Selama hidupnya, Alvaro memang belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Alvaro pun dibesarkan oleh Kakek Bram yang tak henti memberikan kasih sayang kepadanya. Alvaro adalah segalanya bagi Kakek Bram. Kakek Bram tidak pernah marah ataupun kesal pada Alvaro . Kakek Bram yang dikenal dingin dan tegas ketika memimpin perusahaan tiba-tiba bisa menjadi seorang Kakek yang hangat dan penuh perhatian pada Alvaro .Sekarang, Alvaro memang menemukan Sarah, sang ibu yang sudah lama dipertanyakannya pada sang kakek. Tentu tidak terbayang sama sekali di benak Alvaro kalau sang ibu ternyata berwatak keras dan tidak mampu menghormati orang lain. Sarah yang kelihatan anggun dan berkelas ternyata tidak mampu menunjukkan keanggunan itu ketika merasa kecewa menemukan kenyataan kalau Alvaro sudah menikah dengan Bunga.‘Kalau gadis itu adalah gadis yang dijodohkan Bram dengan Al, sudah pasti akan sangat sulit bagiku untuk menguasai Al,’ batin Sarah. Sebenarnya semua yang terjadi dalam kehidupan Al
Bunga masih duduk di tempat tidur, rasa kantuk belum lagi hilang dari matanya. Pikirannya pun masih melayang, setengah sudah berada di alam sadar, namun setengahnya masih ada di alam mimpi. Hampir saja kepala Bunga tertunduk karena kembali ketiduran, kecupan lembut bibir Alvaro tiba-tiba mengejutkannya.“Mmmhhhh, Sayaaang. Aku masih mengantuk,” ujar Bunga dengan manja. Dia ingin segera menjatuhkan kembali badannya ke sisi tempat tidur.“Hey, no, no, no. Bangun, Nyonya Alvaro. Kau tidak boleh bermalas-malasan,” ujar Alvaro sembari menyangga tubuh Bunga agar dia tak kembali berbaring.“Sayang, apa sih? Mengganggu, tau? Aku kan jarang bangun siang,” rengek Bunga. Tentu saja itu benar, Bunga memang jarang bisa bangun siang. Setiap hari kerja, sebelum matahari terbit pun Bunga biasanya sudah terbangun. Hanya saja, sejak dulu setiap kali hari Minggu, Bunga tak pernah bisa bangkit dari tempat tidurnya lebih lagi. Dia begitu menikmati hari libur.Bunga berkelit dari pegangan tangan Alvaro, di
Setiap kali terbangun di pagi hari, sebenarnya Bunga secara otomatis langsung berpikir mengenai makanan apa yang harus disediakannya untuk sarapan bersama sang suami. Begitu pula pagi ini ketika Bunga membuka mata. Dia langsung duduk dan menggosok matanya pelan.“Apa itu? Berpikir? Pasti tentang sarapan pagi,” goda Alvaro . Lelaki itu ternyata sudah terbangun lebih dulu. Dia langsung berjalan menuju meja dan mengambilkan air putih yang sudah tersedia di dalam gelas untuk Bunga.“Minum air putih dulu sebelum memikirkan berbagai hal lainnya. Sekarang tidak harus memikirkan sarapan, pasti pelayan sudah memasak untuk sarapan kita,” ujar Alvaro .“Ah, ya. Aku lupa kalau sudah ada pelayan, Sayang,” ujar Bunga. Bunga sebenarnya merasa bersyukur karena Alvaro menyediakan beberapa orang pelayan sekaligus di mansion itu. Sekarang tugas Bunga jauh lebih ringan, terutama di hari kerja.Bunga bergelayut di pundak suaminya. “Terimakasih ya, Sayang,” ujar Bunga. Alvaro menatap ke arah Bunga, kenin
Siapa IstrinyaLelaki tua itu berjalan dengan tegap, masuk ke dalam kantor pusat Angkasa Group. Dia tak hanya sendiri, melainkan bersama pengacara pribadinya, sekaligus pengacara yang selalu mengurus kepentingan perusahaan itu. Saat dia masuk ke lobi, semua karyawan langsung bersikap hormat kepadanya. Bagaimana tidak? Dia adalah komisaris perusahaan itu, pihak yang memiliki hampir seluruh bagian dari saham perusahaan.Dia adalah Kakek Bram, kakek Alvaro. Angkasa Group memang berdiri atas prakarsanya dulu. Saat ini, orang tua itu sudah mundur dari jajaran manajemen perusahaan. Alvaro, sang cucu yang menggantikannya. Sedangkan Kakek Bram? Dia hanya menjadi pemilik perusahaan tersebut. Dia belum melimpahkan warisan apapun pada Alvaro.Sebenarnya, tidak salah Kakek Bram menunda penetapan warisan itu kepada Alvaro. Ada luka dan trauma di masa lalu yang membuat Kakek Bram terpaksa melakukan itu semua. Pasca putra tunggalnya meninggal dunia akibat pengkhianatan menantunya, tentu Kakek Bram t
Di dalam ruang rapat, seluruh Chief Officer di kantor itu sudah berkumpul. Mereka semua menyambut Kakek Bram dengan penuh rasa hormat. Kakek Bram langsung membuka rapat tersebut tanpa banyak basa basi. Dia memang selalu dikenal sebagai pimpinan yang tak pernah mau membuang waktu.“Sebenarnya, ada beberapa poin utama dari rapat yang kita adakan pagi ini,” ujar Kakek Bram. Semua petinggi perusahaan Alvaro langsung mendengarkan dengan serius.“Diantaranya adalah mengenai masa purna tugas dari Chief Marketing Officer atau CMO di perusahaan kita. Untuk itu, saya selalu komisaris perusahaan ini memutuskan untuk melakukan mutasi saudara Ricky yang sekarang menjabat sebagai Chief Financial Officer untuk menggantikan posisi CMO yang sekarang. Sedangkan untuk mengisi posisi kosong pada jabatan CFO, saya menetapkan saudari Bunga Kencana yang menjadi CFO di perusahaan ini,” ujar Kakek Bram.Pernyataan itu tentu saja membuat Bunga terkejut. Dia tidak mendengar apapun dari Kakek Bram sebelumnya. Al
Bunga memandang sedih pada meja kerjanya. Sampai sore hari, dia masih menyelesaikan semua pekerjaannya yang nantinya dikembalikan kepada Leo. Ketika jam kerja selesai, Alvaro langsung muncul di pintu.Melihat Bunga yang masih terlihat sibuk, Alvaro hanya menatap Bunga , bergantian pada Leo. “Apa kau kesulitan kalau Bunga pindah ke bagian keuangan, Leo?” tanya Alvaro.Leo menggeleng pelan, tapi sebenarnya dia memang sedikit kesulitan. Selama ini Leo memang berbagi tugas dengan Bunga . Sekarang, tugas kerja Alvaro memang lebih banyak, seiring perkembangan perusahaan mereka.“Kau tak harus menutupinya, kalau kau butuh rekan kerja lain untuk memanajemen tugasmu, ambil saja satu karyawan lain untuk menggantikan Bunga ,” ujar Alvaro. Leo langsung menggelengkan kepalanya. Dia merasa tak nyaman.Sebelum ada Bunga , sebenarnya Leo juga melakukan semua tugas itu sendiri. Namun, kala itu beban tugasnya belum terlalu banyak.“Sudahlah, Leo. Kalau kau perlu karyawan lain untuk mem-backup tugasm
Bunga dan Alvaro berendam air hangat bersama di dalam bathtub untuk beberapa saat. Sembari berendam, Alvaromenggoda Bunga. “Apa kau besok tidak akan merindukanku?” tanya Alvaro.Bunga yang berbaring di dalam pelukan Alvaro langsung memalingkan wajahnya. “Rindu? Kenapa? Kau akan pergi kemana? Tanya Bunga. Alvaro langsung terkekeh mendengar reaksi lugu dari sang istri. Apalagi mendengar pertanyaannya yang seolah tidak dipikirkan sama sekali.“Besok, kau akan pindah ke ruang kerja baru. Aku pasti akan merindukanmu.” Alvaro memeluk Bunga. Dia menaruh keningnya di pundak Bunga.Bunga langsung mengecup kepala suaminya itu. “Hei, kau ini. Aku kan hanya pindah beberapa langkah dari ruangan kantormu,” ujar Bunga. Kantor CFO yang akan ditempati Bunga memang hanya berjarak beberapa ruangan saja dari ruang kerja Alvaro sebagai CEO, pimpinan tertinggi di Angkasa Group.“Nyonya Al, kau seharusnya peka terhadap perasaan suamimu ini,” keluh Alvaro. Dia terus mendramatisir keadaan.“Jangan drama dulu,
“Kalau kau nakal? Masa aku harus diam saja?” balas Alvaro. Dia mendekap Bunga. Malamnya baru terasa tenang jika Bunga tidur dalam dekapannya. Mereka pun mulai terlelap.Tanpa terasa pagi hari pun tiba, saat Alvaro membuka matanya di pagi hari, kali ini Bunga yang sudah berpakaian rapi. Dia sudah hampir siap untuk berangkat ke kantor. “Ya ampun, Sayang. Kau bersemangat sekali,” desah Alvaro. Alvaro memang tahu persis sikap Bunga setiap kali akan menduduki jabatan baru. Kegugupannya akan membuat Bunga bersiap lebih cepat. Alvaro bangkit dari tempat tidur dan memberikan kecupan selamat pagi pada Bunga.“Tidak, ini sebenarnya sudah siang. Cepatlah bersiap, kemudian turun untuk sarapan.” Bunga terkekeh pelan melihat Alvaro yang berjalan pelan dengan gaya malas ke kamar mandi.Setelah sarapan pagi, mereka berdua berangkat ke kantor. Seperti biasanya, Alvaro mengendarai mobilnya di belakang mobil Bunga. Sampai di kantor, kali ini Bunga parkir di area VIP, di area petinggi perusahaan itu.Tur
Bunga berjalan keluarrumah mengikuti Alvaro. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang. Bunga melihatAlvaro seolah kurang menyukai idenya untuk membawa Sarah ke rumah mereka.“Apa kali ini kaubersedia naik mobilku saja? Aku ingin bicara,” ujar Alvaro ketika mereka sampaidi depan rumah. Bunga lekas menganggukkan kepalanya. Kekhawatiran merasukipikiran Bunga. Tak mungkin lagi Bunga menolak keinginan Alvaro.Alvaro membuka pintumobilnya, dia menanti Bunga masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alvaro bergegasmasuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesinnya. Bunga melihat ketegangandi wajah suaminya. Dia merasa takut sekali.“Sayang, apa akusalah?” tanya Bunga memberanikan diri bertanya pada Alvaro. Mobil yangdikemudikan Alvaro baru saja keluar dari gerbang mansion.Alvaro menarik nafaspanjang begitu Bunga mengajukan pertanyaan. “Aku tidak mengerti, Sayang. Tapi,bagaimana mungkin kau memutuskan mengajak Ibu tinggal bersama kita dalamsekejap mata? Kau bahkan tidak membicarakannya denganku
Bunga mengajak Alvaro ke ruang keluarga. Dia sedikit tidak nyaman membicarakan itu di depan pelayan mereka. “Tidak apa, Sayang. Coba kita lihat nanti. Mereka akan memberikan detail biaya untuk pembayarannya kan?” ujar Bunga.Bunga mencoba membesarkan hati Alvaro. Dia tak mau Alvaro banyak berpikir mengenai biaya perawatan Sarah. Alvaro duduk di sofa bersama Bunga. Dia tahu kalau di antara ego yang dimiliki Bunga pada soal pekerjaan, namun di sisi lain Bunga selalu memiliki toleransi yang besar, terutama kepada keluarga Alvaro.“Kalau begitu, besok kita sekalian menjemput Ibu saat makan siang,” ujar Alvaro. Bunga mengangguk, sebenarnya ini kesempatan bagi Bunga untuk mengatakan tentang pengumuman pernikahan mereka. Namun, Bunga merasa ini saat yang kurang tepat. Alvaro sedang berpikir keras mengenai Sarah.‘Sepertinya lebih baik menunggu saat yang lebih tepat. Apa lagi nanti yang akan dikatakan Al kalau aku tiba-tiba Bunga meminta pengumuman pernikahan?’ Sebagai CEO, Alvaro tentu tak b
Sudah beberapa hari Alvaro membisu. Perlahan kekesalannya pada Bunga sedikit berkurang. Namun tetap saja, sekarang Alvaro memilih untuk tidak banyak berbicara di kantor kepada Bunga. Dia tak pernah mendatangi ruang kantor Bunga kalau sedang tidak benar-benar ada perlunya. Alvaro juga tak pernah lagi berbicara bahkan mencoba menyapa Bunga ketika berada di area parkir.Setiap pagi, Alvaro pergi lebih awal untuk membesuk Sarah. Sore harinya, Alvaro juga mampir ke rumah sakit terlebih dulu sebelum pulang. Dia membebaskan Bunga, Bunga bisa ikut ke rumah sakit sepulang kerja ataupun pagi. Tentu saja dengan mobil yang berbeda. Alvaro tak pernah bertanya ataupun komplain kepada Bunga mengenai pergi dan pulang dari kantor pada mobil yang berbeda lagi. Selebihnya? Sikap Alvaro sudah mulai kembali lembut pada Bunga ketika berada di rumah.“Sayang, apa kau masih marah padaku?” tanya Bunga seusai makan malam. Mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, memandang televisi namun sebenarnya mereka
Tok! Tok! Tok!Bunga terkejut mendengar ketukan. Di pintu ruangan kantornya. Bunga secepatnya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia tidak tahu siapa yang ada di depan pintunya.Sebelum Bunga berkata ‘masuk’ pintu sudah membuka. Alvaro muncul di pintu membawa kotak makanan yang tadi dibelikan Bunga. “Boleh menumpang makan?” tanya Alvaro. Bunga hanya bisa mengangguk pasrah.Alvaro masuk ke dalam ruangan Bunga. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat mata Bunga yang tampak sembab. “Kenapa, Sayang?” tanya Alvaro tidak tega dengan sang istri yang tampak bersedih.“Kenapa kau makan disini? Itu hanya akan memperparah keadaan,” ujar Bunga. Alvaro duduk di sofa dan menaruh makanannya di meja.“Apa kau mau aku makan bersama Flora di ruanganku sementara mau disini? Ada Leo yang sedang menemaninya makan sekarang.” Alvaro berjalan ke depan meja Bunga. Sekali lagi memperhatikan dengan cermat wajah cantik Bunga yang tampak begitu bersedih.“Apa yang terjadi padamu, Sayang?” tanya Alvaro.
Gosip beredarBunga terperangah, rasa hatinya ingin sekali keluar dari mobil dan berlari mengejar mobil Alvaro. Bunga melihat mobil Alvaro keluar menuju pintu gerbang rumah sakit. Sekarang Bunga menjadi salah tingkah. Apakah dia harus keluar dan tetap membesuk Sarah, atau Bunga harus pergi ke kantor saja dan menenangkan diri?Rasanya tak mungkin Bunga mengejar mobil Alvaro. Itu hanya akan membuatnya malu. “Kemana dia bersama gadis itu?” desah Bunga. Sekali lagi Bunga merasa sangat membutuhkan Nabila.Bunga melirik ke jam yang ada di dashboard mobil. Perasaannya terasa hampa, benar-benar hampa. “Mungkin Nabila sedang di jalan, aku tidak mau mengganggunya,” gumam Bunga sekali lagi.Bunga kemudian memutuskan untuk langsung pergi menuju kantor. Dia tidak jadi membesuk Sarah. Bunga tidak ingin Sarah bertanya macam-macam kepadanya nanti kalau tahu dia datang sendiri tanpa Alvaro.Sampai di tempat parkir di kantor, Bunga kembali melihat jam. Jam kerja belum dimulai, dia masih datang terlalu
Nasehat SahabatAlvaro membelakangi Bunga, dia mematikan lampu duduk di atas nakas. Bunga tahu kalau tak ada kesempatan baginya. Di sisi lain, Bunga merasa dirinya ditolak oleh Alvaro. “Sayang kenapa sih?” ujar Bunga. Dia merasa tak nyaman pada penolakan Alvaro. Bunga merasa malu.“Tidak malam ini, Sayang. Itu bukan hal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kau harus mengerti itu. Tidurlah, selamat malam.”Bunga mencelos, dia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Alvaro kembali seperti biasanya. Lama sekali Bunga terbaring dalam diam di samping Alvaro yang membelakanginya. Sesekali dia masih melihat punggung Alvaro. Berjuta perasaan berkecamuk di dalam pikiran Bunga. Perasaan malu, tak nyaman, sedih, juga kesal karena Alvaro tak mau lagi memahami perasaannya.Pagi harinya, Alvaro pun bangun lebih dulu. Dia bersiap dengan pakaian kantor. Ketika Bunga membuka mata, Alvaro sudah rapi. Bunga sampai terkejut, menyangka dia sedang kesiangan. “Oh, jam berapa ini?”“Mas
Setelah Bunga dan Alvaro keluar dari ruangan itu, Sarah dan Alexa bersuka ria. Sarah langsung menarik selang oksigen itu dari hidungnya. “Aku bebas sekarang. Aku senang sekali. Gio memang pintar mengatur strategi. Aku yakin kita akan memenangkan hati Alvaro ,” ujar Sarah.“Apa yang aku bilang, Bu. Gio memang tahu segalanya. Dia cerdas untuk mengurus semua ini.” Alexa ikut bangga karena dialah yang sudah mengenalkan Gio pada Sarah.“Sekarang kita harus menjalankan peran ini sebaik mungkin, Bu. Harus berhasil sampai Ibu bisa dibawa Alvaro ke rumahnya,” lanjut Alexa. Dia membuka semua paper bag yang dibawanya tadi. Sebenarnya bukan hanya buah yang ada di dalamnya, namun juga makanan dan minuman kesukaan Sarah. Alexa tahu kalau Sarah tak akan betah dengan treatment dari rumah sakit itu.Suka ria yang dirasakan oleh Sarah dan Alexa berbeda jauh dengan yang dialami oleh Alvaro dan Bunga di dalam mobil menuju tempat tinggal mereka. Alvaro masih sedih atas sikap Bunga. Walaupun dia senang
Bunga terpaksa diam, dia tak bisa menjawab apapun lagi. Bahkan sampai di rumah sakit, Bunga masih juga terdiam. Alvaro pun tidak mencoba mengajaknya berbicara lagi. Ketika turun dari mobil, Alvaro segera membukakan pintu untuk Bunga. Dia kemudian berjalan setelah Bunga keluar dari mobil.Bunga terpaksa mengikuti Alvaro saja, mencari kamar tempat perawatan Sarah. Di hati Bunga, dia masih saja ketakutan kalau sakit Sarah akan bertambah parah karena kesal melihatnya.“Sayang, apa aku menunggu di luar saja?” tanya Bunga. Alvaro langsung berhenti berjalan. Dia memandang pada Bunga.“Kenapa selalu mendampingiku setengah hati, Bunga?” tanya Alvaro . Wajah Alvaro memelas, dia merasa sepanjang pernikahan terlalu banyak memohon pada Bunga. Sementara Bunga, di mana Alvaro tak pernah mengerti perasaannya.Bunga menganga, dia tahu Alvaro salah paham. Baru saja Bunga hendak membuka mulutnya, namun Alvaro lagi-lagi berbicara lebih dulu. “Sudahlah. Tidak apa, terserah padamu saja,” ujarnya.A
Di depan ruang kantor Alvaro, Leo masih duduk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Vanessa sudah bersiap untuk kembali pulang. Jam kerja memang sudah usai.“Aku mau menemui Pak Alvaro,” ujar Bunga pada Leo dan Vanessa. Vanessa hanya meliriknya sinis, tak peduli pada apa yang dikatakan Bunga. Baginya, jam kerja sudah selesai. Dia tak ada alasan lagi untuk menambah waktu kerja walaupun hanya sedetik. Apalagi hanya karena Bunga.“Silahkan masuk saja, Bunga.” Leo langsung saja mempersilahkan Bunga. Dia sudah tahu kalau Bunga ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius dengan Alvaro. Itu semua terlihat dari wajah Bunga yang tampak sedikit tegang.Bunga langsung mengetuk pintu Alvaro, setelah hitungan ketiga, dia membukanya dan masuk. Vanessa melirik ke arah Bunga, masih dengan tatapan sinisnya. Leo yang berada di belakang layar komputer memperhatikan gerak laku Vanessa. Dalam hati, Leo tahu kalau Vanessa tidak menyukai Bunga. Tapi dia tak akan bertanya apa-apa. Leo akan mengamatinya