Widya yang melihat sosok tampan itu datang sontak saja membuat air liurnya sedikit menetes. Bahkan, wanita itu melupakan rasa sakit yang mendera perutnya akibat kekejaman Anisa. Anisa sendiri hanya bisa menghela napas ketika harus menghentikan aksinya. Dia menatap pelan ke arah Respati yang baru saja datang setelah sibuk di tempat fitness milik lelaki itu. "Kenapa Mama jadi kayak gini, sih?" omel Respati yang seketika membuat jantung Widya berdetak dua kali lipat. Wanita itu merasa jika suaminya Hanifa ini sedang membela dirinya. Tentu saja kesempatan ini harus dia gunakan sebaik mungkin untuk menarik simpati Respati. Siapa tau, lelaki itu kecantol dengan pesonanya. Tidak masalah jika lebih cantik Hanifa ketimbang dirinya. Asal dia bisa agresif saja sudah pasti lelaki berduit macam Respati akan tergoda. Begitulah pikir Widya. "Mas. Kita bisa jelasin—""Mas. Ibumu sama istrimu tiba-tiba nyerang aku. Padahal di sini tuh aku tamu. Aku cuma mau ambil tasnya Mas Abi yang ketinggalan!
"Mas. Kenapa nggak pernah bilang soal pembangunan rumah?" todong Hanifa ketika ia dan sang suami sudah memasuki salah salah satu unit apartemen mewah milik Respati.Bahkan, wanita itu baru tau jika sang suami memiliki apartemen seperti ini. Sungguh, ada begitu banyak hal yang ternyata belum diketahui Hanifa mengenai sang suami. "Harusnya ini kejutan buat kamu, tapi tadi saat di meja makan, Mas malah keceplosan. Bukan maksud Mas untuk menyembunyikan hal seperti ini ke kamu. Mas hanya ingin memberikan kejutan untuk istri Mas yang paling cantik ini." Respati mengusap lembut pipi Hanifa untuk menenangkan wanita itu. Ia takut jika sang istri akan berpikir buruk dan merasa tak dihargai karena pembahasan sebesar ini justru tidak diberitahu sebelumnya. Hanifa menghela napas. "Aku tinggal serumah dengan mertua pun nggak masalah, Mas. Yang penting ada kamu di dalamnya." Wanita itu hanya terlalu sayang dengan uang suaminya. Membangun rumah perlu biaya yang sangat besar.Terlebih lagi, dia tak
"Istri kedua?" tanya Respati dan Widya sontak saja mengangguk dengan heboh. "Kamu gimana, Sayang?" lanjut Respati yang kini sedang bertanya pada sang istri.Hanifa masih begitu santai menghadapi kekasih mantan suaminya ini yang makin ke sini semakin tak tau malu. "Ya terserah kamunya saja, Mas. Toh aku juga punya pilihan, menjadi satu-satunya atau mantan istri," balas Hanifa dengan santai. Respati pun terkekeh dan sontak saja langsung memberikan satu kecupan di pipi Hanifa. Sang empu yang diperlakukan seperti itu oleh suaminya pun mulai menyeringai puas ketika melihat Widya yang sedang menahan amarah. "Mas tidak mungkin membuang berlian seperti kamu hanya karena kerikil sungai, Sayang. Mas sama sekali tidak ada niatan untuk menikah lagi. Satu saja sudah lebih dari cukup. Mungkin nanti jika ada yang mendaftar, barangkali boleh kalau mendaftar jadi ART!"Mampus kau Widya. Hanifa sangat puas sekali ketika mendengar penuturan dari sang suami. Suaminya ini bukan seperti Abimana yang beg
"Hutangnya berapa? Angsurannya juga berapa?" tanya Abimana dengan wajah kusutnya. "Lima puluh juta. Setiap minggu harus bayar dua juta setengah!"Astaga. Uang dari mana itu? Abimana bahkan sudah tidak punya pekerjaan sekarang ini. Rasanya, lelaki itu ingin menangis kencang detik ini juga. Kenapa hidup selalu tak berpihak kepadanya?"Sebentar. Saya masuk ke dalam dulu!" ujar Abimana hingga membuat dua rentenir itu mengangguk.Wajah Abimana sudah tak bisa dikondisikan lagi. Dia berjalan dengan langkah lebarnya menemui Widya yang sudah gelisah tak karuan di ruang tamu. "Buat apa hutang lima puluh juta ke rentenir, hah?" tanya Abimana sarkas. "Buat perawatan, Mas. Sudah sana kamu bayar. Aku nggak mau keluar. Takut!" cicit Widya semakin membuat kadar emosi Abimana semakin meningkat.Tanpa ba bi bu lagi, lelaki itu langsung menarik kuat kalung emas yang Widya kenakan hingga membuat sang empu mengerang kesakitan."Mas Abi. Kamu apa-apaan, sih? Sakit, Mas!" pekik Widya yang tak dipedulikan
Hanifa mengedikkan bahu dengan acuh. Dia sama sekali tak merasa tersaingi oleh Widya yang sok sekali mengatakan ingin membeli emas melebihi dirinya. Wanita itu kembali sibuk memilih kalung emas yang ada di hadapannya. Sementara Widya langsung menarik kuat tangan Abimana supaya ikut mendekat ke arah Hanifa. Sang empu hanya bisa pasrah saja lantaran tak mau berdebat lagi. Dia harus menjaga martabatnya di depan Hanifa. Jangan sampai Hanifa merasa ilfeel pada dirinya. "Kamu mau yang mana, Sayang?" tanya Respati seraya memeluk pinggang Hanifa dengan posesif.Abimana yang melihatnya tentu saja kepanasan sendiri. Begitu juga dengan Widya yang merasa sangat iri. "Kayaknya yang ini saja, Mas. Tidak usah terlalu berat gramnya," balas Hanifa dan seketika Widya tertawa mengejek. "Di mana-mana itu perempuan kalau di suruh beli emas pilih yang super berat timbangannya. Emas bagus loh buat investasi di masa depan. Sayang banget lelaki tampan seperti Mas Pati justru dapat istri bodoh yang nggak
"Mas. Aku mau bulan madu kayak Hanifa. Sudah dibelikan satu set emas, mau di bawa bulan madu lagi!" rengek Widya yang begitu iri. Sayangnya, Abimana justru mendengus geli. Ada-ada saja kekasihnya ini. Halal saja belum, malah pengen bulan madu. "Sudah, jangan mikirin bulan madu. Kamu sana pergi ke dapur bantu Mama masak sekalian belajar. Aku masih menguatkan mental buat ikhlas kalau Hanifa bakal hamil anaknya Respati. Dengan begitu, aku bakal langsung ngerebut Hanifa dan menikahinya!" ujar Abimana dengan lesunya.Widya sontak saja mendengus dan langsung pergi menuju dapur kediaman kedua orang tua Abimana, karena memang semalam mereka menginap di sini. "Pas banget, calon mantu datang ke dapur. Sini bantu Tante buat kupas bawang!" Santi yang melihat keberadaan Widya pun langsung memekik penuh kesenangan.Kandidat menantu idaman bagi Santi masih dipegang kuat oleh Widya. Meskipun sang anak kerap kali mengeluh ini dan itu, tapi tetap saja wanita paruh baya itu masih terus ingin mempert
Hanifa mengerjapkan mata setelah hampir dua jam lamanya terlelap usai melayani sang suami di atas ranjang. Respati memang langsung merealisasikan ucapannya ketika mereka baru tiba di bandara beberapa jam yang lalu. Alhasil, baru sampai resort, lelaki itu langsung menyerang sang istri hingga membuat Hanifa kelelahan dan berakhir tertidur.Bangun-bangun dia sudah tak mendapati keberadaan sang suami. Gegas saja wanita itu berjalan tertatih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar setengah jam berlalu, Hanifa sudah siap dengan gaun satin tanpa lengan. Dia melihat sosok suaminya yang sedang berada di luar. Lebih tepatnya di area kolam renang yang berhadapan langsung dengan hamparan lautan.Senyum Hanifa mengembang. Gegas saja dia melangkahkan kakinya untuk mendekati sang suami."Selamat malam, Masku, Sayang!" sapa Hanifa seraya memeluk sang suami dari belakang. Tak lupa, wanita itu melabuhkan beberapa kecupan di pundak sang suami yang mana, lelaki itu sekarang ini sama sekali
Hanifa beberapa kali menghela napas ketika melihat pantulan dirinya di cermin. Sebentar lagi ia dan sang suami akan pergi ke tepi pantai dan outfit yang ia kenakan justru long dress berlengan panjang pilihan Respati. "Kenapa mukanya cemberut begitu, hm? Sudah cantik begini juga!" Respati datang dan langsung merengkuh erat tubuh Hanifa dari belakang. Lelaki itu mengamati penampilan sang istri yang menurutnya sangat cantik. "Masa mau ke pantai pakai kayak gini, Mas? Kayak mau ke kondangan saja pakai long dress!" gerutu Hanifa. Jangan lupakan, bibir wanita itu sudah merengut.Respati menghela napas. Lelaki itu lekas membalikkan tubuh sang istri hingga kini keduanya saling berhadapan. "Lihat Mas!"Hanifa yang merajuk bahkan justru menoleh ke arah samping. Enggan sekali untuk melihat wajah suaminya yang menurutnya sanga menyebalkan. "Sayang, lihat Mas dulu sini!" Respati memegang dagu sang istri hingga wajah cantik itu ia tolehkan dengan amat hati-hati supaya menatap ke arahnya. "Denga
"Mas. Malam ini aku boleh keluar sebentar?" tanya Hanifa setelah keluar dari kamar mandi. Wanita itu baru saja selesai mandi dan masih mengenakan jubah mandi. Respati yang tadinya sibuk memantau perkembangan pembangunan rumah yang tadi sempat di kirim oleh kepala proyek lewat video pun seketika mendongak."Mau ke mana? Mas bakal temani!" ujar Respati setelah meletakkan kembali gawai yang sejak tadi dia pegang. Hanifa terlihat sedikit gugup. Wanita itu ingat betul jika pesan yang tadi dia dapat, mengharuskan dirinya untuk keluar sendiri menemui si pengirim. Lantaran sang istri tak langsung menjawab, lelaki itu bahkan sampai memicingkan mata. Ia gegas mendekati Hanifa dan memojokkan sang istri di dinding dekat pintu kamar mandi. "Mas tanya, loh, Dek. Kenapa tidak dijawab?" heran Respati seraya menatap lekat wajah Hanifa yang kentara sekali sedang gugup."M-mau pergi sama teman—""Teman yang mana, Sayang? Coba kalau bicara itu tatap mata Mas. Mas pengen lihat!"Mau tak mau, Hanifa me
"Aduh, menantu Mama kok tambah cantik, sih?" Hanifa dan Respati baru saja pulang langsung di hadang oleh Anisa. Wanita paruh baya itu sangat terkesima dengan penampilan baru sang menantu. Wajahnya semakin cantik dengan warna rambut yang dirubah menjadi sedikit kecoklatan. "Cocok, tidak, Ma?" Bukan Hanifa yang bertanya melainkan Respati. Jika boleh jujur, lelaki itu rasanya semakin tergila-gila dengan kecantikan sang istri yang paripurna. Dia sama sekali tak bisa melirik ke arah wanita lain lantaran istrinya sendiri saja sudah sangat menggoda seperti ini. Berkat bantuan Kusuma, Hanifa benar-benar bisa merawat diri dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya sangat mulus. "Cocok sekali. Pokoknya kalau Nifa mau pergi ke luar, kamu sebagai suami harus ikut. Jangan sampai lelaki di luaran sana kepincut sama kecantikan menantu Mama!"Hanifa tersipu malu. Suami dan mertuanya ini sangat berlebihan dalam memuji dirinya. "Sudah, jangan dipuji lagi, Ma. Nanti aku besar kepala, loh. Ini
Hanifa keluar lebih dulu dan berjalan santai menuju ruang tunggu untuk menunggu kedatangan sang suami yang mungkin sebentar lagi akan sampai. Semerbak aroma harum dari tubuh Hanifa rupanya membuat fokus pria paruh baya yang tak lain adalah Bowo, pun mulai menoleh dan mendapati sosok wanita cantik yang sedang duduk di ujung. Bowo bahkan sampai membasahi bibir bawahnya ketika melihat pemandangan yang begitu sayang untuk di lewatkan. Namun, pria paruh baya itu merasa sangat familiar dengan wajah cantik itu. Seolah tak asing untuk dirinya. "Cantik. Sudah melakukan biaya administrasi?"Hanifa terkejut bukan main dan sontak saja menoleh. Tangannya mengarah pada dirinya sendiri seolah bertanya apakah dia yang sedang di ajak bicara atau bukan?"Iya kamu. Kalau belum, Om bisa bayarkan sekalian Om bayar punya teman Om! Bagaimana?" tawar Bowo dengan tatapan laparnya.Hanifa sampai bergidik ngeri. Dia tak menyangka jika mantan Papa mertuanya punya saudara yang menjijikkan seperti ini. "Om lup
Sesuai janji yang pernah di ucapkan oleh Respati atas usulan Anisa, lelaki itu membawa sang istri ke klinik kecantikan milik Kusuma. Jika dulu Hanifa bekerja di sini, maka sekarang wanita itu akan menikmati segala fasilitas di klinik tanpa menunggu traktiran dari mantan bosnya (Kusuma)"Mau ditunggu atau Mas boleh pergi sebentar?" tanya Respati pada sang istri.Hanifa tersenyum geli. Dia tak akan membiarkan suaminya sibuk menunggu dirinya yang perawatan. Sudah pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama. "Kamu pergi saja, Mas, kalau memang ada kerjaan atau urusan apapun. Nanti kalau aku sudah selesai bisa kamu jemput, atau naik taksi juga boleh!" "Jangan naik taksi! Mas akan jemput kamu. Nanti kabari saja, ya, Sayang!" Hanifa mengangguk seraya memejamkan mata ketika Respati memberikan kecupan di kening. Setelahnya, Respati langsung pergi dari klinik tersebut dan membiarkan sang istri melakukan serangkaian perawatan. Hari ini Kusuma tidak datang ke klinik, tapi sudah mengabari pad
Widya dengan terpaksa mengikuti langkah Abimana yang tengah mendekat ke arah penjual es teh di pinggir jalan. Wanita itu menatap jijik dan merasa tak nyaman."Pak. Es tehnya 1, ya!" ujar Abimana yang dibalas senyuman oleh penjual tersebut. Lelaki itu melirik ke arah Widya yang sudah merengut tak suka. Dia cukup paham jika gaya hidup kekasihnya ini sangat hedon. Bukan hanya dalam segi penampilan, tapi juga dengan makanan yang maunya makanan enak dan mahal. "Ini Mas pesanannya. Mbaknya tidak sekalian minum?" tanya penjual tersebut yang seketika membuat Widya mendelik."Maaf, ya, Pak. Saya anti minum minuman di pinggir jalan kayak gini!" balas Widya dengan angkuh.Untung saja si penjual sama sekali tak merasa tersinggung dan hanya menanggapi dengan senyuman teduh. "Harganya berapa, Pak?" tanya Abimana kalem."Lima ribu, Mas!"Abimana pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang tadi dia minta dari Widya. "Kembaliannya ambil saja, Pak!""Terima kasih, Mas. Semoga rezeki Mas meli
Di tengah kesunyian malam, kedua insan itu masih sibuk dengan kegiatan panasnya. Sang istri hanya bisa mengeluarkan suara merdunya sementara sang suami masih berpacu dan bergerak dengan liar."Mas. Aku capek ...," cicit Hanifa seraya mencengkram kuat bahu sang suami yang masih dengan gagahnya bergerak di atas tubuhnya seolah stamina dari lelaki itu tiada habisnya. "Sebentar, Sayang. Sebentar lagi Mas akan keluar!" bisik sang suami seraya melabuhkan beberapa kecupan hangat di kening dan leher. Hanifa hanya bisa pasrah menuruti segala kemauan sang suami. Wanita itu lelah, bahkan sangat lelah. Ingatkan besok untuk memberikan jeweran panas di telinga sang suami."Mas. Aku mau sampai!" jerit Hanifa yang berakhir terisak hebat. Dia tak kuat menerima serangan demi serangan kenikmatan dari sang suami. "Tahan sebentar. Kita keluar bersama!" tekan Respati membuat Hanifa geleng-geleng kepala.Hanya hitungan detik, mereka kembali mendapatkan pelepasan yang beradu menjadi satu, hingga kegelapan
Di sinilah kedua insan itu berada, di atas kapal layar yang sedang menyusuri sungai Seine. Respati sengaja membawa sang istri ke tempat yang tak kalah romantis ini supaya suasana hati Hanifa kembali membaik setelah tadi mengaku cemburu. Hanifa bahkan sudah melupakan rasa cemburunya tadi dan kini terus tersenyum memandang hamparan sungai tersebut dengan perasaan penuh haru. "Bagaimana perasaannya? Apa masih marah sama Mas?" tanya Respati penasaran dan dibalas gelengan oleh Hanifa. "Aku sayang kamu. Maaf kalau tingkahku tadi sangat kekanakan. Padahal niat kamu baik, Mas!" Hanifa menatap sendu ke arah suaminya yang kini hanya mengenakan kaos hitam saja, lantaran jaket besar lelaki itu sudah menutupi tubuhnya.Respati terkekeh dan tak lupa melabuhkan kecupan manis di pipi sang istri. Setelahnya, mereka duduk dengan posisi sang suami yang sedang mengukung tubuh istrinya dari belakang. "Mas justru suka kalau kamu seperti itu. Itu artinya, kamu cemburu!" bisik lelaki itu yang sejujurnya
Baru saja membuka pintu balkon, keduanya sudah disuguhi dengan pemandangan menara eiffel yang begitu memanjakan mata. Hanifa tersenyum sumringah seraya merentangkan tangan menikmati semilir angin yang berhembus di pagi hari. Respati yang tadinya berada di samping, kini langsung berpindah ke belakang tubuh sang istri. Memeluk wanitanya dengan begitu erat. Sang empu yang mendapat serangan mendadak pun justru memilih untuk menyenderkan tubuhnya di pundak sang suami."Mas. Aku bahagia, terima kasih banyak. Sekalinya ke luar negeri, aku bisa mengunjungi tempat indah seperti ini. Apalagi saat di Maldives lalu. Semuanya sangat indah." Suara Hanifa mendayu membuat Respati tersenyum lebar. "Tidak perlu berterima kasih. Sebisa mungkin Mas akan buat kamu bahagia, Sayang!" bisik lelaki itu seraya memberikan beberapa kecupan di pipi sang istri. Keduanya sama-sama menikmati moment indah lewat balkon hotel yang harga sewanya sangat fantasy. Beberapa saat kemudian, Respati dan Hanifa sudah siap
Hanifa sudah melupakan semua rasa sesak di dada ketika mengingat semua tentang kedua orang tuanya yang dengan tega membiarkan dia sendirian sejak kecil. Bahkan, wajah keduanya saja sudah wanita itu lupakan sejak lama.Sekarang, waktunya bersenang-senang untuk menikmati bulan madu dengan sang suami. Malam ini pun Hanifa berniat untuk menyenangkan sang suami. Wanita itu sudah berada di dalam kamar mandi dengan membawa satu set lingerie pemberian dari Kusuma. Lingerie kali ini ia pilih warna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang lumayan putih untuk ukuran orang Indonesia yang kebanyakan berkulit kuning langsat. Mungkin juga karena dia selalu rutin perawatan selama proses perceraiannya dulu sampai sekarang ini. "Dek. Masih lama di dalam kamar? Nanti masuk angin, loh!" Suara Respati menggema seraya tangannya sibuk mengetuk pintu kamar mandi.Lihatlah, hal sekecil ini saja Respati sudah bisa membuat Hanifa tersenyum cerah. Lelaki itu selalu bisa membuat jantung istrinya berdeta