Wajah Santi masam bukan main ketika mengingat ucapan dari Hanifa. Dia kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Penyesalan memang datang di akhir. Andai saja dulu dia tidak gegabah membawa Widya di antara Abimana dan Hanifa, mungkin saja sekarang ini hidupnya akan tentram dan damai lantaran anak semata wayangnya mendapatkan warisan besar. Sayang beribu sayang, semuanya sudah berakhir begitu saja. Dia kesal, karena sampai sekarang anaknya justru luntang lantung tak jelas. Sementara kandidat mantu terbaiknya justru melakukan hal brengsek yang sangat dia benci. "Mama kenapa?" tanya Abimana seraya duduk di sofa seberang dan menatap lekat ke arah Santi berada. Widya yang memang berada di rumah itu pun juga ikut bergabung dan kini justru menempeli Abimana. Mata Santi langsung sepat ketika melihat hal tersebut. "Mama pengen cepat gendong cucu, Abi. Kapan sih kamu nikah?" gerutu Santi kesal bukan main. "Sabar, Tan. Aku masih hamil, kalau aku sudah lahiran, baru bisa dinikahi sama Mas Abi." B
"Darimana?" tanya Respati dengan nada dingin ketika sang istri baru tiba di kontrakan. Lelaki itu sejak tadi sudah menunggu di rumah kontrakan ketika tadi sempat membaca pesan yang dikirim oleh Hanifa. Ia bahkan beberapa kali mencoba untuk menghubungi balik sang istri, tapi hasilnya nihil Alhasil, lantaran terlalu panik, Respati bahkan langsung pulang ke rumah kontrakan dan tidak mendapati keberadaan sang istri. Sudah sekitar satu jam menunggu, pada akhirnya yang ditunggu pulang juga. "Kan aku sudah kabari Mas," balas Hanifa seraya mendudukkan diri di kursi kayu."Mas ada kasih izin ke kamu, Dek?"Gleg!Hanifa meneguk ludah dengan susah payah. Dia bahkan baru sadar jika suaminya sekarang ini sedang marah pada dirinya. Astaga. "Yang penting, kan, aku sudah izin, Mas!" Hanifa berusaha bersikap santai, tapi dia justru semakin takut ketika mendengar decakan kesal yang keluar dari mulut sang suami. Jika sudah begini, wanita hamil itu harus berusaha keras untuk membujuk supaya sang sua
"Suami mana yang tidak cemburu, kalau ada lelaki yang mau dekati istrinya. Jika ada, berarti itu bukan Mas," ujar Respati dan Hanifa pun mengulum senyum."Dia cuma masa lalu aku, Mas. Sementara kamu masa depan aku. Masa cemburu sama masa lalu yang nggak ada apa-apanya, sih? Aku loh juga sudah hamil anak kamu. Ini buktinya, sudah mulai menonjol. Benih kamu loh tumbuh di rahim aku. Masa sudah begini, masih saja cemburu!" goda Hanifa yang sukses membuat Respati tersipu malu. Setelahnya, keduanya kembali saling berpelukan. Menikmati indahnya waktu bersama. ***Malam pun tiba, pasangan serasi itu memilih untuk pergi keluar menikmati udara segar. Hal ini juga dilakukan supaya Hanifa tidak bosan lantaran akhir-akhir ini hanya di dalam kontrakan saja. "Mau keluar ke mana si bumil cantik ini, hm?" bisik Respati ketika melihat dandanan istrinya yang super cantik. Wanita itu langsung tersipu malu. Tak menyangka jika dirinya akan mendapatkan suami pengertian seperti Respati. "Mau jalan-jalan
Hanifa berjalan mendekat ke arah stand penjual makanan. Dia harus gerak cepat supaya suaminya tidak ditempeli pelakor macam Widya. Jika dibiarkan begitu saja, sudah pasti Widya akan bertingkah seenaknya. "Mas Pati!" panggil Hanifa yang seketika membuat Respati menoleh. Lelaki itu terlihat terkejut dan gegas mendekat ke arah istrinya. "Kenapa ke sini, Sayang? Mas, kan, sudah bilang kalau tunggu saja di sana. Biar Mas yang antre!" ujar Respati penuh dengan kelembutan. Widya yang sejak tadi mendengar percakapan pasutri romantis itu pun langsung memutar bola mata dengan malas. "Aku mau temani kamu. Takutnya ditempeli sama pelakor, Mas!" Hanifa sengaja mengusap pundak suaminya seolah menghempaskan debu dan kotoran yang membandel. Hal itu tentu saja membuat Widya tersinggung bukan main. Emosinya hendak meledak, tapi sialnya mereka sedang berada di tempat umum dan tak memungkinkan dia untuk marah-marah tak jelas. "Mbak Wid, kamu di cari kekasihmu itu. Ditunggu loh! Ketimbang godain sua
Beberapa hari ini Respati sama sekali tak mau keluar dari kontrakan jika tidak bersama dengan sang istri. Lelaki itu seperti kapok bila harus meninggalkan istri cantiknya dan berujung ditemui dengan mantan suami dari wanita itu.Hanifa sampai heran sendiri. Di sisi lain, dia juga merasa sangat bersyukur karena mendapatkan lelaki yang sangat mencintai dirinya secara overdosis. "Mas nggak pergi ke tempat fitness lagi?" tanya Hanifa penasaran. Wanita itu sampai duduk mepet di samping sang suami. Respati menggeleng seraya memeluk erat pinggang sang istri. Bibirnya sudah maju mengendusi leher jenjang yang mulus itu. Hanifa hanya bisa menghela napas ketika mendapati keusilan sang suami yang tiada duanya."Kenapa nggak pergi ke sana, Mas? Biasanya saja aku di anggurin di kontrakan!" heran Hanifa yang suka sekali memancing Respati. "Malas mau ke sana. Sudah pasti si Widya ke sana. Dia mengganggu sekali." Respati langsung bicara jujur. Inilah moment yang ditunggu oleh Hanifa. Dia ingin ber
Tengah malam, Hanifa terbangun dan menatap penuh harap ke arah Respati yang bahkan masih tidur terlelap di sampingnya. Wanita itu sebenarnya tak tega membangunkan sang suami lantaran terlalu lelap dalam tidurnya. Hanya saja, dia sudah tidak bisa menahannya lagi. "Mas Pati. Bangun, Mas." Wanita itu mulai menggoyangkan tubuh sang suami. Berharap dengan ini, lelaki itu terbangun. Untungnya, Respati bukan tipe orang yang susah dibangunkan ketika sudah terlelap. Ia bahkan langsung terjaga dan menatap sayu ke arah istrinya berada. "Kenapa, Dek? Butuh sesuatu?" tanya Respati sayu dan masih setengah mengantuk. Hanifa memeluk erat tubuh suaminya. Entah mengapa, dia ingin bermanja ria dengan suaminya ini. Apalagi, ketika melihat wajah tampan itu, rasanya ingin terus memiliki dan menyatu bersama. "Aku mau minum susu ibu hamil, tapi Mama Anisa yang buatin. Pengen banget, Mas," rengek Hanifa seraya menunduk dalam. Dia takut sekali jika permintaannya ini tidak dituruti oleh sang suami. Terlebi
Widya menangis pagi-pagi sekali karena ngidamnya tidak dituruti oleh keluarga Abimana. Dia merasa sangat frustasi dan tak menyangka akan memiliki nasib seperti ini. Sudah hamil dengan suami orang, sama sekali tidak di akui dan berakhir menjadi aib keluarga kekasihnya. Bukan ini yang dia mau. Dia hanya ingin hidup bergelimang harta, tapi justru terjerumus lebih jauh dalam kemaksiatan dan dosa besar. "Wid. Kamu tidak bisa diam? Tante pusing dengar suara tangisan kamu!" pekik Santi emosi bukan main. "Aku cuma ngidam, tapi kalian nggak turuti apa kemauan aku!" pekik Widya yang tak terima dengan semua ini."Kamu pikir, kami punya banyak uang, hah? Kamu ini ngidam atau niat mau peras uang kami, hah? Sudah menumpang, tapi tidak tau diri sekali!" amuk Santi. Sungguh, ruang tamu rumah itu sudah dipenuhi dengan suara ribut dari dua wanita beda usia itu. Bahkan, para tetangga berbondong-bondong untuk menguping. Mereka seperti senang sekali ketika mendengar keributan yang diciptakan oleh Sa
Widya menatap sendu uang hasil penjualan anting emas miliknya. Dia merasa sudah persis seperti gembel yang tak mengenakan satu pun emas. Padahal, banyak orang di luaran sana yang belum tentu mampu membeli emas. Memang pada dasarnya Widya saja yang kebanyakan gaya dan gengsi. Bahkan, uang hasil penjualan itu sudah berpindah ke tangan Abimana. "Biar Mas yang bawa. Nanti sore kita cari kost. Sekarang kita pulang dulu buat beresin semua baju-baju kamu!" Abimana menggandeng tangan Widya untuk menuju ke parkiran motor.Yang dulunya ke sana kemari mereka akan menggunakan mobil, sekarang justru hanya menggunakan motor saja. Mana itu motor buntut. Widya merasa jika dia pernah menjadi Cinderella dan dalam sekejap kembali menjadi gadis biasa saja yang tak punya apa-apa. "Mas beneran aku di suruh ngekost?" tanya Widya yang masih tak rela dengan semua ini. "Ya kamu maunya gimana, Wid? Memangnya mau berurusan dengan polisi kalau sampai Papa beneran ngelaporin kamu?" tanya balik Abimana yang dib
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa