"Mau jadi apa kamu Wen kalau umur segitu belum menikah?"
"Yang lainnya udah punya anak SD, masa kamu masih ngurusi kerjaan terus? Nanti kalau enggak bisa hamil, baru tahu rasa!"
"Punya anak itu biar ada yang merawat kita saat tua kan? Kamu ini malah aneh, enggak mau nikah, punya anak pun juga kayak ragu-ragu gitu."
Kalimat-kalimat tersebut rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari Wendy setiap kali menerima panggilan dari Suwarni--ibunya di Yogyakarta. Alih-alih menanyai kabar kalau anak tertua mereka tengah merantau di Pulau Dewata, justru mengulang-ulang permintaan yang sama sekali belum terlintas dalam benak Wendy. Seakan-akan menikah dan punya anak hanyalah tujuan hidup perempuan di dunia. Namun, tujuan itu tidak diimbangi dengan kesamaan visi dan misi pasangan suami-istri, malah memantik api yang membuat rumah tangga mereka dibakar masalah demi masalah. Alhasil, perceraian dan KDRT makin marak terjadi. Tidak salah juga kan Wendy berpikir seratus kali ketika menyerahkan hidupnya kepada lelaki?
"Kowe dikandani wong tuwo senengane ngeyel to. Ibumu ngomong ngene ben uripmu penak sesok, Nduk!" omel Suwarni saat Wendy masih berpegang teguh pada pendirian.
(Kamu dibilangi orang tua kok sukanya membantah. Ibumu ngomong gini biar hidupmu enak besok, Nak!)
"Penak niku nek kulo isok urip tentrem, tandang gawe dewe, ora mung ngurusi bojo karo anak nang omah to, Bu," balas Wendy.
(Enak itu kalau aku bisa hidup tentram, kerja sendiri, enggak cuma mengurus suami dan anak di rumah kan, Bu)
"Halah, mboh!" sembur Suwarni langsung memutuskan sambungan telepon.
Wendy bertanya-tanya, mengapa orang-orang di sekelilingnya masih menganut paham patriarki dan membatasi ruang gerak perempuan. Selalu melontarkan kata-kata pedas agar Wendy sadar hakikat dirinya itu hanyalah untuk melayani suami juga anak. Perempuan tak patut mengenyam pendidikan tinggi ataupun memiliki karier cemerlang bak bintang di langit. Mereka berkelakar kalau perempuan semestinya di rumah, mengurus rumah tangga, menyambut suami, dan menjadi guru bagi anak.
Bukankah kami lebih mirip pembantu? Kenapa harus dibebankan kepada perempuan bukan laki-laki?
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika menetap di Yogyakarta dan harus mendengar setiap keluhan yang dilontarkan sang ibu. Melalui telepon saja, telinga Wendy memerah menangkap kata demi kata Suwarni yang begitu menginginkan putri sulungnya segera bersuami sebagai cita-cita sebelum meninggal dunia. Sebuah alasan klise yang membuat anak-anak merelakan kehidupan mereka kepada orang lain, pikir Wendy.
"Kapan aku bisa menikah dengan tema seperti ini? Jadi pengen," celetuk salah satu anak commis--juru masak--bernama Astrid membuyarkan lamunan Wendy. Gadis itu baru saja selesai melakukan finishing di atas cupcakes keunguan dilanjut menaburinya dengan sprinkle.
"Halah!" seru Wendy mengibaskan tangan. "Nikah kok buat menambal rasa pengen. Nanti kalau enggak sesuai ekspektasi nangis," cibirnya gemas.
"Tapi, menikah itu biar enggak lama-lama jomblo, Mbak. Mau ngapain juga sudah halal," balas Astrid memanyunkan mulut.
"Pikiran kamu ih butuh dibersihin pakai kuas," ledek Wendy. "Kalau nikah cuma buat status, berarti kamu belum benar-benar paham arti menikah."
"Iya, iya ... Astrid kalah deh kalau adu debat sama Mbak," keluh Astrid.
Yang lain justru tertawa, sebagian membenarkan ucapan Wendy yang kini mengecek kembali kue pertama berupa cheesecake berukuran kecil diperindah dengan rasberi dan juga bunga borage kebiruan. Melihatnya saja, orang akan dibawa ke hamparan bunga di musim panas. Wendy bisa merasakan hal tersebut sampai bibirnya tak berhenti tersenyum menatapi hasil pekerjaan tim juga kreasi desain hidangan penutup yang sengaja dibuat khusus untuk pesta pernikahan anak konglomerat.
Sebagai pastry chef, tidak hanya makanan utama yang bisa membuat hati bersuka cita, tapi berlaku pada makanan penutup sebagai pendamping teman bicara juga pemersatu tamu yang berkumpul di aula VIP hotel D'amore Nusa Dua. Dia tak sabar menanti beragam komentar dari tamu undangan juga pemilik acara yang sudah menyewa jasanya untuk menunjukkan bakat dalam membuat kue. Jujur saja, butuh waktu untuk mendiskusikan kue dan hidangan sesuai keinginan si pemilik hajat termasuk bagaimana dekorasi yang disukai. Wendy sampai mengobrak-abrik catatan-catatan resep buatannya sendiri semasa pelatihan di Yogyakarta.
Yang paling penting di antara kue-kue mungil itu adalah sebuah mahakarya berupa kue pernikahan setinggi satu meter setengah yang tampak mewah berwarna ungu agak gelap. Di puncak ada cokelat dilapisi emas berbentuk siluet pengantin pria dan wanita tengah berciuman, sementara semakin ke bawah hiasan bunga mawar keemasan menambah kesan betapa glamornya acara sakral mereka. Dia membayangkan pasti wedding cake miliknya juga turut menjadi atensi.
"Hati-hati," titah Wendy kepada pramusaji yang mendorong troli itu sebelum acara pemotongan kue sebagai simbol pengikat bawah mereka yang sedang berbahagia sudah resmi menjadi suami-istri.
Bibirnya tak berhenti mengembang begitu bangga atas pencapaiannya malam ini. Meski bukan pertama kali, tapi setiap acara yang diselenggarakan hotel selalu memiliki kesan di hati Wendy. Ah, kecuali pernikahan. Dia harus memberi garis tebal di bawah kata itu bahwa tidak selamanya menikah akan terus bahagia seperti saat pesta. Banyak dari teman-teman semasa sekolah atau anak tetangga Wendy yang harus berpisah di tengah jalan karena berbagai alasan. Salah satunya yang paling konyol menurut Wendy adalah ketidakcocokan.
Dia menggeleng keheranan kalau mendengar curahan hati temannya. Kalau tidak cocok kenapa harus diikat dalam janji suci? Tidakkah hal itu membuang waktu dan pikiran? Belum lagi kalau ada anak, perebutan hak asuh, perebutan harta gono-gini, serta cemoohan netizen maha benar seolah paling tahu apa yang terbaik.
Maka dari itu, Wendy memilih menjadi single bahagia, aman, sentosa, dan sejahtera. Tidak perlulah dia bersusah payah menyenangkan hati orang lain, menghibur diri sendiri saat sedang patah hati, atau harus memberi kabar seharian penuh. Dia juga bisa bebas melakukan apa saja dan di mana saja tanpa dikekang pasangan atau ditangisi anak.
"Menikah itu awal bencana," gumamnya menerawang jauh kerumunan orang-orang lalu lalang di dapur. "Cuma orang hebat yang bisa bertahan di sana."
###
Usai perhelatan besar yang menguras tenaga sekaligus menyiapkan bahan-bahan untuk esok pagi, Wendy baru bisa pulang saat jam sudah menunjukkan pukul enam malam. Badannya terasa pegal-pegal ingin sekali pijat spa sembari menikmati senja. Mungkin itu rencana bagus di akhir pekan ini, Wendy segera mencatatnya dalam catatan di ponsel terkait apa saja yang harus dilakukan nanti. Tapi untuk saat ini mandi air hangat lalu tidur lebih awal dirasa lebih menarik.
Dia tak sabar menunggu weekend yang dianggap bermakna sebelum disibukkan dengan kegiatan di hari Senin bersama banquet event order atau daftar pesanan tamu. Dia bisa bersepeda di sekitar Jimbaran, pergi ke pasar untuk bertemu penjual langganannya, atau pergi ke Nusa Dua untuk melihat pantai-pantai sampai duduk menikmati semilir angin seorang diri.
Ya, tanpa pasangan.
Bukan hal yang buruk kan?
Seraya menyeret kaki keluar area restoran, ponsel Wendy tiba-tiba berdering. Dia mencebik melihat nama kontak 'Ibu' berada di sana. Lagi. Cukup lama dia memerhatikan layar ponsel supaya panggil tersebut segera berakhir dan berharap ibunya berpikir kalau Wendy masih sibuk bekerja. Entah apa lagi yang akan dibahas Suwarni jika Wendy menjawab panggilan yang terlihat mendesak itu. Ah! Sepertinya Suwarni terlalu keras kepala untuk mengakhiri telepon bahkan sebelum mendengar suara anaknya, gerutu Wendy dalam hati. Dia menarik napas panjang untuk mengembalikan sisa-sisa mood sebelum menjawab panggilan itu kemudian mengembangkan bibir dan berkata,
"Iya, Bu?"
"Wen, kamu sudah pulang?" tanya Suwarni.
"Ini barusan selesai dan mau pulang. Ada apa, Bu?"
"Piye? Ini loh anaknya Mbok Lastri barusan melahirkan, terus anak keduanya yang sebaya sama kamu besok mau akad," jelas Suwarni memberikan kode agar putri bungsunya segera mengakhiri masa lajang.
Bola mata Wendy memutar, memang ada keistimewaan apa sih sampai ibunya ngebet menikahkannya? Apakah pencapaian tertinggi seorang perempuan harus menikah dan punya anak? Bukan karier cemerlang yang sudah digenggam Wendy saat ini? Dia mendengus sambil menggerutu pelan, lalu mengembuskan napas melalui mulut agar ucapan Suwarni tak langsung masuk ke dalam dada. Sebelah tangannya mengacak rambut seraya menekan lift menuju lantai paling bawah hotel.
"Ha-halo ... Bu ... sinyalnya ... Bu..." kata Wendy berpura-pura tidak mendapatkan sinyal. "Bu ... halo ... halo ..." lalu dia mematikan jaringan telepon ke mode pesawat dan bersandar ke dinding lift sambil berpikir alasan apa lagi yang harus dibuat untuk menghindari telepon Suwarni. Kalau sampai dia mendengar cerita ibunya lagi tentang anak-anak tetangga yang sudah menikah, maka siap-siap Wendy meminta pertolongan THT agar dibuatkan alat bantu dengar supaya telinganya tahan menampung semua keluhan Suwarni.
Emang kalau engak menikah itu dosa? Ibu pemaksa banget.
"Aduh ... gagah banget," puji salah satu anak baru yang dimasukkan dalam posisi cook helper tengah menangkap sosok tinggi tegap mengomeli sedang commis di hot kitchen yang tak jauh dari dapur pastry. "Marah-marah aja masih ganteng, apalagi enggak.""Doi emang idola di sini, sayang udah punya tunangan," bisik temannya masih memandang ke arah lelaki di sana."Hei, hei ... kerja!" tegur Wendy menangkap basah dua anak asyik ngerumpi ketimbang menyelesaikan adonan di depan mata. "Kerjaan kita masih banyak sampai nanti, jangan gibah dulu.""Ma-maaf, Mbak!" kata si cook helper ketakutan. "Habisnya, mata saya enggak bisa tahan kalau ada yang bening kayak oppa Korea.""Ahjussi rasa oppa dia," sahut temannya sambil terkikik. "Hush, udah itu awasi adonannya," pinta Wendy, "Itu souffle-nya kamu taruh di rak roti.""Iya, Mbak Wen."Sous chef atau wakil kepala dapur di sana adalah senior Wendy di sekolah kuliner Yogyakarta bernama Bimo Hartawan. Lelaki berkumis tipis itu masih saja menceramahi a
Suara mesin blower berlomba-lomba dengan suara pengocok juga teriakan para kru kitchen di pastry maupun bakery untuk coffee break nanti siang. Sesuai BEO, mereka harus menyiapkan beberapa menu seperti Florida salad yang cocok dimakan sebagai hidangan pembuka di tengah cuaca Nusa Dua yang cerah, banana split dengan tiga scoop es krim berbeda rasa, apple pie, sampai strawberry lemon roll. Mungkin kesannya sederhana cuma perlu menyajikan empat menu hidangan manis. Tapi, kalau pengaturan waktunya tak tepat, mereka bisa keteteran sendiri. Walhasil, bagian-bagian yang membutuhkan penyiapan lebih lama seperti es krim tiga rasa untuk banana split, rekan di bagian pantry sudah membuatnya sejak kemarin dan siap ambil dari mesin pendingin. Wendy mengeluarkan loyang-loyang berisi pai keemasan yang baru saja matang. Aroma mentega langsung menerpa hidung lancip gadis itu. Dia tersenyum lebar melihat betapa cantik kue yang berasal dari Inggris ini. Tinggal menunggu dingin beberapa saat sebelum dih
Cukup lama bagi Bimo sampai bisa menenangkan diri usai menangisi Risya yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama enam tahun. Bukan sebulan atau setahun, lantas lelaki mana yang tak akan menangis jikalau berada di posisi Bimo? Lelaki mana yang tidak akan remuk hatinya mendapati sang pujaan ternyata bermain di belakang dan memilih menyerahkan dirinya kepada pria lain sementara ada cincin yang mengikat hubungan mereka. Tak habis pikir dengan sikap Risya yang tega mengingkari cinta yang diberikan Bimo dengan tulus. Apa yang salah dengan dia?Apa yang kurang dari lelaki macam dirinya?Dua pertanyaan itu memenuhi benak Bimo sampai berani menanyakannya kepada Wendy. Di jaman sekarang, menurutnya susah mencari lelaki yang mau berpikiran lurus tanpa mau menyentuh sang dambaan sebelum ada ikatan pernikahan. Selain itu, selama ini dia percaya begitu saja dengan hubungan jarak jauh antara Bali-Jawa berharap bibit-bibit rindu yang ditanam ini akan berbuah manis kala Bimo menikahi dan membawa Ri
Di sinilah Wendy, duduk di samping tubuh lemah sang ibu yang masih dirawat di salah satu rumah sakit umum daerah Yogyakarta. Dipegang kulit tangan kanan Suwarni yang sudah keriput dengan penuh kasih sayang. Air matanya kembali menetes menyesali pertengkaran terakhirnya jikalau Suwarni harus terbujur tak berdaya seperti ini. Setelah mendapat kabar bahwa ibunya sakit akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan ada penyumbatan di otak sebelah kanan ditambah kadar gula darah yang tak mau kalah saing, Wendy langsung meminta ijin kepada manajer F&B untuk memberinya cuti tiga hari. Tak sempat berpamitan kepada Bimo maupun kru kitchen lain kecuali Ratih yang dia beri tanggung jawab mengawasi kinerja commis dan cook helper. Dia meminta Ratih merahasiakan kabar ini agar tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan lantas langsung pulang dengan pesawat terbang yang dipesan secara mendadak. Pikiran gadis itu berkecamuk mengingat tidak ada orang yang tahu kapan nyawa manusia akan dipanggil men
Dipandang latar depan rumah di mana ada beberapa ayam tengah mematuk beras jagung yang tadi disebar Wendy. Merangkul kedua lutut, memandang kosong ke arah hewan-hewan itu sambil memikirkan permintaan kedua orang tuanya yang dirasa mencekik Wendy perlahan-lahan. Dia menitikkan air mata, menangis dalam diam kenapa harus dipaksa seperti ini. Di sisi lain, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan mereka untuk memperdebatkan hal yang sama terus-menerus. Dia bosan.Semilir angin di siang hari menggoyangkan dedaunan yang enggan gugur dari ranting-ranting pohon mangga. Namun di sebelahnya, daun pohon jati tampak meranggas menyisakan cabang-cabang kayu kering bagai merontokkan harapan manusia yang sudah digantungkan setinggi angkasa. Wendy menengadah menatap jejak-jejak matahari begitu terik seakan tak mengenal yang namanya kesedihan, memaksa menerobos ke sela-sela daun pohon mangga yang mulai berbuah juga menjatuhkan daun kekuningan dari pohon jati yang mengotori latar rumah. Dia bersandar ke
"Ni-nikah?" ulang Bimo masih tak percaya dengan apa yang didengar. Dia mengorek telinga kiri takut indra pendengarannya menurun drastis usai menangkap kalimat yang tak masuk akal itu. Wendy mengangguk cepat. "Iya, kita nikah aja, Mas," ajaknya tanpa basa-basi langsung menusuk Bimo dari segala penjuru berharap lelaki itu segera memberi keputusan. Jantungnya nyaris tak berdetak begitu juga tungkai yang terbalut sandal sudah tak bertulang lagi setelah memberanikan diri mengajukan permintaan paling gila kepada Bimo. Dia yakin setelah ini pria di depannya akan mengejeknya gila atau sudah keracunan sabun sampai berani mengatakan hal itu. "Tunggu sebentar, Wen," potong Bimo mencerna sekali lagi ajakan Wendy. "Kamu enggak lagi halusinasi kan?" "Enggak, aku serius, Mas Bim," kata Wendy meyakinkan. "Kita nikah, kamu bisa tunjukin ke Risya kalau ada orang yang mau diajak komitmen sementara aku bisa tunjukin ke ibu dan bapak kalau--" "Maksudmu kita menikah cuma buat mainan?" sela Bimo kesal
Setelah menikah, Wendy langsung bertolak ke Bali dengan alasan honeymoon di Pulau Dewata lebih berkesan. Padahal sebenarnya tak ingin berlama-lama di Yogyakarta untuk bercengkerama dengan keluarga besar yang terlalu ikut campur urusan pribadi. Kemarin saja setelah acara, banyak di antara mereka memberikan wejangan masalah cara mendapatkan anak lelaki maupun perempuan tanpa sungkan kalau masih ada anak-anak di bawah umur yang mendengarkan percakapan dewasa. Lagi pula, hal pribadi seperti itu tak perlulah diajari lagi karena sejatinya manusia memiliki naluri tersendiri ketika menjalani hubungan seksual. Wendy menepis kata terakhirnya. Tidak ada hubungan pasutri seperti yang tertulis dalam kontrak pun dia juga tidak mau menyerahkan keperawanannya kepada Bimo begitu saja. Dalam kamus kehidupan Wendy, bercinta itu lebih dari sekadar menyatunya dua tubuh manusia untuk mencapai surga dunia namun ada hati yang harus terlibat. Jika dia melakukannya dengan Bimo tanpa ada ikatan perasaan, maka
"Loh!" seru Wendy terkejut bukan main hampir menjatuhkan piringnya mendapati Bimo keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di pinggul. Pahatan otot dada hingga perut yang terpatri sempurna oleh tangan Sang Pencipta ditambah untaian rambut hitam yang masih basah menjadi suatu pengalaman pertama bagi Wendy. Bulir air menetes dari sela-sela rambut dan mendarat di kulit bersih Bimo bagai kristal-kristal berjatuhan. Belum lagi aroma sabun menguar menggoda indra penciumannya sampai Wendy nyaris lupa cara bernapas dan berkedip mengamati betapa indah lekukan tubuh Bimo yang biasanya tertutup seragam koki.Sisi lain di dalam diri Wendy berbisik kalau apa yang ditangkap kedua matanya saat ini tidak banyak orang yang bisa menikmati secara gratis. Walau tahu kalau pakaian yang dikenakan Bimo sehari-hari sudah cukup menunjukkan kalau otot-otot lelaki itu memang dilatih. Jadi, mungkin ini salah satu alasan mengapa banyak perempuan di D'amore mengagumi Bimo Hartawan selain tampan juga berpo