Panas mentari yang menyengat, tidak menyurutkan langkah seorang wanita belia berseragam putih abu-abu menyusuri trotoar jalan. Sesekali, dia menendang batu kecil yang ada di hadapannya lalu tersenyum lebar. Entahlah, Joana merasa senang dan sedikit menghilang rasa sesak di dada, kala melakukan hal demikian.
Ya, wanita belia berambut panjang itu adalah Joana. Siang ini, setelah Joana mengalami kejadian yang membuat hatinya sakit di sekolah, dia lebih memilih berjalan kaki untuk pulang ke unit apartemen milik suaminya. Joana ingin melepas dan membuang semua kejengkelan, kemarahan, dan kecemburuan pada suami tercinta.
Wanita belia itu terlihat sangat menikmati perjalanannya siang ini. Sesekali dia berhenti dan ketika ada pengamen jalanan sedang bernyanyi, dia ikut bernyanyi. Wajahnya nampak sangat riang dan sama sekali tidak menunjukkan bahwa saat ini dia sedang terluka hati.
"Makasih, Kak, udah ikut bernyanyi bersama kami. Suara Kakak bagus, jadi mereka banyak kas
Setelah Joana berada di samping tempat tidur kecil, di mana seorang wanita kurus terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan, wanita belia itu lalu mengenalkan dirinya. "Ibu, perkenalkan. Nama saya Joana." Joana lalu menggenggam tangan kurus, ibu dari dua pengamen yang baru saja dia temui.Wanita kurus itu mengangguk lemah."Kita ke rumah sakit ya, Bu." Joana berkata masih sambil menggenggam tangan wanita tersebut. "Ibu jangan berpikir macam-macam. Semua biaya pengobatan Ibu, saya yang akan menanggungnya," lanjut Joana ketika wanita itu menggeleng."Dik, kalian cepatlah berkemas. Kita bawa ibu kalian ke rumah sakit sekarang," titah Joana yang kemudian beranjak untuk menelepon seseorang tanpa menghiraukan tatapan protes ibu dari dua pengamen remaja tersebut."Ba-baik, Kak," balas sang kakak dengan perasaan bingung, tetapi tetap mengikuti kemauan Joana.Joana lalu menghubungi orang kepercayaan sang mama yang ditugaskan untuk mengawasi dirinya selama
Tatapan Joana lalu tertuju pada nasi dan lauk yang sudah dingin dan masih utuh. Perlahan Joana beranjak lalu menyimpan makanan tersebut ke dalam almari penyimpanan di dapur. Meskipun Joana merasa lapar dan memang sedari siang perutnya belum terisi apa-apa, tetapi dia sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut.Joana lalu membuat teh hangat untuk sekadar mengganjal perut dan menghangatkan tubuh. Dia nikmati teh tersebut di balkon sambil merenung. Cukup lama wanita belia itu duduk di sana hingga rasa mual di perut memaksanya untuk kembali masuk.Wanita cantik itu mengayunkan langkah cepat menuju kamar mandi karena merasa ada sesuatu yang hendak keluar dari perutnya. Benar saja, Joana memuntahkan semua isi perut yang hanya berupa cairan berwarna kuning karena perutnya belum terisi apa-apa. Setelah memastikan tidak ada lagi yang bisa dia muntahkan, tertatih Joana melangkah menuju ranjang di sisi yang lain untuk merebahkan diri karena kepalanya terasa semakin nyeri.
Sekuat hati Joana menahan agar tidak menangis, tetapi air matanya tidak mau diajak berkompromi. Pertahanan diri yang dia jaga sekian lama, akhirnya runtuh pagi ini. Bagaimana pun, dia adalah seorang wanita dan usianya masih sangat belia. Wajar, jika Joana masih emosional dan meluapkan semua kesedihannya.Sementara di tempatnya duduk, Andreas terdiam. Di satu sisi, dia kasihan sama wanita belia yang saat ini tengah menangis sesenggukan. Di sisi yang lain, Andreas masih membenci Joana karena ulah siswinya itu Andreas kehilangan kesempatan untuk mendekati sang gebetan."Hampir jam tujuh, Jo. Aku harus segera berangkat. Terserah, bagaimana baiknya menurut kamu," kata Andreas yang terdengar dingin, seraya beranjak.Joana segera menyusut air matanya lalu ikut beranjak. "Jo akan tetap pulang ke apartemen Jo sendiri, Pak Andre. Terima kasih untuk pelajaran berharga yang telah Bapak berikan pada Jo selama ini. Semoga setelah kita berpisah, Pak Andre menemukan kebahagiaan
Joana lalu mengakhiri perbincangannya dengan sang paman. Dia sengaja tidak mengatakan pada pamannya bahwa selain memiliki masalah, Joana juga sedang tidak sehat. Wanita belia itu tidak mau membuat sang paman menjadi khawatir.Joana menghela napas lega, setelah menghubungi orang-orang yang dia sayang dan menyayangi dirinya. Dia bersyukur dibesarkan dalam keluarga yang memberikan kebebasan penuh pada anak-anak, tentunya kebebasan yang bertanggungjawab. Ya, keluarga besar Joana senantiasa mengajarkan pada anak-anak semenjak masih dini untuk bertanggungjawab terhadap apa pun yang mereka perbuat.Karena itulah, ketika Joana memutuskan untuk menikah di usia muda, orang tuanya pun tidak mempermasalahkan. Tentu segala risiko yang terjadi ke depan, Joana sendiri yang harus menanggungnya. Saat ini, Joana sedang belajar untuk bertanggungjawab atas keputusan yang sudah dia ambil kala itu, ketika dia menjerat Andreas dan menikah dengan pria yang tidak mencintainya."Kapan-ka
Joana yang jatuh pingsan segera mendapatkan pertolongan, setelah Om Jun minta tolong pada Dino untuk memanggilkan dokter. Wanita yang wajahnya pucat pasi tersebut, dibaringkan Om Jun di sofa ruang rawat Bu Rifah, ibunya Dino dan Dini. Setelah hampir setengah jam tidak sadarkan diri, Joana pun membuka matanya.Wanita cantik itu memindai sekitar dan Joana tersenyum, ketika melihat wajah gadis remaja berwajah manis tersenyum padanya. "Kakak sudah sadar?" Wajah Dini nampak berbinar senang. Sedari tadi, gadis remaja itu mengkhawatirkan Joana. Orang baik yang telah menolong ibunya."Kakak minum teh hangat dulu, ya." Dino pun maju dan menyodorkan segelas teh hangat pada Joana, ketika wanita cantik tersebut sudah duduk dengan menyandarkan punggung pada sandaran sofa."Apa tadi aku pingsan?" tanya Joana, setelah meminum sedikit teh hangat pemberian Dino dan kedua kakak-beradik tersebut menganggukkan kepala."Untung Om Jun sigap menangkap tubuh Kakak, jadi Kak Jo t
Orang kepercayaan sang mama itu tetap memaksa akan mengantarkan Joana hingga ke apartemen. Om Jun harus memastikan sendiri bahwa nona mudanya sampai tujuan dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Dia tentu tidak mau jika hal buruk terjadi dengan nona mudanya."Silakan, Nona." Setelah membukakan pintu bagian belakang, Om Jun lalu mempersilakan Joana untuk naik.Pria berbadan kekar tersebut mulai melajukan mobil besarnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin membuat sang nona muda yang kurang enak badan, merasa tidak nyaman. Om Jun terus memastikan kondisi Joana yang duduk di bangku belakang, melalui pantulan kaca spion depan.Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit karena kebetulan jalanan cukup lengang untuk ukuran kota Jakarta yang selalu padat, mereka pun tiba di kawasan apartemen mewah di mana unit milik Joana berada. Om Jun terus mengikuti langkah sang nona muda, menuju unit milik Joana di lantai teratas. Unit apartemen yang memiliki dua lan
Setelah buburnya matang, Melanie segera membangunkan Joana. Dia tidak mungkin membiarkan Joana tidur dalam keadaan perut kosong. Sebab, menurut keterangan Om Jun, Joana hanya makan bubur saja ketika di rumah sakit tadi dan itu sudah beberapa jam yang lalu."Jo, bangun." Melanie menepuk pelan pipi Joana. Setelah beberapa kali menepuk lembut pipi sang sahabat, Melanie akhirnya berhasil membangunkan Joana."Mel, kamu sudah sampai? Jam berapa sekarang?" tanya Joana seraya beringsut lalu menyandarkan punggung pada sandaran ranjang."Hampir jam tiga," balas Melanie seraya melihat jam di atas nakas. "Aku bolos enggak ikut ekskul karena buru-buru ingin segera sampai sini," lanjutnya.Joana menghela napas panjang. Mencoba mengurai rasa sesak di dada yang masih setia bertahta. Wanita belia itu seperti hendak berbicara, tetapi Melanie langsung mencegah."Jangan bicara apa-apa dulu. Sebaiknya kamu makan bubur buatan Chef Melanie dulu agar kamu kuat, Jo. Kuat u
Kedua sahabat itu sama-sama termenung. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Tiba-tiba saja Melanie senyum-senyum tidak jelas. Perubahan sikap Melanie, membuat Joana bertanya-tanya."Mel, kenapa? Apa sewaktu ketemu dengan pamanku tadi, Paman Ben melamar kamu untuk jadi menantunya?" goda Joana, membuat Melanie cemberut."Apaan, sih? Enggak lucu, ah!""Udah. Jangan pura-pura cemberut, gitu! Aku tahu, kok, kamu juga ada rasa 'kan, sama sepupuku itu?" Joana memainkan kedua alisnya naik turun, menggoda sang sahabat."Kenapa jadi aku, sih, Jo? Aku ke sini 'kan, mau bahas tentang kamu!" protes Melanie dan Joana terkekeh kemudian."Lebih asyik membahas tentang kamu, Mel, karena bikin aku tertawa," balas Joana seraya terkekeh senang dan hal itu membuat Melanie ikut tertawa."Asal kamu bahagia, Jo," kata Melanie."Oh ya, Jo. Tadi pagi sewaktu pelajaran olahraga, Pak Jordi nanyain kamu. Dia kayak enggak semangat gitu ngajarnya karena engga
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan
Joana benar-benar merasa kesepian kini karena sang sahabat sudah memiliki kehidupan baru sekarang. Melanie juga mulai disibukkan dengan mengikuti kursus parenting, di sela-sela dia bekerja, dan rencananya Melanie juga akan mengikuti kelas senam untuk ibu hamil karena kehamilannya sudah mulai membesar. Praktis, Melanie tak lagi memiliki waktu untuk Joana.Hanya Bu Rifah yang masih setia berkunjung, meski Joana tak lagi memperbantukan istri Om Jun itu di unitnya. Joana memberhentikan Bu Rifah sebagai asisten rumah tangga, sejak mengetahui kehamilan ibunya Dino dan Dini. Joana tak ingin sesuatu terjadi pada kandungan istrinya Om Jun, seperti yang terjadi pada Joana kala itu."Kapan, ya, Bu, Jo bisa hamil lagi?"Wajah Joana terlihat murung, padahal di depannya ada Dina, yang biasanya membuat Joana antusias untuk menggoda gadis kecil yang montok itu. Dina sekarang sudah pandai berjalan dan tingkahnya sungguh menggemaska
Joana dan Andreas tak percaya ketika melihat Ryan menggandeng mesra tangan Dini, menghampiri mereka. Begitu pula dengan Ricky yang sedang menanti sang istri, yang tengah dirias oleh MUA. Mereka semua sampai melongo, menatap ke arah Ryan yang tersenyum lebar, sementara Dini tersipu malu."Bang, Kakak Ipar. Ini kekasihku, calon istriku. Ryan akan menikahinya, begitu dia lulus nanti," kata Ryan, sambil menggenggam erat tangan kekasih belianya. Ryan dapat merasakan tangan Dini yang gemetaran, juga berkeringat."Santai aja, Dek. Mereka pasti setuju, kok. Percayalah pada Abang," bisik Ryan, meyakinkan dan Dini mengangguk.Sebenarnya, Dini tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia tahu betul, seperti apa Joana, juga Andreas. Mereka tidak akan mempermasalahkan status sosial seseorang yang dekat dengan salah satu anggota keluarganya. Terbukti, Joana sendiri menikah dengan Andreas. Hari ini, Ricky juga menikahi Melanie y
Ricky dan Melanie memberanikan diri untuk berterus terang kepada orang tua mereka berdua. Tentu saja para orang tua itu murka, meski mereka juga sudah mengetahui sejauh apa hubungan anak-anaknya itu. Pihak orang tua pun akhirnya menyetujui pernikahan Ricky dan Melanie dan mereka juga mempersiapkannya dengan sangat cepat karena tak ingin orang-orang di luar sana tahu kecelakaan yang telah terjadi.Semua orang dibuat sibuk, termasuk Joana, dan Andreas. Joana sempat terkejut mendengar kabar kehamilan sang sahabat. Dia menjadi sedih karena justru Melanie yang notabene belum menginginkan hadirnya anak, justru diberikan amanah untuk mengandung benih Ricky. Sementara dirinya yang sudah sangat siap dan menginginkan agar bisa segera hamil, malah tak kunjung diberikan kepercayaan pasca keguguran tiga tahun silam.Joana pun membantu persiapan pernikahan sang sepupu dan sahabatnya itu dengan raut wajah yang dipenuhi mendung kelabu. Dia terus