Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata dan memejamkannya kembali ketika sebuah sinar yang cukup terang membuatnya silau.
"Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?"
"Saya di mana?" tanya Kanaya sebab tak mengenal suara perempuan yang terdengar di telinganya.
"Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."
'Villa Seruni? Di mana itu?' batin Kanaya alih-alih berkata, "Sembuh?"
Kanaya memaksa membuka matanya. Dan ketika semua tampak jelas, Kanaya bisa meneliti satu persatu apa saja yang ada di sekitarnya.
Kamar yang tampak besar dan luas dengan perabotan lengkap bertema tropis menjadi pemandangan pertamanya sebelum Kanaya menyadari sebuah infus tergantung di tiang yang ada di sebelah kiri tempat tidur. Tatapan Kanaya pun menurun pada tangannya yang sudah terpasangi selang infus.
Helaan napas lemahnya terdengar kemudian. Membuat Miranti bergegas menghampiri lebih dekat dan membantu Kanaya untuk duduk.
"Ibu perlu sesuatu?" Kanaya hanya menggeleng. "Ibu kalau perlu apa-apa bilang saja sama saya."
"Nama kamu siapa?"
"Nama saya Miranti, Bu."
"Kamu kerja di sini?"
"Suami saya kerja sebagai penjaga villa di sini."
Kanaya hanya mengangguk sebelum pintu tiba-tiba terbuka, membuat keduanya kompak menoleh.
"Iya, Bunda. Kanaya sudah baikan kok. Nih kalau nggak percaya."
Leon mendekat dan memberi isyarat pada Miranti untuk pergi dari kamar. Pria itu bergegas duduk di samping Kanaya, merangkul bahu dan menarik Kanaya mendekat agar wajah Kanaya terlihat dalam sambungan video callnya dengan sang bunda.
"Kanaya, kamu baik-baik saja, Sayang? Bunda dapet kabar katanya kamu pingsan turun dari pesawat."
Sejenak Kanaya merasa bingung hingga remasan jemari Leon yang menguat di lengannya membuat perempuan itu tersadar.
"Hmm, Kanaya juga nggak tau, Bunda."
"Kalian habis ngapain, sih, kok sampai Kanaya bisa pingsan?"
Leon menatap Kanaya dengan senyum malu-malu, tidak dengan Kanaya yang justru terlihat semakin bingung dengan semua ini.
"Maaf, ya. Saya nggak bisa kontrol saat di pesawat," ucap Leon lalu mengecup kening Kanaya dengan lembut sementara sang bunda di seberang layar sana terlihat lega.
"Ya sudah. Kalau begitu biar Kanaya istirahat, Leon. Kamu nggak usah ganggu Kanaya dulu."
"Bunda yang minta cepat-cepat punya cucu."
‘Cucu?’ batin Kanaya sambil memutar igatannya kembali.
"Ya tapi nggak perlu sampai Kanaya pingsan. Kamu ini gimana, sih, jadi laki-laki belajar peka." Perempuan paruh baya itu mengomel dengan lantang.
“Iya. Iya. Ya sudah. Leon tutup dulu kalau begitu.”
“Nanti Bunda telepon lagi, ya, Sayang.” Alih-alih menjawab ucapan sang anak, Bunda Leon lebih mencemaskan menantunya.
“Bund, Bunda juga jangan telepon terus. Kanaya biar istirahat. Leon akan urus Kanaya dengan baik,” protes Leon yang jelas tak suka karena itu artinya sang bunda akan mengawasi mereka lebih banyak.
“Ya sudah kalau begitu. Kalian baik-baik di sana, ya.”
Kanaya memaksakan senyum diantara kebingungan yang masih mendera. Sementara Leon kembali ke mode dinginnya.
Bergegas Leon melepaskan rangkulannya dan berdiri setelah sang Bunda tak nampak di layar ponselnya lagi.
Menatap tajam pada Kanaya, Leon memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berkata, “Nanti ada dokter yang akan memeriksa kamu. Katakan saja apa yang terasa sakit dan membuat kamu tidak nyaman.”
Kanaya semakin bingung, alih-alih mengangguk, ia justru balik menatap Leon dengan penasaran.
“Apa–“
“Tidak ada pertanyaan.”
Lalu setelahnya Leon berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar begitu saja, bertumbukkan dengan netra Miranti yang terkejut karena ketahuan sedang menguping.
“Maaf, Tuan. Saya–“
“Masuk! Urus Kanaya dengan baik.”
‘I-iya, Tuan.”
Miranti bergegas masuk sambil membawa nampan makanan untuk Kanaya.
“Ibu makan dulu, ya. Ibu juga harus minum obat supaya lekas sembuh.”
“Kamu tahu itu obat apa?”
Miranti terdiam sesaat. “Tuan bilang obat pereda nyeri dan vitamin untuk Ibu.”
Kanaya mengangguk, memberikan izin Miranti untuk menyuapinya hingga selesai.
Meski ragu, Kanaya memilih tunduk dan patuh pada perintah Leon sekalipun ada hal yang mengganggu pikirannya.
Kalau dokter belum memeriksanya, bagaimana Leon bisa memberikan obat itu untuknya?
“Mungkin dia lebih tau,” gumamnya sebelum kantuk kembali menyerang.
Dalam tidurnya, Kanaya malah bermimpi tentang hal yang ia pikirkan sebelumnya. Tentang apa yang terjadi di antara ia dan Leon saat di pesawat.
Dan Kanaya terbangun ketika akhir bagian mimpi itu membuatnya begitu ketakutan.
Miranti yang sedang membereskan pakaian Kanaya di lemari bergegas mendekat.
“Bu Kanaya kenapa?”
Kanaya menggeleng lalu menunjuk gelas minumnya di nakas. Miranti tanpa diperintah langsung mengambilnya dan memberikan pada Kanaya.
“Ibu mimpi buruk, ya?” Kanaya menatap Miranti sambil memberikan gelas yang dipegangnya. “Maaf, tadi saya sedang bereskan lemari Ibu. Terus Ibu mengigau, Ibu mimpi apa?”
Kanaya menghembuskan napas berat kemudian.
“Nggak papa. Cuma mimpi tidak menyenangkan saja,” ujarnya diangguki Miranti kemudian.
“Ibu mau ke mana?”
Miranti terkejut ketika Kanaya menyibak selimut dan melepaskan selang infusnya dengan terampil.
“Loh, Bu. Kok malah dilepas infusnya?”
“Nggak apa. Saya sudah baikan kok,” ujar Kanaya menenangkan sembari mematikan laju infus dengan tangannya yang lain. “Saya ingin mandi. Kamu bisa bantu siapkan perlengkapannya di kamar mandi? Saya ingin berendam.”
“Ibu yakin mau mandi? Apa mau saya lap saja pakai handuk hangat?”
Kanaya menggeleng. Ia benar-benar ingin mandi dan membersihkan tubuhnya yang ‘terasa’ kotor setelah mengingat semua yang terjadi padanya di pesawat.
Miranti bergegas menuruti perintah sang majikan. Ia juga kemudian mondar-mandir di depan pintu selama Kanaya membersihkan dirinya di dalam kamar mandi.
Miranti takut majikan barunya itu terjatuh karena tubuhnya yang masih sakit.
“Bu, Bu Kanaya sudah selesai belum mandinya? Kok lama, Bu? Nanti ibu bisa sakit kalau kedinginan lama-lama di kamar mandi,” teriak Miranti panik.
“Sebentar lagi,” seru Kanaya dari dalam, membuat Miranti bernapas lega.
Tak lama Kanaya pun keluar dengan bathrobe melapasi tubuhnya. Semerbak wangi sabun dan shampoo yang menyegarkan membuat Miranti tersenyum menatap Kanaya.
“Ibu jadi segeran. Tapi kok kulit Ibu merah begitu, Bu?” tunjuk Miranti janggal.
“Iya, mungkin karena tadi saya pakai air dingin.”
“Kenapa nggak pakai air hangat, Bu?”
“Badan saya terasa lebih nyaman setelah mandi air dingin.”
Miranti manggut-manggut saja lalu memberikan baju untuk Kanaya.
Jika saja Miranti tahu apa yang dilakukan Kanaya di dalam kamar mandi tadi, mungkin ia akan merasa kasihan.
Ya, Kanaya memang mandi. Namun alih-alih membersihkan diri seperti mandi pada umumnya, Kanaya menggosok tubuhnya berulang kali dengan spon dan sabun hingga ia merasa benar-benar bersih. Bersih dari apa yang kembali membawanya pada ingatan di masa lalu.
Masa di mana Kanaya mendapati dirinya terbangun dengan pakaian yang berantakan di gudang sekolah bersama seorang pemuda yang cintanya ia tolak beberapa hari sebelumnya.
Sejak hari itu, Kanaya tahu dirinya sudah kehilangan kesucian dirinya. Dan sejak hari itu juga, Kanaya memilih pergi dan tinggal di tempat yang jauh, tempat di mana tidak ada orang yang mengenalinya hingga takdir membawa ia kembali dan bertemu dengan pria yang justru menorehkan luka yang sama pada Kanaya.
Kanaya melenguh oleh sebab rasa yang sangat menyakitkan. Dan ketika kedua bola matanya terbuka sempurna, ia mulai panik usai menatap langit-langit ruangan yang menaunginya. Dengan susah payah Kanaya bangun lantas melihat pakaiannya yang sangat berantakan. Kanaya pun merapihkan pakaian yang juga setengah terbuka dengan kondisi kalut sambil menitikkan air mata. Dan tepat ketika ia berhasil berdiri dengan susah payah, lenguhan suara lain membuat kaki Kanaya seperti disemen. Tubuh Kanaya sejatinya bergetar hebat. Namun Kanaya tidak berani menatap ke arah suara yang posisinya kini tepat berada di belakangnya. “Kenapa, Kayana? Kenapa?” Kanaya menjenggit, berbalik dan tepat saat itu juga Leon yang baru pulang dalam keadaan mabuk membuat Kanaya kaget. “Leon? Kamu ma–“ “Kenapa? Kenapa Kanaya?” “Maksud kamu?” Kanaya sedang melamun di tepian kolam renang ketika Leon datang tanpa disadari. Dan kini, posisi Kanaya malah tersudut karena Leon yang terus membuatnya terus mundur ke tepian ko
“Berkemas!”Kanaya yang sedang mencuci gelas yang sudah ia gunakan langsung berbalik sambil mengelap tangannya dengan serbet.“Sekarang?”“Hmm.”“Tapi bukannya kita–““Kondisi orangtuamu memburuk. Bunda minta kita pulang sore ini juga,” terang Leon tenang.Serbet di tangan Kanaya jatuh. Tangannya berpegangan pada kitchen set yang sedang ia belakangi.Leon yang melihat hal tersebut menarik napas pelan sebelum menghampiri Kanaya.“Ayo!” ajak Leon mengulur tangan.Kanaya hanya menatap uluran tangan kekar dan kokoh itu hingga Leon yang kehilangan kesabarannya menarik Kanaya.Meski gerakan yang Leon lakukan tidak kasar, namun tubuh Kanaya yang sedang limbung akhirnya jatuh.Leon hanya mengingat kata-kata bundanya di telepon beberapa menit lalu. Karena itu, ia memperlakukan Kanaya dengan lebih lembut.Leon menggendong Kanaya dan membawanya ke kamar. Ia lantas memanggil Miranti untuk membantu membereskan barang-barang Kanaya ke dalam koper.“Kamu mau minum?” tanya Leon tak ditanggapi Kanaya.
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan