Di sudut lain, sepasang mata milik seorang pria terus mengawasi jalannya acara tersebut. Ia adalah tamu bangsawan yang diundang hadir bersama keluarganya dan tidak menyangka jika puteri yang menjadi pembicaraan di seluruh negeri adalah wanita yang ia kenal.
Begitu sampai di kamar Ayu, Nanda langsung mengunci rapat kamar tersebut. Ia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke dalam kamar Ayu kecuali dokter yang sudah ia siapkan satu jam sebelum prosesi hukuman itu terjadi.
“Dokter, gimana keadaan istri saya?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa denyut jantung Ayu.
“Dia akan baik-baik saja. Hanya butuh istirahat karena harus menahan rasa sakit yang begitu banyak. Ini ... saya berikan obat anti nyeri dan obat luar untuk lukanya,” jawab dokter itu.
Nanda mengangguk. “Terima kasih, Dokter!”
Dokter itu mengangguk. “Saya akan pasangkan infus untuk dia untuk menstabilkan keadaannya.”
Nanda mengangguk sambil tersenyum lega. “Do
Nanda melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya. Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita biasa. “Hei, kamu pelayan pribadinya Roro Ayu, ya?” sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba menghadang langkah Nanda. Nanda langsung mengangkat wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup terkenal. “Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil memperhatikan wajah Nanda. “Nindi, Tuan!” jawab Nanda sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun. “Nindi? Kamu tinggi banget untuk seorang perempuan?” tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu lebih cocok jadi model d
Ayu melebarkan kelopak mata dan menoleh ke arah dadanya sendiri. Ia langsung mendorong kuat tubuh Nanda dan buru-buru menarik kain jarik di bawahnya. “Kamu ini nyari kesempatan, ya!?” dengusnya. Ia melilitkan kain jarik tersebut di tubuhnya. Nanda tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu nggak kangen sama aku, Ay?” “Nggak!” sahut Ayu kesal sambil duduk di kursi meja riasnya. “Jangan ngambek, dong!” pinta Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dari belakang. “Nggak usah macem-macem dan bikin aku kesel, deh! Ntar aku minta ganti pelayan, mau!?” dengus Ayu. “Hehehe. Jangan, dong! Serius, deh! Aku mau obatin kamu,” tutur Nanda sambil menarik kursi yang ada di sana dan duduk di belakang Ayu. Ia membuka botol obat dan mengoleskan salep perlahan di luka memar yang ada di bahu wanita itu. Ayu tersenyum kecil. Ia memegangi jarik untuk menutupi dadanya dan membiarkan Nanda mengobati lukanya perlahan. “Pelan-pelan!” pintanya lirih.
Tok … tok … tok …! Pintu kamar Ayu tiba-tiba diketuk saat ia sedang asyik bercanda dengan Nindi alias Nanda. “Siapa?” tanya Ayu dari dalam kamar. Sementara, Nanda langsung beringsut ke depan cermin dan memperbaiki riasan wajahnya. Juga merapikan pakaian pelayan yang ia kenakan dan memoleskan lipstik di bibirnya. “Cepet rapiin! Ntar ketahuan kalau kamu laki-laki!” pinta Ayu sambil mengalungkan selendang ke leher Nanda. Nanda mengangguk. “Udah?” Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia mengecup pipi Nanda dan beringsut ke atas tempat tidurnya. Sementara, pria itu langsung melangkah menuju pintu kamar Ayu dan membukakan pintu untuk seseorang di luar sana. Nanda membungkuk hormat begitu mengetahui kalau yang datang adalah ibu kandung dari Roro Ayu. Bunda Rindu langsung melangkah masuk ke dalam kamar Ayu begitu pintu terbuka untuknya. Nanda buru-buru keluar dari kamar tersebut sebelum Bunda rindu mengetahui kehadirannya yang sedi
Hanya selang satu minggu dari hukuman pertamanya, Ayu sudah harus menjalani hukuman yang kedua. Kali ini, ia harus berendam selama tujuh hari tujuh malam di sebuah kolam untuk mensucikan diri. “Ay, minum obat ini!” pinta Nanda saat Ayu baru saja selesai mengganti pakaiannya. “Obat apa?” tanya Ayu. “Obat supaya tubuh kamu tetap hangat saat di dalam air.” “Ada obat beginian?” tanya Ayu sambil menatap sebuah pil yang ada di atas telapak tangan Nanda. “Ada. Buruan diminum!” pinta Nanda dengan telapak tangan menjulur ke hadapan Ayu. Sedang tangan satunya lagi, sudah menggenggam segelas air putih untuk Ayu. Ayu tersenyum dan segera menelan pil hangat yang disodorkan Nanda. “Kamu ini ada aja ide curangnya.” “Hehehe. Apa aja akan aku lakuin buat kamu, Ay. Asal kita bisa bersama lagi sampai tua,” jawab Nanda sambil tersenyum ceria. Ayu tertawa kecil melihat sikap Nanda. “Sepertinya kamu sudah mulai terbiasa dengan setelan sepert
Tepat jam enam sore, Nanda langsung menarik tubuh Ayu yang masih berendam di dalam kolam. Ia langsung membaringkan tubuh Ayu di tepi kolam dan pelayan lain buru-buru menghampiri Nanda untuk membantunya. “Nin, Tuan Puteri baik-baik saja?” tanya salah seorang pelayan sambil memperhatikan wajah Ayu yang sudah memucat dan nyaris tak sadarkan diri. “Nan ... Nan ...!” lirih Ayu dengan tubuh gemetaran dan langsung merangkul Nanda yang masih memangkunya. “Nan itu siapa?” tanya salah seorang pelayan sambil mengulurkan handuk ke arah Nanda dan membantu melepas kain jarik yang melilit tubuh Ayu. “Nama suaminya,” jawab Nanda sambil menatap tubuh Ayu yang sedang dibuka oleh pelayan lain. “Iya. Nama suaminya itu Mas Nanda. Kalau nggak salah ingat,” sahut pelayan lain. “Huft ...! Kasihan sekali Tuan Puteri kita ini. Hanya untuk mendapatkan restu dari keluarganya, harus menerima hukuman seberat ini. Kisah cinta orang-orang tinggi, memang diuji dengan
“Aku kedinginan, Nan,” ucap Ayu sambil menatap lekat wajah Nanda. “Kita ada di kolam suci. Bertemu dengan pria bukan mahrom saja kamu tidak diperbolehkan. Aku tidak ingin kalau kamu harus menanggung hukuman yang lebih berat lagi dari leluhurmu,” ucap Nanda. Ayu menghela napas mendengar ucapan Nanda. Ia langsung mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Nanda dan duduk di samping pria itu. Ia mengedarkan pandangannya ke semua api unggun yang mengelilingi kolam tersebut. “Kamu yang buat api-api ini, Nan?” tanya Ayu. Nanda mengangguk. “Dibantu dengan pelayan lain. Mereka bawakan aku kayu bakar untuk memastikan kalau api ini tidak akan pernah mati.” “Semoga tidak pernah mati dan abadi di sini. Aku suka melihatnya,” ucap Ayu sambil tersenyum. Ia memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan badcover yang menjadi selimutnya. Nanda tersenyum mendengar ucapan Ayu. “Kalau benar-benar bisa abadi, itu keajaiban. Aku ingin ... c
Satu minggu kemudian ... Ayu akhirnya bisa menyelesaikan hukuman keduanya dengan baik berkat bantuan dari Nanda dan beberapa pelayan yang terus membantu menghangatkan tubuh Ayu. Meski beberapa kali mengalami hipotermia, ia masih bisa melewatinya dan selamat menjalani hukuman tersebut. “Nan, terima kasih banyak sudah membantuku menyelesaikan hukuman ini. Aku tidak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu di sisiku,” ucap Ayu saat ia sudah selesai mengganti semua pakaiannya dan berada di dalam kamar bersama dengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Ay, aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Kepala pelayan sudah mulai mencurigai keberadaanku. Kalau dia mengumpulkan semua pelayan dan menghitungnya, dia akan tahu kalau ada orang lain yang menyelinap ke tempat ini.” Ayu menatap wajah Nanda sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. “Kamu juga sudah terlalu lama di tempat ini. Perusahaanmu juga pasti membutuhkanmu, Nan.” Nanda mengangguk.
Nanda menarik napas dalam-dalam sambil merapikan jasnya saat ia baru saja keluar dari dalam mobil. Ia segera melangkah memasuki pintu kantor perusahaan Amora Internasional. Dengan cepat, ia langsung mencapai ke lantai gedung paling atas dan masuk ke ruang CEO. “Dari mana saja?” tanya Andre sambil duduk di kursi kerja Nanda dan menatap tajam ke arah puteranya itu. “Dari ...” Nanda memutar otaknya dengan cepat. Meski perasaannya tak karuan, ia tetap memberanikan diri untuk mengatakan kejujuran tentang hubungannya dengan Ayu. “Dari Keraton Surakarta.” “Kamu mau menjalin hubungan bisnis dengan keluarga keraton itu?” tanya Andre. Nanda menggeleng. “Lalu? Untuk apa kamu meninggalkan perusahaan begitu lama? Sudah bosan kerja?” tanya Andre dingin. Nanda menggeleng lagi. “Terus apa?” seru Andre sambil menggebrak meja di depannya. “Kamu pikir, pemilik perusahaan bisa seenaknya aja, hah!? Meski kamu anak papa, papa tidak akan berbelas kas
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani