Kanaya tidak percaya kalau ia harus mengambil keputusan sebesar ini dalam waktu singkat. Membuat hidupnya berubah drastis. Kondisi kesehatan mama dan papanya yang semakin memburuk membuat Kanaya semakin sedih dan terpuruk.
Kanaya tidak pernah takut kehilangan harta, namun kehilangan orangtua dalam waktu bersamaan tak pernah terlintas di kepalanya.
Kanaya belum siap. Apalagi kedua adiknya yang belum dewasa benar. Memikirkan hal itu membuat dada Kanaya terasa sesak.
“Kanaya, kamu baik-baik saja?”
“Suster…” lirih gadis itu sambil mengusap wajahnya yang basah karena air mata.
Kanaya sempat pamit untuk keluar, namun karena terlalu lama perawat akhirnya mencari gadis itu sekalian berpamitan pulang.
“Suster udah mau pulang, ya? Maaf Kanaya jadi bikin suster terlambat pulang.”
“Tidak apa, Kanaya. Kamu mau dipeluk?”
Ditanya seperti itu Kanaya langsung mengangguk dan menangis sesenggukan di bawah tatapan kedua mata tajam yang sejak tadi juga mencarinya.
***
Tak lama Kanaya kembali ke kamar perawatan orangtuanya dan terkejut ketika mendapati Leon sedang duduk dengan kedua kaki terangkat ke atas meja di depan sofa.Kedua tangannya terlipat di dada dan pria itu memejamkan matanya dengan tenang. Leon tampaknya kelelahan. Terlihat dari keningnya yang berkerut-kerut.
Pria yang hanya mengenakan stelan celana dan kemeja yang tangannya dilinting hingga sikut itu membuat Kanaya menghela napas pelan.
Dengan langkah perlahan ia menghampiri sofa dan merapihkan jas serta dasi yang diletakkan Leon sembarangan sebelumnya.
Kanaya juga mengantuk. Tapi posisi Leon yang berada di sofa membuat Kanaya urung ikut duduk di sana. Kanaya tidak ingin membangunkan Leon. Ia memilih tidur sambil duduk menelungkupkan kepalanya di dekat tangan sang mama di sisi ranjang.
Leon yang sebenernya mengetahui keberadaan Kanaya kemudian membuka mata dan memperhatikan pemandangan di hadapannya.
Sejenak Leon tertegun menatap Kanaya yang tampaknya mulai terlelap. Ia pun memilih memejamkan matanya kembali sebelum bangun dini hari dan pergi meninggalkan ruang perawatan tersebut tanpa pamit.
“Saya boleh minta tolong?” ucap Leon pada seorang perawat.
“Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu.”
“Tolong cek pasien di kamar itu,” unjuknya pada ruang perawatan orangtua Kanaya.
“Oh, pasien dengan keluarga Mbak Kanaya, ya, Pak?”
Leon pun mengangguk. “Kanaya tadi tidur di kursi di dekat ranjang. Tolong bangunkan dan minta dia pindah ke sofa bed. Tapi jangan bilang saya yang minta.”
“Baik. Ada lagi?”
“Tidak. Terima kasih.”
Namun baru beberapa langkah Leon kembali menghampiri stasion perawat dan mengeluarkan semua isi dompet lalu menyerahkan pada perawat tadi.
“Maaf, ini untuk apa, Pak?”
“Tolong belikan Kanaya sarapan. Saya tahu ini bukan tugas kalian. Karena itu saya bayar lebih. Anggap saja sebagai fee karena mau membantu saya menjaga Kanaya.”
Perawat itu tersenyum sambil mengambil uang seperlunya dan mengembalikan sisanya.
“Saya bisa kena hukuman jika ketahuan menerima hal seperti ini. Saya akan ambil ini saja,” katanya sambil mengangkat uang seratus ribu di tangannya. “Saya akan belikan sarapan, makan siang, snack bahkan makan malam kesukaan Mbak Kanaya.”
Leon mengernyit, dengan uang seratus ribu bagaimana bisa Kanaya mendapat makanan yang layak sebanyak tiga kali dalam sehari ditambah snack pula. Namun saat ia hendak menyanggah, perawat tersebut lebih dulu membuka mulutnya.
“Saya hanya bisa membantu kali ini saja. Kalau bapak mau melakukannya lagi, bapak sendiri saja yang melakukan atau suruh saja orang lain mewakilkan. Kami bekerja dan dibayar untuk merawat pasien. Di luar itu kami tidak boleh melanggar aturan yang berlaku,” terangnya membuat Leon berdecak dalam hati.
Leon memilih pergi sambil menggerutu pelan. Bisa-bisanya, di jaman seperti ini ada orang yang menolak uang banyak hanya demi harga diri dan loyalitasnya terhadap pekerjaan.
Mungkin karena Leon terbiasa melihat orang-orang manipulatif dan berwajah dua, ia menjadi asing dengan pemandangan yang sebetulnya sering dicontohkan ayahnya sejak dulu.
Leon bahkan merasa kesal karena ia lupa meminta si perawat untuk memberitahukannya besok tentang reaksi Kanaya.
“Buat apa juga coba gue ngelakuin itu. Bodoh!” umpatnya kemudian menyalakan mobil dan meninggalkan parkiran rumah sakit dengan perasaan kesal.
Bahkan saking kesalnya dan tak ingin memasukkan kembali uang yang dikembalikan perawat tadi, Leon memberikan semua uang itu pada petugas parkir rumah sakit yang berjaga di posnya.
“Ini terlalu banyak, Pak.”
“Jangan protes dan buat saya marah, paham?!”
Sang petugas parkir kebingungan hingga ia terlambat menekan tombol untuk membuka palang pintu agar mobil Leon bisa lewat.
Leon juga sempat memaki meski tak diambil hati mengingat petugas parkir itu sudah mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.
“Dasar orang aneh,” gumamnya sambil geleng kepala. “Stres kali ya kebanyakan duit sampe bagi-bagi duit tapi nyolot,” kekehnya kemudian kembali menonton siaran bola yang sedang ia perhatikan dari layar ponselnya sebelum Leon datang.
***
Lusa malamnya, Leon yang merasa lelah dengan pekerjaan memilih pergi ke kelab dan menghabiskan waktunya hingga larut malam dengan minum-minum seorang diri.Seorang wanita cantik berpakaian seksi menghampiri dan mengajaknya minum bersama. Namun tiba-tiba saja terbersit sebuah ide jahat yang membuat Leon tersenyum menakutkan.
“Kenapa?”
“Kemarilah!” jawab Leon pada wanita yang mengajaknya minum tersebut.
Leon membisikkan sesuat. Membuat wanita itu menggerakan tangannya dengan cara yang menggoda, menyentuh dada bidang Leon yang kemudian dihentikan.
“Kenapa? Bukankah kita akan bersandirwara di depan calon istrimu?”
Leon hanya tersenyum miring. “Kamu hanya perlu melakukannya di depan dia. Bukan sekarang. Paham!”
“Ya, ya, ya. Terserah yang ngasih duit, deh,” cibir wanita itu lalu memilih minum sambil menunggu orang yang mereka bicarakan.
Ya, Leon meminta gadis itu menghubungi Kanaya dan mengatakan padanya kalau ia sedang mabuk berat dan asisten pribadinya tidak bisa dihubungi. Kanaya lantas datang dengan terpaksa tiba di tempat yang tidak pernah ingin ia masuki sama sekali dalam hidupnya.
Namun demi Leon, Kanaya mengesampingkan pikiran buruknya. Ia memasuki kelab malam mewah itu dan meminta pelayan membawanya ke ruangan yang dituju.
Leon yang menyadari kehadiran seseorang bergegas menarik perempuan yang disewanya untuk berakting dengan cepat, mencubunya dengan liar di atas pangkuannya ketika Kanaya masuk.
Kanaya yang melihat hal itu menatap datar. Ia terlalu jengah menyaksikan adegan mesum yang mungkin nantinya juga akan ia lakukan dengan Leon setelah menikah.
Leon yang menyadari tatapan Kanaya langsung menghentikan cumbuannya dan menyingkarkan wanita yang duduk di pangkuannya tersebut.
Wanita itu berusaha merayu Leon kembali dalam keadaan yang hampir telanjang mengingat gaun yang ia kenakan sangat pendek dan terbuka setelah dibuat berantakan oleh Leon. Namun Leon kembali menepis dan meminta Kanaya yang mendekat.
Kanaya pun mendekat setelah perempuan yang disewa Leon tersebut pergi. Semerbak aroma minuman keras langsung menguar dan menusuk indera penciuman Kanaya. Membuat Kanaya mengernyit sambil menutup hidungnya.
Leon yang masih bisa mengendalikan kesadarannya itu berpura-pura menarik Kanaya dan mencoba mendudukkan gadis itu di atas pangkuan seraya hendak melakukan hal serupa seperti pada wanita sebelumnya. Namun diluar dugaan Kanaya berhasil mengelak bahkan membuat Leon kalah.
‘Sial! Di mana dia belajar bela diri seperti ini?’ maki Leon yang kini hanya bisa tengkurap dengan posisi tangan terkunci di atas pinggangnya.
Leon bisa saja melawan. Tapi jika hal itu ia lakukan, Kanaya tentu akan tahu kalau ia sedang berpura-pura mabuk berat.
“Mana kunci mobil kamu?”
Leon terkekeh. Kekehan yang membuat Kanaya sempat tertegun sesaat apalagi ketika Leon merengek minta dilepaskan.
“Kamu mau ambil sendiri di saku celanaku, Sayang?”
Kanaya berdecak dan akhirnya melepaskan Leon, namun kesempatan itu digunakan Leon untuk membalas Kanaya.
Leon berhasil menjatuhkan Kanaya dan menindihkanya. Wajah mereka hanya berjarak jari dan ketika Leon mendekatkan wajahnya pada Kanaya, Kanaya berpaling. Membuat Leon mengeram dalam hati.
Tak ingin malu di hadapan Kanaya, Leon pun kembali terkekeh dan pura-pura pingsan hingga menindih Kanaya yang tak bisa berkutik kemudian.
Kanaya lantas berteriak meminta bantuan pelayan bar untuk mengambilkan kunci mobil di saku celana Leon dan membantunya membawa Leon ke dlam mobil.
“Berapa kode apartemen kamu?” tanya Kanaya setibanya di depan unit apartemen milik Leon.
Kanaya sempat menanyakan di mana Leon tinggal pada calon ibu mertuanya sehingga ia bisa membawa Leon ke sana. Leon yang sedang dibopong petugas keamana apartemen menjawab dengan cara meracau.
“Tolong dibawa ke dalam kamar, Pak,” lanjut Kanaya setelah lega karena pintu bisa dibuka.
Petugas keamanan mengangguk dan membaringkan Leon di tempat tidur. Tak lupa Kanaya memberi mereka tip sebagai tanda terima kasih.
Kanaya membantu Leon melepas sepatu dan jam tangannya. Ia juga menyelimuti Leon yang masih terus berakting mabuk tak sadarkan diri.
Kanaya duduk di samping tempat tidur Leon dan menatap pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya tersebut.
Puas menatap pria yang kini memunggunginya, Kanaya beranjak pergi. Namun tak diduga Leon bangun dan membopong tubuh Kanaya ke atas kasur.
Kanaya benar-benar tak bisa berkutik ketika Leon mengunci tubuhnya hingga kesulitan bergerak.
Leon yang bisa merasakan debar jantung Kanaya diam-diam tersenyum menang. Ia memejamkan mata dengan puas hingga terlelap dan paginya saat ia terbangun Leon mendapati Kanaya sudah tidak ada di kamar apartemennya.
Leon pun keluar kamar dan mendapati seorang gadis sedang menyiapkan makanan di dapurnya.
“Pagi, Leon Sayang.”
Leon mengerutkan kening. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?”
“Kanaya yang buka pintu.”
“Berarti kamu bertemu Kanaya?”
Gadis itu mengangguk sambil menghampiri Leon dan duduk di atas pangkuannya. Leon tak menolak seperti biasanya karena itu yang mereka sepakati semalam, saat Leon memintanya datang di pagi hari sambil membawakan sarapan.
Belasan pria bertubuh tegap dan berwajah garang tampak keluar dari Kantor Urusan Agama. Tatapan mereka terlihat siaga dan awas ke segala arah sambil mengawal sepasang pria dan wanita yang berjalan sambil bergandengan.Di belakang pasangan itu, mengikuti sepasang pengantin muda yang tampak baru menyelesaikan urusan pernikahan mereka di sana. Sang istri lantas berbalik dan menghampiri pengantin wanita cantik di belakangnya.Diraihnya sebelah tangan pengantin wanita yang mengenakan kebaya berwarna putih sederhana itu dan ditangkupnya dengan telapak tangan yang lain.Wajah sang pengantin yang cantik dan mengaggumkan membuatnya tampak sangat menawan di balik balutan kebaya putih pilihan mertuanya tersebut.“Bunda dan ayah pulang dulu, ya, Kanaya. Kalian berbulan madu saja yang tenang,” ucapnya lalu memiringkan kepala dan menatap pengantin pria yang berdiri tak jauh dari mereka. “Jaga menantu Bunda baik-baik, ya, Leon. Awas kalau kamu jahatin. Bunda–““Ehem!” potong sang suami mengingatkan.
Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata dan memejamkannya kembali ketika sebuah sinar yang cukup terang membuatnya silau."Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?""Saya di mana?" tanya Kanaya sebab tak mengenal suara perempuan yang terdengar di telinganya."Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."'Villa Seruni? Di mana itu?' batin Kanaya alih-alih berkata, "Sembuh?"Kanaya memaksa membuka matanya. Dan ketika semua tampak jelas, Kanaya bisa meneliti satu persatu apa saja yang ada di sekitarnya. Kamar yang tampak besar dan luas dengan perabotan lengkap bertema tropis menjadi pemandangan pertamanya sebelum Kanaya menyadari sebuah infus tergantung di tiang yang ada di sebelah kiri tempat tidur. Tatapan Kanaya pun menurun pada tangannya yang sudah terpasangi selang infus.Helaan napas lemahnya terdengar kemudian. Membuat Miranti bergegas menghampiri lebih dekat dan membantu Kanaya u
Kanaya melenguh oleh sebab rasa yang sangat menyakitkan. Dan ketika kedua bola matanya terbuka sempurna, ia mulai panik usai menatap langit-langit ruangan yang menaunginya. Dengan susah payah Kanaya bangun lantas melihat pakaiannya yang sangat berantakan. Kanaya pun merapihkan pakaian yang juga setengah terbuka dengan kondisi kalut sambil menitikkan air mata. Dan tepat ketika ia berhasil berdiri dengan susah payah, lenguhan suara lain membuat kaki Kanaya seperti disemen. Tubuh Kanaya sejatinya bergetar hebat. Namun Kanaya tidak berani menatap ke arah suara yang posisinya kini tepat berada di belakangnya. “Kenapa, Kayana? Kenapa?” Kanaya menjenggit, berbalik dan tepat saat itu juga Leon yang baru pulang dalam keadaan mabuk membuat Kanaya kaget. “Leon? Kamu ma–“ “Kenapa? Kenapa Kanaya?” “Maksud kamu?” Kanaya sedang melamun di tepian kolam renang ketika Leon datang tanpa disadari. Dan kini, posisi Kanaya malah tersudut karena Leon yang terus membuatnya terus mundur ke tepian ko
“Berkemas!”Kanaya yang sedang mencuci gelas yang sudah ia gunakan langsung berbalik sambil mengelap tangannya dengan serbet.“Sekarang?”“Hmm.”“Tapi bukannya kita–““Kondisi orangtuamu memburuk. Bunda minta kita pulang sore ini juga,” terang Leon tenang.Serbet di tangan Kanaya jatuh. Tangannya berpegangan pada kitchen set yang sedang ia belakangi.Leon yang melihat hal tersebut menarik napas pelan sebelum menghampiri Kanaya.“Ayo!” ajak Leon mengulur tangan.Kanaya hanya menatap uluran tangan kekar dan kokoh itu hingga Leon yang kehilangan kesabarannya menarik Kanaya.Meski gerakan yang Leon lakukan tidak kasar, namun tubuh Kanaya yang sedang limbung akhirnya jatuh.Leon hanya mengingat kata-kata bundanya di telepon beberapa menit lalu. Karena itu, ia memperlakukan Kanaya dengan lebih lembut.Leon menggendong Kanaya dan membawanya ke kamar. Ia lantas memanggil Miranti untuk membantu membereskan barang-barang Kanaya ke dalam koper.“Kamu mau minum?” tanya Leon tak ditanggapi Kanaya.
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan