"Kita sudah sampai, Nona." Suara supir taksi menyadarkan Aira dari lamunan panjang yang mengambil atensinya.Wanita itu segera keluar dan melangkahkan kakinya menuju rumah. Halaman dengan deretan bonsai tertata rapi kini dilewatinya dengan langkah berat."Ayah, haruskah aku jujur padamu?" Aira menatap paving blok di bawah kaki. Pijakannya teratur, berbanding terbalik dengan perasaannya yang bercampur-campur.Meski raganya tampak tenang, tapi berbagai kekhawatiran jelas menghantui. Apa yang dia lakukan tidak membuatnya bahagia. Bahkan, ada rasa hampa di hatinya.Sejak siuman di rumah sakit, dia belum melihat Hiro sekali pun. Pria itu benar-benar menghilang, tidak meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan dia juga tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."Mungkin aku harus bertanya pada Ken."Langkah Aira terasa sedikit lebih mantap setelah membuat keputusan itu. Dia segera masuk ke dalam rumah, meninggalkan sepatunya di rak depan."Tadaima ....""Okaeri," jawab Asami dari dapur yang bersi
"Berhenti mengucapkan omong kosong." Aira membuang pandangan, menatap taman belakang berbentuk persegi di hadapannya. Beberapa bunga tertata rapi, terawat, dan indah. "Sejak awal, pernikahan kita tidak pernah nyata. Kamu yang paling tahu di sini, keberadaanku hanya sebagai properti. Aku juga tahu diri, tidak seharusnya mengharapkan sebuah ikatan yang lebih. Kita hanya dua orang asing yang beberapa waktu ke depan akan berpisah." Aira memasang wajah datar, mengenyahkan semua perasaan yang ada.Ken menatap wajah Aira dari samping, merasa bersalah karena membuat wanita itu jadi tak berperasaan."Kalau saja aku jujur sejak awal, dia tidak akan bersikap sedingin ini padaku," gumam Ken dalam hati."Apa kamu tahu?" Aira melirik Ken sekilas sebelum menengadahkan kepala, menatap langit biru di atas sana. "Dulu mimpiku amat sederhana, bisa menikah dengan pria biasa, seperti ibu yang menikahi ayah. Mereka bahagia, meski tidak bergelimang harta. Di tahun ke dua, kami sudah memiliki buah hati yang
"Silakan, Nona." Kosuke membukakan pintu untuk Aira, memberikan kesempatan untuk wanita itu agar keluar lebih dulu dari mobil.Setelah mengembuskan napas berat dari mulut, wanita dengan dress hijau lumut itu menjulurkan kaki dan beranjak dari tempat duduknya. Di sisi lain, beberapa pengawal membantu Ken turun dan berpindah ke kursi roda."Biar aku saja," pinta Aira saat seorang pengawal wanita berdiri di belakang Ken."Tapi, Nona ...."Ken mengangkat tangan, meminta wanita itu untuk diam dan tidak perlu membantah. Mau tak mau dia menundukkan kepala dan mundur dua langkah dari sana. Selama ada Aira, tidak seorang pun diizinkan mengurus kepentingan Ken. Itu yang Kosuke arahkan pagi tadi. Dia lupa.Rombongan orang-orang itu segera berpindah memasuki ruangan. Seluruh karyawan restoran berbaris rapi, menundukkan kepala saat Aira, Ken, dan Kosuke melewatinya."Apa dia nyonya muda Yamazaki?" bisik salah seorang wanita yang berdiri di barisan paling luar. Pakaian pelayan melekat di tubuhnya.
Seorang gadis dengan stiletto merah keluar dari mobil miliknya. Seorang wanita berkacamata segera menyusul, berjalan sejajar dengannya."Anda yakin akan masuk dengan pakaian ini, Nona?" Sekretaris pribadi Erina bertanya, memastikan karena gadis yang dua tahun dilayaninya tidak pernah menggunakan pakaian dengan warna merah delima seperti sekarang. "Kenapa? Apa aku terlalu cantik?"Tak berani menyangkal, sekretaris berusia empat puluhan itu bungkam. Tangannya sigap membenahi kacamata yang melorot dari tempatnya."Ini sama sekali tidak sesuai dengan karakter Anda."Erina tertawa sumbang, meniti satu demi satu anak tangga yang ada di hadapannya."Memangnya seperti apa karakterku? Untuk apa mempertahankan kepribadian kita kalau tidak bisa mengambil perhatian Ken?"Lagi-lagi Erina kehilangan logikanya. Dia memercayai ucapan Aira kemarin, sengaja memakai gaun press body di atas lutut. Jangan lupakan riasan tebal dengan perona bibir warna merah menyala. Benar-benar sangat kontras dengan kebi
"Sial!" umpat Erina untuk ke sekian kali. Wajahnya merah padam, kembali terbayang perlakuan Ken pada wanita yang duduk di sampingnya.Minami hanya bisa menarik napas dalam, mendapati atasannya yang sedang murka. Sejak memasuki lift di lantai tiga, gadis itu tidak juga berhenti mengeluarkan kalimat pahit dari mulutnya. Tak jarang nama binatang berkaki empat pun turut keluar dari sana."Bisa-bisanya aku begitu bodoh memercayainya? Dia sengaja menjebakku!"Sepatu hak tinggi yang semula dipakai sepasang kakinya, kini teronggok sembarang di kursi belakang. Benda tak berdosa itu menjadi pelampiasan yang bisa dilakukan oleh pemiliknya.Minami memberikan sebotol air mineral, menyerahkannya tanpa berucap sepatah kata. Dia membiarkan Erina tenang dengan sendirinya."Sudah?"Erina tak menjawab, hanya mendengus sambil membuang muka ke luar. Sumpah serapah yang ada di kepala tak lagi diucapkan olehnya.Sekali lagi Minami melirik ke arah Erina sebelum melakukan mobil yang ada dalam kendalinya. Sedi
Aira mengerjap dua kali, menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina matanya. Sejak pulang dari rumah sakit untuk membuat Erina percaya, dia merasa tubuhnya begitu lelah. Padahal, tidak ada aktivitas berat yang dilakukan beberapa hari terakhir.Dan selama di rumah sakit, dia hanya berbincang dengan Kaori. Membicarakan berbagai hal yang tidak penting, khas obrolan para wanita. Tidak ada pemeriksaan kesehatan sama sekali. Ken dengan setia menjadi pendengar mereka, tidak terusik sama sekali.Dengan langkah lemah, Aira menuju kamar mandi demi membasuh muka."Astaga!" seru Aira saat menyadari wajahnya pucat pasi. Tangannya meraba kening, tapi tidak demam sama sekali. Bahkan cenderung dingin."Aku kenapa?" gumamnya lirih. "Apa salah makan tadi siang? Tapi, rasanya aku tidak punya alergi makanan apa pun."Sambil menyandarkan punggung ke dinding, Aira mulai merasakan penglihatannya buram. Seperti beberapa hari lalu saat pingsan. Tangannya mencengkeram sisi wastafel, menguatkan diri."Nona,
Ken mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak bisa memprotes keinginan istrinya. Dua pengawal yang selalu berjaga di depan pintu kini berdiri tak jauh darinya. Juga bibi Tsu yang berkali-kali meremas tangannya sendiri."Silakan duduk, Bibi. Kalian berdua juga. Ayo kita makan bersama," ajak Aira dengan senyum manis terukir di wajah. Meskipun tahu Ken tidak cocok dengan kehendaknya, dia pura-pura tidak peduli akan hal itu."Saya tidak lapar, Nona. Silakan Anda dan Tuan Muda ....""Aku akan marah kalau kalian menolak." Aira bersungut, seolah tengah merajuk."Bukan begitu, Nona. Kami tidak pantas duduk di meja bersama Anda dan ....""Memangnya kenapa? Kita sama-sama manusia. Tentu saja tidak masalah duduk satu meja dan makan bersama." Aira tetap berlagak polos, bodoh, dan menyebalkan."Nona, kami ....""Kalian juga akan menolak?" Aira berkacak pinggang. "Kalau kalian menolak makan, aku juga tidak akan makan.""Eh?" Salah satu pengawal yang tadi menjawab Aira, hanya bisa menggaruk tengkuknya.
Ken segera menghubungi bibi Tsu yang tinggal di kamar belakang. Wanita itu datang tergopoh-gopoh dan langsung menghambur ke arah Aira yang masih menundukkan badan di depan cermin."Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira memuntahkan isi perutnya. Kali ini bercampur dengan air pekat warna kekuningan yang terasa pahit di tenggorokan. Habis sudah makan malam yang empat jam lalu mengisi lambungnya.Bibi Tsu membantu Aira dengan memijat tengkuknya agar merasa lega. Tanpa diminta, wanita itu memapah Aira kembali ke ranjangnya. Tampak Ken sedang sibuk bertelepon dengan asistennya."Aku tidak mau dengar alasan apa pun. Sekarang!" Ken menutup panggilan sebelum asistennya sempat menjawab. Menjadi asisten seorang Yamazaki Kenzo benar-benar harus siap siaga selama 24 jam. Kapan saja pria itu dibutuhkan, harus bisa.Aira meliriknya sekilas, tapi tidak terlalu menghiraukannya. Terserah dia mau melakukan apa."Dia kenapa?" Ken mengamati wajah Aira yang perlahan kembali rebah.Namun, wanita itu mual lagi seb
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua