Andreas masih terlihat sangat kesal. Pria muda itu menyugar rambutnya dengan kasar. Embusan napasnya pun terdengar tidak beraturan.
"Jo tahu, mungkin Pak Andre menganggap bahwa ciuman barusan tidak berarti apa-apa untuk Bapak. Tapi bagi Jo, ini sangat berarti, Pak, karena ini adalah ciuman pertama Jo." Joana semakin tersedu.
Andreas sejenak memejamkan mata untuk meredam amarahnya. "Bukan seperti itu kejadiannya, Pak Kepsek. Tadi itu, Joana ...." Andreas menghentikan perkataan, ketika Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan agar pria berkacamata itu tidak melanjutkan bicara.
"Bapak juga meraba dada saya yang masih perawan, kan?" lanjut Joana, semakin mendramatisir keadaan. Air mata gadis itu bercucuran, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran.
"Lihat kancing baju saya, Pak Bernard. Pak Andre telah membukanya dan dia tadi, tadi ...." Joana yang masih tersedu, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Saya malu mengatakannya, Pak," lanjutnya dengan bahu berguncang. Nampak jelas bahwa gadis itu mengalami kesedihan yang mendalam.
Andreas nampak hendak kembali membuka suara, tetapi Pak Bernardus mendahuluinya. Guru dan siswi itu kemudian diminta untuk datang ke ruangannya.
"Saya tunggu kalian berdua di ruang saya, sekarang!" titah Pak Berbasrdus tak mau dibantah. Beliau kemudian segera berlalu dari sana.
Andreas hanya bisa mengembus kasar napasnya. Sementara Joana tertawa penuh kemenangan, tetapi hanya dalam hati saja. 'Saya pastikan, kali ini Bapak akan jatuh ke pelukan saya.'
'Hari ini, aku benar-benar sial! Tadi pagi ban motor tiba-tiba bocor dan sekarang, gadis ingusan itu berulah!' Andreas melirik tajam pada Joana.
Gadis belia yang sudah berhenti menangis itu pura-pura masih kesakitan. Dia tiup-tiup dadanya sendiri yang tadi ketumpahan teh yang cukup panas untuk menghindari lirikan tajam sang guru tampan. Sementara Andreas hanya bisa menatapnya dengan kesal.
"Ya, Tuhan. Andai aku punya murid seperti dia tiga saja, pasti hidupku enggak bakal tenang," gumam Andreas seraya mengusap kasar wajahnya.
"Kalian masih mau berbuat mesum di sana!" Suara berat Pak Bernardus dari ambang pintu, memaksa Andreas melangkah mengikuti sang kepala sekolah seraya menyeret lengan Joana.
"Katakan sejujurnya, apa yang terjadi di antara kita tadi pada pamanmu. Atau, aku akan membencimu seumur hidupku, Joana Andarista!" ancam Andreas dengan menyorot tajam.
Joana mencebik, tidak percaya dengan gertakan sang guru matematika. "Mana ada cowok yang bisa benci sama Jo yang imut ini, Pak Andreas Sayang," balas Joana dengan lirikan serta senyumannya yang menggoda.
Langkah Andreas yang hendak menuju ke ruang kepala sekolah terhenti kala ada yang memanggil namanya. Andreas buru-buru melepaskan tangan Joana. Guru muda berkacamata itu lalu menoleh ke arah sumber suara.
"Ada apa, Bu Jannet?" tanya Andreas.
Guru anggun yang seusia Andreas itu mengerutkan dahi. Merasa heran karena tiba-tiba melihat teman gurunya yang spesial di hati Jannet tersebut, berjalan dengan murid yang tidak Andreas sukai. Murid centil yang mengejar-ngejar guru matematika dan selalu Andreas hindari.
"Pak Andre mau ke mana? Belum mau pulang, kah?" Bukannya menjawab, Jannet malah melontarkan pertanyaan.
"Saya ada perlu dengan pak Kepsek, Bu Jannet. Kebetulan mengenai pelajaran matematika untuk kelas Joana," balas Andreas mencari-cari alasan.
Jannet mengangguk-anggukkan kepala, tetapi dengan tatapan curiga. Teman guru Andreas itu sepertinya tidak percaya begitu saja. Dia kemudian segera meneruskan langkah menuju parkiran, ketika Andreas dan Joana berlalu dari hadapannya.
Kini, Andreas dan Joana telah berada di dalam ruangan Pak Bernardus. Kepala sekolah yang disegani oleh semua guru dan siswa-siswi di sekolah swasta ternama tersebut. Andreas duduk dengan tidak nyaman di hadapan sang kepala sekolah karena dia tidak yakin bahwa Joana akan mengatakan dengan jujur.
Sementara Joana yang duduk di sampingnya, dalam hati tersenyum bahagia. Bayangan kemenangan untuk bisa mendapatkan sang guru idola, sudah ada di depan mata. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk mendapatkan cintanya.
"Sekarang, kalian bisa jelaskan kepada saya, apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Bernardus menatap guru dan murid itu bergantian.
"Maaf, Pak Kepsek. Bapak ingin mendengarkan penjelasan siapa dulu?" tanya Andreas yang tidak ingin berebut dengan Joana.
"Silakan. Pak Andre dulu, tidak apa-apa," sahut Joana seraya menoleh ke samping, di mana Andreas duduk dengan gelisah.
Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan, mempersilakan pada Andreas. Laki-laki berkumis tebal itu lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa dan siap mendengarkan. Netra keabuannya menatap lekat pada guru muda di hadapan.
"Tadi sewaktu saya baru masuk ke dalam ruangan usai jam belajar mengajar di kelas Joana, dia tiba-tiba ikut nyelonong masuk ke ruangan saya, Pak." Andreas memulai ceritanya seraya melirik Joana sekilas.
Guru matematika itu lalu menjelaskan secara rinci dan sedetail-detailnya. Tidak ada satu pun adegan yang terlewat, mulai dari ketika dirinya masuk ke ruangan yang ternyata diikuti oleh Joana. Setelah itu, tiba-tiba Joana memekik kecil karena siswi centil yang mengejar-ngejarnya tersebut ketumpahan teh panas tepat di bagian dada.
"Saya hanya reflek membantunya saja tadi untuk mengeringkan baju Joana, tapi tiba-tiba dia menarik tangan saya dan kami terjatuh di sofa, Pak Kepsek," terang Andreas yang kembali melirik Joana.
"Apa benar demikian, Joana?" Kini, tatapan kepala sekolah itu tertuju pada siswi yang terkenal paling cerdas di sekolah tersebut yang sekaligus merupakan keponakannya.
Gadis belia itu menggeleng cepat. Air mata Joana tiba-tiba mengalir deras membasahi pipinya. Joana terisak di tempat duduknya.
"Awalnya memang demikian, Pak Kepsek. Pak Andre memang membantu saya mengusap dada saya yang basah dengan sapu tangannya. Tapi lambat laun, tangan Pak Andre mulai nakal dan jujur itu membuat saya terlena. Saya nurut saja ketika Pak Andre membawa saya ke sofa," terang Joana di sela isakan kecil.
"Bohong! Dia ber ...."
"Biarkan Joana menyelesaikan penjelasannya dulu, Pak Andre!" Pak Bernardus menatap tajam sang guru matematika yang dibanggakan di sekolahnya itu.
"Silakan dilanjutkan, Joana!" titah sang kepala sekolah yang menatap iba pada Joana.
"Pak Andre menindih saya, Pak. Dia lalu mencium bibir saya dan mulai mencumbui saya," lanjut Joana. Tangis gadis berseragam putih abu-abu itu semakin pecah.
Andreas menggelengkan kepala. "Tidak demikian kejadiannya, Pak Kepsek!" elaknya, tegas.
"Mungkin bagi Pak Andre, ciuman dan cumbuan seperti itu adalah hal yang biasa, Pak Kepsek. Tapi bagi saya ...." Joana semakin mendramatisir tangisnya, hingga tangis itu terdengar begitu pilu dan menyayat hati.
Punggung gadis yang biasanya selalu ceria tersebut sampai berguncang. Menandakan bahwa kesedihan hatinya begitu dalam. Andreas yang mendengar tangis Joana hanya dapat menghela napas panjang.
"Saya merasa ternodai, Pak Kepsek," lanjut Joana, setelah tangisnya sedikit mereda.
"Joana! Kenapa kamu mengarang cerita dan sedari tadi terus menyudutkan saya, Jo!" Andreas nampak semakin kesal pada siswinya itu.
"Pak Kepsek. Anda sudah tahu reputasi saya seperti apa 'kan, Pak? Saya tidak mungkin melakukan hal yang di luar batas pada siswi saya sendiri, Pak!' Guru matematika itu menatap Pak Bernardus, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah.
"Saya memang tahu kalau selama ini Pak Andre adalah guru yang baik. Tapi apa yang saya lihat tadi, membuat saya menjadi ragu karena bisa saja 'kan, seseorang berbuat khilaf?" Pak Bernardus menatap guru muda itu lalu menghela napas panjang.
Ya, baginya sagala kemungkinan bisa saja terjadi. Berduaan di dalam ruangan bersama siswi cantik dan seksi, bisa saja membuat guru muda itu tergoda. Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh sang kepala sekolah.
"Yang Bapak lihat tadi tidak benar, Pak! Saya tidak bohong dan saya mengatakan yang sebenarnya!"
Andreas terus saja mengelak dengan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, tetapi pernyataan Joana yang berlawanan dengan keterangan guru matematika tersebut dan diucapkan sambil menangis, membuat kepala sekolah lebih memercayai siswi itu. Apalagi, Pak Bernardus juga melihat sendiri bagaimana tadi posisi mereka begitu intim. Ya, dari ambang pintu tempat kepala sekolah tadi berdiri, Andreas terlihat sangat menikmati ketika menindih tubuh Joana.
"Maaf, Pak Andre. Kali ini, saya tidak percaya pada Anda!" tegas kepala sekolah, membuat Andreas menyugar kasar rambutnya.
"Tapi saya benar-benar tidak melakukan apa pun pada Joana, Pak! Saya berani bersumpah!" tegas Andreas seraya melirik tajam pada Joana.
š¹š¹š¹
bersambung...
Melihat kemarahan Andreas, nyali Joana sedikit menciut. Dia yang awalnya begitu antusias bahwa akan bisa mendapatkan sang guru idola dengan cara menjebak seperti itu, kini memilih pasrah. "Tidak mengapa jika Pak Andre tidak mau mengakuinya, Pak Kepsek. Tidak mengapa juga jika Pak Andre tidak mau memertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi mulai hari ini, saya pamit keluar dari sekolah karena saya merasa malu jika bertemu dengan Pak Andre. Saya juga malu karena merasa sudah ternoda," isak Joana seraya menundukkan kepala.Andreas semakin frustrasi mendengar perkataan Joana. Sementara Pak Bernardus menghela napas berat. Kepala sekolah itu lalu menegakkan punggung dan wajahnya nampak sangat serius."Saya sebagai kepala sekolah di sekolah ini, sangat menyayangkan perbuatan amoral Pak Andre! Bapak itu seorang pendidik yang seharusnya memberikan contoh baik dan bukan malah melecehkan siswi sendiri! Dan sebagai bentuk pertanggung jawaban Anda pada Joana, juga demi tegaknya peraturan di sekolah
Bu Martha nampak termenung, setelah mendengar penjelasan sang putra. Sementara Ryan terlihat sedikit emosional dan merasa tidak terima sang abang diperlakukan demikian."Tidak masalah jika Ryan harus cuti dulu dan kemudian cari kerja mengumpulkan biaya buat kuliah Ryan, Bang," sahut Ryan kemudian yang tidak tega melihat sang abang harus menanggung semua sendirian.Andreas menggeleng cepat. "Tidak, Ryan! Selain karena keinginanmu, mendiang ayah juga menginginkan agar salah satu anaknya bisa menjadi dokter," tegas Andreas, melarang."Abang tidak dapat mewujudkan keinginan ayah karena saat itu, terbentur biaya. Sekarang, Abang bisa membiayai kamu dan kamu harus sungguh-sungguh belajar agar cepat selesai dan meraih gelar dokter seperti yang ayah dan Ibu inginkan," lanjut Andreas, seraya menatap sang adik. "Tapi, bagaimana dengan Abang? Maksud Ryan, masa depan rumah tangga Abang nantinya jika Abang menikah dengan ....""Jangan pikirkan tentang Abang, Ryan!" sahut Andreas. "Abang pasti bis
Waktu terus berjalan. Pagi berganti siang. Sore yang ditunggu Joana pun datang menjelang.Gadis belia itu nampak tengah mematut diri di dalam kamarnya. Bolak-balik Joana terlihat berganti pakaian, untuk memastikan bahwa penampilannya sempurna. Hal itu membuat sang Bibi yang memerhatikan dari ambang pintu, geleng-geleng kepala."Sudah, Jo. Kamu itu aslinya sudah cantik. Tidak perlu berdandan juga sudah cantik. Ayo, kita keluar. Takutnya, calon suami kamu sudah datang dan nanti kelamaan menunggumu di bawah," ajak Bi Liana, menghampiri sang keponakan."Bentar, Bi. Apa menurut Bibi, penampilan Jo sudah benar-benar bagus?" tanya Joana, memastikan.Adik kandung sang mama itu menganggukkan kepala. "Kamu cantik, Sayang," pujinya, tulus. "Tapi sebaiknya kamu mengenakan kulot dan blouse yang itu saja karena Pak Andre 'kan bawa motor." Wanita paruh baya tersebut menunjuk blouse berwarna salem yang tadi sudah dicoba oleh Joana.Joana menatap sang bibi, dengan
Ya. Setelah mengenalkan Joana pada sang ibu tadi, Andreas memang langsung pamit untuk ke kamar. Namun, hingga obrolan tersebut berlangsung lama, Andreas tidak juga muncul dan bergabung bersama mereka di ruang keluarga. Berbeda dengan Joana yang bersikap biasa saja karena sudah menyadari bahwa guru tampan itu memang tidak menyukainya."Kamu benar, Dik. Coba, kamu lihat abangmu sana. Takutnya, dia kenapa-napa," titah sang ibu kemudian, yang tidak ingin membuat Joana merasa diabaikan."Bang Andre capek kali, Bang Ryan," sahut Joana. "Birkan sajalah, Bang, jangan diganggu dulu. Nanti kalau mau mengantar Jo pulang, Bang Andre pasti keluar," lanjutnya yang kini ikut-ikutan memanggil Andreas dengan sebutan bang, seperti halnya Ryan.Perkataan Joana yang penuh pengertian pada sang putra, membuat Bu Martha tersenyum. "Tulus sekali hatimu, Nak."Ryan mengangguk membenarkan perkataan sang ibu. Sementara Joana tersenyum, tersipu malu."Kalau begitu, ibu mau me
Sejenak keheningan tercipta di kamar Andreas. Pria tampan itu mengenakan kacamata lalu kembali fokus dengan layar ponselnya. Sementara Ryan meneliti wajah sang abang seolah mencari kebenaran dari perasaan abangnya terhadap Joana."Bang Andre mau cari yang kayak gimana, sih?" tanya Ryan, mengurai keheningan."Abang sudah memiliki pekerjaan bagus. Bisa dibilang, sudah mapan, lah. Usia juga sudah pantas untuk menikah. Apa, karena Abang masih memiliki tanggungan untuk membiayai kuliah Ryan dan juga membiayai kami? Makanya, Abang berusaha untuk menutup diri dari Joana?"Andreas menggeleng. "Bukan karena itu, Dik. Abang juga tidak merasa terbebani sama sekali. Hanya saja, untuk saat ini abang memang belum memikirkan untuk menikah. Apalagi, menikah dengan gadis kecil seperti dia.""Siapa gadis kecil?" Pertanyaan Joana yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar Andreas, mengalihkan perhatian abang dan adik tersebut."Kamu. Siapa lagi, memang?" balas Andre
Hari begitu cepat berganti dirasakan oleh Andreas. Hal itu dia rasakan karena sebenarnya Andreas memang belum siap untuk menikah. Dia terpaksa harus menikahi Joana karena jebakan dari siswinya yang terkenal centil di sekolah.Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Joana. Bagi gadis belia itu, menunggu hari ini di mana pernikahannya akan dilangsungkan, terasa sangat lama. Tidak sabar rasanya, dia menunggu hari berganti petang dan pernikahan mereka berdua segera dilaksanakan.Sedari pagi, Joana telah memersiapkan diri dengan serangkaian perawatan untuk menyambut malam pertamanya. Malam panjang yang akan dia lewatkan dengan pria pujaan. Seorang guru muda yang menjadi idola di sekolahnya.Kini, Joana sedang dirias oleh mamanya sendiri yang memang pandai merias. Riasan tipis yang membuat Joana semakin terlihat anggun dan sedikit lebih dewasa dari usianya. Gadis belia itu menatap senang melihat hasil riasan sang mama."Bagus banget, Cik. Natural dan elegan," pu
Menyaksikan sang putra bergeming, wanita paruh baya itu lalu menuntun Joana dan Andreas masuk ke dalam gereja. Di sana keluarga besar dan Imam gereja sudah menyambut kedatangan calon mempelai berdua. Seremonial pemberkatan pernikahan pun segera dilangsungkan, sesuai permintaan pihak keluarga. Satu per satu acara berjalan dengan lancar. Setelah pendeta membacakan doa, Andreas lalu membuka veil yang menutupi wajah cantik Joana yang sekarang telah sah menjadi istrinya. Andreas nampak ragu, ketika hendak melakukan wedding kiss. Pria muda itu sejenak memejamkan mata lalu menghela napas panjang. Desakan dari para orang tua melalui sorot mata mereka yang menatap tajam pada Andreas, memaksanya mendekatkan wajah. Joana memejamkan mata ketika Andreas menempelkan bibir dan istri Andreas itu tersenyum dalam hati, seraya berharap banyak. Cukup lama Joana menanti, tetapi tidak ada tindakan apa-apa yang dilakukan oleh Andreas kepadanya. Pemuda itu hanya menempelkan bibir da
Suara petugas hotel yang mengantarkan mereka berdua, mengurai lamunan mesum Joana. Gadis belia itu kemudian merapatkan pejaman matanya."Silakan, Mas. Ini kamar untuk Mas Andre dan Nona Jo, seperti yang telah dipesan oleh Nyonya Anggie." Setelah membuka pintu kamar dengan lebar, seorang wanita cantik berseragam petugas hotel segera mempersilahkan Andreas untuk masuk ke dalam kamar luas tersebut."Saya permisi dulu, Mas Andre. Kalau butuh sesuatu, Mas Andre bisa telepon layanan customer," pamit petugas hotel tersebut, setelah menyimpan acses card ke tempat penyimpanan di samping pintu.Andreas hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pria itu lalu merebahkan tubuh Joana di atas ranjang empuk yang bertabur mawar merah. Andreas berdiri di samping ranjang sambil geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan takdir hidup yang harus dia jalani sekarang.Pria muda itu lalu melipat kedua tangan di dada. Tatapannya lurus tertuju ke arah Joana. 'Dia masih sanga
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan
Joana benar-benar merasa kesepian kini karena sang sahabat sudah memiliki kehidupan baru sekarang. Melanie juga mulai disibukkan dengan mengikuti kursus parenting, di sela-sela dia bekerja, dan rencananya Melanie juga akan mengikuti kelas senam untuk ibu hamil karena kehamilannya sudah mulai membesar. Praktis, Melanie tak lagi memiliki waktu untuk Joana.Hanya Bu Rifah yang masih setia berkunjung, meski Joana tak lagi memperbantukan istri Om Jun itu di unitnya. Joana memberhentikan Bu Rifah sebagai asisten rumah tangga, sejak mengetahui kehamilan ibunya Dino dan Dini. Joana tak ingin sesuatu terjadi pada kandungan istrinya Om Jun, seperti yang terjadi pada Joana kala itu."Kapan, ya, Bu, Jo bisa hamil lagi?"Wajah Joana terlihat murung, padahal di depannya ada Dina, yang biasanya membuat Joana antusias untuk menggoda gadis kecil yang montok itu. Dina sekarang sudah pandai berjalan dan tingkahnya sungguh menggemaska
Joana dan Andreas tak percaya ketika melihat Ryan menggandeng mesra tangan Dini, menghampiri mereka. Begitu pula dengan Ricky yang sedang menanti sang istri, yang tengah dirias oleh MUA. Mereka semua sampai melongo, menatap ke arah Ryan yang tersenyum lebar, sementara Dini tersipu malu."Bang, Kakak Ipar. Ini kekasihku, calon istriku. Ryan akan menikahinya, begitu dia lulus nanti," kata Ryan, sambil menggenggam erat tangan kekasih belianya. Ryan dapat merasakan tangan Dini yang gemetaran, juga berkeringat."Santai aja, Dek. Mereka pasti setuju, kok. Percayalah pada Abang," bisik Ryan, meyakinkan dan Dini mengangguk.Sebenarnya, Dini tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia tahu betul, seperti apa Joana, juga Andreas. Mereka tidak akan mempermasalahkan status sosial seseorang yang dekat dengan salah satu anggota keluarganya. Terbukti, Joana sendiri menikah dengan Andreas. Hari ini, Ricky juga menikahi Melanie y
Ricky dan Melanie memberanikan diri untuk berterus terang kepada orang tua mereka berdua. Tentu saja para orang tua itu murka, meski mereka juga sudah mengetahui sejauh apa hubungan anak-anaknya itu. Pihak orang tua pun akhirnya menyetujui pernikahan Ricky dan Melanie dan mereka juga mempersiapkannya dengan sangat cepat karena tak ingin orang-orang di luar sana tahu kecelakaan yang telah terjadi.Semua orang dibuat sibuk, termasuk Joana, dan Andreas. Joana sempat terkejut mendengar kabar kehamilan sang sahabat. Dia menjadi sedih karena justru Melanie yang notabene belum menginginkan hadirnya anak, justru diberikan amanah untuk mengandung benih Ricky. Sementara dirinya yang sudah sangat siap dan menginginkan agar bisa segera hamil, malah tak kunjung diberikan kepercayaan pasca keguguran tiga tahun silam.Joana pun membantu persiapan pernikahan sang sepupu dan sahabatnya itu dengan raut wajah yang dipenuhi mendung kelabu. Dia terus