Orang pertama yang paling antusias dengan kabar baik ini tentu saja adalan Devi dan Dion. Siapa yang menduga bahwa Kinan yang semula ditolak justru mendapatkan kiriman surel dan menyatakan penerimaan untuknya.
Hanya seperti itu, kata Anda diterima tertulis di dalam e-mail. Sama sekali tidak ada alasan mengapa keputusan mereka berubah. Meski begitu, Kinan tidak terlihat peduli sebab selama dia bisa hidup mewah dirinya tidak butuh alasan lain.
Di titik ini, mereka berada di salah satu restoran mahal mengingat si Bos yang masih tidak menyebutkan identitasnya itu meminta Kinan untuk datang ke tempat tersebut. Sementara Devi yang dilanda perasaan gembira jelas tidak ingin ketinggalan. Jadinya, di sinilah mereka sekarang. Menunggu dan menunggu.
Devi melirik jam tangannya sembari menatap ke arah pintu masuk, dia berkata cemas, "Kenapa dia belum datang? Kita sudah menunggu 30 menit, loh." Wanita itu beralih menatap Dion di sebelahnya sementara suaminya mengangkat bahu tidak menahu.
"Mungkin macet, kamu kan tahu Jakarta seperti apa."
"Iya, tapi ini kan sudah cukup lama." Raut Devi berubah garang saat berkata, "apa jangan-jangan dia baru saja menipu Kinan?"
Dion menepuk bahu istrinya sembari meletakkan telunjuknya di atas bibir. "Jangan sembarangan, aku yakin Bos tidak mungkin melakukan itu, ini bahkan informasi resmi di kantor," kilahnya.
Devi memberenggut. "Memang Mas sudah pernah ketemu langsung sama orang ini?"
Dion mengangguk. "Iya, cuma aku tidak sering melihatnya mengingat beliau sangat sibuk. Aku kan hanya pekerja bagian bawah, jadi mana mungkin bisa berkomunikasi langsung. Ruangannya ada di lantai teratas."
Kali ini Devi menatap Kinan yang justru terlihat tenang, sementara mulut perempuan aneh itu sedang menggigiti es batu dari air yang mereka pesan. Sebagai tindak antisipasi Devi yang berlebihan, mereka pada akhirnya hanya memesan segelas air putih.
Siapa yang tahu jika Kinan telah ditipu sementara mereka sudah memesan makanan sedang orang yang seharusnya membayar tagihan justru tidak datang. Ini akan jadi malasah besar, pikir Devi.
Pegawai restoran bahkan sudah melirik meja mereka berulang kali. Kemungkinan dalam lima menit tanpa kemunculan pria yang akan menikahi Kinan masih tidak muncul, bisa jadi, mereka akan segera diusir.
Benar saja, dua pegawai kini mendekati meja mereka, mengingat ketiganya sudah memasuki restoran cukup lama dan hanya datang untuk duduk diam seraya memesan air. Wajah si pegawai mulai masam kendati rasa profesional membuat mereka tetap menyelipkan senyum tipis di bibir, kemudian salah satu di antaranya bertanya, "Tuan dan Nyonya, apakah sekarang Anda ingin memesan?" Suara itu masih terdengar halus.
Tetapi, semua pasang mata kontan beralih ke arah Kinan yang tiba-tiba saja berdiri, berikutnya menatap si pegawai dengan mimik kaku. "Maaf, tetapi sepertinya orang yang akan memesankan kami makanan mewah dan menghabiskan banyak uang untuk hidangan sekecil semut, tampaknya tidak datang." Kalimat panjang itu terucap tanpa pikir panjang. Dan karenanya, dua pegawai di depannya sudah menganga tidak habis pikir.
Devi dan Dion bahkan jauh lebih terkejut saat Kinan berhenti, lalu kembali bersuara, "Kami akan pergi," perempuan itu menunjuk Dion, "ah, untuk air yang kita pesan, silahkan serahkan bill-nya pada pria ini."
Wajah Dion kontan memerah malu. Berpikir apa yang baru saja Kinan—si Maniak uang itu katakan—di depan orang-orang pula. Ditatapnya kedua pegawai yang tampaknya mulai terlihat setengah sadar. Dion berkata canggung, "Ekhm, mengenai—"
"Maaf terlambat."
Semua pasang mata kini mengarah kepada satu-satunya objek memukau yang baru saja memasuki ruangan sembari menebar karismanya yang kuat. Tidak hanya Devi, kedua pegawai restoran di tempat itu kontan melebarkan mulut saking terkesimanya.
Pria dalam balutan jas mahal itu kemudian menatap si pegawai sembari melepas satu senyum tipis, lalu berkata dingin, "Kenapa kalian masih berdiri?"
Tanpa pikir panjang, keduanya segera menyambut dengan senyum sumringah dan berikutnya meninggalkan meja dengan tergesa. Siapa yang tidak mengenal pelanggan tetap di restoran mereka—Trian Nugroho—pengusaha sekaligus pendiri Eco.T Grup. Sebuah perusahan yang memproduksi, mengelola, serta memasarkan minuman herbal berbahan dasar teh yang menjadi minuman favorit berbagai kalangan.
Meski tidak cukup terkenal dikalangan masyarakat awam, tetapi Trian memiliki nama besarnya sendiri di dunia bisnis mengingat dia telah berhasil merintis usaha tersebut di usia yang terbilang muda, 30 tahun.
Dasarnya, para pengusaha hanya terkenal di lingkungan mereka. Tidak seperti mereka yang memang bekerja di bawah asuhan infotainment.
"Selamat datang, Pak." Wajah Dion terlihat cerah. Dia tidak berpikir akan bisa berada di meja yang sama dengan pria nomor satu di perusahaan tempatnya bekerja.
Trian tersenyum tipis, tipikal pria yang enggan mengumbar senyum yang akan membuat kesalahpahaman. "Apa aku mengenal, Anda?" tanyanya.
Dion kontan merongoh saku jas dan mengeluarkan identitasnya sebagai karyawan di kantor pemasaran produk. "Saya bekerja di kantor Bapak," jelasnya.
Sementara itu, Trian mengangguk sembari tersenyum. "Ah, seperti itu. Terima kasih sudah bekerja keras untuk perusahaan."
Dion menggeleng cepat. "Bapak tidak perlu berterima kasih, itu memang sudah bagian dari tugas kami."
Trian lagi-lagi mengangguk, kemudian berkata, "Yang mana Kinan?" tanyanya. Manik pria itu menatap Devi cukup lama kemudian berhenti tepat ke arah perempuan mungil di hadapannya. Pria itu seketika menyeringai, "ternyata di sini."
Kinan balas menatap dengan wajah kaku. Dia membalas, "Aku sudah ada di sini sejak awal. Kamu saja yang tidak sadar."
Devi bisa melihat kekehan lembut keluar dari mulut Trian sebelum kemudian tangannya bergerak untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jas. Devi bahkan sudah menggigil saking bahagianya, mengingat betapa beruntungnya Kinan akan menikah dengan pria semenawan dan sebaik ini.
Trian mendorong kotak tersebut ke hadapan Kinan. "Ambil dan buka saat kamu tiba di kos," ucapnya.
Kedua manik Kinan memicing. "Bagaimana kamu tahu aku tinggal di kos-kosan? Kamu memata-mataiku?" tudingnya dengan mimik curiga.
Trian terkekeh. Tubuhnya sengaja dibiarkan condong ke depan Kinan, hanya untuk menebar intimidasi melalui tindakan serta tatapan matanya yang tiba-tiba menajam. "Apa itu salah?"
Untuk sesaat Kinan terdiam, tetapi berikutnya dia mengangguk dan karenanya senyum Trian kembali tertarik. Di sisi lain, Dion dan Devi yang merasakan perubahan atmosfer, mendadak memasang senyum canggung sesaat setelah Trian menoleh dan melirik mereka.
"Terima kasih sudah menemani Kinan."
Dion menyangkal cepat. Menolak untuk terlihat bahwa Kinan telah merepotkannya. "Itu bukan apa-apa, Pak. Kinan ini teman baik kami."
Trian mengangguk sembari melempar senyum ramah.
Sikapnya berubah 180° dari yang terakhir kali Kinan dapati.
***
Siapa menduga, jika tampaknya Trian Nugroho sudah berhasil mengambil hati kedua teman baik Kinan tanpa hambatan. Devi yang biasanya takut Kinan dekat dengan seorang pria, kini bahkan membiarkan Trian membawa Kinan dengan dalih mengantarnya pulang, tanpa curiga sedikitpun.
Mereka sepertinya benar-benar menganggap Trian adalah pria yang baik.
"Kamu tidak ingin menanyakan sesuatu?"
Kinan tidak menoleh saat mendengar pertanyaan Trian di sebelahnya, sementara pria itu sedang mengemudikan mobil yang secara fisik terlihat biasa saja. Kemungkinan pria itu tidak ingin terlihat mencolok dengan mengendari mobil mewah.
Tetapi hal ini lah yang membuat Kinan terganggu, hingga membiarkan emosinya mengambil alih tubuhnya. Kinan menggertak, "Mengapa kamu tidak mengantarku pulang dengan mobil mewah? Bukankah sesuai kontrak kamu akan mengabulkan semua keinginanku?"
Tahu-tahu Trian terkekeh, ia melirik Kinan sembari mengusap wajah perempuan itu. Dengan enteng pria itu menjawab, "Kita belum menikah, jadi kontrak belum berjalan."
Kinan membuang wajah, menolak ketika Trian berniat mencubit hidungnya. "Aku memang berjanji akan mengabulkan apapun, tetapi tidak dengan perasaan cinta apalagi memberi keturunan," imbuh Trian tenang.
Kinan kembali menoleh. Ditatapnya Trian dari arah samping sementara garis rahang pria itu benar-benar terlihat menarik. Kinan mengerutkan kening saat berkata, "Aku ingat, lagi pula aku tidak tertarik dengan hal seperti itu." Kinan mendengkus. "Yang semacam itu hanya menggangu."
Trian tidak lekas menjawab. Hanya saja, sebelah tangannya yang bebas tidak berhenti meraih wajah Kinan. Begitu dia mendapati pipi Kinan, pria itu bergerak mencubitnya cukup keras. "Bagus," ujarnya sembari terbahak.
"Berhentilah mencubit wajahku!"
Dan mobil pun diisi dengan tawa Trian.
Ada apa dengan pria itu?
Apakah dia memang orang yang seperti ini?
Trian yang dia temui di awal pertemuan begitu berbeda dengan Trian yang duduk di sebelahnya sekarang.
Kinan tidak pernah berpikir jika esok harinya kamar kosnya akan diketuk dari arah luar, dan begitu dia membuka pintu dengan wajah luar biasa mengantuk, dua orang pria telah menyeretnya untuk memasuki mobil. Siapa yang tahu, jika dia akan dibawa ke salon dan berikutnya menemui perancang busana. Detik salanjutnya dia bahkan telah dirias dan dipaksa mengenakan gaun putih yang diam-diam telah dibuatkan untuknya. Kendati rasa kantuk yang luar biasa menyerang sedang mata masih memejam rapat, Kinan tetap saja digiring ke sebuah masjid yang rupa-rupanya telah dihadiri seorang penghulu. Sementara itu, sosok Trian yang sudah rapi dalam balutan jas putih terlihat menawan, bergerak menghampiri Kinan untuk kemudian membimbingnya ke hadapan penghulu. Begitu Kinan sadar sepenuhnya, dia telah mendapati ejekan Trian yang memanggilnya dengan nama belakang Nugroho. Itu berarti mereka telah resmi menikah. Saking niatnya p
"Pagi, Kinan jelek." Rasanya sedikit dingin. Tetapi begitu Kinan mendapati kesadarannya, tubuhnya berubah merinding saat menyadari satu sapuan napas itu berasal dari Trian. Menggelitik kulit lehernya sementara Kinan sedang tertidur dalam posisi terlentang. Sesaat setelah dia membuka mata, hal pertama yang dia dapati adalah wajah rupawan yang segar sedang tersenyum menyambutnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengontrol diri dari rasa lemas karena bangun mendadak, dan butuh waktu cukup lama hingga kemudian dia terduduk sembari melotot ke arah Trian. "Apa yang baru saja kamu lakukan, bodoh!" Wajah Kinan benar-benar syok. Sapuan merah padam langsung saja menjalari pipinya hingga tampak bersemu di pagi hari. Dua hari menikah dengan Trian, Kinan sama sekali belum terbiasa dengan tindakan aneh yang terkadang dilakukan pria itu. Dan ketika dia bertanya mengapa Trian melakukan hal demikian, pria itu menjawab hanya karena in
Kinan benar-benar memanfaatkan situasinya dengan baik. Begitu tidak mendapati suaminya di rumah, dia tidak membiarkan kesempatan emas itu terbuang dengan hanya terkurung di perbukitan teh yang jauh dari kota. Butuh waktu beberapa menit dia bisa keluar dari hamparan tanaman hijau hingga gedung-gedung tinggi bermunculan dalam jarak pandangnya. Begitu kedua kakinya menapaki lantai keramik pusat perbelanjaan, senyumnya kontan mengembang penuh antusias. Dua orang pengawal yang bertugas menjaganya berdiri tidak jauh di belakang. Jangan pikir para penjaga itu berpenampilan sama dengan mereka yang kerap muncul di layar kaca. Tidak! Jelas itu akan terlihat mengerikan. Pakaian kedua pria besar itu tampak manusiawi dengan kaos biasa dan celana panjang yang umum dikenakan pria. Sekilas, mereka hanya tampak bagai pria normal dengan badan besar. Bisa jadi, pikiran orang-orang menerka mereka sebagai sosok yang menyen
Sepanjang jalan menuju villa, selepasmengantar Tatiana, Trian tidak berhenti menyunggingkan senyum begitu mengingat insiden lucu yang dialami Kinan di mall. Setelah Bagas menghubunginya dan mengatakan perihal masalah Kinan yang telah memborong banyak tas mahal tetapi tidak punya uang untuk membayar, alih-alih memberi bantuan, Trian justru membiarkan Kinan dalam masalah tersebut. Ya, pria itu berencana mengerjai istrinya. Hitung-hitung sebagai hukuman mengingat Kinan berani pergi tanpa sepengetahuannya. Dia ingat jelas bagaimana panggilan Bagas kembali mengisi ponselnya, sementara yang bersuara keras di seberang sana ialah Kinan. Kemarahan perempuan itu tidak terbendung begitu dirinya dipermalukan pegawai toko yang menyebutnya sebagai penipu. Kinan bersumpah akan kembali ke toko itu dan membuat mereka menganga dengan uangnya, pikirnya. Bukan main cerahn
"Sudah siap?" Trian muncul dari balik pintu, sementara tubuh pria itu dibalut setelan jas putih yang benar-benar menambah pesonanya. Tetapi sayang, penampilan Trian sama sekali tidak bisa menggetarkan hati seorang Kinan yang tidak pernah peduli kepada lawan jenis. Kinan berbalik sekilas sebelum kemudian maniknya kembali pada dress selutut di atas tempat tidur. Ada dua, satu berwarna merah maron, satunya lagi berwarna senada dengan pakaian Trian. Trian berdecak sembari berjalan mendekati Kinan yang tengah menopang dagu. Tampak jelas, perempuan gila itu sedang sibuk memilah. Trian menarik dress berwarna putih lantas merentangkannya di hadapan Kinan. "Pakai yang ini!" Sembari melempar benda itu ke arah Kinan yang sedang mengerutkan kening, Trian berkata ketus, "begini saja harus memilih." Raut wajah Kinan mendadak keruh, tetapi detik berikutnya dia memilih untuk tidak m
Kinan sedang berdiri menatap air mancur di taman belakang rumah besar papa mertuanya, ketika sosok cantik Tatiana datang menghampirinya. Sementara Trian, mau tidak mau harus mengikuti papanya ke ruangan lain di dalam sana, sembari menampilkan aura gelap. Kemungkinan mereka sedang berdebat habis-habisan, meluruskan apa yang mungkin saja perlu diluruskan. Itupun jika Trian mau mengalah, mengingat bagaimana keras kepalanya pria itu kepada papanya sendiri. Terserah, Kinan tidak peduli. Kinan tidak beranjak dari posisinya begitu Tatiana berdiri di sebelahnya, sementara tangan wanita itu terulur meraih percikan air mancur hingga ujung-ujung jarinya berakhir basah. Kinan melotot, berpikir, apa yang wanita itu kenakan hingga kulitnya semulus porselen? Apakah dia menghabiskan banyak uang untuk itu? Jika benar, maka Kinan perlu mencobanya. Mendadak lamunan Kinan buyar begitu suara halus tetapi penuh in
"Kinan!" Mendadak kedua manik Kinan terpejam begitu mendapati suara Devi yang keras. Orang-orang kontan menatapnya penuh kebingungan begitu wanita itu membuka pintu cafe dengan tergesa. Kinan bahkan meringis saat menyadari bagaimana cepatnya Devi berlari ke arahnya, padahal wanita itu tengah mengandung. Apakah bayi dalam perutnya sedang jungkit balik sekarang? pikir Kinan. "Kamu kenapa—aw!" Kinan mengadu sembari mengusap bahu. Devi yang baru tiba di meja yang sudah Kinan pesan, tahu-tahu mendaratkan satu pukulan keras di sana, tanpa perhitungan sedikitpun. Ketika Kinan merasa dirinya harus protes berat, sayangnya dia bahkan tidak sanggup membuka mulut begitu mendapati wajah garang Devi. Wanita itu kini duduk di hadapannya, memandanginya dengan sorot membunuh yang nyata. Sembari meringis takut, Kinan berujar pelan, "apa, sih?" Kedua manik Devi seketika melotot, sedang bibirny
Hari ini Kinan memutuskan bermain ke rumah Devi begitu Trian berangkat ke kantor di pagi buta. Tentu saja mengingat jarak kantor pusatnya dengan villa terbilang cukup jauh, jadi untuk mengejar waktu pria itu bangun lebih awal dan berangkat lebih dini. Kinan tidak habis pikir, Trian bisa saja membeli atau membuat rumah tidak jauh dari kantor sehingga pria itu tidak perlu repot seperti ini. Akan tetapi, dia justru kekeuh untuk tinggal dan melakukan semuanya seolah-olah itu bukan masalah besar. Huh! Trian itu terlalu banyak memendam rahasia. Nyatanya, Kinan belum mendapat persetujuan atau jawaban apapun dari Trian mengenai boleh tidaknya Devi berkunjung ke villa, dan karenanya, mau tidak mau Kinan harus menepati janji untuk mendatangi rumah wanita itu. Toh, rasa bosan akan tetap menghampirinya betapa pun senangnya dia bertahan di tempat-tempat mewah. Dasarnya, perasaan alamiah
"Di mana Kinan?"Trian tidak bisa menahan diri untuk bertanya saat mendapati Joko keluar dari dalam pos jaga, sementara dirinya tengah berdiri di teras villa. Ini sudah pukul 19 : 13 pm saat dia berhasil menginjakkan kaki di lantai kayu villa dan masuk dengan tergesa, tetapi sialnya, dia justru tidak menjumpai Kinan di manapun.Di sisi lain, Joko bergegas menghampiri pria tampan itu dengan raut wajah terkejut. Pasalnya, setahunya Trian baru akan pulang dua hari lagi. Lalu bagaimana bisa dia ada di sini? Bahkan sudah berdiri sembari menatapnya dengan raut menyelidik."Bos?" Joko mencoba memastikan, namun saat melihat Trian melangkah menuruni tangga, Joko seketika berdiri tegap di hadapan pria itu. "Ini benar-benar, Bos?" tanyanya setengah tidak percaya. Joko menggaruk alis saat berkata, "loh, kok sudah pulang?"Trian tidak menanggapi perkataan pria besar itu, sebaliknya dia justru kembali menanyakan keberadaan Kinan. Wajahnya terlihat ker
Tatiana melangkah maju ke pinggiran kolam. Tatapannya lurus, sinis, dan tampaknya wanita itu tidak berniat memutus kontak matanya dengan Kinan. Dagunya diangkat tinggi seolah dia ingin menunjukkan kuasa atas diri Kinan. Baginya, Kinan bukan lah tandingan. Perempuan muda itu hanya debu kecil yang perlu dia singkirkan, cepat atau lambat.Sepulang dari New York, Tatiana tidak bisa menahan diri untuk segera menjumpai perempuan satu ini. Tentu saja untuk memberinya kejut ringan.Dan sepertinya, rencana wanita itu berhasil sebab kini Kinan cukup terkejut saat melihatnya muncul dengan tiba-tiba. Setahu Kinan, Trian pernah berkata jika tempat ini tidak diketahui oleh siapapun, terutama papa dan mamanya.Lalu, bagaimana Tatiana bisa ada di sini? Berdiri menatapnya dengan keangkuhannya yang menjijikkan.Sesaat kemudian, Kinan menarik napas. "Aku tidak akan bertanya bagaimana caramu masuk, sebab semua pencuri memang
"Sebaiknya kamu pulang." Tatiana menoleh ketika suara Trian yang berat terdengar dari arah samping. Dia baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut terlilit handuk, sementara Trian, pria itu sedang tiduran di atas ranjang. Wajahnya tidak menunjukkan mimik berarti, hanya saja, tatapannya lurus menghunus ke arah telepon genggam di tangannya. Tatiana tidak menjawab. Sebaliknya, dia bergerak mendekati pria itu dengan wajah resah. Dia duduk di pinggiran ranjang sembari meraih tangan Trian. Dia berkata dengan wajah muram, "Sayang, kenapa aku harus pulang? Aku juga sudah izin sama Papamu. Tenang saja, dia tidak akan tahu, apalagi curiga," katanya. Trian menoleh. Mendadak Tatiana terkejut tatkala Trian bergerak melepas tangannya. Tidak kasar, tetapi wanita itu sunggu merasa tersinggung. Bagaimana bisa Trian bertindak seperti itu? pikirnya. Selama ini, Trian sangat suka dibelai olehnya. "Aku punya banyak pekerjaan di sini. Kalau kam
Dua hari. Kinan mengulang jangka waktu itu di dalam benaknya. Benar, sudah selama itulah Trian bertandang ke luar negeri dan meninggalkannya bersama para pengawal.Awalnya Kinan pikir hidupnya akan tenang tanpa kehadiran pria itu, mengingat saat Trian tidak pulang beberapa hari belakangan karena urusan kantor, Kinan benar-benar merasa bahagia. Saking senangnya, dia sampai ingin melakukan syukuran.Kalau saja dia tidak berbaik hati menyerahkan kembali telepon genggam milik Bagas, kemungkinan Trian tidak akan banting setir kembali ke villa, setelah mendengar rencananya yang ingin membangun kolam renang.Tetapi, semua sudah telanjur terjadi. Trian semakin bertingkah aneh dan menjengkelkan. Kinan bahkan tidak berhenti merinding begitu mengingat hal-hal mengerikan yang telah dilakukan pria itu. Berdoa saja, Trian hanya sedang linglung karena ditimbun beban pekerjaan, karena itulah dia bertingkah kesurupan.
"Astaga!" Kinan memekik. Maniknya melotot terkejut tatkala mendapati satu sorot tajam terang-terangan tengah mengawasinya. Perempuan itu baru saja akan bangun. Dia bahkan baru hendak merenggangkan otot-otot tubuhnya, tetapi begitu membuka mata, sosok Trian sudah berbaring miring menghadapnya sembari mengamatinya. Menjauh sedikit, Kinan memejamkan mata saat berkata, "Padahal aku ingin memulai pagi dengan melihat kolam renang ku." Dia menggerutu sembari menggertakkan gigi. "Ish! Kenapa harus mukamu yang pertama kulihat," ujarnya, tanpa dosa. Trian tersenyum miring. Posisinya masih sama, dan tampaknya pria itu tidak berniat mengubahnya dalam waktu dekat. Begitu mendapati Kinan hendak bangkit dari pembaringan, dia menahannya dan menariknya kembali untuk terbaring. Trian mengabaikan saat Kinan melotot ke arahnya. Lelaki itu tidak akan terpengaruh dengan raut wajah Kinan yang hendak memarahinya. Toh, wajah p
Sejak pagi ketegangan melanda suasana kantor. Tidak ada pergerakan lain selain hilir mudik para pekerja yang bergerak menjalankan tugas. Nyatanya, hal ini sudah berlangsung selama beberapa hari belakangan. Selepas dari Bali, mendadak penjualan produk menurun drastis. Timbulnya artikel dan pemberitaan mengenai minuman sehat yang Eco.T. Grup kelola memiliki kandungan berbahaya, memaksa penarikan barang secara besar-besaran. Kendati masalah dengan kepolisian sudah berhasil ditangani. Tetapi, kerugian besar yang tak terelakkan tidak bisa ditarik ulang. Rugi tetaplah rugi. Mengingat bagaimana jayanya perusahaan besar itu, beberapa pesaing tentu akan menjatuhkan. Meski artikel itu hanyalah salah satu akalan musuh, tetapi dia berhasil menimbulkan kerugian besar di pihak Trian. Bukan main peningnya kepala pria itu. Tetapi berkat kemampuannya, dibantu para pekerja handal yang kepercayaannya tak perlu diintip, T
Ketika Kinan terbangun lalu membuka mata, sudah ada Bagas dan Joko di hadapannya. Kinan pikir dia sedang bermimpi mendapati kedua perinya itu, jika saja Bagas tidak mendekat sembari menyinggungkan satu senyum lebar hingga giginya terlihat. Perempuan itu terduduk dengan wajah malas. Tampak sekali magnet matras masih bekerja untuk menariknya kembali berbaring. "Mbak sudah bangun?" Kinan mengangguk meski tidak mendongak menatap Bagas. Sementara maniknya memicing sesaat setelah Joko yang berdiri menghalangi cahaya dari pintu masuk, berpindah dan kini terduduk menyamai posisinya. Maniknya yang besar berpendar begitu menatap Kinan. Sejurus kemudian, tatapan khawatir dia layangkan ketika bibirnya mengucap, "Aduh," Joko menarik Bagas mendekat, memaksa pria itu ikut berjongkok di sebelahnya. Joko melanjutkan, "lihat, Gas. Leher Mbak Kinan jadi merah karena tidur di matras." Telunjuknya mengarah tepat ke a
"Pokoknya, malam ini kamu tidur di sini." Trian menarik Kinan hingga memasuki gudang di bawah bukit villa tidak jauh dari rumah para penjaga. Keributan itu cukup keras hingga beberapa kawanan hitam menyeruak keluar dan berdiri sembari berbisik menatap pasangan itu. Sama sekali tidak ada yang menduga bila Trian akan menarik istrinya hingga ke tempat ini. Namun dipikir berulang kali pun, mengingat bagaimana sikap Trian selama ini, bukan hal lumrah bila kejadian seperti ini akan terjadi. Napas Trian berhembus tidak stabil. Emosinya benar-benar di puncak dan dia tidak bisa mengendalikannya dengan baik. Sementara di sisi lain, Kinan justru tidak bereaksi. Perempuan itu terdiam sembari mengamati kondisi gudang dalam diam. Tempat ini tidak begitu buruk. Hanya ada beberapa debu yang bersarang di tumpukan-tumpukan barang tak terpakai yang belum dibuang. "Kamu dengar aku, kan?" Trian bertanya. Maniknya menyorot Kinan den
Sebagai bayaran karena tidak berhasil mengelilingi Bali, Kinan melepas kekecewaan dengan hal lain. Sepertinya, mengunjungi wahana bermain dengan Devi dan Dion bukan ide yang buruk. Untuk memacu adrenalin, perempuan itu mencoba memainkan wahana roller coaster. Mengingat Devi tidak bisa bergerak banyak dan diharuskan memonitor kondisi jantung selama mengandung, wanita itu memilih untuk tidak ikut bermain. Alhasil, mau tudak mau, Kinan harus puas duduk dengan Dion dan merelakan pria itu untuk bermain bersamanya. Kinan pikir, Dion adalah salah satu pria pemberani yang tidak akan mempan dengan wahana semacam ini, tetapi tidak seperti yang Kinan bayangkan pria itu justru tampak bagai orang kehilangan akal. Dion berteriak keras tepat setelah wahana begerak dan meluncur turun; menukik tajam bagai bilah pedang yang hendak membelah daging. Kinan akui jantungnya bedetak lebih keras dan dia tahu dirinya sedang men