"Apa itu?" gumam Xavier ketika ingatan buram yang menggairahkan itu muncul kembali. Kepalanya terasa sakit dan ia menatap ke arah Kasih yang masih telanjang bulat.Dengan kesadarannya, Xavier menarik selimut untuk menutupi tubuh polos istrinya. Lalu pria itu ikut berbaring dan merasakan sesak di dadanya."Ahhhh." Ia mendesah pelan dengan gejolak yang tak ia ketahui.Xavier memejamkan kedua matanya sejenak dan merasakan sensasi panas yang seolah membakar dirinya.Pria itu kemudian kembali membuka kedua matanya dan menatap ke arah Kasih yang sudah tak sadarkan diri. Perlahan ia mendekati tubuh Kasih dan mulai menyibakkan selimutnya lagi."Sisi ... Kenapa Xavi ingin menyentuh tubuh Sisi ...." gumam pria itu dengan tatapan mulai berkabut.Xavier mendekati Kasih. Tangannya bergetar ketika hendak menyentuh dada sintal itu. Rongga dada Xavier bergemuruh seolah ingin melahap gadis yang masih memejamkan kedua matanya."Sisi ...." Dengan kesadaran yang tak sepenuhnya, Xavier mulai menyentuh tub
"Kamu tahu kan kalau kamu nggak boleh memberi tahu siapa pun?" tanya Wibowo."Tapi, Kek. Saya sama sekali nggak pernah memberi tahu siapa pun di kantor ini," ucap Kasih membela diri."Lalu siapa? Kakek dengar dari orang-orang yang bekerja di sini mereka bilang bahwa kamulah yang mengatakannya," papar Wibowo dengan tatapan kecewa.Kasih membulatkan kedua matanya. "Tapi saya bersumpah saya tidak pernah melakukannya, Kek. Janji adalah janji ...." Wibowo sudah terlihat kecewa. Namun pria tua itu masih menunjukkan ketenangan. "Kalau begitu kita dengarkan kesaksian dari beberapa karyawan di sini," tuturnya.Tiga orang perwakilan dari karyawan Zeen Corporation dipanggil memasuki ruangan. Mereka menghadap ke arah Wibowo dan berdiri di belakang Kasih.Gadis cantik itu pun harus menoleh untuk menatap wajah ketiga orang karyawan yang tak dia kenal. Namun, pernah berpapasan dengannya beberapa kali saat bekerja."Jadi, katakan padaku siapa yang memberi tahu kalian soal berita Direktur Xavier?" ta
Pria itu kemudian menoleh menatap Kasih. Wajahnya terlihat memerah. "Apa? Ada apa?" tanya Kasih bingung. "Sisi ... Sisi mau nggak hamil anaknya Xavi?" Ckiiit! Sang sopir menginjak rem secara mendadak dan membuat beberapa pengendara marah. Pertanyaan Xavier tak hanya mengagetkan sopir pribadi pria itu, tapi juga Kasih. "Pak Sopir, hati-hati!" protes Xavier kesal. Padahal dirinya lah yang membuat sang sopir menghentikan mendadak mobilnya. Kini Xavier mengusap-usap keningnya yang terbentur bagian belakang kursi. Kasih pun juga melakukan hal yang sama. "Maaf, Tuan ...." Pria paruh baya itu segera melanjutkan perjalanan. Saat mobil kembali melaju pelan, Xavier menatap wajah istrinya lagi. Kasih yang kaget bergantian memalingkan wajahnya. Ternyata sejak tadi pria itu memikirkan hal tersebut. Bukannya khawatir karena amnesia pria itu diketahui banyak orang kantor. "Jawab, Sisi ... Kita kan suami istri. Jadi mau nggak?" Xavier bertanya dengan polosnya. "Astaga ...." Kasih h
Kasih mendongak untuk menatap wajah orang yang ia tabrak. Kedua matanya membulat saat mengenali wajah itu."Kak Harun ...." cicit Kasih memanggil nama seorang pria yang ia tabrak."Iya. Kamu Kasih, kan?" tanya pria bernama Harun itu sembari melepaskan rambut Kasih yang terkait di resleting jaketnya."Iya, Kak. Ah. Makasih," ucap gadis cantik itu lagi setelah rambutnya terlepas dari resleting jaket."Jadi kamu kuliah di sini?" tanya Harun."Iya, Kak. Kakak juga kuliah di sini?" Kasih balas bertanya."Iya. Ambil prodi apa?""Aku ... Manajemen, Kak," jawab Kasih.Harun tersenyum. "Kalau begitu kita sama. Barengan aja kita," ajaknya kemudian.Kasih menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ia merasa waspada. Apa lagi Harun merupakan seorang pria, meski mereka berdua sudah saling kenal."Ada apa?" tanya Harun."Ah. Nggak ada apa-apa, Kak," jawab Kasih sembari tersenyum. Padahal gadis itu sedikit takut pada Harun. Ia takut jika kakak tingkatnya itu tahu mengenai skandalnya di kampung.Harun k
"Xavi pokoknya kalau mau ikut jemput nggak boleh aneh-aneh. Tetap di dalam mobil. Oke?" Kasih memperingatkan suami bocahnya sebelum gadis itu turun dari mobil yang mengantarnya kuliah."Kok gitu?" tanya Xavier mulai protes."Nurut aja, ya? Atau kamu nggak boleh ikut jemput lagi?" ancam Kasih.Xavier mengerucutkan bibirnya. "Iya, deh. Iya. Yang penting Sisi nggak boleh deket-deket sama cowok."Kasih menghela napas dan gadis itu mengusap lembut pipi Xavier. "Iya, Xavi. Tenang saja. Bukankah selama ini yang terlalu dekat denganku itu kamu?" sindirnya."Ya kan Xavi suaminya Sisi ...." Pria itu mengedikkan kedua bahunya saat mengatakannya."Hm. Itu kamu mengerti.""Kalau begitu kapan Sisi hamil? Kita udah sering tidur bareng, loh," tanya pria itu dengan polosnya."Ssshh. Jangan bicara begitu. Sudah, ah. Aku harus segera masuk kelas. Dah, Xavi ... Ah!" Kasih yang hendak membuka pintu mobil terpekik saat suaminya menarik tangannya dan membuat gadis itu duduk dalam pangkuan Xavier."Peluk dan
Arina yang tengah mengagumi sosok tampan itu, tak menyadari bahwa Kasih sudah menyusulnya keluar dengan penampilan yang basah kuyup.'Dia noleh ke sini ....' gumam Arina dalam hati. Gadis itu malah girang sendiri."Sisi ...." Pria tampan itu adalah Xavier yang tengah mencari sang istri. Ia pun berjalan mendekati Kasih.Sementara orang yang dicari tengah mencoba menutupi tubuhnya yang terbuka karena kancing kemejanya lepas. Kasih kaget karena suaminya malah turun dari mobil. Meski ia akui penampilan Xavier kali ini begitu rapi dengan setelan kemeja hitam dan celana hitam. Bahkan pria itu memakai sepatu kulit berwarna cokelat tua yang menambah kesan elegan dan mahal.'Bagaimana ini?' gumam gadis itu dalam hati. Ia khawatir jika Arina akan menyakiti suaminya yang bodoh.Xavier semakin mendekat. Arina pun menahan napasnya karena senang dihampiri oleh seorang pria tampan. Namun nampaknya gadis itu harus kecewa karena Xavier melewatinya begitu saja dan menghampiri Kasih dengan tatapan kaget
"Ahhh." Kasih mendesah pelan saat tangan Xavier dengan lembut mengusap pipinya."Kenapa bisa sampai seperti ini, Sisi?" tanya pria itu dengan tatapan khawatir.Pipi Kasih terlihat memerah karena tamparan dari Arina. Gadis itu terus mengganggunya saat tahu Kasih berada dalam gedung fakultas yang sama."Ini hanya ....""Sisi nggak boleh bohong," desak Xavier sembari menatap tajam ke arah Kasih.Gadis cantik itu menghela napasnya."Xavi akan mendengarkan cerita Sisi. Jangan khawatir," ucap pria itu dengan wajah seriusnya yang terlihat menggemaskan.Kasih tersenyum simpul. Ia tahu meski suaminya bertingkah seperti anak kecil, namun pria itu juga memiliki kepedulian terhadapnya."Sisi cerita aja, biar Xavi yang gantiin baju Sisi," ucap pria itu dengan tatapan lembut.Xavier perlahan mengulurkan tangannya untuk melepaskan pakaian Kasih. Gadis itu menahannya karena merasa malu."Aku bisa sendiri, Xavi," cicit Kasih."Sisi ...." panggil Xavier kemudian, masih dengan suara yang lembut. "Xavi t
"Apa maksudnya?" tanya Kasih dengan tatapan kesal. Pertanyaan itu jelas merendahkan dirinya.Tiga mahasiswa laki-laki itu menyeringai. "Jangan sok polos, deh. Kamu kan suka jual diri. Ayam kampus ternyata."Kasih membulatkan kedua matanya. Ia kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Jelas terlihat bahwa mahasiswa dan mahasiswi yang berada di tempat itu sedang membicarakannya.Perasaan Kasih mulai tak tenang. Ada bayang-bayang masa lalu yang mengerikan mulai muncul. Bahkan kini ia mulai mendengar ucapan-ucapan merendahkannya seolah ia adalah manusia yang paling hina di dunia."Hei!" Salah satu dari mahasiswa yang menghadangnya itu menjawil dagu Kasih. Membuat gadis itu kaget dan mundur dua langkah."Wah. Baru dipegang bentar aja dia kaget. Apa lagi kalau nanti di kamar, ya? Ayo katakan. Berapa tarifmu dalam sejam?" tanya laki-laki itu lagi kembali merendahkan Kasih dengan ucapan dan tatapan matanya."Hentikan!" sentak Kasih menepis tangan laki-laki yang tak ia kenal itu.Kasih mulai mera
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d