Tengah malam Hanifa terbangun dengan keadaan yang sangat kacau. Rambut yang digerai sudah persis seperti singa. Sementara hampir seluruh permukaan tubuh bagian atasnya sudah dipenuhi dengan tanda merah akibat ulah usil gigi suaminya. Respati sekarang ini justru sedang tertidur dengan posisi tengkurap dan terdengar dengkuran halus. Tentu saja lelaki itu juga lelah lantaran lama sekali mencampuri sang istri. Hanifa bahkan sampai bergidik ngeri dan merasakan kebas di area pribadinya. Wanita itu turun dari ranjang dan pergi sebentar menuju kamar mandi untuk membilas tubuh sekaligus mengenakan daster sebagai penutup tubuh. "Ya ampun, Mas suami ganasnya kebangetan!" Rasanya, Hanifa ingin sekali menangis detik itu juga ketika melihat bagian lehernya sudah dipenuhi tanda kemerahan. Dia tidak mungkin mengenakan pakaian tertutup nantinya lantaran ini merupakan musim panas. Bisa dibilang aneh nanti oleh anggota keluarga lain. "Aku harus kasih pelajaran ini pada Mas Pati!" keluhnya seraya ke
Santi mendatangi rumah sakit tempat Abimana di rawat dengan tangisannya. Menangis di area rumah sakit tentu saja tidak akan ada yang merasa aneh. Ia memasuki ruangan sang anak dan di sana masih ada saudara serta keponakannya. "Loh, Mbak Santi kenapa?" tanya Ibu Latif seraya mendekat ke arah Kakak kandungnya. Sebenarnya Santi malu sekali bila harus mengatakan hal ini di depan saudaranya. Hanya saja, dia sudah tak bisa menahan semuanya. Abimana pun hanya diam saja lantaran terlalu malas bila harus bertanya ini dan itu pada sang Mama. Apalagi setelah ia dan Widya tinggal di kediaman Santi dan Banu. Kedua pasangan paruh baya itu selalu cerewet. "Itu Widya selingkuh sama Mas Bowo!" histeris Santi yang seketika membuat Abimana meneguk ludah dengan susah payah. Pada akhirnya, perselingkuhan itu terendus juga. Perselingkuhan yang bahkan mengakibatkan Abimana kecelakaan."Maksud Mama apa? Mana mungkin saudara Papa seperti itu?" hardik Banu sedikit emosi. Santi kembali menangis sesenggu
Widya baru saja pulang dari bekerja. Kali ini dia tidak langsung ke rumah sakit lantaran masih terlalu lelah setelah dipaksa melayani Bowo di kantor. Seperti biasa.Namun, sekarang ini dia merasa jika tatapan para tetangga sangat julid kepadanya. Dia baru saja turun dari motor ojek online, tapi dia seperti langsung diserbu oleh beberapa tatapan bengis. "Duh, si tukang jual diri sama Om-Om sudah pulang!" celutuk salah satu tetangga dengan nada julidnya. Widya menoleh dan menatap sinis ke arah orang tersebut. Dia mendelik tak suka dan berusaha untuk abai. Mulai berjalan lenggak lenggok untuk memasuki rumah minimalis itu. "Widya. Kamu kok masih punya muka sih tinggal di kompleks ini?" "Iya. Kami bahkan sudah tau bagaimana kebusukan kamu. Cih, mainnya sama Om-Om lagi. Mana ini Omnya Abimana yang katanya calonmu itu!"Deg!Jantung Widya berdetak dua kali lipat. Dia menatap bengis ke arah wanita yang baru saja mengatakan hal tersebut. Jangan bilang mereka tau yang sebenarnya terjadi? A
Widya memilih untuk mendatangi rumah sakit tempat Abimana di rawat. Di sana, sama sekali tak ada yang menyambut kedatangannya. Santi yang biasanya sangat menyayangi dirinya mendadak bungkam dan tak mau menyapa."Ngapain kamu ke sini lagi, hah?" bentak saudara Santi yang merasa tak terima jika keluarga kakaknya berantakan hanya karena perempuan ini. Sialan memang. "Aku mau ngomong sama Mas Abi dan Tante Santi. Boleh keluar dulu?" tanya balik Widya pada Latif dan Ibunya. Keduanya mendelik tak suka. Walau begitu, mereka tetap pergi dari ruangan itu supaya Santi bisa mengekspresikan kemarahannya. Di ruangan tersebut hanya tersisa tiga orang saja. Widya datang mendekati Abimana. Sebenarnya, lelaki itu jijik dengan calon istrinya. Namun, bukannya dia sama saja seperti Widya? Berhubungan tanpa adanya ikatan pernikahan. "Mas Abi. Papamu usir aku, Mas. Tolong bilang ke dia!" pinta Widya memelas seraya mengusap lembut tangan Abimana."Bagus kalau suami saya sudah mengusir kamu. Sekarang, tu
Hanifa merasa tersanjung dengan apa yang dia lihat di depan mata. Sekarang ini, dia sudah berada di dalam sebuah penginapan yang tempatnya sangat asri dan juga pemandangannya super indah. Hanifa sebelumnya memang tak mau bila harus menginap di hotel. Baginya, sama sekali tak ada sensasi indah yang menyatu dengan alam."Bagaimana? Suka, Dek?" tanya Respati seraya memeluk sang istri dari belakang. Lelaki itu memang senang sekali melakukan Physical touch pada sang istri. Baginya, ini adalah sebuah kesenangan tersendiri ketika dirinya menyentuh sang istri dengan sangat romantis. "Suka sekali, Mas. Terima kasih, ya.""Terima kasihnya sama Nenek dong, Sayang!" goda Respati yang di angguki oleh Hanifa. Dia akan membuktikan nanti jika Nenek Laksmi akan sangat menyayangi dirinya melebihi sayang wanita tua itu terhadap Respati. "Iya, nanti kalau pulang aku bakal peluk Nenek," balas Hanifa dengan senyuman yang mengembang. Respati pun bahagia ketika melihat sang istri yang sudah tak terlal
Hanifa tidak tau darimana suaminya belajar menggombal seperti tadi. Kata-katanya saja sangat manis dan bahkan bukan hanya dia saja yang tersipu malu melainkan para anak muda yang berada di dekat mereka tadi. "Mas, kamu itu belajar gombal begitu darimana, sih?" tanya Hanifa seraya terus berjalan memasuki area penginapan. Jangan lupakan jika tangannya terus bergelanyut manja pada tangan kekar sang suami. "Gombal apanya? Nyenengin hati istri itu dapat pahala loh, Yang!" kekeh Respati yang tak menyangka jika sang istri akan berpikiran seperti itu. Hanifa mendengus dan terus menempel pada suami tercinta. Dia sebenarnya masih tak percaya lantaran dulunya Respati ini tipe lelaki yang lumayan kaku dan suka berbicara formal. Sekarang justru berubah menjadi manis. "Masa sih? Aku kira cuma suka gombal!" kekeh Hanifa. "Nggak, Sayang. Mas bilang begitu juga karena sangat cinta sama kamu. Apa masih perlu bukti?" Tanya balik Respati.Sang istri menggeleng pelan. Dia rasa sudah cukup. Sudah din
Widya menangis tergugu ketika melihat rambutnya yang sudah pendek lantaran dipotong secara kasar oleh anak lelaki Bowo. Mereka sudah pergi dan kini tinggal Widya seorang diri.Wanita itu perlahan bangkit dan gegas mengenakan selendang untuk menutupi kepalanya. Dia akan pergi ke rumah sakit untuk memberitahukan perihal kehamilan ini pada Abimana. Semoga saja kekasihnya itu mau bertanggung jawab, meskipun pada kenyataannya ini adalah anak dari Bowo. "Mas Abi. Aku kapok selingkuh dari kamu. Maafkan aku," keluh Widya yang masih menangis tergugu seraya berjalan gontai keluar dari kamar hotel. Ia pergi menuju rumah sakit dan semoga saja semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan sama sekali. Sesampainya di sana, ternyata Abimana baru saja diperbolehkan untuk pulang. Alhasil, wanita itu sama sekali tak menemukan keberadaan Abimana di sana.Widya kembali menangis. Ia mengacak rambut pendeknya dengan frustasi. Merasa seolah takdir begitu kejam kepadanya. "Mas Abi. Kenapa kamu p
Suaminya memang sangat menyebalkan, tapi Hanifa berusaha untuk tetap sabar duduk di pinggir pantai seraya menatap lekat ke arah Respati. Sayangnya, ketika banyak sekali para perempuan datang mendekat, mendadak Hanifa panas bukan main. Dia menatap bengis ke arah suaminya yang juga sedang menatap ke arahnya. Setelahnya, wanita itu memilih untuk menoleh ke arah lain dengan wajah yang memerah. Respati tertawa geli. Dia sukses menjahili sang istri hingga membuat wanitanya kesal seperti itu. "Mbak. Boleh saya minta tolong, fotokan saya dengan lelaki ganteng di sana?" tanya seorang perempuan dengan pakaian yang super terbuka. "Lelaki di sini banyak, Mbak. Mau difotokan sama siapa?" tanya Hanifa sedikit ketus."Itu loh Mbak. Yang pakai celana pendek warna navy tanpa atasan. Tampan sekali dia, Mbak. Siapa tau saya bisa dekat sama dia terus dijadikan bini!" pekik perempuan itu merasa kegirangan setelah menunjuk ke arah Respati. Bibir Hanifa sudah merengut tak suka. Dia mengembalikan ponsel
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa