"Gayatri!!! Bangun!!! Mau sampai kapan kamu tidur terus, hah?! Jadi orang gak guna banget!"
Gayatri membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya sangat pusing hingga pandangannya pun berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga dan memang memaksakan diri, Gayatri bangun dari tidurnya. Matanya melirik ke arah jam dinding berwarna cokelat kehitaman itu, ternyata sudah pukul lima pagi.Ghifari yang juga terbangun karena suara teriakan dari neneknya itu langsung berlari ke luar kamar, memberitahukan keadaan ibunya yang sekarang sedang sakit. Ghifari tahu karena tadi dirinya menyentuh pipi Gayatri yang suhunya cukup panas.Bu Nining masuk ke kamar, dengan wajah yang terlihat kesal, dirinya memarahi Gayatri meskipun tahu kalau menantunya itu katanya kurang enak badan."Kamu itu tidak usah manja. Jangan sakit! Ibu tidak mau mengurus kamu dan anak-anak kamu. Nyusahin aja!" Sebelum Bu Nining angkat kaki dari kamar, beliau menambahkan. "Sana pergi ke warung beli obat biar cepat sembuh. Kalau sakit itu jangan dirasa."Mencoba turun dari tempat tidur, tetapi kepalanya benar-benar berat membuat tubuh Gayatri terjatuh. Ghifari yang kebingungan itu melirik ke arah luar pintu dan ke arah ibunya. "Ibu tidur lagi. Ibu sakit, kan?" tanyanya pelan.Dengan sigap Ghifari membuka laci dan mengambil satu lembar uang lima ribu kemudian ia berlari menuju warung terdekat. Meskipun Ghifari takut keluar karena masih gelap, tetapi ia akan berpapasan dengan orang-orang yang pulang dari mesjid. Jadi dirinya tidak takut akan bertemu hantu atau penculik."Lho? Ghifari? Mamanya mana?" tanya Alin, anak pemilik warung."Ibu lagi sakit, Mbak. Badannya panas. Tadi juga pas bangun jatuh dari kasur.""Sakit? Ghifari ke sini sendirian?"Ghifari mengangguk pelan. "Iya.""Nenek sama Damilah ke mana?""Nenek marah, suruh ibu beli obat sendiri. Katanya ibu jangan sakit."Alin memberikan obat pada Ghifari. Setelah memberikan uang kembalian, Alin pamit pada ibunya yang baru saja datang ke warung. Alin akan mengantarkan Ghifari pulang dan sekalian menjenguk Gayatri.Bu Nining sedang sibuk di dapur, tidak menyadari kalau Alin datang ke rumah sambil menenteng kantong plastik kecil berisi bubur."Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot, Lin. Ibu juga bisa sendiri," ucap Bu Nining merasa tidak enak."Tidak apa-apa kok, Bu. Lagipula tadi sekalian saya antar Ghifari pulang soalnya kasihan dia takut nanti takut pulang sendiri apalagi sekarang masih gelap.""Anak ini dasar, padahal nanti bisa Damilah yang pergi ke warung buat beli obat, tapi malah dia duluan yang pergi gak bilang-bilang.""Saya ijin ke kamar Gayatri dulu, Bu Nining." Setelah memindahkan bubur ke piring, Alin langsung pergi ke kamar Gayatri dan memberikannya makan dan menyuruhnya untuk cepat meminum obat."Maafin aku nyusahin kamu ya, Lin," ucap Gayatri lirih."Gak apa-apa, Tri. Justru aku itu kasihan sama kamu, makanya aku datang. Tuh, Ghifari sampai bela-belain beliin obat buat kamu. Katanya dia gak mau kamu dimarahin terus sama Bu Nining." Alin menempelkan kain kompresan pada kening Gayatri. "Kamu mau ke dokter?"Gayatri menggeleng. "Gak usah, Lin. Nanti juga sembuh.""Nanti anak-anak kamu titipin lagi ke aku, ya. Kayaknya ibu mertua kamu mau pergi ke kebun lagi.""Iya. Kemarin bilang mau petik kapulaga. Nanti kalau aku udah mendingan mau nyusul ke sana.""Kamu gak perlu pergi ke sana, Tri. Kamu lagi sakit. Biarin aja mertua kamu ke kebun sendiri, toh hari ini hari Minggu, anaknya pasti libur, kan?" Alin terlihat kesal mendengar Gayatri yang selalu bela pada mertua menyebalkan itu."Damilah mana mau diajak kerja di kebun, Lin."Alin mengembuskan napas. Dirinya memilih untuk pergi karena tidak mau nanti penghuni rumah curiga dan menguping pembicaraan mereka. Alin juga tahu sedari tadi Damilah berdiri di balik tembok kamar. Untung saja Alin berbicara berbisik-bisik, jadi Damilah tidak akan bisa laporan kepada ibunya.***Pukul sepuluh pagi Gayatri sudah menyelesaikan pekerjaan rumah. Sedikit memaksakan diri meskipun pusing di kepalanya belum juga hilang, tetapi jika Gayatri terlihat bekerja itu akan cukup baik, mengingat di rumah masih berantakan karena jam enam pagi Bu Nining langsung pergi ke kebun sementara jam tujuh pagi Damilah sudah pergi main entah ke mana dan dengan siapa.Tukang sayur keliling juga sudah datang membawa pesanan Gayatri. Uang belanjaannya kurang dan terpaksa Gayatri mengutang, mengatakan pada tukang sayur itu jangan bilang-bilang ke Bu Nining kalau Gayatri punya utang.Setelah semua pekerjaan selesai, Gayatri langsung tidur. Dia tidak mencari Ghifari dan Baiq karena kedua anaknya itu tadi terlihat sedang bermain bersama Bu Mina, guru PAUD, yang meskipun hari Minggu, di rumahnya tetap ada aktifitas mengajar kala anak-anak didiknya ingin bermain atau belajar. Jadi terserah mereka mau yang mana. Seharusnya Ghifari juga sudah masuk PAUD, tetapi Bu Nining tidak mengijinkannya."Gayatri! Gayatri!"Suara ibu, batin Gayatri.Gayatri bangun dari tidurnya. Suara Bu Nining masih jelas terdengar. Ternyata sekarang sudah hampir pukul satu, Bu Nining sudah datang dari kebun sementara Gayatri belum masak nasi."Gayatri cepat angkat jemuran mau hujan! Jangan tidur terus! Bangun!!!"Hujan?Dengan tergopoh-gopoh, Gayatri berlari ke luar rumah dan membantu Bu Nining mengangkat jemuran. Hujan belum turun, baru saja mendung dan suara guntur terdengar dari kejauhan."Bisanya tidur mulu! Tidur terus! Sudah tahu mau hujan, malah enak-enakan tidur. Dasar, gak punya pikiran." Bu Nining melemparkan jemuran ke teras depan. "Ibu, kan, sudah bilang, kalau sakit itu jangan dirasa. Harus dilawan. Manja banget, sih, jadi orang. Sana pergi petik kapulaga. Ibu mau mandi dulu."Belum ada lima menit Bu Nining masuk ke rumah, Bu Nining berteriak karena Gayatri belum memasak nasi."Gayatri!!!"Gayatri menghela napas. "Iya, Bu? Ada apa?""Ada apa, ada apa. Cepat sini masak nasi! Sudah siang belum ada nasi juga. Sudah tahu ibu cape harusnya kamu masak, jangan semua pekerjaan ibu yang ngurus."Gayatri meninggalkan pekerjaannya. Ia berlari ke dapur untuk menanak nasi.Selesai mandi, Bu Nining kembali berteriak karena Gayatri tidak kunjung ke halaman depan membantunya memetik kapulaga."Gayatri! Kamu ini orangnya males banget. Kamu dari tadi ngapain aja? Kenapa kapulaga ini malah ditinggal bukannya dipetik, hah?""Kan saya lagi masak nasi, Bu. Ibu tadi yang nyuruh saya buat cepat-cepat masak nasi."Bu Nining terdiam. Malu mungkin karena sudah memarahi Gayatri.Tidak berapa lama Damilah datang, hujan juga mulai turun. Damilah pergi ke dapur untuk makan karena lapar, tetapi di dapur belum ada makanan sama sekali.Bu Nining yang tadi sempat tenang kembali marah dan meluapkan kekesalannya pada Gayatri."Cepat masak sana! Dari tadi kamu ngapain aja, sih? Anak-anak kamu ke mana? Kalau nitipin anak ke orang itu jangan lama-lama. Sana pergi jemput anak kamu sambil beli makanan sana. Nanti kita makan sama apa? Makan batu?"Gayatri mengambil payung dua. Tubuhnya mulai panas dingin lagi. Gayatri mencoba menguat-nguatkan tubuhnya supaya bisa sampai ke warung Alin. Tapi sayangnya, karena tubuhnya terlalu lemah dan lelah soalnya dari tadi pagi hanya makan bubur dan belum makan apa-apa lagi, tubuh Gayatri jatuh ke jalanan yang mulai becek. Gayatri pingsan akibat kelelahan.Tubuh Gayatri panas dan mengeluarkan keringat dingin. Di tengah malam yang sunyi ini Gayatri sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara karena karena menangis dalam diam. Dirinya merasa nelangsa karena sedang sakit tapi tidak ada yang mengurus, juga Gayatri tidak bisa mengurus kedua anaknya, sekarang anaknya ditelantarkan dan bahkan kedua anaknya tidak makan malam sama sekali karena dimarahi oleh neneknya.Gayatri memeras kompres yang sudah mendingin. Ia kembali berbaring sambil mengusap kepala anak-anaknya. Jika saja Gayatri masih memiliki kedua orang tua, mungkin hidup Gayatri tidak terlalu berat seperti ini. Dan andaikan saja ibu mertua serta iparnya berperilaku baik, hidupnya yang tinggal bersama di keluarga suami pasti tidak akan menderita.Pagi harinya tubuh Gayatri sudah agak mendingan meskipun suhu tubuhnya masih cukup panas tetapi kepalanya tidak terlalu berat dan pusing. Rutinitas paginya seperti biasa, masak dari jam empat subuh dan beres-beres rumah. Hari ini rencananya Gayat
Setelah dua hari dirawat di puskesmas, Gayatri akhirnya sembuh dan pulang ke rumah. Selama Gayatri sakit, yang berjaga di puskesmas hanya Alin saja, sementara ibu mertua dan adik iparnya sama sekali tidak mengurusi Gayatri, mereka hanya datang menjenguk satu kali saja, itupun datang hanya sepuluh menitan saja, setelah itu mereka pulang.Kedua anak Gayatri menginap di puskesmas, mereka tidak mau satu rumah dengan nenek dan bibinya karena takut dimarahi seperti yang selalu dilakukan oleh Bu Nining. Apalagi Bu Nining itu orangnya tidak mau diberikan beban, dia tidak mau mengurus anak kecil yang sulit diatur dan hanya ingin main terus tanpa bisa patuh atau dibujuk.Melihat sikap ibu mertua dan ipar, darah Alin kembali mendidih. Alin tidak habis pikir kenapa ada seorang nenek yang sama sekali tidak sayang pada cucunya sendiri. Padahal cucunya ini bukan hasil dari zina, bukan pula pembawa aib atau petaka. Yang membuat Alin semakin marah itu yaitu ketika mengetahui kalau kartu ATM dan buku t
Sudah beberapa hari ini Baiq sering sekali menangis tiba-tiba, apalagi setiap malam hari sampai subuh Baiq tidak pernah berhenti menangis dan sulit untuk tidur lagi. Dibujuk dengan berbagai cara tetap tidak mempan. Bu Nining yang terganggu dengan suara tangisan dari Baiq itu selalu marah-marah dan pernah mengusir Gayatri juga kedua anaknya karena terus-menerus mengganggu tidurnya."Mungkin Baiq teringat dengan ayahnya," ucap Bu Uri ketika Gayatri bercerita pada ibu juragan sayuran itu."Kadang Ghifari juga sering tiba-tiba ingat sama ayahnya.""Apa dulu Hendar ada keinginan yang belum tercapai untuk anak-anaknya?"Gayatri mencoba mengingat-ingat rencana jangka panjang yang dulu disusun oleh mereka berdua."Dulu sebelum Mas Hendar mau merantau ke Bandung, katanya nanti kalau sehabis lebaran mau khitanan Ghifari sama Baiq, sekalian akikah semuanya.""Begitu, ya?" Bu Uri mengangguk-angguk. "Kayaknya kedua anak kamu harus segera dikhitan, Tri.""Kira-kira biayanya berapa ya, Bu?""Waktu j
Gayatri menaburkan bunga ke atas air laut dermaga, ini sudah ke empat puluh harinya Hendar. Waktu memang tak terasa cepat berlalu, rasa-rasanya baru saja kemarin Hendar masih berada di sisinya, bermain dengan kedua anaknya, mengajaknya jalan-jalan dan lain sebagainya. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan, hanya tinggal rindu saja yang tersisa."Ibu, suatu hari nanti kita akan tinggal di seberang laut sana. Kita akan pergi naik kapal ferry dari sini ke pulau Jawa."Tangan Gayatri mengelus kepala Ghifari. Entah siapa yang mengajarkan Ghifari hal seperti itu. Semenjak kehilangan Hendar, cara berpikir Ghifari memang sedikit agak berbeda, pikiran dan ucapannya bahkan tindakannya sedikit agak seperti orang dewasa."Tunggu Ghifari besar, ya, Bu. Ghifari janji akan membahagiakan ibu dan tidak akan membuat ibu menangis juga bersedih lagi.""Terima kasih ya, Nak." Gayatri memeluk tubuh mungil Ghifari.Saat posyandu minggu kemarin, kedua anaknya memiliki berat badan yang tidak ideal. Hal itu d
"Anak kamu bulan depan seharusnya masuk TK kan, Tri?" tanya Bu Oom. Gayatri mengangguk. "Iya, Bu. Tapi kata ibu mertua saya Ghifari katanya jangan dimasukkan ke TK, ibu sudah dari dulu berbicara seperti itu."Bu Oom menyeruput kopi hitamnya setelah itu ia mengambil sepotong goreng tahu isi dan memakannya. "Pikiran ibu mertua kamu itu memang terlalu kolot, terbelakang, heran deh.""Maaf ya, Tri, bukan bermaksud menyinggung. Tapi kayaknya kalau kamu nanti mau nikah lagi, Bu Nining gak bakalan setuju," ucap Bu Enah."Saya gak kepikiran mau nikah lagi, Bu. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan saya, janda anak dua. Tanggungannya banyak.""Kamu itu masih muda, Tri. Apalagi kamu cantik, pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu. Buktinya belum empat puluh hari suami kamu meninggal kan waktu itu ada yang datang menanyai kamu. Itu artinya dia memang tulus sama kamu juga anak kamu."Bu Oom mengangguk setuju. "Iya. Dan sepertinya anak Pak Lurah juga tertarik sama kamu, Tri."Gayatri
"Mbak Gayatri!" Darsa memanggil Gayatri yang hendak pulang sehabis babad tanah di kebun jagung yang baru ditanam dua minggu lalu."Ada apa, Den?"Darsa terdiam sebentar kemudian menjawab, "Kebetulan saya hendak ke rumah Pak RT Yoyo, rumahnya Mbak Gayatri satu RT kan dengan beliau? Bagaimana kalau Mbak Gayatri pulangnya bareng saya saja?""Tidak usah, Den. Terima kasih. Saya hari ini tidak akan langsung pulang ke rumah, saya akan mampir sebentar ke rumah Bu Uri." Gayatri menolaknya dengan senyuman tipis."Rumahnya Bu Uri di mana?""Di kampung sebelah.""Yang juragan sayuran itu bukan? Oh iya saya tahu rumahnya. Saya juga tadi di suruh ke sana sama bapak, mau memberikan surat undangan dari desa kepada para petani. Besok lusa di balai desa akan diadakan penyuluhan penggunaan insektisida dan pupuk baru."Gayatri menimang-nimang. Apa dirinya terima saja tawaran pulang bersama ini? Lumayan dirinya nanti tidak akan terlalu lelah karena naik kendaraan."Tri, ayo!" Bu Oom berada di belakang be
Gayatri menangis tersedu sambil menaburkan bunga ke atas permukaan air laut pelabuhan Bakauheni. Mengelap air mata yang membasahi pipinya, Gayatri mencium puncak kepala anak keduanya yang baru berusia dua tahun, sementara tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdiri di sampingnya yang baru berusia lima tahun.Bukan hanya Gayatri seorang saja yang menangis di sana, tetapi banyak orang-orang juga yang menangis sedih lantaran harus mengikhlaskan orang-orang terdekat dan yang dicintainya menghilang, pergi untuk selama-lamanya dan raganya tidak akan pernah ditemukan. Menghilang dalam gelap, dingin dan dalamnya lautan lepas.Sudah hampir dua pekan kapal feri yang mengangkut penumpang dari lampung menuju pelabuhan merak itu hilang. kabarnya kapal feri tersebut tenggelam di sekitaran Selat Sunda. Dari banyaknya penumpang kapal, hanya sekitar tujuh puluhan orang yang ditemukan, termasuk korban selamat yang hanya bisa dihitung dengan jari.Angin laut menerpa wajah Gayatri yang terlihat sang
Piring makan keramik itu terbang melayang kemudian jatuh ke atas lantai dapur dan pecahannya berhamburan ke mana-mana. Bu Nining sengaja melemparkan piring tersebut karena kesal pada Gayatri, pasalnya Gayatri tidak memasak masakan kesukaan Bu Nining dan Damilah. Hari ini Gayatri tidak masak karena tukang sayur keliling tidak dagang dan jika Gayatri berbelanja ke pasar, dirinya harus mengeluarkan uang tambahan untuk ojek karena jarak antara pasar dan rumahnya sangat jauh."Ibu sama Damilah itu bukan domba yang setiap hari harus makan hijau-hijauan." Bu Nining kembali melemparkan sendok dan gelas."Kamu mau bikin darah ibu makin naik gara-gara ibu harus memakan sayur daun singkong ini?""Bukan begitu, Bu...""Terus maksud kamu apa? Kamu jadi orang pelit banget! Kamu pikir kamu hidup di sini sama siapa? Rumah yang kamu tinggali ini awalnya tanahnya milik siapa? Siapa yang membiayai rumah ini pas dibangun, hah?"Bu Nining kembali mengungkit-ungkit perihal harta warisan yang memang sudah d
"Mbak Gayatri!" Darsa memanggil Gayatri yang hendak pulang sehabis babad tanah di kebun jagung yang baru ditanam dua minggu lalu."Ada apa, Den?"Darsa terdiam sebentar kemudian menjawab, "Kebetulan saya hendak ke rumah Pak RT Yoyo, rumahnya Mbak Gayatri satu RT kan dengan beliau? Bagaimana kalau Mbak Gayatri pulangnya bareng saya saja?""Tidak usah, Den. Terima kasih. Saya hari ini tidak akan langsung pulang ke rumah, saya akan mampir sebentar ke rumah Bu Uri." Gayatri menolaknya dengan senyuman tipis."Rumahnya Bu Uri di mana?""Di kampung sebelah.""Yang juragan sayuran itu bukan? Oh iya saya tahu rumahnya. Saya juga tadi di suruh ke sana sama bapak, mau memberikan surat undangan dari desa kepada para petani. Besok lusa di balai desa akan diadakan penyuluhan penggunaan insektisida dan pupuk baru."Gayatri menimang-nimang. Apa dirinya terima saja tawaran pulang bersama ini? Lumayan dirinya nanti tidak akan terlalu lelah karena naik kendaraan."Tri, ayo!" Bu Oom berada di belakang be
"Anak kamu bulan depan seharusnya masuk TK kan, Tri?" tanya Bu Oom. Gayatri mengangguk. "Iya, Bu. Tapi kata ibu mertua saya Ghifari katanya jangan dimasukkan ke TK, ibu sudah dari dulu berbicara seperti itu."Bu Oom menyeruput kopi hitamnya setelah itu ia mengambil sepotong goreng tahu isi dan memakannya. "Pikiran ibu mertua kamu itu memang terlalu kolot, terbelakang, heran deh.""Maaf ya, Tri, bukan bermaksud menyinggung. Tapi kayaknya kalau kamu nanti mau nikah lagi, Bu Nining gak bakalan setuju," ucap Bu Enah."Saya gak kepikiran mau nikah lagi, Bu. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan saya, janda anak dua. Tanggungannya banyak.""Kamu itu masih muda, Tri. Apalagi kamu cantik, pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu. Buktinya belum empat puluh hari suami kamu meninggal kan waktu itu ada yang datang menanyai kamu. Itu artinya dia memang tulus sama kamu juga anak kamu."Bu Oom mengangguk setuju. "Iya. Dan sepertinya anak Pak Lurah juga tertarik sama kamu, Tri."Gayatri
Gayatri menaburkan bunga ke atas air laut dermaga, ini sudah ke empat puluh harinya Hendar. Waktu memang tak terasa cepat berlalu, rasa-rasanya baru saja kemarin Hendar masih berada di sisinya, bermain dengan kedua anaknya, mengajaknya jalan-jalan dan lain sebagainya. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan, hanya tinggal rindu saja yang tersisa."Ibu, suatu hari nanti kita akan tinggal di seberang laut sana. Kita akan pergi naik kapal ferry dari sini ke pulau Jawa."Tangan Gayatri mengelus kepala Ghifari. Entah siapa yang mengajarkan Ghifari hal seperti itu. Semenjak kehilangan Hendar, cara berpikir Ghifari memang sedikit agak berbeda, pikiran dan ucapannya bahkan tindakannya sedikit agak seperti orang dewasa."Tunggu Ghifari besar, ya, Bu. Ghifari janji akan membahagiakan ibu dan tidak akan membuat ibu menangis juga bersedih lagi.""Terima kasih ya, Nak." Gayatri memeluk tubuh mungil Ghifari.Saat posyandu minggu kemarin, kedua anaknya memiliki berat badan yang tidak ideal. Hal itu d
Sudah beberapa hari ini Baiq sering sekali menangis tiba-tiba, apalagi setiap malam hari sampai subuh Baiq tidak pernah berhenti menangis dan sulit untuk tidur lagi. Dibujuk dengan berbagai cara tetap tidak mempan. Bu Nining yang terganggu dengan suara tangisan dari Baiq itu selalu marah-marah dan pernah mengusir Gayatri juga kedua anaknya karena terus-menerus mengganggu tidurnya."Mungkin Baiq teringat dengan ayahnya," ucap Bu Uri ketika Gayatri bercerita pada ibu juragan sayuran itu."Kadang Ghifari juga sering tiba-tiba ingat sama ayahnya.""Apa dulu Hendar ada keinginan yang belum tercapai untuk anak-anaknya?"Gayatri mencoba mengingat-ingat rencana jangka panjang yang dulu disusun oleh mereka berdua."Dulu sebelum Mas Hendar mau merantau ke Bandung, katanya nanti kalau sehabis lebaran mau khitanan Ghifari sama Baiq, sekalian akikah semuanya.""Begitu, ya?" Bu Uri mengangguk-angguk. "Kayaknya kedua anak kamu harus segera dikhitan, Tri.""Kira-kira biayanya berapa ya, Bu?""Waktu j
Setelah dua hari dirawat di puskesmas, Gayatri akhirnya sembuh dan pulang ke rumah. Selama Gayatri sakit, yang berjaga di puskesmas hanya Alin saja, sementara ibu mertua dan adik iparnya sama sekali tidak mengurusi Gayatri, mereka hanya datang menjenguk satu kali saja, itupun datang hanya sepuluh menitan saja, setelah itu mereka pulang.Kedua anak Gayatri menginap di puskesmas, mereka tidak mau satu rumah dengan nenek dan bibinya karena takut dimarahi seperti yang selalu dilakukan oleh Bu Nining. Apalagi Bu Nining itu orangnya tidak mau diberikan beban, dia tidak mau mengurus anak kecil yang sulit diatur dan hanya ingin main terus tanpa bisa patuh atau dibujuk.Melihat sikap ibu mertua dan ipar, darah Alin kembali mendidih. Alin tidak habis pikir kenapa ada seorang nenek yang sama sekali tidak sayang pada cucunya sendiri. Padahal cucunya ini bukan hasil dari zina, bukan pula pembawa aib atau petaka. Yang membuat Alin semakin marah itu yaitu ketika mengetahui kalau kartu ATM dan buku t
Tubuh Gayatri panas dan mengeluarkan keringat dingin. Di tengah malam yang sunyi ini Gayatri sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara karena karena menangis dalam diam. Dirinya merasa nelangsa karena sedang sakit tapi tidak ada yang mengurus, juga Gayatri tidak bisa mengurus kedua anaknya, sekarang anaknya ditelantarkan dan bahkan kedua anaknya tidak makan malam sama sekali karena dimarahi oleh neneknya.Gayatri memeras kompres yang sudah mendingin. Ia kembali berbaring sambil mengusap kepala anak-anaknya. Jika saja Gayatri masih memiliki kedua orang tua, mungkin hidup Gayatri tidak terlalu berat seperti ini. Dan andaikan saja ibu mertua serta iparnya berperilaku baik, hidupnya yang tinggal bersama di keluarga suami pasti tidak akan menderita.Pagi harinya tubuh Gayatri sudah agak mendingan meskipun suhu tubuhnya masih cukup panas tetapi kepalanya tidak terlalu berat dan pusing. Rutinitas paginya seperti biasa, masak dari jam empat subuh dan beres-beres rumah. Hari ini rencananya Gayat
"Gayatri!!! Bangun!!! Mau sampai kapan kamu tidur terus, hah?! Jadi orang gak guna banget!"Gayatri membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya sangat pusing hingga pandangannya pun berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga dan memang memaksakan diri, Gayatri bangun dari tidurnya. Matanya melirik ke arah jam dinding berwarna cokelat kehitaman itu, ternyata sudah pukul lima pagi.Ghifari yang juga terbangun karena suara teriakan dari neneknya itu langsung berlari ke luar kamar, memberitahukan keadaan ibunya yang sekarang sedang sakit. Ghifari tahu karena tadi dirinya menyentuh pipi Gayatri yang suhunya cukup panas.Bu Nining masuk ke kamar, dengan wajah yang terlihat kesal, dirinya memarahi Gayatri meskipun tahu kalau menantunya itu katanya kurang enak badan."Kamu itu tidak usah manja. Jangan sakit! Ibu tidak mau mengurus kamu dan anak-anak kamu. Nyusahin aja!" Sebelum Bu Nining angkat kaki dari kamar, beliau menambahkan. "Sana pergi ke warung beli obat biar cepat sembuh. Kalau sakit itu
Piring makan keramik itu terbang melayang kemudian jatuh ke atas lantai dapur dan pecahannya berhamburan ke mana-mana. Bu Nining sengaja melemparkan piring tersebut karena kesal pada Gayatri, pasalnya Gayatri tidak memasak masakan kesukaan Bu Nining dan Damilah. Hari ini Gayatri tidak masak karena tukang sayur keliling tidak dagang dan jika Gayatri berbelanja ke pasar, dirinya harus mengeluarkan uang tambahan untuk ojek karena jarak antara pasar dan rumahnya sangat jauh."Ibu sama Damilah itu bukan domba yang setiap hari harus makan hijau-hijauan." Bu Nining kembali melemparkan sendok dan gelas."Kamu mau bikin darah ibu makin naik gara-gara ibu harus memakan sayur daun singkong ini?""Bukan begitu, Bu...""Terus maksud kamu apa? Kamu jadi orang pelit banget! Kamu pikir kamu hidup di sini sama siapa? Rumah yang kamu tinggali ini awalnya tanahnya milik siapa? Siapa yang membiayai rumah ini pas dibangun, hah?"Bu Nining kembali mengungkit-ungkit perihal harta warisan yang memang sudah d
Gayatri menangis tersedu sambil menaburkan bunga ke atas permukaan air laut pelabuhan Bakauheni. Mengelap air mata yang membasahi pipinya, Gayatri mencium puncak kepala anak keduanya yang baru berusia dua tahun, sementara tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdiri di sampingnya yang baru berusia lima tahun.Bukan hanya Gayatri seorang saja yang menangis di sana, tetapi banyak orang-orang juga yang menangis sedih lantaran harus mengikhlaskan orang-orang terdekat dan yang dicintainya menghilang, pergi untuk selama-lamanya dan raganya tidak akan pernah ditemukan. Menghilang dalam gelap, dingin dan dalamnya lautan lepas.Sudah hampir dua pekan kapal feri yang mengangkut penumpang dari lampung menuju pelabuhan merak itu hilang. kabarnya kapal feri tersebut tenggelam di sekitaran Selat Sunda. Dari banyaknya penumpang kapal, hanya sekitar tujuh puluhan orang yang ditemukan, termasuk korban selamat yang hanya bisa dihitung dengan jari.Angin laut menerpa wajah Gayatri yang terlihat sang