Cahaya matahari pagi menembus kaca jendela, silau yang menerpa wajahnya membuat Aga mengernyit beberapa kali. setelah menggosok kedua matanya, pria yang tertidur di atas sofa itu merubah posisi sampai akhirnya benar-benar terbangun saat menyadari bahwa tubuhnya terjerembab ke lantai."Aduh!" Aga sontak bangkit dan kaget saat mendapati dirinya sudah berada di ubin dengan pakaian yang bertebaran di sisi kanannya. Kini, menyisakan celana boxer yang menempel di tubuhnya bagian bawahnya.Lagi, dia mengusap kasar wajah dan mengacak rambut yang sebenarnya memang sudah tidak karuan bentuknya.Menyadari sesuatu, dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan dia merutuk saat menyadari bahwa semua pakaiannya masih berada di kamar Alina. Mama dan neneknya yang memaksa Alina menyimpannya. Dan sialnya, dia belum sempat memindahkan.Tidak ada pilihan lain, dia mengintip dari dalam bilik kamar mandi untuk memastikan wanita penghuni lain di rumah ini tidak sedang keluar dari kamarnya.
"Kau tidak meminta ayahnya untuk memberikan nama?" Aga menelan ludah setelah mengucapkan kalimat itu. Tiba-tiba saja rasa kecewa membuatnya tersenyum miris, dia baru menyadari bahwa bayi ini milik orang lain."Tidak." Alina memperbaiki duduknya yang tadi sempat miring ke arah Aga. Pertanyaan itu, dia tahu pertanyaan itu mengandung makna yang lain. Dan tentu saja Aga berhak menanyakan hal itu. "Apa kau keberatan jika aku memberinya nama?""Ha?""Ayah menitipkan sebuah nama untuk bayi ini sebelum beliau pulang."Alina terdiam. Pandangan matanya tertumpu pada dua kakinya yang mengenakan sandal rumahan pemberian adik perempuan Aga. Alina merasa kagum dengan keluarga Aga yang begitu perhatian kepadanya. Namun, dia sadar bahwa telah terlalu jauh menyeret Aga ke dalam masalah pribadinya, pria ini pasti mendapatkan masalah yang tidak sedikit sejak memutuskan untuk menolongnya malam itu."Aku akan memikirkannya nanti.""Kau menolak?""Ha?" "Kau menolak nama pemberian ayahku?""Bukan, maksud
Aga menghela napas dan menutup laptopnya. Pandangannya teralih saat mendengar suara pintu kamarnya dibuka."Aku membuatkanmu kopi." Alina masuk dengan sebuah nampan di tangannya, "apa yang sedang kau kerjakan?""Mencari pekerjaan."Alina menaikkan sebelah alisnya, lalu duduk di kursi yang berada tidak jauh dari meja kerja Aga. "Kau dipecat?""Lebih tepatnya mengundurkan diri.""Apakah ini ada hubungannya denganku." Alina menampilkan wajah bersalah. Dia semakin tidak enak hati pada pria ini jika hal itu benar adanya."Tidak.""Lalu?""Hei! Kau terlalu banyak bertanya.""Aku istrimu," jawab Alina sambil menahan tawa."Baiklah, baiklah." Aga merenggangkan otot-ototnya dan bangkit dari duduk. "Jadi, apa yag ingin kau ketahui istriku?" Aga menaik-turunkan alisnya.Alina bergidik, seketika dia mengingat kejadian malam dimana Aga pulang dalam keadaan mabuk."Rekan kerjaku merebut pacarku."Alina menatap Aga seolah tak percaya."Tenang saja, aku sudah menghajarnya.""Apa itu alasanmu menerima
Sudah hampir tengah malam saat Aga tiba di rumah. Hal yang tidak dia duga bahwa ternyata sang penghuni masih setia menunggu kepulangannya. Baru saja akan memutar handle, pintu sudah terbuka lebih dulu, menampilkan wajah lelah Alina dengan Langit yang merengek pelan dalam dekapannya."Kenapa belum tidur?" tanya Aga keheranan. Pasalnya, malam telah cukup larut untuk membiarkan bayi satu bulanan tetap terjaga."Dia tidak mau tidur, terus menangis saat aku membaringkannya di kasur," adu Alina dengan wajah pucatnya. Aga dapat menebak bahwa wanita di depannya belum beristirahat sepanjang hari.Hari ini memang hari pertama Aga keluar rumah setelah menganggur dan menjadi partner Alina dalam mengurusi Langit. Namun, biasanya bayi ini akan tidur dengan mudah setelah perutnya terisi penuh."Maaf, aku tidak memasak apapun," sesal Alina. Wanita itu menutup pintu setelah Aga melangkah masuk."Kau sudah makan?"Alina menggeleng lemah. Dia benar-benar kelabakan sejak Aga berpamitan tadi pagi, bayi in
Puas berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan, dua pasangan itu akhirnya memutuskan untuk berehat di sebuah tempat makan cepat saji. Dan lagi-lagi Alina tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat pria yang sedari tadi menggenggam tangannya kini mengambil alih Langit dan menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu."Sepertinya dia juga senang bepergian." Aga terkekeh saat menyadari Langit tetap menjaga matanya untuk terbuka sejak mereka sampai di Mall itu, "kau bahkan tidak ingat untuk meminta ibumu mengisi lambung kecilmu ini." Aga memainkan hidung mancung bayi berkulit putih dalam gendongannya. Menunggu dengan sabar, sang ibu menghabiskan makanannya."Apa kau keberatan jika aku mengambil bagianmu? Aku sangat lapar," ujar Alina malu-malu. Dia tahu bahwa dia sudah kehilangan harga diri, namun perutnya benar-benar terasa masih kosong. Sebenarnya dia sudah kelaparan sejak pertama mereka tiba, namun dia tidak berani mengatakannya kepada Aga yang terus menyemangatinya mencoba beberapa baju.
Sesampainya di rumah, Alina membiarkan Aga tetap kebingungan karena wanita itu tetap memilih untuk membisu sejak mereka meninggalkan Mall. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mengunci diri di kamar, tentu saja itu membuat Aga penasaran. Namun, dia masih berpikir bahwa Alina terlalu lelah dan hanya butuh istirahat. Dia memilih ke kamarnya untuk membuat proposal lamaran kerja.Baru akan membuka laptop, ponselnya berdering. Aga berdecak."āApa kau sudah mengajaknya berbelanja?ā āSudah, Ma. Dia sedang istirahat, mungkin kecapekāan.ā āJangan biarkan istrimu itu melakukan semua pekerjaan sendiri, dia punya bayi yang harus dia urus. Apa mama harus mencarikan pembantu dari sini?!ā Suara dari seberang sana mulai meninggi, yang mulia Ratu yang semua keinginannya harus dipenuhi. āKami sudah mencarinya, Ma. Hanya saja, belum ada yang cocok,ā kilah Aga agar sang Mama tidak semakin marah. āMama tunggu sampai minggu depan. Kalau tidak, mama akan mengirimkan seseorang ke sana untuk membantu k
Hari demi hari berjalan dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa, Aga dan Alina telah menjalani biduk rumah hampir tiga tahun lamanya tanpa halangan yang berarti.Aga menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab serta perhatian membuat Alina begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukan mereka. Tidak ada lagi pembicaraan tentang masa lalu, semuanya terkubur bersama kebahagiaan yang mereka nikmati bersama, meski bobot tubuh Alina merosot drastis karena Langit yang semakin aktif.Sore itu, Alina sedang menemani Langit untuk bermain di pekarangan sambil menyiram beberapa tanaman bunga. Sampai akhirnya, wanita berambut panjang itu merasa bahwa ada seseorang di balik pohon yang tumbuh di seberang jalan seperti memperhatikan mereka.Ini bukan kali pertama, dia juga sudah menyampaikan hal ini kepada sang suami, namun, tanggapan Aga tidak seperti yang diharapkan, pria itu beranggapan bahwa itu hanyalah pemulung yang biasa berkeliaran di sekitaran komplek.Alina masih ingin mendebat sebenar
"Jadi, kau menghilang karena pria itu?" Tatapan dingin Sandi membuat wajah Alina memucat. Dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuan, wanita dengan dres rumahan itu duduk dengan gelisah, menyesalkan sikap sang suami yang memenuhi permintaan pria berkulit sawo matang di sampingnya ini agar mereka bisa bicara berdua saja.Angin malam yang bertiup kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil, mereka memang duduk di bangku teras yang terbuka. Entah kenapa, Aga tidak membiarkan mereka untuk berbicara di dalam saja, apa sebenarnya yang sedang di pikirkan suaminya itu?"Bukan aku yang menghilang, dia yang meninggalkan aku." Alina menjawab pertanyaan itu dengan suara bergetar, dia ketakutan. Sangat ketakutan. Dan saat seperti ini, dia sangat mengharapkan Aga berada di sisinya untuk menenangkan, namun tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyusulnya ke sini. Dan itu membuat Alina sangat kecewa. Berbagai pikiran buruk mulai mengganggu pikirannya."Kau tahu, kan? Dia sedang berusaha agar
āPercayalah, Alina. Kau tidak akan menyesal, Ervan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.ā Sandi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pria berkepala plontos itu cukup senang karena tidak ada drama lagi untuk membawa pergi Alina dari rumah itu. Bahkan, kekasih Ervan ini dengan sukarela memintanya untuk menjemput.āApa kau punya kekasih, Sandi?ā Wanita bergaun kuning gading yang duduk samping kemudi itu seolah tidak mempedulikan ucapan Sandi tadi. Dia melempar pandangan keluar jendela sejak pertama memasuki mobil, tidak sedikit pun menoleh pada pria kekar di sebelahnya. āKenapa kau menanyakan hal itu?ā Alis pria itu bertaut, menoleh sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.āKau jawab saja.āāTidak.āāPantas saja.ā Alina tersenyum miris sambil memperbaiki duduknya, pandangannya beralih ke depan.āApa kau tidak ingin memiliki seorang pendamping?ā āKenapa kau bertanya hal seperti itu?āāAgar kau mengerti bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan.āāApakah ini tentang
Alina membersihkan luka di sekujur tubuh Aga dengan air mata berlinang. Hati-hati sekali dia mengusap setiap bagian yang luka dan memar dengan kain lap yang sudah diperas setelah dicelupkan ke air hangat. Suaminya hanya bisa meringis karena bibirnya sedikit robek, jadi tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang hampir setiap pagi mengecup lembut dahi Alina.Sepanjang malam Alina terjaga dengan menatap langit-langit kamar. Sesekali dia memperhatikan Aga yang memejam. Entah suaminya itu benar-benar tertidur atau hanya sedang berusaha menghindari kontak mata dengannya.Air mata Alina kembali menggenang saat mengingat putranya, dia yakin bahwa Ervan tidak akan melukai Langit. Namun, sebagai seorang ibu yang 24 jam selalu menemani sang putra, tentu saja tetap khawatir karena Langit pasti akan menangis saat menyadari ibunya tidak berada di dekatnya.***āPergilah.ā Aga duduk dengan menyandar ke kepala tempat tidur. Menatap Alina sepanjang hari ini dengan menghabiskan waktu di d
"Apa kelebihan dia dibanding aku?" Wajah Ervan merah padam. Bagaimana tidak, sang kekasih yang hampir setengah gila dicarinya selama ini, dengan mudahnya menolak merajut kembali impian mereka dulu. Sungguh sebuah penantian sia-sia dan sangat menyakitkan."Jawab, Alina!" Suara lantang kembali menggelegar, menggema ke seluruh ruang yang tidak terlalu luas itu. Alina semakin mengeratkan pelukan saat Langit kembali menjerit, terkejut dengan suara besar lelaki yang menjadi lawan bicara ibunya."Tidak ada." Alina menelan ludah. Tidak pernah dia melihat Ervan semengerikan ini. Meskipun tubuh tinggi kekarnya membuat banyak orang merasa takut, pria itu selalu memperlakukannya dengan lembut. Perlakuan yang membuat dirinya menyerahkan diri sepenuhnya lepada pria yqng memiliki tatapan setajam elang itu."Maaf. Aku tahu, aku yang bersalah di sini." Alina menjawab dengan gugup. "Tapi, apa kau tahu, bagaimana rasanya melahirkan sendirian? Tidak mengenal siapa pun yang bisa dimintai tolong. Sedangka
"Maaf." Aga duduk di tepi ranjang menatap tubuh telungkup Alina yang sesenggukan. Sedangkan Langit, ikut menangis sambil memeluk leher sang bunda. Seakan paham bahwa wanita yang melahirkannya itu sedang tidak baik-baik saja.Hampir 5 menit Aga menunggu, namun Alina belum juga merespon. Dia menyesal karena sudah keterlaluan memperlakukan istrinya."Alina ...." Pria itu sedikit memelas, membuat wanita yang sudah dua tahun membersamainya itu akhirnya duduk. Membawa Langit ke pangkuan, seolah melarang sang putra menghampiri sang Ayah."Aku yang seharusnya minta maaf." Alina mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan dan memeluk Langit, sulit untuk bersikap baik-baik saja di saat dia tidak tahu kenapa dia harus disalahkan, "Aku tidak akan menemuinya," tegasnya lagi, sebelum Aga mengucapkan sesuatu kembali.Aga bergeming. Di satu sisi, dia merasa senang karena itu berarti Alina tidak ingin kembali bersama mantan kekasihnya. Namun, di sisi lain? Sebagai seorang ayah, dia tentu tidak bisa
"Jadi, kau menghilang karena pria itu?" Tatapan dingin Sandi membuat wajah Alina memucat. Dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuan, wanita dengan dres rumahan itu duduk dengan gelisah, menyesalkan sikap sang suami yang memenuhi permintaan pria berkulit sawo matang di sampingnya ini agar mereka bisa bicara berdua saja.Angin malam yang bertiup kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil, mereka memang duduk di bangku teras yang terbuka. Entah kenapa, Aga tidak membiarkan mereka untuk berbicara di dalam saja, apa sebenarnya yang sedang di pikirkan suaminya itu?"Bukan aku yang menghilang, dia yang meninggalkan aku." Alina menjawab pertanyaan itu dengan suara bergetar, dia ketakutan. Sangat ketakutan. Dan saat seperti ini, dia sangat mengharapkan Aga berada di sisinya untuk menenangkan, namun tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyusulnya ke sini. Dan itu membuat Alina sangat kecewa. Berbagai pikiran buruk mulai mengganggu pikirannya."Kau tahu, kan? Dia sedang berusaha agar
Hari demi hari berjalan dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa, Aga dan Alina telah menjalani biduk rumah hampir tiga tahun lamanya tanpa halangan yang berarti.Aga menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab serta perhatian membuat Alina begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukan mereka. Tidak ada lagi pembicaraan tentang masa lalu, semuanya terkubur bersama kebahagiaan yang mereka nikmati bersama, meski bobot tubuh Alina merosot drastis karena Langit yang semakin aktif.Sore itu, Alina sedang menemani Langit untuk bermain di pekarangan sambil menyiram beberapa tanaman bunga. Sampai akhirnya, wanita berambut panjang itu merasa bahwa ada seseorang di balik pohon yang tumbuh di seberang jalan seperti memperhatikan mereka.Ini bukan kali pertama, dia juga sudah menyampaikan hal ini kepada sang suami, namun, tanggapan Aga tidak seperti yang diharapkan, pria itu beranggapan bahwa itu hanyalah pemulung yang biasa berkeliaran di sekitaran komplek.Alina masih ingin mendebat sebenar
Sesampainya di rumah, Alina membiarkan Aga tetap kebingungan karena wanita itu tetap memilih untuk membisu sejak mereka meninggalkan Mall. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mengunci diri di kamar, tentu saja itu membuat Aga penasaran. Namun, dia masih berpikir bahwa Alina terlalu lelah dan hanya butuh istirahat. Dia memilih ke kamarnya untuk membuat proposal lamaran kerja.Baru akan membuka laptop, ponselnya berdering. Aga berdecak."āApa kau sudah mengajaknya berbelanja?ā āSudah, Ma. Dia sedang istirahat, mungkin kecapekāan.ā āJangan biarkan istrimu itu melakukan semua pekerjaan sendiri, dia punya bayi yang harus dia urus. Apa mama harus mencarikan pembantu dari sini?!ā Suara dari seberang sana mulai meninggi, yang mulia Ratu yang semua keinginannya harus dipenuhi. āKami sudah mencarinya, Ma. Hanya saja, belum ada yang cocok,ā kilah Aga agar sang Mama tidak semakin marah. āMama tunggu sampai minggu depan. Kalau tidak, mama akan mengirimkan seseorang ke sana untuk membantu k
Puas berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan, dua pasangan itu akhirnya memutuskan untuk berehat di sebuah tempat makan cepat saji. Dan lagi-lagi Alina tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat pria yang sedari tadi menggenggam tangannya kini mengambil alih Langit dan menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu."Sepertinya dia juga senang bepergian." Aga terkekeh saat menyadari Langit tetap menjaga matanya untuk terbuka sejak mereka sampai di Mall itu, "kau bahkan tidak ingat untuk meminta ibumu mengisi lambung kecilmu ini." Aga memainkan hidung mancung bayi berkulit putih dalam gendongannya. Menunggu dengan sabar, sang ibu menghabiskan makanannya."Apa kau keberatan jika aku mengambil bagianmu? Aku sangat lapar," ujar Alina malu-malu. Dia tahu bahwa dia sudah kehilangan harga diri, namun perutnya benar-benar terasa masih kosong. Sebenarnya dia sudah kelaparan sejak pertama mereka tiba, namun dia tidak berani mengatakannya kepada Aga yang terus menyemangatinya mencoba beberapa baju.
Sudah hampir tengah malam saat Aga tiba di rumah. Hal yang tidak dia duga bahwa ternyata sang penghuni masih setia menunggu kepulangannya. Baru saja akan memutar handle, pintu sudah terbuka lebih dulu, menampilkan wajah lelah Alina dengan Langit yang merengek pelan dalam dekapannya."Kenapa belum tidur?" tanya Aga keheranan. Pasalnya, malam telah cukup larut untuk membiarkan bayi satu bulanan tetap terjaga."Dia tidak mau tidur, terus menangis saat aku membaringkannya di kasur," adu Alina dengan wajah pucatnya. Aga dapat menebak bahwa wanita di depannya belum beristirahat sepanjang hari.Hari ini memang hari pertama Aga keluar rumah setelah menganggur dan menjadi partner Alina dalam mengurusi Langit. Namun, biasanya bayi ini akan tidur dengan mudah setelah perutnya terisi penuh."Maaf, aku tidak memasak apapun," sesal Alina. Wanita itu menutup pintu setelah Aga melangkah masuk."Kau sudah makan?"Alina menggeleng lemah. Dia benar-benar kelabakan sejak Aga berpamitan tadi pagi, bayi in