Usai mandi dan sarapan pagi, Alvaro dan Bunga bersiap pergi ke rumah Kakek Bram. Alvaro sudah berjanji untuk meminta maaf atas sikap lancangnya pada Kakek Bram. “Kita berangkat sekarang?” tanya Bunga. Dia sudah siap.Bunga mengenakan pakaian santai, dan Alvaro masih saja suka melihatnya. “Okay, kita berangkat. Nanti, pulang dari rumah Kakek kita mampir ke rumah Papa dan Mama.” Alvaro merangkul bahu Bunga. Mereka berjalan ke garasi, dan Alvaro membukakan pintu mobil untuk istrinya itu.Baru saja mereka berbelok memasuki jalan raya, telepon genggam Alvaro berbunyi. Alvaro meminta Bunga mengambilkan telepon genggam itu. Ketika nama Zendaya muncul di layar, Bunga langsung berusaha bersikap biasa. “Ini dari ... Ibu, Ibu Zendaya,” ujar Bunga.“Sambungkan saja ke audio mobilnya, Sayang,” pinta Alvaro. Alvaro ingin menjaga perasaan Bunga. Dengan menyambungkan ke audio mobil, Alvaro akan menerimanya di hadapan Bunga. Berharap Bunga bisa mendengar semuanya dan tidak
“Ah ... eh ... ah ... eh, kau ini. Ada apa denganmu. Apa di kantor pusat itu harus menggunakan bahasa yang berbeda? Sampai kau jadi grogi seperti itu?” tanya Nabila. Bunga hanya hanya bisa meringis, tak tahu harus berkata apa.“Jadi, kau dari olahraga pagi? Apa sekarang sudah rajin?” tanya Bunga. Daripada Bunga harus menahan rasa, dia memutuskan lebih baik menggoda Nabila. Ternyata berhasil, sekarang wajah Nabila yang tampak sedikit merah merona.“Aku sebenarnya kemari dengan ... dia tadi ke toilet ... maksudku dengan Aditya. Tapi kau jangan marah padaku,” ungkap Nabila jujur, walaupun raut cemas tampak di wajahnya. Perasaan tak nyaman menerpa Nabila. Dia sebenarnya tahu kalau dulu Bunga menyimpan kekaguman pada Aditya. Semenjak Bunga pindah ke kantor pusat, Nabila mendadak jadi lebih dekat dengan Aditya.Bunga langsung tertawa, tentu saja dia tidak mungkin kesal dan marah pada Nabila. Bunga sendiri sudah menikah dan sudah mulai mencintai Alvaro, sang suam
Bunga langsung melambaikan tangannya pada Kakek Bram ketika melihat lelaki itu sedang tersenyum menyambut kedatangan mereka berdua. Kakek Bram sedang duduk di ruang tamu sendirian, menatap ke Raha pintu masuk gerbang rumahnya, seolah lelaki itu memang sedang menantikan Alvaro untuk datang kembali kepadanya.“Pagi, Kakek. Apa kabar? Kakek sudah sarapan?” tanya Bunga dengan ramah sambil menjabat tangan Kakek Bram. Lelaki tua itu langsung tersenyum lebar, kebahagiaan tampak di wajahnya. Dia tahu kalau Bunga memang wanita yang tepat untuk Alvaro. Dalam hati, Kakek Bram memuji, Bunga berhasil membawa Alvaro kembali kepadanya.“Masuklah, masuklah dulu kalian,” ujar Kakek Bram yang menyambut mereka berdua ke pintu. Bunga dan Alvaro tentu saja langsung masuk, mengikuti Kakek Bram.Sampai di dalam, Bunga langsung menatap pada Alvaro. Pandangannya seolah menuntut Alvaro untuk segera menyampaikan maksud kedatangan mereka ke rumah itu. “Kakek, aku ingin minta maaf pada Kakek,” pinta Alvaro. Dia l
Sampai di rumah, Alvaro dan Bunga melepas penat mereka di ruang keluarga. Berdua menghabiskan malam di akhir minggu bersama orang yang sangat dicintai tentunya terasa begitu bahagia. “Mau menonton apa?” tanya Bunga . Dia sudah siap dengan minuman ringan dan semangkuk popcorn di tangannya.“Wow, kau sudah siap? Ayo kita bermalam minggu,” sambut Alvaro. Dia menepuk area kursi di sampingnya, pertanda mempersilahkan Bunga untuk duduk.Bunga menaruh minuman ringan yang dibawanya kemudian menaruh mangkuk popcorn di atas meja yang ada di samping sofa itu. “Kita nonton drama Korea saja,” pinta Bunga . Alvaro menggaruk kepala belakangnya. Dia tentu lebih memilih film action atau film superhero dibandingkan dengan drama Korea. Tapi Alvaro tidak mau menganggu kebahagiaan Bunga . Dia memilih menerimanya saja, dibanding nanti Bunga tertidur ketika film masih separuh jalan.“Baiklah, enjoy you seat, Nyonya Al,” sambut Alvaro. Dia merangkul pundak Bunga yang sudah menjatuhkan badan di sampingny
Selama hidupnya, Alvaro memang belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Alvaro pun dibesarkan oleh Kakek Bram yang tak henti memberikan kasih sayang kepadanya. Alvaro adalah segalanya bagi Kakek Bram. Kakek Bram tidak pernah marah ataupun kesal pada Alvaro . Kakek Bram yang dikenal dingin dan tegas ketika memimpin perusahaan tiba-tiba bisa menjadi seorang Kakek yang hangat dan penuh perhatian pada Alvaro .Sekarang, Alvaro memang menemukan Sarah, sang ibu yang sudah lama dipertanyakannya pada sang kakek. Tentu tidak terbayang sama sekali di benak Alvaro kalau sang ibu ternyata berwatak keras dan tidak mampu menghormati orang lain. Sarah yang kelihatan anggun dan berkelas ternyata tidak mampu menunjukkan keanggunan itu ketika merasa kecewa menemukan kenyataan kalau Alvaro sudah menikah dengan Bunga.‘Kalau gadis itu adalah gadis yang dijodohkan Bram dengan Al, sudah pasti akan sangat sulit bagiku untuk menguasai Al,’ batin Sarah. Sebenarnya semua yang terjadi dalam kehidupan Al
Bunga masih duduk di tempat tidur, rasa kantuk belum lagi hilang dari matanya. Pikirannya pun masih melayang, setengah sudah berada di alam sadar, namun setengahnya masih ada di alam mimpi. Hampir saja kepala Bunga tertunduk karena kembali ketiduran, kecupan lembut bibir Alvaro tiba-tiba mengejutkannya.“Mmmhhhh, Sayaaang. Aku masih mengantuk,” ujar Bunga dengan manja. Dia ingin segera menjatuhkan kembali badannya ke sisi tempat tidur.“Hey, no, no, no. Bangun, Nyonya Alvaro. Kau tidak boleh bermalas-malasan,” ujar Alvaro sembari menyangga tubuh Bunga agar dia tak kembali berbaring.“Sayang, apa sih? Mengganggu, tau? Aku kan jarang bangun siang,” rengek Bunga. Tentu saja itu benar, Bunga memang jarang bisa bangun siang. Setiap hari kerja, sebelum matahari terbit pun Bunga biasanya sudah terbangun. Hanya saja, sejak dulu setiap kali hari Minggu, Bunga tak pernah bisa bangkit dari tempat tidurnya lebih lagi. Dia begitu menikmati hari libur.Bunga berkelit dari pegangan tangan Alvaro, di
Setiap kali terbangun di pagi hari, sebenarnya Bunga secara otomatis langsung berpikir mengenai makanan apa yang harus disediakannya untuk sarapan bersama sang suami. Begitu pula pagi ini ketika Bunga membuka mata. Dia langsung duduk dan menggosok matanya pelan.“Apa itu? Berpikir? Pasti tentang sarapan pagi,” goda Alvaro . Lelaki itu ternyata sudah terbangun lebih dulu. Dia langsung berjalan menuju meja dan mengambilkan air putih yang sudah tersedia di dalam gelas untuk Bunga.“Minum air putih dulu sebelum memikirkan berbagai hal lainnya. Sekarang tidak harus memikirkan sarapan, pasti pelayan sudah memasak untuk sarapan kita,” ujar Alvaro .“Ah, ya. Aku lupa kalau sudah ada pelayan, Sayang,” ujar Bunga. Bunga sebenarnya merasa bersyukur karena Alvaro menyediakan beberapa orang pelayan sekaligus di mansion itu. Sekarang tugas Bunga jauh lebih ringan, terutama di hari kerja.Bunga bergelayut di pundak suaminya. “Terimakasih ya, Sayang,” ujar Bunga. Alvaro menatap ke arah Bunga, kenin
Siapa IstrinyaLelaki tua itu berjalan dengan tegap, masuk ke dalam kantor pusat Angkasa Group. Dia tak hanya sendiri, melainkan bersama pengacara pribadinya, sekaligus pengacara yang selalu mengurus kepentingan perusahaan itu. Saat dia masuk ke lobi, semua karyawan langsung bersikap hormat kepadanya. Bagaimana tidak? Dia adalah komisaris perusahaan itu, pihak yang memiliki hampir seluruh bagian dari saham perusahaan.Dia adalah Kakek Bram, kakek Alvaro. Angkasa Group memang berdiri atas prakarsanya dulu. Saat ini, orang tua itu sudah mundur dari jajaran manajemen perusahaan. Alvaro, sang cucu yang menggantikannya. Sedangkan Kakek Bram? Dia hanya menjadi pemilik perusahaan tersebut. Dia belum melimpahkan warisan apapun pada Alvaro.Sebenarnya, tidak salah Kakek Bram menunda penetapan warisan itu kepada Alvaro. Ada luka dan trauma di masa lalu yang membuat Kakek Bram terpaksa melakukan itu semua. Pasca putra tunggalnya meninggal dunia akibat pengkhianatan menantunya, tentu Kakek Bram t
Bunga berjalan keluarrumah mengikuti Alvaro. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang. Bunga melihatAlvaro seolah kurang menyukai idenya untuk membawa Sarah ke rumah mereka.“Apa kali ini kaubersedia naik mobilku saja? Aku ingin bicara,” ujar Alvaro ketika mereka sampaidi depan rumah. Bunga lekas menganggukkan kepalanya. Kekhawatiran merasukipikiran Bunga. Tak mungkin lagi Bunga menolak keinginan Alvaro.Alvaro membuka pintumobilnya, dia menanti Bunga masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alvaro bergegasmasuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesinnya. Bunga melihat ketegangandi wajah suaminya. Dia merasa takut sekali.“Sayang, apa akusalah?” tanya Bunga memberanikan diri bertanya pada Alvaro. Mobil yangdikemudikan Alvaro baru saja keluar dari gerbang mansion.Alvaro menarik nafaspanjang begitu Bunga mengajukan pertanyaan. “Aku tidak mengerti, Sayang. Tapi,bagaimana mungkin kau memutuskan mengajak Ibu tinggal bersama kita dalamsekejap mata? Kau bahkan tidak membicarakannya denganku
Bunga mengajak Alvaro ke ruang keluarga. Dia sedikit tidak nyaman membicarakan itu di depan pelayan mereka. “Tidak apa, Sayang. Coba kita lihat nanti. Mereka akan memberikan detail biaya untuk pembayarannya kan?” ujar Bunga.Bunga mencoba membesarkan hati Alvaro. Dia tak mau Alvaro banyak berpikir mengenai biaya perawatan Sarah. Alvaro duduk di sofa bersama Bunga. Dia tahu kalau di antara ego yang dimiliki Bunga pada soal pekerjaan, namun di sisi lain Bunga selalu memiliki toleransi yang besar, terutama kepada keluarga Alvaro.“Kalau begitu, besok kita sekalian menjemput Ibu saat makan siang,” ujar Alvaro. Bunga mengangguk, sebenarnya ini kesempatan bagi Bunga untuk mengatakan tentang pengumuman pernikahan mereka. Namun, Bunga merasa ini saat yang kurang tepat. Alvaro sedang berpikir keras mengenai Sarah.‘Sepertinya lebih baik menunggu saat yang lebih tepat. Apa lagi nanti yang akan dikatakan Al kalau aku tiba-tiba Bunga meminta pengumuman pernikahan?’ Sebagai CEO, Alvaro tentu tak b
Sudah beberapa hari Alvaro membisu. Perlahan kekesalannya pada Bunga sedikit berkurang. Namun tetap saja, sekarang Alvaro memilih untuk tidak banyak berbicara di kantor kepada Bunga. Dia tak pernah mendatangi ruang kantor Bunga kalau sedang tidak benar-benar ada perlunya. Alvaro juga tak pernah lagi berbicara bahkan mencoba menyapa Bunga ketika berada di area parkir.Setiap pagi, Alvaro pergi lebih awal untuk membesuk Sarah. Sore harinya, Alvaro juga mampir ke rumah sakit terlebih dulu sebelum pulang. Dia membebaskan Bunga, Bunga bisa ikut ke rumah sakit sepulang kerja ataupun pagi. Tentu saja dengan mobil yang berbeda. Alvaro tak pernah bertanya ataupun komplain kepada Bunga mengenai pergi dan pulang dari kantor pada mobil yang berbeda lagi. Selebihnya? Sikap Alvaro sudah mulai kembali lembut pada Bunga ketika berada di rumah.“Sayang, apa kau masih marah padaku?” tanya Bunga seusai makan malam. Mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, memandang televisi namun sebenarnya mereka
Tok! Tok! Tok!Bunga terkejut mendengar ketukan. Di pintu ruangan kantornya. Bunga secepatnya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia tidak tahu siapa yang ada di depan pintunya.Sebelum Bunga berkata ‘masuk’ pintu sudah membuka. Alvaro muncul di pintu membawa kotak makanan yang tadi dibelikan Bunga. “Boleh menumpang makan?” tanya Alvaro. Bunga hanya bisa mengangguk pasrah.Alvaro masuk ke dalam ruangan Bunga. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat mata Bunga yang tampak sembab. “Kenapa, Sayang?” tanya Alvaro tidak tega dengan sang istri yang tampak bersedih.“Kenapa kau makan disini? Itu hanya akan memperparah keadaan,” ujar Bunga. Alvaro duduk di sofa dan menaruh makanannya di meja.“Apa kau mau aku makan bersama Flora di ruanganku sementara mau disini? Ada Leo yang sedang menemaninya makan sekarang.” Alvaro berjalan ke depan meja Bunga. Sekali lagi memperhatikan dengan cermat wajah cantik Bunga yang tampak begitu bersedih.“Apa yang terjadi padamu, Sayang?” tanya Alvaro.
Gosip beredarBunga terperangah, rasa hatinya ingin sekali keluar dari mobil dan berlari mengejar mobil Alvaro. Bunga melihat mobil Alvaro keluar menuju pintu gerbang rumah sakit. Sekarang Bunga menjadi salah tingkah. Apakah dia harus keluar dan tetap membesuk Sarah, atau Bunga harus pergi ke kantor saja dan menenangkan diri?Rasanya tak mungkin Bunga mengejar mobil Alvaro. Itu hanya akan membuatnya malu. “Kemana dia bersama gadis itu?” desah Bunga. Sekali lagi Bunga merasa sangat membutuhkan Nabila.Bunga melirik ke jam yang ada di dashboard mobil. Perasaannya terasa hampa, benar-benar hampa. “Mungkin Nabila sedang di jalan, aku tidak mau mengganggunya,” gumam Bunga sekali lagi.Bunga kemudian memutuskan untuk langsung pergi menuju kantor. Dia tidak jadi membesuk Sarah. Bunga tidak ingin Sarah bertanya macam-macam kepadanya nanti kalau tahu dia datang sendiri tanpa Alvaro.Sampai di tempat parkir di kantor, Bunga kembali melihat jam. Jam kerja belum dimulai, dia masih datang terlalu
Nasehat SahabatAlvaro membelakangi Bunga, dia mematikan lampu duduk di atas nakas. Bunga tahu kalau tak ada kesempatan baginya. Di sisi lain, Bunga merasa dirinya ditolak oleh Alvaro. “Sayang kenapa sih?” ujar Bunga. Dia merasa tak nyaman pada penolakan Alvaro. Bunga merasa malu.“Tidak malam ini, Sayang. Itu bukan hal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kau harus mengerti itu. Tidurlah, selamat malam.”Bunga mencelos, dia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Alvaro kembali seperti biasanya. Lama sekali Bunga terbaring dalam diam di samping Alvaro yang membelakanginya. Sesekali dia masih melihat punggung Alvaro. Berjuta perasaan berkecamuk di dalam pikiran Bunga. Perasaan malu, tak nyaman, sedih, juga kesal karena Alvaro tak mau lagi memahami perasaannya.Pagi harinya, Alvaro pun bangun lebih dulu. Dia bersiap dengan pakaian kantor. Ketika Bunga membuka mata, Alvaro sudah rapi. Bunga sampai terkejut, menyangka dia sedang kesiangan. “Oh, jam berapa ini?”“Mas
Setelah Bunga dan Alvaro keluar dari ruangan itu, Sarah dan Alexa bersuka ria. Sarah langsung menarik selang oksigen itu dari hidungnya. “Aku bebas sekarang. Aku senang sekali. Gio memang pintar mengatur strategi. Aku yakin kita akan memenangkan hati Alvaro ,” ujar Sarah.“Apa yang aku bilang, Bu. Gio memang tahu segalanya. Dia cerdas untuk mengurus semua ini.” Alexa ikut bangga karena dialah yang sudah mengenalkan Gio pada Sarah.“Sekarang kita harus menjalankan peran ini sebaik mungkin, Bu. Harus berhasil sampai Ibu bisa dibawa Alvaro ke rumahnya,” lanjut Alexa. Dia membuka semua paper bag yang dibawanya tadi. Sebenarnya bukan hanya buah yang ada di dalamnya, namun juga makanan dan minuman kesukaan Sarah. Alexa tahu kalau Sarah tak akan betah dengan treatment dari rumah sakit itu.Suka ria yang dirasakan oleh Sarah dan Alexa berbeda jauh dengan yang dialami oleh Alvaro dan Bunga di dalam mobil menuju tempat tinggal mereka. Alvaro masih sedih atas sikap Bunga. Walaupun dia senang
Bunga terpaksa diam, dia tak bisa menjawab apapun lagi. Bahkan sampai di rumah sakit, Bunga masih juga terdiam. Alvaro pun tidak mencoba mengajaknya berbicara lagi. Ketika turun dari mobil, Alvaro segera membukakan pintu untuk Bunga. Dia kemudian berjalan setelah Bunga keluar dari mobil.Bunga terpaksa mengikuti Alvaro saja, mencari kamar tempat perawatan Sarah. Di hati Bunga, dia masih saja ketakutan kalau sakit Sarah akan bertambah parah karena kesal melihatnya.“Sayang, apa aku menunggu di luar saja?” tanya Bunga. Alvaro langsung berhenti berjalan. Dia memandang pada Bunga.“Kenapa selalu mendampingiku setengah hati, Bunga?” tanya Alvaro . Wajah Alvaro memelas, dia merasa sepanjang pernikahan terlalu banyak memohon pada Bunga. Sementara Bunga, di mana Alvaro tak pernah mengerti perasaannya.Bunga menganga, dia tahu Alvaro salah paham. Baru saja Bunga hendak membuka mulutnya, namun Alvaro lagi-lagi berbicara lebih dulu. “Sudahlah. Tidak apa, terserah padamu saja,” ujarnya.A
Di depan ruang kantor Alvaro, Leo masih duduk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Vanessa sudah bersiap untuk kembali pulang. Jam kerja memang sudah usai.“Aku mau menemui Pak Alvaro,” ujar Bunga pada Leo dan Vanessa. Vanessa hanya meliriknya sinis, tak peduli pada apa yang dikatakan Bunga. Baginya, jam kerja sudah selesai. Dia tak ada alasan lagi untuk menambah waktu kerja walaupun hanya sedetik. Apalagi hanya karena Bunga.“Silahkan masuk saja, Bunga.” Leo langsung saja mempersilahkan Bunga. Dia sudah tahu kalau Bunga ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius dengan Alvaro. Itu semua terlihat dari wajah Bunga yang tampak sedikit tegang.Bunga langsung mengetuk pintu Alvaro, setelah hitungan ketiga, dia membukanya dan masuk. Vanessa melirik ke arah Bunga, masih dengan tatapan sinisnya. Leo yang berada di belakang layar komputer memperhatikan gerak laku Vanessa. Dalam hati, Leo tahu kalau Vanessa tidak menyukai Bunga. Tapi dia tak akan bertanya apa-apa. Leo akan mengamatinya