Farhan HabibiKapan pulangKalila yang baru saja duduk di pojok perpustakaan tersenyum geli membaca pesan Farhan. Baru tiga puluh menit meninggalkan rumah, sudah ditanya kapan pulang, seperti seekor burung yang tak sabar menanti induknya datang membawa makanan. Kalila PutriBaru juga nyampai, BangTadi saya sudah bilang, di kampus sampai presentasi kelarKalila meletakkan ponsel di meja kemudian mengeluarkan laptop dan notes dari ransel. Semalam, ia sudah menyusun draft rencana presentasi sehingga hari ini ia tinggal menyusunnya dalam format power point. Skripsinya mengambil Serat Centini sebagai sumber analisis dan diskusi. Ia sudah membawa manuskrip kuno itu dan meletakkannya juga di atas meja. Amunisinya sudah lengkap, termasuk minum dan camilan. Pagi itu, Kalila sudah siap tempur. Bekerja di perpustakaan kampus menjadi pilihan Kalila karena di rumah, Farhan sering sekali datang mengganggu. Ada saja yang diinginkan pria itu sehingga Kalila kehilangan konsentrasi. Belum lama Kali
Miranti tercenung mendengar pertanyaan Kalila. Ia belum berpikir sejauh itu. Sejauh ini ia berpikir jika aksi mereka akan aman. Aksi di dunia maya tidak mudah diendus dan dibongkar. "Aku tidak mau kamu terseret dan jadi korban," lanjut Kalila. "Sejak aku membantu kalian, aku sudah masuk kasus ini, La. Tanggung. Kita selesaikan sekalian." "Aku tidak mau kamu mati." Kalila mengucapkan kalimat itu dengan suara bergetar. Membayangkan orang-orang di sekitarnya terbujur kaku sudah membuat hatinya ngilu. Sejak kasus ini terjadi, Kalila benar-benar merasa takut kehilangan dan melihat orang lain kesakitan. "Aku tidak akan mati kalau belum waktunya mati.""Semua juga tahu kayak gitu, Mir. Hidup dan mati memang urusan Allah." "Nah, itu tahu." "Masalahnya, apa yang akan kita lakukan ini mengundang bahaya. Kita sedang menghadapi seekor singa dan mereka bisa saja melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pada Papa dan Bang Farhan." "Aku tahu. Tapi kita menyebar berita itu lewat akun a
Kaki Kalila maju selangkah. Dieratkannya genggaman tangannya pada Farhan. “Sebenarnya ….” Ia harus mencari kata yang tepat. Kalila tidak mungkin mengatakan kalau ia sangat terganggu dengan pesan Farhan. “Aku wa, telepon, karena perhatian. Khawatir kamu kenapa-kenapa. Kamu nggak pengen diperhatikan suami?"Embusan napas kasar keluar dari mulut Farhan. Ia benar-benar tersinggung dengan ulah Kalila mematikan ponsel. Farhan merasa diabaikan. Atau takut diabaikan? Entahlah. Farhan selalu khawatir setiap kali Kalila ke kampus. Ia berpikir jika Kalila pasti punya banyak teman laki-laki, terutama teman di teater Semut Merah. Ia sudah sering melihat Kalila duduk melingkar dengan banyak laki-laki. Ia juga beberapa kali melihat Kalila beradu peran dan mementaskan musikalisasi puisi, tentu saja dengan pria. Farhan yakin, satu dua di antara mereka bisa jadi menyimpan perasaan lebih pada Kalila, sebagaimana pernah terjadi pada Haiyan. Karenanya, Farhan selalu takut, selalu khawatir, bunga yang t
Bibir Kalila tertutup rapat. Ia memejamkan mata, pura-pura tidur meski otaknya berusaha mencerna ucapan Wisnu. "Kamu tolong ngerti keadaan Farhan. Nggak ada salahnya kamu mengalah dengan minta maaf lagi."Diam. Tidak ada balasan dari Kalila sehingga Wisnu memutuskan berhenti bicara. Esok lusa ia akan bicara pada Farhan agar pria itu mengerti betapa keras kepala dan kekanak-kanakannya Kalila. Sekian waktu diam, Wisnu dan Kalila akhirnya tertidur. Ketika Kalila terbangun, jarum jam dinding telah menunjukan angka tiga. Di sampingnya, Wisnu tidur sangat nyenyak. Dengkuran halusnya memenuhi udara kamar dan dadanya bergerak teratur turun naik. Kalila beringsut sepelan mungkin agar tidak membangunkan Wisnu. Perlahan ia menapakkan kaki ke lantai lalu mendekati pintu. Hati-hati, ia memutar gagang pintu dan menariknya ke dalam. Setelah ia berada di ruang tengah, Kalila kembali menutup pintu, sangat pelan, meski tetap menimbulkan suara, tetapi tidak terlalu kentara. Saat berbalik, Kalila ter
Ada yang mengganggu pikiran Kalila sejak semalam sehingga ia sangat sulit untuk memejamkan mata dan terjaga hingga lewat tengah malam meski Farhan terus mendekapnya. Hari ini ia akan bertemu perempuan yang telah kehilangan dirinya, perempuan yang kehidupannya telah direnggut oleh Airlangga Atmaveda. Sekarjati, Gendhis Ayu Sekarjati. Nama itu terus terngiang di telinga Kalila, berdengung-dengung menyertai Kalila yang sibuk menyiapkan sarapan dan makan siang karena ia berencana pergi sampai sore bersama Miranti. Mendadak semua sisi rumah seperti dipenuhi tempelan kertas bertuliskan Sekarjati. "Apa Anda hanya akan membuka lagi kotak hitam yang sudah kami kunci dan kubur untuk memeras Airlangga? Anda ingin memanfaatkan kesulitan kami untuk keuntungan pribadi? Seberat apa hidup Anda sampai menghalalkan segala cara seperti ini? " Tenang, jernih, tetapi tajam menusuk, suara perempuan di seberang ketika dua hari lalu Kalila menelepon dan meminta izin bertemu dengan Sekarjati. "Sudah cukup
Maaf, teman-teman, kalau bab ini tidak nyambung dengan bab 60. Insyaallah bab 60 sudah saya revisi, tetapi saat ini masih ditinjau. Teman-teman bisa baca ulang setelah review selesai. Sekali lagi mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Enjoy reading :-)***"Itu bukan lipstik, Bang." Kesabaran Kalila terangkat selapis. Ditatapnya Farhan dengan jengkel. “Nggak ada efek apa-apa juga ke bibir.”“Ngapain pakai kalau nggak ada efek?” sahut Farhan cepat. “Jadi gimana? Aku tunggu di mobil, ya?" Diabaikannya protes dan kekesalan Kalila kemudian kembali mencari cara agar bisa ikut. "Tidak usah, Bang. Belum ada izin dari Pak Andromeda. Bang Farhan masih dipingit sampai waktu yang belum ditentukan." Kalila tersenyum senang. Akhirnya ia punya jurus jitu untuk menghalangi Farhan. Ia harus bisa keluar rumah tanpa Farhan. "Aku bisa pakai topi dan masker." "Tetep kelihatan, lho. Dari badan, baju, cara jalan. Dari jidat Bang Farhan saja sudah kelihatan, kok. Gimana kalau ketahuan orang-orang Atmaveda?
Dear, Readers. Maaf kalau part ini agak berat, ya. Bagian ehem-ehemnya part selanjutnya insyaallah, hehehe. Terima kasih sudah menemani Farhan dan Kalila :-) Selamat membaca bagian ini. Semoga teman-teman suka :-)***Hening yang tercipta seolah menghentikan putaran waktu. Keempat orang yang berada di dalam kamar itu mendadak menjelma manekin. Indhira dan Sekarjati duduk sementara Miranti dan Kalila berdiri di dekat pintu. Keempat orang itu mendadak menjelma manekin selama sekian waktu. Hanya bola mata mereka yang bergerak, berpindah-pindah dari satu orang ke yang lain. Di tempatnya berdiri, Kalila dan Miranti saling pandang, saling meyakinkan kalau Sekarjati sangat mirip dengan seseorang yang pernah mereka temui sekitar setahun lalu. Sekarjati menatap Kalila dan Miranti tak berkedip. Raut muka perempuan itu datar tanpa ekspresi, tetapi pada kedua matanya seperti tercipta lubang gelap yang sangat lebar. Lalu, ia terperangkap di sana, di dalam pekat yang menyakitkan. Kalila menarik n
"Saya lanjut jalan dulu ya, Bang. Laporannya nanti saja di rumah." Setelah menjawab pesan Farhan, Kalila meletakkan ponsel di dashboard kemudian melajukan mobil meninggalkan rumah Sekarjati. Sementara matanya awas menatap jalan desa berpaving, otaknya sibuk menerka reaksi Farhan ketika membaca jawabannya. ***Mobil yang dikemudikan Kalila melewati jalan desa dengan saluran air selebar setengah meter yang berair jernih di kiri kanannya. Di tepi jalan, berbaris rapi pot aneka sayuran hijau. Caisim, seledri, daun bawang, pakcoy, selada hijau, tumbuh subur memanjakan mata. Seyegan berada di pinggiran Sleman dan masih tergolong asri. Banyak rumah masih memiliki pekarangan cukup luas dan ditumbuhi berbagai pohon buah sehingga cuaca di sana tidak terlalu panas, sangat kontras dengan suasana di tengah kota yang bahkan tingkat polusi udaranya sudah melewati ambang batas. Kalila memarkir mobil di depan kedai Gudeg Yu Djum di dekat kampus. Miranti tidak menyukai makanan bercita rasa manis itu
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ad
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-) *** Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prin
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir
Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu
Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan
Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila
Sambil mengayunkan kaki menuju mobil, diam-diam Kalila tersenyum geli mengingat raut muka Andromeda. Ia masih sempat melihat ke halaman sebelum melajukan mobil meninggalkan kosan Miranti. Memasuki rumah lewat garasi, Kalila masuk kamar untuk mencuci tangan dan kaki. Setelah itu, ia menemui Wisnu dan berbincang sejenak sebelum akhirnya pergi ke dapur. Farhan tidak ada di teras belakang dan kamar. Kalila berpikir pasti pria itu sedang menyiapkan makan malam. "Makasih sudah masak, Bang." Kalila mencium tangan Farhan yang baru saja menata potongan wortel, brokoli, dan kentang rebus di piring. Di meja sudah ada sepiring tempe goreng dan sambal tomat. Dapur dipenuhi aroma kaldu dari panci yang berada di atas kompor. "Puas banget perginya." Farhan tersenyum melihat raut bahagia pada wajah Kalila meski jejak rasa lelah terlihat cukup jelas. Kekhawatiran Kalila seketika lenyap melihat sambutan Farhan. Dibalasnya senyum Farhan lalu mengambil gelas di rak. "Mumpung Miranti masih di sini." Ka