayahnya," ucap Bu Uri ketika Gayatri bercerita pada ibu juragan sayuran itu."Kadang Ghifari juga sering tiba-tiba ingat sama ayahnya.""Apa dulu Hendar ada keinginan yang belum tercapai untuk anak-anaknya?"Gayatri mencoba mengingat-ingat rencana jangka panjang yang dulu disusun oleh mereka berdua."Dulu sebelum Mas Hendar mau merantau ke Bandung, katanya nanti kalau sehabis lebaran mau khitanan Ghifari sama Baiq, sekalian akikah semuanya.""Begitu, ya?" Bu Uri mengangguk-angguk. "Kayaknya kedua anak kamu harus segera dikhitan, Tri.""Kira-kira biayanya berapa ya, Bu?""Waktu j
Setelah dua hari dirawat di puskesmas, Gayatri akhirnya sembuh dan pulang ke rumah. Selama Gayatri sakit, yang berjaga di puskesmas hanya Alin saja, sementara ibu mertua dan adik iparnya sama sekali tidak mengurusi Gayatri, mereka hanya datang menjenguk satu kali saja, itupun datang hanya sepuluh menitan saja, setelah itu mereka pulang.Kedua anak Gayatri menginap di puskesmas, mereka tidak mau satu rumah dengan nenek dan bibinya karena takut dimarahi seperti yang selalu dilakukan oleh Bu Nining. Apalagi Bu Nining itu orangnya tidak mau diberikan beban, dia tidak mau mengurus anak kecil yang sulit diatur dan hanya ingin main terus tanpa bisa patuh atau dibujuk.Melihat sikap ibu mertua dan ipar, darah Alin kembali mendidih. Alin tidak habis pikir kenapa ada seorang nenek yang sama sekali tidak sayang pada cucunya sendiri. Padahal cucunya ini bukan hasil dari zina, bukan pula pembawa aib atau petaka. Yang membuat Alin semakin marah itu yaitu ketika mengetahui kalau kartu ATM dan buku t
Tubuh Gayatri panas dan mengeluarkan keringat dingin. Di tengah malam yang sunyi ini Gayatri sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara karena karena menangis dalam diam. Dirinya merasa nelangsa karena sedang sakit tapi tidak ada yang mengurus, juga Gayatri tidak bisa mengurus kedua anaknya, sekarang anaknya ditelantarkan dan bahkan kedua anaknya tidak makan malam sama sekali karena dimarahi oleh neneknya.Gayatri memeras kompres yang sudah mendingin. Ia kembali berbaring sambil mengusap kepala anak-anaknya. Jika saja Gayatri masih memiliki kedua orang tua, mungkin hidup Gayatri tidak terlalu berat seperti ini. Dan andaikan saja ibu mertua serta iparnya berperilaku baik, hidupnya yang tinggal bersama di keluarga suami pasti tidak akan menderita.Pagi harinya tubuh Gayatri sudah agak mendingan meskipun suhu tubuhnya masih cukup panas tetapi kepalanya tidak terlalu berat dan pusing. Rutinitas paginya seperti biasa, masak dari jam empat subuh dan beres-beres rumah. Hari ini rencananya Gayat
"Gayatri!!! Bangun!!! Mau sampai kapan kamu tidur terus, hah?! Jadi orang gak guna banget!"Gayatri membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya sangat pusing hingga pandangannya pun berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga dan memang memaksakan diri, Gayatri bangun dari tidurnya. Matanya melirik ke arah jam dinding berwarna cokelat kehitaman itu, ternyata sudah pukul lima pagi.Ghifari yang juga terbangun karena suara teriakan dari neneknya itu langsung berlari ke luar kamar, memberitahukan keadaan ibunya yang sekarang sedang sakit. Ghifari tahu karena tadi dirinya menyentuh pipi Gayatri yang suhunya cukup panas.Bu Nining masuk ke kamar, dengan wajah yang terlihat kesal, dirinya memarahi Gayatri meskipun tahu kalau menantunya itu katanya kurang enak badan."Kamu itu tidak usah manja. Jangan sakit! Ibu tidak mau mengurus kamu dan anak-anak kamu. Nyusahin aja!" Sebelum Bu Nining angkat kaki dari kamar, beliau menambahkan. "Sana pergi ke warung beli obat biar cepat sembuh. Kalau sakit itu
Piring makan keramik itu terbang melayang kemudian jatuh ke atas lantai dapur dan pecahannya berhamburan ke mana-mana. Bu Nining sengaja melemparkan piring tersebut karena kesal pada Gayatri, pasalnya Gayatri tidak memasak masakan kesukaan Bu Nining dan Damilah. Hari ini Gayatri tidak masak karena tukang sayur keliling tidak dagang dan jika Gayatri berbelanja ke pasar, dirinya harus mengeluarkan uang tambahan untuk ojek karena jarak antara pasar dan rumahnya sangat jauh."Ibu sama Damilah itu bukan domba yang setiap hari harus makan hijau-hijauan." Bu Nining kembali melemparkan sendok dan gelas."Kamu mau bikin darah ibu makin naik gara-gara ibu harus memakan sayur daun singkong ini?""Bukan begitu, Bu...""Terus maksud kamu apa? Kamu jadi orang pelit banget! Kamu pikir kamu hidup di sini sama siapa? Rumah yang kamu tinggali ini awalnya tanahnya milik siapa? Siapa yang membiayai rumah ini pas dibangun, hah?"Bu Nining kembali mengungkit-ungkit perihal harta warisan yang memang sudah d
Gayatri menangis tersedu sambil menaburkan bunga ke atas permukaan air laut pelabuhan Bakauheni. Mengelap air mata yang membasahi pipinya, Gayatri mencium puncak kepala anak keduanya yang baru berusia dua tahun, sementara tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdiri di sampingnya yang baru berusia lima tahun.Bukan hanya Gayatri seorang saja yang menangis di sana, tetapi banyak orang-orang juga yang menangis sedih lantaran harus mengikhlaskan orang-orang terdekat dan yang dicintainya menghilang, pergi untuk selama-lamanya dan raganya tidak akan pernah ditemukan. Menghilang dalam gelap, dingin dan dalamnya lautan lepas.Sudah hampir dua pekan kapal feri yang mengangkut penumpang dari lampung menuju pelabuhan merak itu hilang. kabarnya kapal feri tersebut tenggelam di sekitaran Selat Sunda. Dari banyaknya penumpang kapal, hanya sekitar tujuh puluhan orang yang ditemukan, termasuk korban selamat yang hanya bisa dihitung dengan jari.Angin laut menerpa wajah Gayatri yang terlihat sang