“Percayalah, Alina. Kau tidak akan menyesal, Ervan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.” Sandi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pria berkepala plontos itu cukup senang karena tidak ada drama lagi untuk membawa pergi Alina dari rumah itu. Bahkan, kekasih Ervan ini dengan sukarela memintanya untuk menjemput.“Apa kau punya kekasih, Sandi?” Wanita bergaun kuning gading yang duduk samping kemudi itu seolah tidak mempedulikan ucapan Sandi tadi. Dia melempar pandangan keluar jendela sejak pertama memasuki mobil, tidak sedikit pun menoleh pada pria kekar di sebelahnya. “Kenapa kau menanyakan hal itu?” Alis pria itu bertaut, menoleh sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.“Kau jawab saja.”“Tidak.”“Pantas saja.” Alina tersenyum miris sambil memperbaiki duduknya, pandangannya beralih ke depan.“Apa kau tidak ingin memiliki seorang pendamping?” “Kenapa kau bertanya hal seperti itu?”“Agar kau mengerti bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan.”“Apakah ini tentang
Aga menajamkan pendengaran dengan melekatkan telinganya di daun pintu.Benar!Seseorang di dalam sana sedang merintih kesakitan. Baru akan memutar handel, dia menepuk dahinya pelan."Udah tengah malam ini, jangan-jangan malah ada yang ehem-ehem di dalam. Bodo amat lah." Dia bermonolog. Niat awal ke kamar mandi, dia lanjutkan. Berhubung toilet di kamarnya sedang rusak dan kamar mandi yang ada di luar hanya ada satu-satunya di sebelah sini, dia terpaksa harus mengambil jalan memutar.Setelah selesai dengan hajatnya, Aga berniat kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur tapi suara dari kamar yang lagi-lagi harus di lewatinya membuat rasa penasaran kembali menghampiri.Kamar No 7.Ini adalah kamar gadis yang beberapa hari ini di incarnya. Anak kos baru yang telah mencuri perhatian sejak hari pertamanya datang.Tubuh seksi dan rambut hitam panjang ditambah dengan kulit putih bersih, wajah tirus dengan hidung mungil, tidak terlalu mancung. Bibir tipis yang merona alami yang selalu terlihat
Aga menghembuskan napas berat, koper-koper Alina dia bawa ke satu-satunya kamar yang ada di rumah petak itu.Ya, Bu Rumi menyuruh mereka pindah dengan alasan yang menurut Aga sangat tidak masuk akal. Dia kembali merutuk diri, kenapa dia harus masuk ke kamar gadis itu malam tadi?"Untuk sementara, kalian tinggal di sini dulu." Suara Bu Rumi_ibu kos mereka terdengar tegas. Wajahnya tidak ramah, sangat berbeda dengan hari-hari biasa yang penuh canda setiap berhadapan dengan para anak kos-nya."Hubungi keluargamu untuk mempertanggungjawabkan semua ini." Bu Rumi melotot kepada Aga. Ibu kos yang sudah seperti ibu ke dua baginya itu terlihat sangat kesal."Tapi, Bu ...." "Kamu mau masih mau membantah?" Bu Rumi langsung menarik telinga Aga sebelum sanggahan terucap dari bibir pemuda tampan itu."Aduh, aduh. Ampun Bu," Aga meringis sembari mengusap telingannya berulang kali setelah Ibu kos-nya itu melepaskan jeweran."Selama ini, bukannya Ibu nggak tahu, ya. Kamu sering bawa perempuan nginap
Aga menarik napas panjang setelah mendudukkan dirinya dengan sempurna di sofa ruang tengah. sedangkan wanita yang duduk berhadapan dengannya tampak menunggu kalimat yang akan keluar dari bibirnya."Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" Aga terlihat kesal, perempuan ini sungguh tidak peka, pikirnya."Tentang?" Alina menautkan kedua alisnya."Tentang semua ini," Aga mengacak rambutnya frustasi. Apakah wanita ini begitu tolol?"Kau tidak ingin memberikan penjelasan tentang mengapa kau membuatku terperangkap dalam masalahmu?! Atau, kau memang sengaja ingin menjebakku." Aga menatap Alina dengan tajam, wajah tampannya menyimpan amarah yang siap untuk dimuntahkan. Akan tetapi, dia masih berusaha untuk menahannya."Maaf...." Alina menunduk, tidak sanggup menatap lawan bicaranya. Sebenarnya, di juga tidak ingin melibatkan siapa pun dalam hal ini."Berhenti menggunakan kata itu." Aga memotong ucapan wanita didepannya, tidak mau menunggu kalimat itu tuntas terucap."Maksudku...." Alina menganhkat
Aga menggeliat, dia mengerjap beberapa kali lalu meraba tempat di sampingnya. Kosong.Kemana Selvi sepagi ini? pikirnya. Dia kembali menarik selimut saat mendengar suara engsel pintu kamar mandi bergerak, kembali dia memejam dan pura-pura tidur.Hampir setengah jam melihat gadis itu mondar-mandir. Aga menyerah, dia merasa ada yang berbeda dengan kekasihnya hari ini."Kamu mau ke mana?" Aga akhirnya membuka mata. Dia menyibak selimut sedikit dan menyandarkan punggung di kepala ranjang."Oh, udah bangun kamu, Yank?" Selvi menoleh dan segera menghampiri lelakinya, dia duduk di pinggir dipan setelah melayangkan sebuah kecupan.Aga menelan ludah karena Selvi memakai pakaian yang sedikit terbuka di bagian dada. Baru saja dia akan menarik tangan kekasihnya, tetapi Livia menghindar lebih dulu."Aku ada pemotretan hari ini. Kamu sarapan sendiri ya," ujar gadis dengan lekuk tubuh nyaris sempurna itu."Tapi, kau sudah berjanji akan menemaniku hari ini." Aga sontak bangkit. Lelaki yang hanya men
"Dari mana saja kau?!!" Satu bentakan memecah indra pendengaran Aga. Tanpa menunggu lebih lama, Rosida menarik kuat daun telinga anak sulungnya. Sudahlah membuat malu seluruh anggota keluarga, anaknya itu masih berniat untuk melarikan diri."Kami sudah dua hari menunggu kedatanganmu Anak Durhaka!" Rosida semakin kuat menjewer telinga anaknnya. Tidak peduli dengan Aga yang terus meringis dan memohon agar sang Mama menghentikan tindakan konyolnya.Terlalu banyak orang di sini. Sepertinya, seluruh keluarga besar telah berkumpul kenapa wanita yang telah melahirkannya ini masih memperlakukannya seperti anak kecil?Aga masih bersungut-sungut saat neneknya datang menyelamatkan. Mengomeli putrinya karena telah menyakiti cucu kesayangannya."Ibu terlalu memanjakan dia. Lihatlah kelakuannya sekarang!" sentak Rosida. Bola matanya seakan melompat keluar saat menatap si sulung, "Dasar, Tak tahu malu!!""Kecilkan suaramu, kita tidak sedang berada di rumah. Kaulah yang tak tahu malu. Ajak dulu cucuk
Sudah di penghujung sore saat ayah dan anak itu menikmati secangkir kopi di teras. Seluruh penghuni rumah sedang keluar dan hanya menyisakan mereka berdua--serta Alina dan bayinya tentunya--yang terus mengurung diri di kamar."Papa juga tidak percaya padaku?" Aga menatap papanya yang tetap saja terlihat santai. Dia ingin seseorang untuk bertukar pikiran, dan menikahi Alina bukanlah sebuah rencana yang baik. Setidaknya, begitulah menurutnya.Lelaki paruh baya dengan rambut yang sudah ditumbuhi uban itu terkekeh, "Jangankan Papa, bahkan mamamu sendiri tidak yakin kau akan bertindak seceroboh itu.""Lalu? Apa maksudnya semua ini?" Aga memiringkan tubuhnya menghadap Mahdi. Apakah ini lelucon?"Umurmu sudah hampir kepala tiga dan kau masih mengelak untuk berumah tangga. Bukankah calon yang ditawarkan mamamu bukan perempuan sembarangan?""Pa, aku belum ingin terikat ....""Mama dan nenekmu telah memutuskan untuk memanfaatkan situasi ini. Jadi, terima saja. Kau tidak akan bisa mengelak lagi
"Kenapa?!!" Bentakan Aga membuat Silvi terlonjak kaget."Kenapa harus dengan dia?! Apa kau tidak bisa mencari pria brengsek lainnya di luar sana?!" suara Aga kian meninggi. Tubuh Silvi gemetar karena tidak menyangka Aga bisa marah semengerikan ini."Bajingan!" Aga kembali melayangkan pukulan terakhir sebelum meludahi wajah sahabatnya itu dan bangkit dari tubuhnya."Kalian benar-benar pengkhianat!" Giginya gemeretak dengan tangan yang terus terkepal. Bahkan, buku jarinyanya masih menyisakan tetes darah yang berasal dari mulut lelaki yang baru saja dia hajar.Silvi yang sebenarnya sudah mempersiapkan kata-kata untuk mewanti-wanti jika Aga mengetahui hubungannya dengan salah satu sahabat dekat kekasihnya itu, kini hanya bisa bungkam. Dia benar-benar ketakutan melihat kemarahan pria itu. Wajah cantik itu pucat pasi.Heru meringis dan mulai beringsut menjauh, wajahnya yang telah babak belur membuat Aga tersenyum sinis. "Pantas saja, kau begitu bersemangat saat menanyakat pekerjaannya. Das
“Percayalah, Alina. Kau tidak akan menyesal, Ervan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.” Sandi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pria berkepala plontos itu cukup senang karena tidak ada drama lagi untuk membawa pergi Alina dari rumah itu. Bahkan, kekasih Ervan ini dengan sukarela memintanya untuk menjemput.“Apa kau punya kekasih, Sandi?” Wanita bergaun kuning gading yang duduk samping kemudi itu seolah tidak mempedulikan ucapan Sandi tadi. Dia melempar pandangan keluar jendela sejak pertama memasuki mobil, tidak sedikit pun menoleh pada pria kekar di sebelahnya. “Kenapa kau menanyakan hal itu?” Alis pria itu bertaut, menoleh sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.“Kau jawab saja.”“Tidak.”“Pantas saja.” Alina tersenyum miris sambil memperbaiki duduknya, pandangannya beralih ke depan.“Apa kau tidak ingin memiliki seorang pendamping?” “Kenapa kau bertanya hal seperti itu?”“Agar kau mengerti bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan.”“Apakah ini tentang
Alina membersihkan luka di sekujur tubuh Aga dengan air mata berlinang. Hati-hati sekali dia mengusap setiap bagian yang luka dan memar dengan kain lap yang sudah diperas setelah dicelupkan ke air hangat. Suaminya hanya bisa meringis karena bibirnya sedikit robek, jadi tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang hampir setiap pagi mengecup lembut dahi Alina.Sepanjang malam Alina terjaga dengan menatap langit-langit kamar. Sesekali dia memperhatikan Aga yang memejam. Entah suaminya itu benar-benar tertidur atau hanya sedang berusaha menghindari kontak mata dengannya.Air mata Alina kembali menggenang saat mengingat putranya, dia yakin bahwa Ervan tidak akan melukai Langit. Namun, sebagai seorang ibu yang 24 jam selalu menemani sang putra, tentu saja tetap khawatir karena Langit pasti akan menangis saat menyadari ibunya tidak berada di dekatnya.***“Pergilah.” Aga duduk dengan menyandar ke kepala tempat tidur. Menatap Alina sepanjang hari ini dengan menghabiskan waktu di d
"Apa kelebihan dia dibanding aku?" Wajah Ervan merah padam. Bagaimana tidak, sang kekasih yang hampir setengah gila dicarinya selama ini, dengan mudahnya menolak merajut kembali impian mereka dulu. Sungguh sebuah penantian sia-sia dan sangat menyakitkan."Jawab, Alina!" Suara lantang kembali menggelegar, menggema ke seluruh ruang yang tidak terlalu luas itu. Alina semakin mengeratkan pelukan saat Langit kembali menjerit, terkejut dengan suara besar lelaki yang menjadi lawan bicara ibunya."Tidak ada." Alina menelan ludah. Tidak pernah dia melihat Ervan semengerikan ini. Meskipun tubuh tinggi kekarnya membuat banyak orang merasa takut, pria itu selalu memperlakukannya dengan lembut. Perlakuan yang membuat dirinya menyerahkan diri sepenuhnya lepada pria yqng memiliki tatapan setajam elang itu."Maaf. Aku tahu, aku yang bersalah di sini." Alina menjawab dengan gugup. "Tapi, apa kau tahu, bagaimana rasanya melahirkan sendirian? Tidak mengenal siapa pun yang bisa dimintai tolong. Sedangka
"Maaf." Aga duduk di tepi ranjang menatap tubuh telungkup Alina yang sesenggukan. Sedangkan Langit, ikut menangis sambil memeluk leher sang bunda. Seakan paham bahwa wanita yang melahirkannya itu sedang tidak baik-baik saja.Hampir 5 menit Aga menunggu, namun Alina belum juga merespon. Dia menyesal karena sudah keterlaluan memperlakukan istrinya."Alina ...." Pria itu sedikit memelas, membuat wanita yang sudah dua tahun membersamainya itu akhirnya duduk. Membawa Langit ke pangkuan, seolah melarang sang putra menghampiri sang Ayah."Aku yang seharusnya minta maaf." Alina mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan dan memeluk Langit, sulit untuk bersikap baik-baik saja di saat dia tidak tahu kenapa dia harus disalahkan, "Aku tidak akan menemuinya," tegasnya lagi, sebelum Aga mengucapkan sesuatu kembali.Aga bergeming. Di satu sisi, dia merasa senang karena itu berarti Alina tidak ingin kembali bersama mantan kekasihnya. Namun, di sisi lain? Sebagai seorang ayah, dia tentu tidak bisa
"Jadi, kau menghilang karena pria itu?" Tatapan dingin Sandi membuat wajah Alina memucat. Dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuan, wanita dengan dres rumahan itu duduk dengan gelisah, menyesalkan sikap sang suami yang memenuhi permintaan pria berkulit sawo matang di sampingnya ini agar mereka bisa bicara berdua saja.Angin malam yang bertiup kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil, mereka memang duduk di bangku teras yang terbuka. Entah kenapa, Aga tidak membiarkan mereka untuk berbicara di dalam saja, apa sebenarnya yang sedang di pikirkan suaminya itu?"Bukan aku yang menghilang, dia yang meninggalkan aku." Alina menjawab pertanyaan itu dengan suara bergetar, dia ketakutan. Sangat ketakutan. Dan saat seperti ini, dia sangat mengharapkan Aga berada di sisinya untuk menenangkan, namun tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyusulnya ke sini. Dan itu membuat Alina sangat kecewa. Berbagai pikiran buruk mulai mengganggu pikirannya."Kau tahu, kan? Dia sedang berusaha agar
Hari demi hari berjalan dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa, Aga dan Alina telah menjalani biduk rumah hampir tiga tahun lamanya tanpa halangan yang berarti.Aga menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab serta perhatian membuat Alina begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukan mereka. Tidak ada lagi pembicaraan tentang masa lalu, semuanya terkubur bersama kebahagiaan yang mereka nikmati bersama, meski bobot tubuh Alina merosot drastis karena Langit yang semakin aktif.Sore itu, Alina sedang menemani Langit untuk bermain di pekarangan sambil menyiram beberapa tanaman bunga. Sampai akhirnya, wanita berambut panjang itu merasa bahwa ada seseorang di balik pohon yang tumbuh di seberang jalan seperti memperhatikan mereka.Ini bukan kali pertama, dia juga sudah menyampaikan hal ini kepada sang suami, namun, tanggapan Aga tidak seperti yang diharapkan, pria itu beranggapan bahwa itu hanyalah pemulung yang biasa berkeliaran di sekitaran komplek.Alina masih ingin mendebat sebenar
Sesampainya di rumah, Alina membiarkan Aga tetap kebingungan karena wanita itu tetap memilih untuk membisu sejak mereka meninggalkan Mall. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mengunci diri di kamar, tentu saja itu membuat Aga penasaran. Namun, dia masih berpikir bahwa Alina terlalu lelah dan hanya butuh istirahat. Dia memilih ke kamarnya untuk membuat proposal lamaran kerja.Baru akan membuka laptop, ponselnya berdering. Aga berdecak."“Apa kau sudah mengajaknya berbelanja?” “Sudah, Ma. Dia sedang istirahat, mungkin kecapek’an.” “Jangan biarkan istrimu itu melakukan semua pekerjaan sendiri, dia punya bayi yang harus dia urus. Apa mama harus mencarikan pembantu dari sini?!” Suara dari seberang sana mulai meninggi, yang mulia Ratu yang semua keinginannya harus dipenuhi. “Kami sudah mencarinya, Ma. Hanya saja, belum ada yang cocok,” kilah Aga agar sang Mama tidak semakin marah. “Mama tunggu sampai minggu depan. Kalau tidak, mama akan mengirimkan seseorang ke sana untuk membantu k
Puas berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan, dua pasangan itu akhirnya memutuskan untuk berehat di sebuah tempat makan cepat saji. Dan lagi-lagi Alina tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat pria yang sedari tadi menggenggam tangannya kini mengambil alih Langit dan menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu."Sepertinya dia juga senang bepergian." Aga terkekeh saat menyadari Langit tetap menjaga matanya untuk terbuka sejak mereka sampai di Mall itu, "kau bahkan tidak ingat untuk meminta ibumu mengisi lambung kecilmu ini." Aga memainkan hidung mancung bayi berkulit putih dalam gendongannya. Menunggu dengan sabar, sang ibu menghabiskan makanannya."Apa kau keberatan jika aku mengambil bagianmu? Aku sangat lapar," ujar Alina malu-malu. Dia tahu bahwa dia sudah kehilangan harga diri, namun perutnya benar-benar terasa masih kosong. Sebenarnya dia sudah kelaparan sejak pertama mereka tiba, namun dia tidak berani mengatakannya kepada Aga yang terus menyemangatinya mencoba beberapa baju.
Sudah hampir tengah malam saat Aga tiba di rumah. Hal yang tidak dia duga bahwa ternyata sang penghuni masih setia menunggu kepulangannya. Baru saja akan memutar handle, pintu sudah terbuka lebih dulu, menampilkan wajah lelah Alina dengan Langit yang merengek pelan dalam dekapannya."Kenapa belum tidur?" tanya Aga keheranan. Pasalnya, malam telah cukup larut untuk membiarkan bayi satu bulanan tetap terjaga."Dia tidak mau tidur, terus menangis saat aku membaringkannya di kasur," adu Alina dengan wajah pucatnya. Aga dapat menebak bahwa wanita di depannya belum beristirahat sepanjang hari.Hari ini memang hari pertama Aga keluar rumah setelah menganggur dan menjadi partner Alina dalam mengurusi Langit. Namun, biasanya bayi ini akan tidur dengan mudah setelah perutnya terisi penuh."Maaf, aku tidak memasak apapun," sesal Alina. Wanita itu menutup pintu setelah Aga melangkah masuk."Kau sudah makan?"Alina menggeleng lemah. Dia benar-benar kelabakan sejak Aga berpamitan tadi pagi, bayi in