"Sum-pah de-mi Tu-han, ak-ku men-de-katimu kare-na a-ku mengi-ngin-kan-mu," ujar Dilara terputus-putus. Manik matanya membola dengan raut wajah yang memerah. Tidak lupa dengan kedua tangan yang menekan tangan Gregory agar melepaskannya."Kau pikir, aku akan percaya, huh?!" bentak Gregory tersenyum sinis."Per-ca-ya a-tau ti-dak, kau a-kan ta-hu se-te-lah meng-ge-ledah i-si tas-ku," balas Dilara menggerakkan bola matanya ke bawah di mana tas selempangnya berada.Sontak, Gregory langsung melepaskan tangannya dan merebut tas itu dari pemiliknya. Ia menuang isinya hingga berceceran di lantai. Memeriksa setiap isinya di mulai dari dompet, buku catatan, alat makeup, dan ponsel.Sementara itu, Dilara menyentuh lehernya dengan napas terengah-engah. Kemudian, melangkah pelan ke arah tempat tidur dan menghempaskan tubuhnya di sana.Tidak berselang lama, Gregory selesai memeriksa. Tidak ada tanda mencurigakan dari barang-barang itu. Terlebih bukannya pergi, gadis itu justru membaringkan tubuhny
Tidak lama kemudian, Gregory kembali dengan mengenakan jubah mandi. Membungkukkan tubuhnya dan memunguti helai demi helai pakaian Dilara."Pakai pakaianmu dan pulanglah!"Mendengar ucapan pria itu membuat Dilara mengerutkan keningnya bingung. Apa saat ini Gregory mengusirnya? Bukankah kesepakatan sudah terjadi ketika gadis itu menyerahkan kesuciannya?"Kau tenang saja karena ada supir yang akan mengantarmu." Gregory membalikkan tubuhnya dan melangkah duduk di sofa.Meskipun ia membenci Dilara, tetapi tidak mungkin membiarkan gadis itu pulang sendiri di tengah malam begini."Apa kau sedang mengusirku?" tanya Dilara sambil beranjak duduk. Tidak lupa dengan tangan yang senantiasa memegangi selimut berusaha menyembunyikan tubuh polosnya."Ya," sahut Gregory singkat.Pria itu mengangkat kaki kanan dan melipatnya. Memainkan jemari kakinya dengan malas tanpa menghiraukan bagaimana ekspresi Dilara saat ini."Baiklah aku akan pulang, tapi kau tidak akan ingkar dengan perjanjian awal untuk meni
"Jadi, bolehkah aku tinggal di sini? Ah, tidak. Maksud aku, bolehkah aku pulang besok pagi saja?" tanya Dilara sambil mengerlingkan matanya. Tidak lupa dengan mengangkat kedua tangan yang telah dikatupkan.Gadis cantik yang bukan lagi perawan ini terlihat sangat manis. Bola matanya berbinar layaknya anak kecil yang ada di kartun-kartun. Andai Gregory tidak memiliki dendam di masa lalu. Mungkin ia akan melahap Dilara lagi dan lagi."Terserah kau saja," balas Gregory malas sambil mengibaskan tangannya."Yes-yes-yes!" Dilara melompat kegirangan sampai melupakan tubuh polosnya."Tutupi tubuhmu, Lara!" seru Gregory dingin.Tatapan pria itu setajam elang yang siap menerkam mangsa. Sikapnya ini sebagai pertahanan diri agar tidak lepas kendali."Ah iya, maaf." Dilara lekas duduk dan menyembunyikan tubuhnya ke dalam selimut.Gregory menggeleng pelan. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya berjalan menuju ruang ganti. Dalam hati, ia merutuki kebodohan Dilara yang membiarkan tubuh indahnya terekspos.
"A-apa? Kenapa dipecat?" tanya Dilara terkejut."Aku tidak bisa mempertahankan mereka yang tidak becus mengurus rumahku." Gregory berjalan ke arah ruang kerjanya. "Jangan mengikutiku! Lebih baik kau pulang karena aku sudah mulai bosan denganmu."Baru semalam menikmati tubuh Dilara dan keesokan paginya pria itu berkata sudah bosan. Bukankah ucapannya itu sangat kejam?Andai Gregory tidak mengatakan masalah kebenciannya, mungkin Dilara akan langsung sakit hati."Ya sudah, aku akan pulang," ujar Dilara lesu.Gadis cantik itu menatap sendu punggung Gregory. Kemudian, berbalik dan berjalan menaiki anak tangga. Tanpa membersihkan diri lebih dulu, ia bergegas mengganti baju. Lalu, memesan taksi online sambil beranjak keluar area kamar.Sambil menunggu taksi datang, Dilara mencari alamat lengkap rumah itu. Setelah menemukannya, ia bergegas memesan makanan untuk Gregory. Hingga tidak lama kemudian, taksi datang dan tidak perlu menunggu lama ia langsung pergi.Di dalam taksi, Dilara mulai melam
"Apa sudah selesai?" tanya Gregory sambil melipat koran."Iya, sudah," jawab Dilara dengan raut lelah."Bagus. Kalau begitu, aku lapar dan kau harus membuatkan makanan untukku," kata Gregory menyentuh perutnya.Sudah bisa dipastikan kalau pria itu sengaja ingin mengerjai Dilara. Kalau tidak, ia akan meminta gadis itu untuk pergi istirahat sebentar setelah membersihkan rumah sebesar itu."Siap, Om Greg," balas Dilara bersemangat. Gadis cantik itu mengatupkan telapak tangannya di dahi dengan senyum lebar yang terpatri di wajah ayunya. Ekspresi lelahnya hilang dalam satu kali kedipan mata."Ingat! Aku tidak suka makanan pedas," kata Gregory mengingatkan."Iya, Om." Dilara menggertakkan gigi sambil melirik tajam Gregory yang kembali membaca koran, "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan jadi pemenangnya," imbuhnya dalam hati.Dilara membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi ke dapur. Memilih bahan apa saja yang akan menjadi menu makan malam dan memasukkan sisanya ke dalam lemari pendingin.
Keluar dari ruang dokter, Dilara terlihat kebingungan. Entah harus senang atau sedih. Ia tidak tahu apa yang dirasakan saat ini. Hanya pernah melakukannya satu kali dan langsung bisa membuatnya hamil."Tidak. Ini hanya dugaan dan belum tentu benar. Kalaupun aku hamil, memangnya kenapa?" batin Dilara berkecamuk.Berhubung waktu sudah semakin siang, jadi Dilara memutuskan untuk pulang dan akan kembali di keesokan harinya. "Apa aku ke rumah Om Greg saja? Ya, aku ke sana saja."Niat pulang ia urungkan dan memilih pergi ke rumah Gregory. Namun sebelum itu, Dilara mampir ke apotek terlebih dahulu untuk membeli alat tes kehamilan. Setidaknya sebelum pergi menemui dokter kandungan, ia ingin memastikannya lebih dulu.Setelah tahu hasilnya, ia akan mengatakannya pada Gregory. Entah jawaban apa yang akan pria itu berikan dan keputusan apa yang akan ia ambil."Kau mau ke mana?' tanya Gregory.Sampai di rumah pria itu, Dilara langsung melangkah menuju lantai dua. Merasa diabaikan, Gregory pun mene
"Maksud Om Greg apa?" tanya Dilara dengan wajah memucat.Mungkinkah Gregory akan melakukan sesuatu yang buruk pada Dilara? Atau melakukan pembuktian tentang kehamilan gadis itu?"Membuktikan kau hamil atau tidak," jawabnya santai. Ia meraih cangkir kopi hitam dan menyesapnya."Untuk apa? Sudah aku bilang kalau aku tidak hamil. Aku berkata seperti itu hanya ingin tahu tanggapanmu saja," ujar Dilara menggebu.Jantung Dilara berdegup kencang. Pikirannya kacau melanglang buana entah ke mana. Pikiran-pikiran buruk tentang apa yang akan Gregory lakukan pada janin yang ada di perutnya melintas di kepala."Benarkah? Sayangnya aku tidak percaya." Gregory tersenyum menunjukkan seringaian tipisnya."Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padaku?" tanya Dilara berusaha mengalihkan perhatian.Apa pun yang terjadi, ia harus mengubah topik pembicaraan. Ia harus membuat Gregory lupa tentang pembahasan kehamilannya.Meski tujuannya sekedar mengalihkan perhatian Gregory, Dilara mengeluarkan semua u
Tujuh tahun kemudian.Pukul empat sore, terlihat dua anak laki-laki sedang bermain sepak bola di taman. Meski keadaan sekitar sangat ramai, tetapi mereka mampu mendominasi tempat itu."Jangan menendang bola ke arah jalanan, Shine," kata Dilara mengingatkan."Iya, Mommy," balas Shine."Shane juga, jangan terlalu keras menendang bolanya takut terkena pengunjung lain," kata Dilara mengingatkan pada anak keduanya."Shane mengerti, Mommy," balas Shane mengulas senyuman.Dilara duduk di kursi taman sambil memperhatikan anak kembarnya bermain sepak bola. Setiap akhir pekan, ia akan membawa kedua putranya keluar sekedar bermain di taman dan berbaur dengan anak lainnya."Shine haus, Mommy." Pria mungil itu berlari mendekat ke arah ibunya."Ini, Sayang." Dilara menyodorkan botol minum, "Duduk dulu sebelum minum," imbuhnya mengingatkan.Shine pun duduk dan mulai meneguk air. Setelah merasa cukup, ia kembali berlari ke sana kemari lagi mengejar bola."Shane!" teriak Dilara."Maaf, Mommy," ujar Sh
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa