Seorang gadis dengan stiletto merah keluar dari mobil miliknya. Seorang wanita berkacamata segera menyusul, berjalan sejajar dengannya."Anda yakin akan masuk dengan pakaian ini, Nona?" Sekretaris pribadi Erina bertanya, memastikan karena gadis yang dua tahun dilayaninya tidak pernah menggunakan pakaian dengan warna merah delima seperti sekarang. "Kenapa? Apa aku terlalu cantik?"Tak berani menyangkal, sekretaris berusia empat puluhan itu bungkam. Tangannya sigap membenahi kacamata yang melorot dari tempatnya."Ini sama sekali tidak sesuai dengan karakter Anda."Erina tertawa sumbang, meniti satu demi satu anak tangga yang ada di hadapannya."Memangnya seperti apa karakterku? Untuk apa mempertahankan kepribadian kita kalau tidak bisa mengambil perhatian Ken?"Lagi-lagi Erina kehilangan logikanya. Dia memercayai ucapan Aira kemarin, sengaja memakai gaun press body di atas lutut. Jangan lupakan riasan tebal dengan perona bibir warna merah menyala. Benar-benar sangat kontras dengan kebi
"Sial!" umpat Erina untuk ke sekian kali. Wajahnya merah padam, kembali terbayang perlakuan Ken pada wanita yang duduk di sampingnya.Minami hanya bisa menarik napas dalam, mendapati atasannya yang sedang murka. Sejak memasuki lift di lantai tiga, gadis itu tidak juga berhenti mengeluarkan kalimat pahit dari mulutnya. Tak jarang nama binatang berkaki empat pun turut keluar dari sana."Bisa-bisanya aku begitu bodoh memercayainya? Dia sengaja menjebakku!"Sepatu hak tinggi yang semula dipakai sepasang kakinya, kini teronggok sembarang di kursi belakang. Benda tak berdosa itu menjadi pelampiasan yang bisa dilakukan oleh pemiliknya.Minami memberikan sebotol air mineral, menyerahkannya tanpa berucap sepatah kata. Dia membiarkan Erina tenang dengan sendirinya."Sudah?"Erina tak menjawab, hanya mendengus sambil membuang muka ke luar. Sumpah serapah yang ada di kepala tak lagi diucapkan olehnya.Sekali lagi Minami melirik ke arah Erina sebelum melakukan mobil yang ada dalam kendalinya. Sedi
Aira mengerjap dua kali, menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina matanya. Sejak pulang dari rumah sakit untuk membuat Erina percaya, dia merasa tubuhnya begitu lelah. Padahal, tidak ada aktivitas berat yang dilakukan beberapa hari terakhir.Dan selama di rumah sakit, dia hanya berbincang dengan Kaori. Membicarakan berbagai hal yang tidak penting, khas obrolan para wanita. Tidak ada pemeriksaan kesehatan sama sekali. Ken dengan setia menjadi pendengar mereka, tidak terusik sama sekali.Dengan langkah lemah, Aira menuju kamar mandi demi membasuh muka."Astaga!" seru Aira saat menyadari wajahnya pucat pasi. Tangannya meraba kening, tapi tidak demam sama sekali. Bahkan cenderung dingin."Aku kenapa?" gumamnya lirih. "Apa salah makan tadi siang? Tapi, rasanya aku tidak punya alergi makanan apa pun."Sambil menyandarkan punggung ke dinding, Aira mulai merasakan penglihatannya buram. Seperti beberapa hari lalu saat pingsan. Tangannya mencengkeram sisi wastafel, menguatkan diri."Nona,
Ken mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak bisa memprotes keinginan istrinya. Dua pengawal yang selalu berjaga di depan pintu kini berdiri tak jauh darinya. Juga bibi Tsu yang berkali-kali meremas tangannya sendiri."Silakan duduk, Bibi. Kalian berdua juga. Ayo kita makan bersama," ajak Aira dengan senyum manis terukir di wajah. Meskipun tahu Ken tidak cocok dengan kehendaknya, dia pura-pura tidak peduli akan hal itu."Saya tidak lapar, Nona. Silakan Anda dan Tuan Muda ....""Aku akan marah kalau kalian menolak." Aira bersungut, seolah tengah merajuk."Bukan begitu, Nona. Kami tidak pantas duduk di meja bersama Anda dan ....""Memangnya kenapa? Kita sama-sama manusia. Tentu saja tidak masalah duduk satu meja dan makan bersama." Aira tetap berlagak polos, bodoh, dan menyebalkan."Nona, kami ....""Kalian juga akan menolak?" Aira berkacak pinggang. "Kalau kalian menolak makan, aku juga tidak akan makan.""Eh?" Salah satu pengawal yang tadi menjawab Aira, hanya bisa menggaruk tengkuknya.
Ken segera menghubungi bibi Tsu yang tinggal di kamar belakang. Wanita itu datang tergopoh-gopoh dan langsung menghambur ke arah Aira yang masih menundukkan badan di depan cermin."Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira memuntahkan isi perutnya. Kali ini bercampur dengan air pekat warna kekuningan yang terasa pahit di tenggorokan. Habis sudah makan malam yang empat jam lalu mengisi lambungnya.Bibi Tsu membantu Aira dengan memijat tengkuknya agar merasa lega. Tanpa diminta, wanita itu memapah Aira kembali ke ranjangnya. Tampak Ken sedang sibuk bertelepon dengan asistennya."Aku tidak mau dengar alasan apa pun. Sekarang!" Ken menutup panggilan sebelum asistennya sempat menjawab. Menjadi asisten seorang Yamazaki Kenzo benar-benar harus siap siaga selama 24 jam. Kapan saja pria itu dibutuhkan, harus bisa.Aira meliriknya sekilas, tapi tidak terlalu menghiraukannya. Terserah dia mau melakukan apa."Dia kenapa?" Ken mengamati wajah Aira yang perlahan kembali rebah.Namun, wanita itu mual lagi seb
Ken menunggu dengan gusar karena sepuluh menit sudah berlalu tapi Aira belum juga keluar dari kamar mandi. Bahkan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.Ken mendekat dan bersiap menggedor pintu, memaksa Aira untuk keluar dari sana. Namun, hal itu tidak pernah terjadi karena wanita dengan kardigan lengan panjang sudah keluar. Wajahnya pucat, tangannya terlihat gemetar."Mana hasilnya?" Ken membuka mulutnya, bertanya to the point. Aira tidak menjawab, mengabaikan suaminya. Dengan langkah lemah wanita itu kembali ke atas ranjang, naik dan kembali memejamkan mata. Dia belum ingin membicarakan hal ini pada Ken ataupun orang yang lainnya. Dia berharap ini hanya mimpi buruk dan besok pagi akan terbangun dalam keadaan yang berbeda.Ken bergeming, menatap tubuh mungil Aira yang kini tersembunyi di bawah selimut. Hanya bahu dan kepalanya saja terlihat. Wanita itu memeluk guling erat-erat, ingin mengendalikan dirinya agar tidak berteriak sekuat tenaga. Satu test pack tidak membuktikan apa pun
Headline surat kabar online membuat Aira semakin kalut. Kabar kehamilannya yang dituduh karena hasil serong dengan pria lain, menyita banyak atensi publik. Bahkan terpampang potret seorang pria yang mengakui sebagai ayah biologis dari anak itu. Meskipun namanya tidak diungkapkan dan foto dirinya disamarkan, jelas Aira tahu itu suami ke duanya. Bagaimana bisa jadi seperti ini? Kenapa Hiro berbuat semaunya? Jika Ken sampai tahu, apa yang akan pria itu lakukan?Di saat yang sama, nama Hiro tampak jelas menghubunginya. Tanpa menunggu waktu lama, Aira mengangkat panggilan itu."Love, bagaimana keadaanmu sekarang?""Kamu di mana?"Dua tanya itu diucapkan bersamaan, menyisakan hening dua detik berikutnya. Aira geram, marah, dan kesal. Tapi, dia juga kasihan dan khawatir."Kamu di mana?" Aira mengulangi pertanyaannya, semakin gusar dengan keberadaan Hiro yang beberapa pekan ini menghilang."Ada ... ada orang-orang yang ... yang hampir ... menyekapku. Untung saja aku ... aku bisa kabur." Napas
Aira sampai di rumah Ken saat matahari bersiap tenggelam di ufuk barat. Langkahnya terasa berat, menahan beban yang tidak pernah terpikirkan."Nona, Anda ...." Bibi Tsu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya karena Aira lebih dulu menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Sedu sedan terdengar memilukan. Wajahnya basah oleh air mata.Menit-menit berlalu dan tangis Aira belum juga redam Perlahan, wanita paruh baya itu membimbing nonanya menuju kamar dan berbaring di atas ranjang. Belum sempat selimut menutupi tubuh Aira, wanita itu sudah lebih dulu berlari ke arah wastafel dan memuntahkan isi perutnya.Bibi Tsu segera menyusul, memijat tengkuknya. Rasa iba menjalar di hatinya, ikut merasakan penderitaan Aira.Dengan cekatan wanita itu mengondisikan Aira, juga memberikan minuman hangat untuknya. Bukan hal yang asing lagi kalau seorang wanita hamil akan mengalami morning sickness di trimester awal kehamilannya.Meskipun Aira belum terbuka tentang hasil test pack miliknya, bibi Tsu yakin dia p