Gayatri menaburkan bunga ke atas air laut dermaga, ini sudah ke empat puluh harinya Hendar. Waktu memang tak terasa cepat berlalu, rasa-rasanya baru saja kemarin Hendar masih berada di sisinya, bermain dengan kedua anaknya, mengajaknya jalan-jalan dan lain sebagainya. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan, hanya tinggal rindu saja yang tersisa.
"Ibu, suatu hari nanti kita akan tinggal di seberang laut sana. Kita akan pergi naik kapal ferry dari sini ke pulau Jawa." Tangan Gayatri mengelus kepala Ghifari. Entah siapa yang mengajarkan Ghifari hal seperti itu. Semenjak kehilangan Hendar, cara berpikir Ghifari memang sedikit agak berbeda, pikiran dan ucapannya bahkan tindakannya sedikit agak seperti orang dewasa. "Tunggu Ghifari besar, ya, Bu. Ghifari janji akan membahagiakan ibu dan tidak akan membuat ibu menangis juga bersedih lagi." "Terima kasih ya, Nak." Gayatri memeluk tubuh mungil Ghifari. Saat posyandu minggu kemarin, kedua anaknya memiliki berat badan yang tidak ideal. Hal itu disebabkan gara-gara kurangnya makan dan kurang memakan makanan yang tinggi gizi juga protein. Petugas puskesmas yang memeriksa kedua anak Gayatri sempat heran dengan menurunnya berat badan yang cukup signifikan. "Ayo kita pulang." Ghifari mengangguk, sementara Baiq tertidur dipangkuan Gayatri karena lelah setelah perjalanan panjang yang mereka lalui. Sesampainya di rumah, Gayatri langsung membereskan belanjaan yang tadi sempat dibelinya. Kebanyakan yang Gayatri beli adalah kebutuhan dapur dan lauk pauk yang sudah matang milik Damilah. Ketika malam harinya saat keluarga Bu Nining hendak makan malam. Ibu mertua Gayatri itu berteriak dan marah-marah karena kesal gara-gara lauk yang hendak dimakannya hilang akibat diambil kucing liar yang masuk entah dari mana. Gayatri membantu Damilah mengejar kucing tersebut namun sayang, kucing itu sudah berlari keluar menjauh dari rumah karena takut kena pukul. "Itu kucing punya kamu, kan?" tanya Bu Nining. Kepala Gayatri menggeleng. "Bukan, Bu." Beberapa waktu lalu Gayatri memang mempunyai kucing, tetapi kucingnya sudah dibuang oleh Bu Nining karena dia tidak suka kucing, apalagi ketika melihat Gayatri memberi kucing makan, Bu Nining sangat benci dan pernah murka karena menurutnya Gayatri hanya membuang-buang makanan. "Awas saja ya kalau kamu melihara kucing lagi. Ibu usir juga kamu dari rumah ini." Gayatri hanya bisa diam. Padahal ini rumah miliknya tetapi ia diperlukan seperti orang asing. *** Baiq terbatuk-batuk saat malam hari ketika sedang tidur. Gayatri memeriksa suhu tubuh Baiq dan ternyata panas. Baiq demam dan juga terkena flu. Mungkin ini efek dari cuaca yang tidak menentu membuat imun di tubuh Baiq melemah. Gayatri pergi ke dapur untuk mengompres Baiq supaya agak baikan. Bu Nining bangun dan terlihat kesal mendengar suara batuk dari Baiq dan memarahi anak kecil itu supaya cepat tidur dan tidak mengganggu orang yang sedang beristirahat. Setelah batuk Baiq mulai mereda, Gayatri diam-diam membuka dompet lusuhnya dan menghitung uang miliknya hasil dari menjual sayuran tadi pagi. Uangnya sedikit cukup untuk memeriksa Baiq ke mantri, terpaksa Gayatri harus berjalan kaki karena kalau naik ojek uangnya tidak akan cukup. "Mau ke mana kamu?" tanya Bu Nining pada pagi harinya saat melihat Gayatri berpakaian rapi. "Pergi ke pak mantri, Bu. Mau periksa Baiq." "Jangan diperiksa! Gak usah! Buang-buang uang saja. Mending berobat pakai obat herbal saja, di belakang rumah, kan, banyak labu siam sama daun sirsak. Pakai itu saja. Kalau anak kecil kebanyakan makan obat kimia nanti buat tubuhnya jadi gak bagus. Anaknya jadi manja, gak kebal sama penyakit." Gayatri menarik nafas panjang. Mau tidak mau Gayatri menuruti perintah dari ibu mertuanya itu. Tiba-tiba seekor kucing datang entah dari mana. Bu Nining langsung emosi melihat kucing tersebut karena mengira kucing tersebut milik Gayatri, padahal bukan. Itu adalah kucing liar yang diam-diam selalu diberi makan oleh Gayatri. "Gayatri! Buang kucing itu, buang! Buang yang jauh." Bu Nining berteriak yang membuat para tetangga penasaran dengan kegaduhan tersebut. Gayatri mengambil kucing itu dan memasukkannya ke dalam karung. Gayatri pura-pura hendak membuangnya padahal ia membawa kucing tersebut menjauh dari rumah miliknya sekalian dirinya pergi ke rumah Pak Mantri untuk memeriksakan kondisi Baiq. "Kamu tunggu saja di sini, ya," ucap Gayatri pada kucing dua warna hitam putih seperti warna sapi itu. Kucing itu diam dan menggeletakkan tubuhnya di bawah pohon mahogani pinggir jalan. Jarak kebun tersebut dan rumah Gayatri tidak terlalu jauh, mungkin ada sekitar dua ratus meter jadi kucingnya tidak akan tersesat karena kucing tersebut adalah kucing liar yang sudah pasti sering berkeliaran keberbagai tempat. Sekitar satu jam setengah kemudian, Gayatri sudah pulang dari rumah Pak Mantri. Baiq juga sudah diberikan obat. Gayatri berharap anaknya itu cepat sembuh supaya Bu Nining tidak marah-marah terus karena Gayatri sulit bekerja di ladang jika Baiq sakit berkepanjangan. "Tri, itu ibu mertuamu kenapa lagi, sih? Dari pagi kedengarannya teriak-teriak terus," kata tetangga Gayatri yang rumahnya hanya terhalang dua rumah saja. "Saya kurang tahu, Bu. Memangnya kenapa?" tanya Gayatri. Hatinya sedikit tidak enak memikirkan apa yang nanti akan terjadi di rumah jika ibu mertuanya itu melihat dirinya. "Paling Bu Nining berantem lagi sama Bu Titi, kayaknya masih berebut perbatasan kebun itu, lho," ujar tetangganya yang lain. "Tri, lebih baik kamu jangan dulu ke rumah, deh. Kamu pergi ke mana dulu aja gitu. Ibu kasihan sama kamu, takutnya nanti kamu kena marah dari mertua durjana itu." Kepala Gayatri mengangguk paham, ia langsung balik badan dan pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar atau apa pun itu untuk menyibukkan diri. Menjelang siang Gayatri sudah pulang ke rumah. Dia menyimpan kayu bakar dan rumput di kandang kambing. Bu Nining juga sedang memetik buah cabai rawit. Kali ini Bu Nining tidak memarahi Gayatri karena sudah melihat Gayatri membawa hal yang memang sedang dibutuhkan. "Kucingnya kamu buang ke mana?" tanya Bu Nining. "Gayatri buang di dekat sawah, Bu." Tidak berapa lama kucing tersebut kembali datang. Bu Nining langsung emosi karena kucing tersebut menggigit seekor tikus dan membawanya masuk ke dalam dapur. "Katanya sudah kamu buang, kenapa kucingnya masih ada di sini, Tri?" "Gayatri gak tahu, Bu. Tapi seriusan kucingnya tadi sudah Gayatri buang." Tetangga Gayatri yang baru pulang dari sawah berhenti sebentar. "Kucing yang warnanya hitam putih itu, ya? Oh kalau kucing itu mah pernah saya buang juga. Tapi dia balik lagi, balik lagi aja terus. Sudah gak aneh." "Oh begitu ya, Bu? Aduh... ampun banget deh itu kucingnya bandel, kemarin saja kucingnya sudah mencuri lauk padahal saya lagi lapar belum juga dimakan sudah diambil. Bikin pusing, deh." Gayatri berhasil menangkap kucing itu yang masih menggigit tikus. Ia membawa kucing itu menjauh dari rumah dan membiarkan kucing itu memakan tikus yang sudah mati."Anak kamu bulan depan seharusnya masuk TK kan, Tri?" tanya Bu Oom. Gayatri mengangguk. "Iya, Bu. Tapi kata ibu mertua saya Ghifari katanya jangan dimasukkan ke TK, ibu sudah dari dulu berbicara seperti itu."Bu Oom menyeruput kopi hitamnya setelah itu ia mengambil sepotong goreng tahu isi dan memakannya. "Pikiran ibu mertua kamu itu memang terlalu kolot, terbelakang, heran deh.""Maaf ya, Tri, bukan bermaksud menyinggung. Tapi kayaknya kalau kamu nanti mau nikah lagi, Bu Nining gak bakalan setuju," ucap Bu Enah."Saya gak kepikiran mau nikah lagi, Bu. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan saya, janda anak dua. Tanggungannya banyak.""Kamu itu masih muda, Tri. Apalagi kamu cantik, pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu. Buktinya belum empat puluh hari suami kamu meninggal kan waktu itu ada yang datang menanyai kamu. Itu artinya dia memang tulus sama kamu juga anak kamu."Bu Oom mengangguk setuju. "Iya. Dan sepertinya anak Pak Lurah juga tertarik sama kamu, Tri."Gayatri
"Mbak Gayatri!" Darsa memanggil Gayatri yang hendak pulang sehabis babad tanah di kebun jagung yang baru ditanam dua minggu lalu."Ada apa, Den?"Darsa terdiam sebentar kemudian menjawab, "Kebetulan saya hendak ke rumah Pak RT Yoyo, rumahnya Mbak Gayatri satu RT kan dengan beliau? Bagaimana kalau Mbak Gayatri pulangnya bareng saya saja?""Tidak usah, Den. Terima kasih. Saya hari ini tidak akan langsung pulang ke rumah, saya akan mampir sebentar ke rumah Bu Uri." Gayatri menolaknya dengan senyuman tipis."Rumahnya Bu Uri di mana?""Di kampung sebelah.""Yang juragan sayuran itu bukan? Oh iya saya tahu rumahnya. Saya juga tadi di suruh ke sana sama bapak, mau memberikan surat undangan dari desa kepada para petani. Besok lusa di balai desa akan diadakan penyuluhan penggunaan insektisida dan pupuk baru."Gayatri menimang-nimang. Apa dirinya terima saja tawaran pulang bersama ini? Lumayan dirinya nanti tidak akan terlalu lelah karena naik kendaraan."Tri, ayo!" Bu Oom berada di belakang be
Sebuah mobil pickup berwarna putih yang dibelakangnya membawa sebuah motor matic keluaran terbaru berwarna hitam itu berhenti di depan rumah Bu Nining. Orang-orang yang saat itu kebetulan sedang berkumpul di rumah Bu Ariyanti sebagai tempat berkumpul khusus nasabah bank emok mengintip dari balik jendela karena penasaran siapa orang yang membeli motor baru itu. Tidak mungkin, kan, Bu Nining beli baru, soalnya keluarga dia sudah punya motor, masa beli lagi.Ibu-ibu itu langsung bisik-bisik, mencoba menebak-nebak siapa diantara mereka yang saat ini punya banyak uang hasil dari hmmm... sepertinya tidak usah disebutkan."Cari rumah siapa, Mas?" tanya Bu Ariyanti. Ibu-ibu yang sedang berkumpul itu semuanya langsung diam, siap menyimak."Saya sedang mencari rumahnya Bu Nining. Apa betul yang ini?" tanya mas-mas dari dealer motor itu sambil menunjuk rumah di depannya yang banyak tanaman apotek hidup dan bunga-bunga.Kumpulan ibu-ibu itu mengangguk. "Betul.""Ini beneran Bu Nining beli motor
Dari pukul tiga pagi Gayatri sudah sibuk di dapur. Hari ini ia akan memulai usaha berjualan gorengan keliling. Meskipun modalnya pas-pasan karena memakai uang gajian dari berkebun, tapi Gayatri tidak akan pesimis karena walaupun sedikit tetapi lama-lama jadi bukit. Alin juga sudah menawarkan untuk memberikan pinjaman tapi Gayatri menolaknya karena sekarang belum butuh, nanti kalau kepepet baru dia akan mengambil tawaran tersebut.Pukul lima pagi setelah selesai solat subuh Gayatri mulai berkeliling. Gayatri senang ketika ada tetangganya yang membeli. Sampai menjelang pukul enam lebih seperempat, gorengan Gayatri habis dan ia pun mulai pulang."Mana uang hasil jualan gorengan kamu?"Baru saja Gayatri membuka pintu dapur dirinya sudah dihadang oleh ibu mertuanya."Ada, Bu. Mau Gayatri simpan.""Gak usah disimpan, sini berikan semua uangnya pada ibu.""Untuk apa, Bu?"Bu Nining melotot. "Pakai nanya, lagi. Ya untuk uang bekal Damilah ke sekolah, untuk uang bensinnya juga. Ibu juga hari i
Damilah menghentikan motornya di tempat parkir pinggir ladang milik Pak Lurah. Ia duduk-duduk di atas motornya sambil memainkan ponsel. Darsa yang tadi memperhatikan dan lima belas menit sudah berlalu orang-orang yang bekerja di ladangnya pun sudah mulai pulang itu menghampiri Damilah, karena ini pertama kali dirinya melihat gadis yang berperawakan tinggi besar. Kalau Damilah memakai seragam sekolah menengah atas, pasti Darsa akan terkejut karena wajahnya sangat tidak nampak seperti seorang remaja."Cari siapa?" tanya Darsa.Damilah mengalihkan perhatiannya. Ia sempat terkesima melihat Darsa yang ternyata lebih tampan dari omongan orang-orang. Dengan tubuh yang tinggi ideal dan berisi karena sering berolahraga, kumis tipis, hidung mancung sedang, alis cukup tebal, mata lebar bulat dan kulit kuning langsat. Selain itu gaya rambut undercut membuat penampilannya sangat keren, bekerja di perkebunan sangat tidak cocok. Darsa cocoknya jadi model. Baru kali ini Damilah melihat Darsa secara l
"Dasar menantu tidak tahu diri!"Gayatri terkaget saat tiba-tiba Bu Nining melemparkan tas selempang ke arah Gayatri yang sedang membereskan piring yang sehabis dicuci."Ada apa, Bu?""Kamu keterlaluan! Tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Tidak tahu malu!"Bu Nining memukul Gayatri menggunakan serbet yang ada di meja makan."Dasar menantu sialan! Harusnya kamu tahu malu untuk tidak menggoda laki-laki lain. Ingat, Gayatri! Anakku yang menjadi suamimu jasadnya sampai sekarang belum ditemukan, kuburannya juga tidak ada. Dia baru meninggal beberapa bulan yang lalu tapi kamu malah kegatelan pada anaknya Pak Lurah. Harusnya kamu sadar diri, Tri. Adik ipar kamu masih gadis. Kenapa kamu tidak membiarkan Den Darsa untuk Damilah, hah?! Ibu malu melihat kelakuan kamu yang kegenitan pada para pemuda di desa ini! Memalukan!" Bu Nining terus-menerus memukul Gayatri dengan serbet.Damilah juga menyiramkan air pada wajah Gayatri saking kesalnya karena laki-laki incaran dirinya lebih memilih kakak i
"Gayatri! Beli sabun cuci sana!""Uangnya tidak ada, Bu."Bu Nining melotot galak. "Uang hasil kamu berjualan minggu lalu memangnya sudah habis? Kamu ini boros sekali!""Kan uangnya sudah dipakai untuk berbelanja keperluan dapur dan uang jajan sekolah Damilah, Bu. Gayatri sekarang, kan, tidak diijinkan jualan lagi apalagi bekerja."Bu Nining terdiam. Ia kemudian melemparkan uang lima ribu. "Sana beli, sekalian beli gula dan garam."Gayatri memungut uang tersebut kemudian pergi ke warung. Sepanjang jalan Gayatri terus menghela napas karena sudah malu terus-menerus mengutang ke warung.***Dua hari ini Gayatri diperbolehkan untuk kembali berjualan, tetapi tidak diijinkan bekerja di ladang milik Pak Lurah dan Bu Uri karena Bu Nining tahu kalau Darsa sering mengunjungi rumah keluarga Bu Uri jadi nantinya ia takut kalau Gayatri dan Darsa ketemuan diam-diam.Darsa juga sudah bertemu dengan Bu Nining tadi siang, ia sudah meminta maaf karena tidak tahu kalau Bu Nining adalah ibu mertua Gayatr
Gayatri mengelap keringatnya yang bercucuran karena hari ini cuacanya cukup panas. Beberapa kali juga Gayatri beristirahat di pinggir jalan saking tidak kuat membawa karung berisi rumput. Apalagi Gayatri dari pagi belum makan karena baru saja selesai membereskan rumah ia sudah dimarahi karena belum juga pergi ke sawah untuk mencari rumput. Gayatri mengganjal perutnya hanya dengan air minum dan buah pepaya matang yang entah punya siapa ia langsung mengambilnya dari pohon tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kemudian saat sedang ngaso dan bertemu dengan orang yang sedang babad di sawah, Gayatri ditawari gorengan dan ia mengambil tiga buah saja. Setelah cukup kenyang, ia kemudian melanjutkan aktifitasnya."Ada gosip terbaru lho, Tri," ucap Bu Emi.Gayatri yang tadinya hendak berangkat tidak jadi karena ingin tahu ada gosip apa. Wajar kalau Gayatri ingin tahu, hitung-hitung ia bisa berlama-lama di sini supaya kalau pulang nanti akan terlambat."Gosip apa, Bu?" tanya Gayatri penasaran."Den
"Minum dulu, Tri." Asti memberikan air hangat untuk Gayatri dan kedua anaknya.Gayatri baru saja sampai di Pelabuhan Merak setelah beberapa jam mengarungi lautan dari Pelabuhan Bakauheuni.Ya, benar, Gayatri sekarang berada di Pulau Jawa, ia tidak benar-benar pergi ke Batam sesuai apa yang dikatakan Alin pada keluarga Bu Nining dan para warga.Pelarian Gayatri ini dibantu oleh ketiga sahabatnya yang berada di Lampung, keluarga Bu Uri, Pak RT dan beberapa warga yang lain. Gayatri kabur dari rumah tepat pukul satu malam saat ibu mertuanya dan adik iparnya sedang tidur pulas. Sengaja Gayatri memilih waktu tersebut karena memang Gayatri sudah terbiasa bangun tengah malam, jadi kalau Bu Nining terbangun ia tidak akan curiga kalau menantunya itu sebenarnya sedang melarikan diri.Gayatri pergi menggunakan mobil pickup milik Bu Uri, sekalian Bu Uri mengantarkan sayuran ke pasar subuh. Perjalanan yang sangat menegangkan bagi Gayatri itu sekarang sudah selesai. Ia bisa bernapas lega dan hatinya
Sampai pukul tujuh pagi Gayatri dan kedua anaknya tidak kunjung datang juga ke rumah. Bu Nining sudah tidak enak duduk, tidak enak makan dan sebagainya. Ia terus saja mondar-mandir dan sesekali berdecak kesal, kepalanya terus menoleh ke arah jalan, siapa tahu nanti begitu Gayatri muncul, ia akan langsung memborbardir Gayatri dengan amukan yang meledak-ledak.Setengah jam kemudian, ada sebuah mobil pickup berwarna hitam yang sering digunakan untuk mengangkut hewan ternak berhenti di depan rumah Gayatri.Bu Nining mengerutkan keningnya kemudian menghampiri sopir dan seorang yang duduk di kursi penumpang."Lho, juragan Iwan. Mau ke mana?" tanya Bu Nining."Ini saya mau mengambil ternak milik Gayatri, Bu.""Ternak? Ternak apa?" Bu Nining terheran-heran."Kambing milik Gayatri. Kemarin lusa Gayatri menjual semua kambingnya ke saya. Dan hari ini saya mau mengambil semuanya termasuk ayam-ayam yang Gayatri pelihara.""Mengambil? Gayatri menjual kambing? Kok saya gak tahu? Juragan Iwan jangan
Darsa sudah melaksanakan pertunangan dengan anak Pak RW, tanggal pernikahan mereka juga sudah direncanakan dan kabar tersebut sekarang menjadi topik perbincangan hangat di antara para warga desa. Termasuk Bu Nining, dengan kesal ia membicarakan dua sejoli itu. Bahkan sampai saat ini Bu Nining selalu saja menyalahkan Gayatri atas gagalnya rencana mengenalkan Damilah pada Darsa.Pernah waktu kemarin saat kabar Darsa berpacaran dengan anaknya Pak RW, Bu Nining menyalahkan Gayatri dan memaki menantunya itu. Bu Nining juga sempat main tangan dan mulutnya berkata kasar saking emosinya. Ia juga selalu menyuarakan untuk Gayatri hengkang dari rumahnya. Ralat, ini sebenarnya rumah milik Hendar. Sertifikat dan SPPT juga atas nama Hendar. Meskipun ini adalah tanah warisan, tetapi biaya pembangunan rumah semuanya atas jerih payah Hendar dan Gayatri. Dan sekarang, Bu Nining merasa tidak ikhlas saat tanah warisannya itu diambil alih oleh Gayatri, istri sah dari anaknya. Karena memang Gayatri-lah yan
Gayatri mengelap keringatnya yang bercucuran karena hari ini cuacanya cukup panas. Beberapa kali juga Gayatri beristirahat di pinggir jalan saking tidak kuat membawa karung berisi rumput. Apalagi Gayatri dari pagi belum makan karena baru saja selesai membereskan rumah ia sudah dimarahi karena belum juga pergi ke sawah untuk mencari rumput. Gayatri mengganjal perutnya hanya dengan air minum dan buah pepaya matang yang entah punya siapa ia langsung mengambilnya dari pohon tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kemudian saat sedang ngaso dan bertemu dengan orang yang sedang babad di sawah, Gayatri ditawari gorengan dan ia mengambil tiga buah saja. Setelah cukup kenyang, ia kemudian melanjutkan aktifitasnya."Ada gosip terbaru lho, Tri," ucap Bu Emi.Gayatri yang tadinya hendak berangkat tidak jadi karena ingin tahu ada gosip apa. Wajar kalau Gayatri ingin tahu, hitung-hitung ia bisa berlama-lama di sini supaya kalau pulang nanti akan terlambat."Gosip apa, Bu?" tanya Gayatri penasaran."Den
"Gayatri! Beli sabun cuci sana!""Uangnya tidak ada, Bu."Bu Nining melotot galak. "Uang hasil kamu berjualan minggu lalu memangnya sudah habis? Kamu ini boros sekali!""Kan uangnya sudah dipakai untuk berbelanja keperluan dapur dan uang jajan sekolah Damilah, Bu. Gayatri sekarang, kan, tidak diijinkan jualan lagi apalagi bekerja."Bu Nining terdiam. Ia kemudian melemparkan uang lima ribu. "Sana beli, sekalian beli gula dan garam."Gayatri memungut uang tersebut kemudian pergi ke warung. Sepanjang jalan Gayatri terus menghela napas karena sudah malu terus-menerus mengutang ke warung.***Dua hari ini Gayatri diperbolehkan untuk kembali berjualan, tetapi tidak diijinkan bekerja di ladang milik Pak Lurah dan Bu Uri karena Bu Nining tahu kalau Darsa sering mengunjungi rumah keluarga Bu Uri jadi nantinya ia takut kalau Gayatri dan Darsa ketemuan diam-diam.Darsa juga sudah bertemu dengan Bu Nining tadi siang, ia sudah meminta maaf karena tidak tahu kalau Bu Nining adalah ibu mertua Gayatr
"Dasar menantu tidak tahu diri!"Gayatri terkaget saat tiba-tiba Bu Nining melemparkan tas selempang ke arah Gayatri yang sedang membereskan piring yang sehabis dicuci."Ada apa, Bu?""Kamu keterlaluan! Tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Tidak tahu malu!"Bu Nining memukul Gayatri menggunakan serbet yang ada di meja makan."Dasar menantu sialan! Harusnya kamu tahu malu untuk tidak menggoda laki-laki lain. Ingat, Gayatri! Anakku yang menjadi suamimu jasadnya sampai sekarang belum ditemukan, kuburannya juga tidak ada. Dia baru meninggal beberapa bulan yang lalu tapi kamu malah kegatelan pada anaknya Pak Lurah. Harusnya kamu sadar diri, Tri. Adik ipar kamu masih gadis. Kenapa kamu tidak membiarkan Den Darsa untuk Damilah, hah?! Ibu malu melihat kelakuan kamu yang kegenitan pada para pemuda di desa ini! Memalukan!" Bu Nining terus-menerus memukul Gayatri dengan serbet.Damilah juga menyiramkan air pada wajah Gayatri saking kesalnya karena laki-laki incaran dirinya lebih memilih kakak i
Damilah menghentikan motornya di tempat parkir pinggir ladang milik Pak Lurah. Ia duduk-duduk di atas motornya sambil memainkan ponsel. Darsa yang tadi memperhatikan dan lima belas menit sudah berlalu orang-orang yang bekerja di ladangnya pun sudah mulai pulang itu menghampiri Damilah, karena ini pertama kali dirinya melihat gadis yang berperawakan tinggi besar. Kalau Damilah memakai seragam sekolah menengah atas, pasti Darsa akan terkejut karena wajahnya sangat tidak nampak seperti seorang remaja."Cari siapa?" tanya Darsa.Damilah mengalihkan perhatiannya. Ia sempat terkesima melihat Darsa yang ternyata lebih tampan dari omongan orang-orang. Dengan tubuh yang tinggi ideal dan berisi karena sering berolahraga, kumis tipis, hidung mancung sedang, alis cukup tebal, mata lebar bulat dan kulit kuning langsat. Selain itu gaya rambut undercut membuat penampilannya sangat keren, bekerja di perkebunan sangat tidak cocok. Darsa cocoknya jadi model. Baru kali ini Damilah melihat Darsa secara l
Dari pukul tiga pagi Gayatri sudah sibuk di dapur. Hari ini ia akan memulai usaha berjualan gorengan keliling. Meskipun modalnya pas-pasan karena memakai uang gajian dari berkebun, tapi Gayatri tidak akan pesimis karena walaupun sedikit tetapi lama-lama jadi bukit. Alin juga sudah menawarkan untuk memberikan pinjaman tapi Gayatri menolaknya karena sekarang belum butuh, nanti kalau kepepet baru dia akan mengambil tawaran tersebut.Pukul lima pagi setelah selesai solat subuh Gayatri mulai berkeliling. Gayatri senang ketika ada tetangganya yang membeli. Sampai menjelang pukul enam lebih seperempat, gorengan Gayatri habis dan ia pun mulai pulang."Mana uang hasil jualan gorengan kamu?"Baru saja Gayatri membuka pintu dapur dirinya sudah dihadang oleh ibu mertuanya."Ada, Bu. Mau Gayatri simpan.""Gak usah disimpan, sini berikan semua uangnya pada ibu.""Untuk apa, Bu?"Bu Nining melotot. "Pakai nanya, lagi. Ya untuk uang bekal Damilah ke sekolah, untuk uang bensinnya juga. Ibu juga hari i
Sebuah mobil pickup berwarna putih yang dibelakangnya membawa sebuah motor matic keluaran terbaru berwarna hitam itu berhenti di depan rumah Bu Nining. Orang-orang yang saat itu kebetulan sedang berkumpul di rumah Bu Ariyanti sebagai tempat berkumpul khusus nasabah bank emok mengintip dari balik jendela karena penasaran siapa orang yang membeli motor baru itu. Tidak mungkin, kan, Bu Nining beli baru, soalnya keluarga dia sudah punya motor, masa beli lagi.Ibu-ibu itu langsung bisik-bisik, mencoba menebak-nebak siapa diantara mereka yang saat ini punya banyak uang hasil dari hmmm... sepertinya tidak usah disebutkan."Cari rumah siapa, Mas?" tanya Bu Ariyanti. Ibu-ibu yang sedang berkumpul itu semuanya langsung diam, siap menyimak."Saya sedang mencari rumahnya Bu Nining. Apa betul yang ini?" tanya mas-mas dari dealer motor itu sambil menunjuk rumah di depannya yang banyak tanaman apotek hidup dan bunga-bunga.Kumpulan ibu-ibu itu mengangguk. "Betul.""Ini beneran Bu Nining beli motor