Aira mengerjap dua kali, menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina matanya. Sejak pulang dari rumah sakit untuk membuat Erina percaya, dia merasa tubuhnya begitu lelah. Padahal, tidak ada aktivitas berat yang dilakukan beberapa hari terakhir.Dan selama di rumah sakit, dia hanya berbincang dengan Kaori. Membicarakan berbagai hal yang tidak penting, khas obrolan para wanita. Tidak ada pemeriksaan kesehatan sama sekali. Ken dengan setia menjadi pendengar mereka, tidak terusik sama sekali.Dengan langkah lemah, Aira menuju kamar mandi demi membasuh muka."Astaga!" seru Aira saat menyadari wajahnya pucat pasi. Tangannya meraba kening, tapi tidak demam sama sekali. Bahkan cenderung dingin."Aku kenapa?" gumamnya lirih. "Apa salah makan tadi siang? Tapi, rasanya aku tidak punya alergi makanan apa pun."Sambil menyandarkan punggung ke dinding, Aira mulai merasakan penglihatannya buram. Seperti beberapa hari lalu saat pingsan. Tangannya mencengkeram sisi wastafel, menguatkan diri."Nona,
Ken mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak bisa memprotes keinginan istrinya. Dua pengawal yang selalu berjaga di depan pintu kini berdiri tak jauh darinya. Juga bibi Tsu yang berkali-kali meremas tangannya sendiri."Silakan duduk, Bibi. Kalian berdua juga. Ayo kita makan bersama," ajak Aira dengan senyum manis terukir di wajah. Meskipun tahu Ken tidak cocok dengan kehendaknya, dia pura-pura tidak peduli akan hal itu."Saya tidak lapar, Nona. Silakan Anda dan Tuan Muda ....""Aku akan marah kalau kalian menolak." Aira bersungut, seolah tengah merajuk."Bukan begitu, Nona. Kami tidak pantas duduk di meja bersama Anda dan ....""Memangnya kenapa? Kita sama-sama manusia. Tentu saja tidak masalah duduk satu meja dan makan bersama." Aira tetap berlagak polos, bodoh, dan menyebalkan."Nona, kami ....""Kalian juga akan menolak?" Aira berkacak pinggang. "Kalau kalian menolak makan, aku juga tidak akan makan.""Eh?" Salah satu pengawal yang tadi menjawab Aira, hanya bisa menggaruk tengkuknya.
Ken segera menghubungi bibi Tsu yang tinggal di kamar belakang. Wanita itu datang tergopoh-gopoh dan langsung menghambur ke arah Aira yang masih menundukkan badan di depan cermin."Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira memuntahkan isi perutnya. Kali ini bercampur dengan air pekat warna kekuningan yang terasa pahit di tenggorokan. Habis sudah makan malam yang empat jam lalu mengisi lambungnya.Bibi Tsu membantu Aira dengan memijat tengkuknya agar merasa lega. Tanpa diminta, wanita itu memapah Aira kembali ke ranjangnya. Tampak Ken sedang sibuk bertelepon dengan asistennya."Aku tidak mau dengar alasan apa pun. Sekarang!" Ken menutup panggilan sebelum asistennya sempat menjawab. Menjadi asisten seorang Yamazaki Kenzo benar-benar harus siap siaga selama 24 jam. Kapan saja pria itu dibutuhkan, harus bisa.Aira meliriknya sekilas, tapi tidak terlalu menghiraukannya. Terserah dia mau melakukan apa."Dia kenapa?" Ken mengamati wajah Aira yang perlahan kembali rebah.Namun, wanita itu mual lagi seb
Ken menunggu dengan gusar karena sepuluh menit sudah berlalu tapi Aira belum juga keluar dari kamar mandi. Bahkan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.Ken mendekat dan bersiap menggedor pintu, memaksa Aira untuk keluar dari sana. Namun, hal itu tidak pernah terjadi karena wanita dengan kardigan lengan panjang sudah keluar. Wajahnya pucat, tangannya terlihat gemetar."Mana hasilnya?" Ken membuka mulutnya, bertanya to the point. Aira tidak menjawab, mengabaikan suaminya. Dengan langkah lemah wanita itu kembali ke atas ranjang, naik dan kembali memejamkan mata. Dia belum ingin membicarakan hal ini pada Ken ataupun orang yang lainnya. Dia berharap ini hanya mimpi buruk dan besok pagi akan terbangun dalam keadaan yang berbeda.Ken bergeming, menatap tubuh mungil Aira yang kini tersembunyi di bawah selimut. Hanya bahu dan kepalanya saja terlihat. Wanita itu memeluk guling erat-erat, ingin mengendalikan dirinya agar tidak berteriak sekuat tenaga. Satu test pack tidak membuktikan apa pun
Headline surat kabar online membuat Aira semakin kalut. Kabar kehamilannya yang dituduh karena hasil serong dengan pria lain, menyita banyak atensi publik. Bahkan terpampang potret seorang pria yang mengakui sebagai ayah biologis dari anak itu. Meskipun namanya tidak diungkapkan dan foto dirinya disamarkan, jelas Aira tahu itu suami ke duanya. Bagaimana bisa jadi seperti ini? Kenapa Hiro berbuat semaunya? Jika Ken sampai tahu, apa yang akan pria itu lakukan?Di saat yang sama, nama Hiro tampak jelas menghubunginya. Tanpa menunggu waktu lama, Aira mengangkat panggilan itu."Love, bagaimana keadaanmu sekarang?""Kamu di mana?"Dua tanya itu diucapkan bersamaan, menyisakan hening dua detik berikutnya. Aira geram, marah, dan kesal. Tapi, dia juga kasihan dan khawatir."Kamu di mana?" Aira mengulangi pertanyaannya, semakin gusar dengan keberadaan Hiro yang beberapa pekan ini menghilang."Ada ... ada orang-orang yang ... yang hampir ... menyekapku. Untung saja aku ... aku bisa kabur." Napas
Aira sampai di rumah Ken saat matahari bersiap tenggelam di ufuk barat. Langkahnya terasa berat, menahan beban yang tidak pernah terpikirkan."Nona, Anda ...." Bibi Tsu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya karena Aira lebih dulu menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Sedu sedan terdengar memilukan. Wajahnya basah oleh air mata.Menit-menit berlalu dan tangis Aira belum juga redam Perlahan, wanita paruh baya itu membimbing nonanya menuju kamar dan berbaring di atas ranjang. Belum sempat selimut menutupi tubuh Aira, wanita itu sudah lebih dulu berlari ke arah wastafel dan memuntahkan isi perutnya.Bibi Tsu segera menyusul, memijat tengkuknya. Rasa iba menjalar di hatinya, ikut merasakan penderitaan Aira.Dengan cekatan wanita itu mengondisikan Aira, juga memberikan minuman hangat untuknya. Bukan hal yang asing lagi kalau seorang wanita hamil akan mengalami morning sickness di trimester awal kehamilannya.Meskipun Aira belum terbuka tentang hasil test pack miliknya, bibi Tsu yakin dia p
Malam semakin larut dan Ken masih terjaga. Setelah mengeluarkan semua keluhannya, Aira tampak kelelahan dan tertidur begitu saja. Ken membaringkannya perlahan, tidak ingin membangunkannya."Maaf sudah membuatmu jadi seperti ini, Love." Ken mengamati wajah Aira, merasa bersalah untuk ke sekian kalinya."Apa jadinya jika sejak awal aku jujur padamu? Apa kau akan tetap berada di sampingku?"Tidak terdengar jawaban sama sekali. Aira telah masuk ke alam bawah sadarnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau pria cacat dan buruk rupa ini merupakan pria yang sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping."Saat kau tahu kebenarannya nanti, semoga semua belum terlambat. Semoga kau mau memaafkanku dan kita bisa memulai semuanya dari awal lagi."Lagi-lagi tanpa jawaban. Ken bergumam sendiri. Sekarang saatnya berjuang, menjalin hubungan dengan wanita ini. Mungkin tidak akan mudah, tapi dia juga bukannya pesimis. Bukankah sebongkah batu saja bisa jadi berlubang jika setiap hari ditimpa tetes air?Hingga
"Dia tampak sedikit lebih baik dibandingkan semalam," ucap Ken sembari mengamati Aira yang duduk diam di kursi taman. Di sebelahnya, tampak bibi Tsu menemani bicara. Sejak meninggalkannya semalam, Ken memang tidak muncul lagi di hadapan istrinya. Dia menyelesaikan semua urusan kantor agar bisa meluangkan waktu lebih lama dengan Aira.Kosuke sendiri sudah kembali ke perusahaan setelah mengantarkannya. Lagi-lagi pria itu harus mengurus semua jadwal pertemuan dengan para klien mereka.Dari balik kaca jendela di lantai dua, Ken menggenggam kalung liontin bunga tulip yang kemarin dicampakkan oleh Aira. Suatu saat nanti, benda ini yang akan menjadi kunci pengakuannya pada Aira. Entah dimaafkan atau tidak, Ken harus berusaha memperbaiki hubungannya mulai sekarang. Di sisi lain, Aira selesai menceritakan detail kejadian yang menimpanya. Termasuk menggambarkan sosok Hiro yang sudah membuatnya kecewa. Bibi Tsu tampak terkejut, terhenyak di tempat duduknya."Maaf, saya tidak tahu hal seperti it
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua