“Soal perjodohan kita.” “Jelasin ke dia kalau kita memang dijodohkan sama keluarga?” tanya Karina. “Ck. Ya jangan gitu, dong! Tambah runyam ntar,” pinta Nanda sambil memasang wajah memelas. Karina terkekeh sambil menatap wajah Nanda. “Aku suka wajah payahmu ini, Nan.” “Nggak usah ketawa! Bantu aku jelasin ke Ayu!” pinta Nanda sambil menarik tangan Karina dan mengetuk kembali pintu kamar Ayu. “Mas, apa di luar nggak ada penjaga? Kenapa mereka masih belum pergi?” tanya Ayu sambil menatap wajah Enggar. “Kurang tahu. Kamu kenapa dengan dia? Ada masalah lagi?” Ayu menghela napas kecewa. “Aku capek, Mas. Dia bilang sayang sama aku, tapi masih aja jalan sama cewek lain terus.” Enggar tertawa kecil. “Rasa cemburumu besar juga?” “Bukan rasa cemburu yang besar, tapi rasa kecewaku.” “Kamu yang sabar! Cinta itu bukan untuk mencari kesempurnaan. Kalau kamu bahagia mencintai dia, seburuk apa pun dia, kamu akan bisa menerimanya,” ucap Enggar sambil tersenyum menatap wajah Ayu. “Dia itu n
Ayu memalingkan wajahnya saat wajah Nanda semakin mendekatinya. “Ay, kamu kenapa cuekin aku? Bahkan, pelayanmu juga ikut ketus sama aku,” tanya Nanda sambil menarik dagu Ayu agar menatapnya. “Kamu pikir aja sendiri!” sahut Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dan duduk di kursi panjang yang ada di dalam kamarnya. “Aku udah mikir berhari-hari dan aku masih nggak tahu kenapa kamu berubah. Apa karena ada pria bangsawan itu yang selalu ada di samping kamu. Kamu udah lupa sama aku, sama janji kita?” sahut Nanda. Ayu mengernyitkan dahi menatap Nanda. “Kenapa jadi bawa-bawa Mas Enggar?” “Karena kamu sama dia itu narinya mesra banget. Pegang-pegangan tangan. Dia nggak pake baju dan kamu cuma pake kemben doang gitu. Nggak mungkin nggak nafsu kalau sering bersentuhan kulit kayak gitu!” sahut Nanda kesal. “Aku kayak gitu karena profesionalitas aku sebagai penari. Mana mungkin kami nari pasangan kayak orang musuh-musuhan. Sedangkan kamu, kamu bisa mesra-mesraan, rangkul-rangkulan dan ketawa-ket
“Dia ... sudah seperti adikku sendiri. Sebenarnya, aku dan Karina dipaksa untuk melakukan pernikahan bisnis.” “Tuh, kan?” Ayu langsung menepis kedua tangan Nanda dan melangkah pergi dengan mengentakkan kakinya. Sepertinya, tidak ada hal dalam diri Nanda yang tidak pernah membuatnya kesal. “Ay, dengerin aku dulu!” Nanda langsung menahan tubuh Ayu dan memeluknya dari belakang. “Aku janji, akan melawan semua orang untuk mempertahankan hubungan kita. Meski harus mempertaruhkan nyawaku, aku akan melakukannya. Please, kasih aku kesempatan untuk memperjuangkanmu ... sekali lagi!” pintanya lirih. Ayu terdiam sejenak dan membalikkan tubuhnya menatap Nanda. “Gimana cara kamu meyakinkan aku kalau kamu nggak akan selingkuh lagi?” “Kamu mau aku ngelakuin apa supaya kamu percaya sama aku?” tanya Nanda. “Mmh ...” Ayu berpikir sejenak sambil melangkahkan kaki, mondar-mandir di hadapan Nanda. Wajah Nanda seketika menegang saat Ayu terlihat begitu serius meminta pembuktian darinya. Ia harap, per
Enggar melangkahkan kakinya perlahan menyusuri koridor menuju ke kamar Ayu. “Ayu ...!” panggil Enggar sambil masuk ke dalam kamar Ayu karena kamar wanita itu dibiarkan terbuka. Artinya, Ayu sedang bersantai di kamar bersama dengan pelayan-pelayannya. “Ya, Mas.” “Besok malam ada acara perjamuan untuk ulang tahun Sri Sultan. Kamu mau ngasih hadiah tarian atau nggak?” “Mmh, boleh.” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu mau nari apa? Rama-Shinta lagi?” tanya Enggar sambil tersenyum manis ke arah Ayu. “Emangnya kalau nari harus pasangan?” tanya Nanda yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ayu. “Iya,” jawab Ayu santai. “Kalau mau pasangan, kamu cuma boleh pasangan sama aku!” pinta Nanda sambil menghampiri Ayu dan duduk di sebelah wanita itu. “Emangnya kamu bisa nari?” tanya Ayu. Nanda gelagapan mendengar pertanyaan Ayu. “Aku bisa silat. Nggak beda jauh gerakannya sama nari.” Ayu memutar bola matanya. “Nggak usah sok cemburu dan posesif! Nggak cocok!” “Kamu ...!?” Nanda menata
“Karena aku melihat jelas bagaimana tingkahnya. Bagaimana cara dia mengejarmu kembali dan bagaimana cara dia ingin menguasaimu,” jawab Enggar sambil tersenyum. Ayu tersenyum menanggapi ucapan Enggar. Ia harap, Nanda bisa berubah seperti yang ia inginkan. Berubah menjadi pria yang lebih baik lagi untuk ia dan anak-anaknya di masa depan. “Ayu ...! Mas Enggar ...!” Suara teriakan seorang wanita, langsung mengalihkan pandangan Enggar dan Ayu bersamaan. “Nadine?” Ayu dan Enggar saling menatap sambil mengernyitkan dahi. Entah mengapa, Nadine tiba-tiba datang ke keraton tersebut. “Gimana kabar kamu, Ay?” tanya Nadine sambil merengkuh tubuh Ayu. “Aku baik. Kamu gimana? Tumben main ke sini?” balas Ayu sambil tersenyum manis. “Aku baik juga. Nemenin Okky ke sini. Katanya, ada urusan bisnis sama papa kamu.” “Eh!? Serius? Ketemu Nanda, dong?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine. “Nanda ada di sini juga?” tanya Nadine. Ayu mengangguk. “Katanya ada bisnis sama ayahku. Bawa cewek pula n
“Selamat siang, Kakek ...!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kediaman pribadi Sri Sultan yang berada di pusat keraton tersebut. “Siang ...!” balas Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu. Ayu tersenyum dan pandangannya malah tertuju pada Nanda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam bersama kakeknya dan ada papan catur di tengah-tengah mereka. “Duduklah!” pinta Sri Sultan sambil menatap Ayu. Ayu mengangguk. Ia segera duduk di kursi yang ada di sebelah kiri kakeknya itu, ia berada tepat di tengah dua pria berbeda zaman itu. “Kamu kenal dengan pria ini?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu. Ayu mengangguk dan menunduk sopan. “Mantan suami saya, Kakek.” “Masih mencintai dia?” tanya Sri Sultan. Ayu bergeming sambil menundukkan kepalanya. “Ay ...!” panggil Nanda lembut sambil meraih jemari tangan Ayu. “Will you marry me?” Ayu langsung mengangkat kepalanya menatap Nanda. Ia tidak menyangka jika pria ini akan melamarnya di depan sang kakek. Sesepuh sekaligus orang yang
... Nanda melangkahkan kakinya perlahan sembari menggandeng tangan Ayu. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan malam di sekitar keraton. Sebelah kanan-kiri mereka penuh dengan penjual jajanan dan souvenir oleh-oleh khas kota itu. “Hei, udah pada baikan!?” seru Nadine sambil menepuk pundak Ayu. Ayu langsung mengelus dada sambil menoleh ke arah Nadine. “Kamu ini ngagetin aja, sih!?” Nadine langsung meringis sambil merangkul Rocky yang ada di sebelahnya. “Ikut pacaran, dong!” “Emang kalian berdua pacaran?” tanya Nanda sambil menunjuk wajah Rocky. “Kami bukan pacar, tapi pacaran setiap hari!” sahut Rocky sambil menepis tangan Nanda. “Hahaha.” “Kapan merit? Kayaknya, kalian ini pacarannya udah lama, ya?” “Kami udah merit, Nan. Tapi belum resepsi aja,” sahut Rocky. “Oh.” Nanda manggut-manggut. “Enak juga sih kalau udah sah. Terus, kapan rencana resepsinya?” tanya Nanda. “Masih lama. Banyak yang harus diurus, Nan. Dikira nyiapin pernikahan itu gampang apa?” “Gampang.
Setelah mendapatkan izin dari semua keluarga keraton untuk mempersunting puteri mahkota mereka, kini giliran Nanda yang membawa Ayu untuk masuk dan mengambil izin dari keluarga Perdanakusuma untuk menikah. “Pagi, Ma ...!” sapa Nanda sambil menghampiri Nia yang sedang menyiram tanaman di depan rumah mereka. “Nanda ...!?” Nia langsung melemparkan alat semprot di tangannya begitu saja dan berlari memeluk tubuh puteranya itu. “Kamu ke mana aja? Baik-baik di luar sana?” tanyanya sembari menitikan air mata. Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Nanda baik-baik saja, Ma. Hari ini Nanda datang ke sini bersama Ayu.” Nia langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sebelah Nanda. “Gimana kabar kamu, Sayang?” sapanya sambil tersenyum manis. “Baik, Ma. Mmh ... apa Ayu masih boleh panggil mama?” “Boleh, dong,” jawab Nia sambil tersenyum manis. “Sudah beberapa minggu ini, Nanda tidak pulang ke rumah. Mama tenang kalau ternyata dia bersamamu.” Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nia. “Ayu baru b
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani