Steve menatap wajah yang masih terlihat shock karena kejadian sore ini. "Aku tidak akan melarangmu bertanya, jadi katakanlah."
"Apa kamu yang mengancam Mia dan kakaknya untuk pindah dan menjauhiku?"
Steve mengernyitkan dahinya berusaha mengingat orang yang di ucapkan Zira. "Apa maksudmu mereka yang datang di acara akad nikah kita?"
Zira menganggukkan kepalanya. "Bukan aku."
"Tapi siapa lagi kalau bukan kamu, selama ini hanya kamu yang selalu mengancamku dengan nama mereka."
"Zira untuk apa juga aku menyuruh mereka pindah dan menjauhimu, sedangkan kamu ada di sisiku," ucap Steve sambil membuka kancing kemejanya dan menghadap Zir
Steve melihat kecanggungan di wajah Zira, ia pun menyunggingkan senyuman. . "Tenang saja mah kita sedang berusaha memproduksinya." Jawaban Steve berhasil membuktikan Roselly tersenyum dan membuat Zira tercengang. Acara sarapan selesai, Zira mengantarkan Steve hingga ke depan pintu rumah. CUP Sebuah kecupan di kening yang melambangkan kasih sayang kini menjadi kebiasaan Steve di pagi hari. Zira berusaha mempercayai perubahan Steve, meski sebenarnya masih banyak keraguan dalam hati. Ia melambaikan tangannya pada menunggu hingga mobil yang Steve tumpangi hilang di balik pagar besi yang tinggi. "Mah, apa benar kalian akan pergi ke Canada?" tanya Zira. Ia duduk di sofa ruang tamu bersih ibu dan adik iparnya.
"Mamah...?""Tuan Nyonya bilang Bella adalah adik dari temannya, jadi nyonya Roselly memberikan ia kesempatan untuk bekerja di sini.""Hmm, selidiki latar belakang wanita itu, dan pastikan tidak ada yang terlewati.""Baik tuan.""Aku akan segera menemui Zira."Steve berjalan ke ruangannya. Ia membuka pintu dan mendapati Zira yang tengah terlelap. "Dasar gadis aneh, baru tadi aku melihatnya duduk dengan wajah sedih, tapi sekarang malah sudah tertidur pulas." Ia mensejajarkan tubuhnya dan menatap Zira, ia menyeringai lalu mengangkat tubuh Zira dengan hati-hati menuju ke sebuah kamar yang tersedia dalam ruangan itu.
Ia tersenyum saat melihat pesannya langsung terbaca. Dan tak lama kemudian pesan balasan pun masuk.{Bagus sayangku. Jika semua sesuai rencana maka kita akan berhasil membalaskan dendam kita karena kesombongan mereka. Aku tidak akan melakukannya tanpamu sayang, setelah semuanya berhasil sesuai yang kita inginkan, maka kita bisa segera menikah dan kamu akan bebas menikmati kekayaanku.} Bella pun sangat senang setelah membaca pesan tersebut.Di dalam ruang kerja, Steve mengamati wajah Zira yang masih terlihat murung. "Sayang, kamu pasti sudah lapar bukan, bagaimana jika kita memesan makanan?" tanyanya."Kenapa kita tidak keluar untuk makan saja?""Apa kamu ingin pergi keluar?" Zira menganggukkan kepa
"Tapi mungkin itu ide bagus juga jika kali ini aku menghitungnya sebagai hutang. Hanya saja aku tak memerlukan kamu membayarnya dengan uang. tapi...," ucap Steve tersenyum memandang ke arah dada Zira, "cukup kamu membayarnya nanti malam."Zira sontak memegangi dadanya. "Jangan berfikir mesum. Lagipula aku belum siap melakukannya.""Aku suamimu dan tidak membutuhkan kesiapanmu untuk melayaniku.""Apa kamu akan memaksaku?""Tidak. Tapi aku akan membuatmu menyerahkannya dengan sukarela. Ingat kamu adalah istriku dan harus melakukan apa yang sudah menjadi kewajibanmu."Zira diam dengan muka kusutnya. Sementara Steve justru merasa senang
"Tapi apa maksud dari ucapan pria tadi, apa maksudnya menebus kesalahan orang yang sudah menabrakku?""Tunggu, bukankah dia...." Zira mengingat seseorang. Zira segera menoleh ke belakangnya. Pria itu telah pergi, ia mencoba mencari di sekeliling, namun pria itu sudah tak terlihat. Mata Zira tertuju pada lift yang mengarah menaiki bukit."Apa mungkin dia sudah naik keatas? Tapi aku tidak bisa pergi dari sini, Steve akan mencariku, dan jika dia tidak menemukanku dia pasti akan marah."Zira duduk kembali di kursinya, hatinya tak tenang dan merasa penasaran tentang apa yang dikatakan pria itu."Aku harus mencarinya dan menuntut penjelasan dari setiap ucapannya."
"Apa…, di antara kalian pernah ada yang mengalami kecelakaan? seperti menabrak seseorang hingga orang tersebut mengalami gegar otak dan hilang ingatan hingga saat ini?""Kenapa kamu tanya hal seperti itu?""Aku hanya ingin tahu.""Jika ada, apa yang akan kamu lakukan?"Zira menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Tapi mungkin aku hanya akan bertanya sesuatu tentang tanggung jawab mereka. Kejadian ini benar-benar membuat orang tersebut menderita.""Apa kamu tengah bertanya tentang siapa yang menabrakmu dua tahun yang lalu?"Zira menatap Steve karena kaget denga
"Darimana dia bisa mendapatkan pertanyaan itu. Apa mungkin dia akan membenci Cherry jika mengetahuinya? atau justru ingin pergi dari rumah ini meninggalkanku?"Steve merasa bimbang, ia tidak tau harus jujur atau tetap merahasiakannya. Setelah membersihkan badan ia pun keluar dari kamar mandi dan mendapati Zira yang masih duduk di tepi ranjang."Apa kamu akan tetap diam di sana? Segeralah mandi, aku akan menunggumu untuk makan malam bersama Mamah dan Cherry," ucap Steve"Aku masih kenyang. Jika kamu ingin makan, pergilah dan tak perlu menungguku," ucap Zira yang masih membuang mukanya.Steve tak ingin berdebat, ia keluar dari kamar dan membiarkan Zira menenangkan hatinya.
Roselly menggapai gagang pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya semua orang saat pintu terbuka dan mendapati Zira yang berdiri di depan pintu dengan air mata yang berlinang."Aku mendengar semuanya," ucap Zira."Zira," ucap Steve yang langsung menghampiri dan menarik tubuh Zira ke pelukannya.Cherry menghampiri ibunya, ia menggenggam tangan ibunya karena merasa gugup dan takut. Cherry sudah nyaman dengan kehadiran Zira tapi mungkin saat ini kakak iparnya akan berbalik membencinya. Roselly menatap putrinya, ia menggerakkan ujung matanya seakan menyuruh Cherry melakukan sesuatu.Cherry memberanikan diri untuk mendekat kearah Zira. "Kak Zira...," ucap Cherry sedikit terbata, "maafk
Zira menggelengkan kepalanya, dan air matanya mengalir semakin deras, ia kemudian menghamburkan tubuhnya ke Steve. "Terimakasih, aku sangat senang dengan ini semua," ucap Zira dalam pelukan Steve. Mia ikut meneteskan air mata bahagianya. Zira menatap Steve sambil bertanya. "Tapi bagaimana kamu tau jika ini adalah kering aku dan kedua orangtuaku?" Steve hanya tersenyum dan mengarahkannya matanya ke Mia. Zira pun menoleh ke arah mia, ia melepaskannya pelukanku pada Steve dan mendekati Mia. "Maafkan aku sempat marah padamu," ucap Zira. "Kamu memang pantas marah padaku Zira," ucap Mia. Mereka pun akhirnya saling berpelukan. "Sebaiknya kita segera masuk, kasian anak-anak yang sudah menunggumu," ucap Steve. Zira dan Mia pun mengangguk, mereka melangkah masuk kedalam ru
"Sudah sampai," ucap Han datar."Terimakasih. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" ucap Mia dengan tatapan matanya yang mengarah ke depan tanpa menoleh kearah Han."Hemm.""Sepertinya adik bosmu sangat menyukaimu, tapi kenapa kamu terlihat sangat acuh padanya?"Han menoleh ke arah Mia. "Darimana kamu tau dia menyukaiku?"Mia pun menoleh ke arah Han yang menjawab pertanyaannya. "Aku selalu melihat ekspresi wajahnya yang akan langsung berubah masam ketika kamu bersamaku. Aku yakin dia sedang cemburu.""Aku tidak tahu."
"Kenapa kalian semua diam, aku ingin pulang dan bertemu ibu, kenapa dia tidak ada di sini?" ucap Zira kembali."Zira kamu masih sakit, dan harus banyak istirahat. Setelah sembuh kamu pasti akan bertemu dengan ibumu," ucap Roselly."Aku ingin bertemu ibuku.""Sayang, bersabarlah. Percayalah pada kami," ucap Steve. Ia memegang tangan Zira sambil menatapnya."Tuan, aku …," Zira merasa canggung. Dia memang mengenal Steve dan tau persis siapa Steve, namun dia lupa dan belum bisa menerima jika saat ini Steve adalah suaminya."Aku mengerti, tapi aku yakin perlahan kamu akan mengingat tentang hubungan kita."
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Cherry. Ia tidak sadar jika ucapannya telah salah."Apa itu benar?" tanya Zira. "Tapi bagaimana itu bisa terjadi. Aku, ahh." Zira kembali meringis kesakitan dan memegangi kepalanya."Sayang," ucap Steve. Ia langsung menggenggam tangan Zira. "Kita sudah menikah dan kita baru kehilangan calon anak pertama kita." Ucapan yang begitu saja lolos dari bibir Steve membuat Zira menatap kearah pria yang saat ini tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca."Kita, menikah?" Seakan tidak percaya, Zira menoleh kearah Mia dan mengharapkan jawaban darinya. Mia satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini. Mia menganggukkan kepalanya dan Zira pun kembali menoleh kearah Steve, ia menarik tangannya dari genggaman Steve d
Mata Cherry penuh kekesalan menatap Mia dan Han. Cemburu itulah yang sebenarnya sedang ia rasakan. 'Han, kamu sungguh keterlaluan. Aku lebih lama mengenalmu tapi sekali pun kamu tidak pernah mengukir senyum untukku. Sedangkan dia? Huh, menyebalkan sekali,' batin Cherry."Cherry," panggil Roselly membubarkan lamunannya."Eh, iya mah?""Apa yang sedang kamu pikirkan, mamah memanggil kamu dari tadi malah nggak nyaut.""Maaf mah. Memangnya ada apa mah?""Pergilah membeli makanan, kita semua belum makan. Jangan sampai kita juga ikut sakit saat Zira sadar nanti."
"Apa kakak baik-baik saja?" tanya Mia membuyarkan lamunan Rian."Aku baik-baik saja.""Nak Rian, aku yakin kamu tahu yang terbaik buat Zira," ucap Roselly."Mungkin aku memang sangat menyayangi Zira, tapi aku juga tidak akan pernah mengambil apa yang sudah menjadi milik orang lain. Hanya saja, aku selalu ingin dia bahagia tanpa ada penderitaan lagi yang ia rasakan. Dan sekarang apa yang harus aku lakukan dengan keadaannya yang seperti ini?"Semuanya terdiam, Roselly pun tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu anaknya sangat mencintai Zira, namun saat ini Zira belum bisa mengingat apa yang terjadi selama ini bersama Steve. Sedangkan orang yang bisa membantunya perlahan mengingat semua kejadian dua
Suara lirih Zira yang menandakan ia sadar membuat semua mata di ruangan tersebut menoleh ke arahnya. "Ibu tolong aku Bu," ucap Zira yang masih memejamkan matanya.Roselly memencet sebuah tombol di dekat ranjang untuk memanggil dokter, ia lalu menggenggam tangan Zira dan mencoba membangunkannya. "Sayang sadarlah, mamah ada di sini.'"Ibu, jangan pergi. Mia kamu dimana?" Zira masih terus memanggil ibunya, dan kali ini nama Mia pun terdengar dalam ucapannya. Di ruangan yang dingin keringat Zira mulai bercucuran. Rasa takut terlihat dari raut wajah dengan mata terpejamnya.Mia segera menggenggam tangan Zira dan berusaha menyadarkan sahabatnya. "Zira, aku di sini. Sadarlah," bisik Mia.Perlahan mata Zir
"Apa maksudmu, ada kemungkinan dia tidak bisa mengingatku?" tanya Steve lirih. Doni menganggukkan kepalanya. "Ya, tapi itu masih kemungkinan." Steve terdiam sejenak, hatinya merasa gelisah setelah mendengar perkataan Doni. Ada rasa takut dihatinya, takut jika saat Zira sadar ia benar-benar sudah melupakan Steve. Rian keluar dari ruangan tersebut di gandeng seorangpun suster. "Kak Rian," ucap Mia menghampiri. "Tolong minta kakak anda istirahat, karena dia menolak untuk istirahat di dalam. Badannya masih terasa lemas karena sudah mendonorkan darah yang cukup lumayan banyak, nanti dokter Doni akan memberitahu resep obat untuk kakak Anda," ucap suster tersebut pada Mia.
"Aahhhh!" Teriak Zira dengan tubuh yang terguling menuruni anak tangga. "Kak Zira," Teriak Cherry yang melihat Zira terjatuh dari tangga. Ia Pun langsung berlari ke arah Zira sambil berteriak histeris. "Kak Steve, kak Zira jatuh!" Semua orang berlarian termasuk Steve dan Han yang bergegas keluar dari ruang kerja saat mendengar teriakan Cherry. Mereka semuanya berlari menuju tangga menghampiri Zira yang sudah tergeletak di ujung tangga tak sadarkan diri dan berlumuran darah. "Zira!" Teriak Steve yang langsung menghampiri tubuh Zira dan langsung menopangnya. "Zira, sadarlah. Aku mohon sadarlah," ucap Steve. Ia terlihat sangat panik saat melihat darah di pelipis Zira yang mengalir deras, dan pendarahan yang begitu parah.