"Pagi, Kinan jelek."
Rasanya sedikit dingin. Tetapi begitu Kinan mendapati kesadarannya, tubuhnya berubah merinding saat menyadari satu sapuan napas itu berasal dari Trian. Menggelitik kulit lehernya sementara Kinan sedang tertidur dalam posisi terlentang. Sesaat setelah dia membuka mata, hal pertama yang dia dapati adalah wajah rupawan yang segar sedang tersenyum menyambutnya.
Butuh beberapa detik baginya untuk mengontrol diri dari rasa lemas karena bangun mendadak, dan butuh waktu cukup lama hingga kemudian dia terduduk sembari melotot ke arah Trian. "Apa yang baru saja kamu lakukan, bodoh!" Wajah Kinan benar-benar syok. Sapuan merah padam langsung saja menjalari pipinya hingga tampak bersemu di pagi hari.
Dua hari menikah dengan Trian, Kinan sama sekali belum terbiasa dengan tindakan aneh yang terkadang dilakukan pria itu. Dan ketika dia bertanya mengapa Trian melakukan hal demikian, pria itu menjawab hanya karena ingin.
Sebatas itu dan Kinan merasa dongkol.
Tubuh Kinan sontak berdiri begitu Trian menariknya. Ada senyum yang pria itu sematkan di wajahnya tatkala mendapati kerut risih di raut istrinya. "Apa salahnya, aku hanya membangunkanmu." Terdiam, Kinan merasa tidak dapat mengenali fungsi mulutnya hingga hanya berakhir melebar. Mendadak kedua tangannya mencengkram kokoh bahu Trian. Tubuhnya diangkat begitu saja tanpa alarm peringatan.
Ini menyebalkan!
"Hei, hei ... apa sih, kamu kelakuannya aneh-aneh."
Trian terkekeh. Kaki-kaki panjangnya menjejaki lantai kayu dan memasuki kawasan dapur. Dia tidak membiarkan Kinan turun dari gendongannya kendati jika perempuan muda itu berontak tidak karuan. Kinan melotot garang saat Trian bergerak mencubit pipinya.
Pria itu mengejek, "Lihat, lihat, siapa yang tidak tahu diri." Seringaiannya terbit begitu saja sementara langkahnya berpindah menuju lemari di mana piring dibiarkan tersusun di dalamnya. "Coba deh berkaca, aku pikir kamu yang paling aneh di sini."
Bola mata Kinan bergulir menatap piring di depannya, begitu Trian selesai meletakkannya di sana. "Aku tidak suka berkaca." Tatapan perempuan itu berpindah, mengunci kedua manik gelap Trian yang berbinar tertimpa sinar mentari pagi melalui jendela kecil di sudut ruangan. "Untuk apa kamu melakukan ini? Bukannya kamu harus kerja?"
Trian mengendikan bahu tidak peduli. "Hari ini masih terhitung libur pernikahan." Senyum pria itu tertarik lebih lebar saat berkata, "jangan kepedean."
"Enak saja!" Kinan melotot, sementara Trian terbahak. Tidak buruk, pikirnya. Setidaknya, dia menghabiskan waktu dengan mempermainkan emosi Kinan.
Kinan pikir, Trian gemar memasak. Semua hidangan yang ada di atas meja dia buat sendiri tanpa kesulitan. Tangannya terlalu lihai mengolah bahan, dan dia tahu bagaimana memperlakukan alat-alat masak dengan semestinya. Kinan merasa sedang menyaksikan pertunjukan chef.
Aroma masakan mengudara, menginvasi hampir semua sudut di dalam dapur. Asap bergerak seolah mengepul di depan hidung Kinan. Tentu saja aroma ini berhasil mengundang makhluk hidup lain yang bersarang di perutnya. Mereka berontak, bergejolak menginginkan asupan makanan.
Sorot Kinan berubah kaku dan datar. Dia tidak pernah suka pria yang bisa melakukan banyak hal. Itu seolah menyadarkannya bahwa betapa banyak kekurangan yang dia miliki. Memasak misalnya, gender-nya boleh perempuan tetapi jangan pikir dia bisa melakukannya. Beruntung jika dia berhasil menggoreng satu telur tanpa hangus.
Untuk ukuran pendosa berat macam dirinya, Tuhan terlalu menyayanginya dengan menghadirkan sosok Devi di kehidupannya. Jujur saja, Kinan tidak bisa melakukan banyak hal tanpa wanita itu. Mereka bagai dua kutub yang berbeda, tetapi anehnya dia dan Devi dapat bertahan untuk saling mendukung.
Tidak. Kinan merasa dia tidak pernah melakukan apapun untuk perempuan baik itu, sebaliknya, Devi lah yang telah melakukan banyak hal untuk membuatnya tetap merasa hidup.
Ya, urusan makan contoh kecilnya. Menyadari Kinan tidak bisa memasak, Devi mendadak memiliki tanggung jawab untuk memenuhi isi perutnya. Semua makanan yang masuk ke perut perempuan muda itu selalu dibuat oleh Devi tanpa beban. Devi terlalu baik padanya, kemungkinan besar Kinan masih bisa mengontrol diri selama tiga tahun terakhir adalah karena karibnya itu. Kinan tiba-tiba menghela napas.
Atensi Kinan beralih begitu melihat Trian mendekati meja makan dengan semangkuk besar sup daging. Manik perempuan itu memicing, tidakkah Trian terlalu berlebihan menghidangkan makanan sebanyak ini? pikirnya. "Sebenarnya, apa sih, yang kamu rencenakan? Mau meras aku, ya?"
Trian mendongak. Mulutnya terkatup rapat namun tatapannya mengunci kedua manik Kinan yang menguarkan kecurigaan. Sejurus kemudian mulutnya berakhir mencibir, "Tidak tahu diri sekali, memang ada yang bisa diperas dari kamu?" Trian mendengkus sombong, sementara bokongnya mendarat di atas kursi tepat di depan Kinan. Tangan pria itu bergerak cepat mengambil nasi, tidak lupa beberapa lauk, berikutnya dia meletakkannya di hadapan istrinya. "Nah, makan," ujarnya, Kinan masih memicing curiga, "berhenti melotot dan makan, dasar miskin."
Selebihnya, Kinan hanya mencibir.
***
Kinan menguap lebar, begitu matanya melirik dan mendapati jam di dinding, dia lekas menghela napas mengingat ini masih terlalu pagi untuknya. Biasanya, jika sedang libur kerja, dia akan menghabiskan waktu dengan tidur di kosan hingga siang. Sayangnya, Trian tampaknya tidak setuju bila melihatnya hanya berdiam diri sembari mendengkur di kasur.
"Loh, kamu belum mandi juga?" Manik Kinan menyorot redup tanpa minat begitu mendapati sosok Trian keluar dari kamar tidur mereka. Penampilan pria itu tidak berubah. Tampan. Mungkin sedikit meningkat mengingat dia baru saja mandi dan membiarkan rambut basahnya tersisir jemari-jemari kokohnya.
Kinan bergumam tidak jelas sebagai tanggapan. Tangannya menopang dagu sementara posisi tubuhnya dibiarkan dalam pose malas luar biasa. TV di depan seolah tidak memiliki fungsi bila berhadapan dengan perempuan itu. TV-nya dibiarkan menyala sementara yang menontoninya tidak punya minat sama sekali.
Pemalas!
Trian berdecak. Langkah pria itu membawa tubuhnya mendekat ke arah Kinan. Dia meraih remote dan menekan tombol of di sana. TV seketika mati dan keadaan ruangan sunyi melambai, dan di detik itu juga Trian terperangah tidak percaya saat mendapati tubuh Kinan terjatuh dari sofa. Menggelinding nyaris menyentuh ujung kakinya sendiri sementara perempuan gila itu tertidur tanpa beban.
Trian menarik napas, maniknya memejam rapat sedang jemarinya bergerak memijat pelipis. "Perempuan apa yang aku pinang ini," keluhnya tidak habis pikir. Kendati mengumpat kesal, tetapi Trian bergerak meraih tubuh Kinan lalu membawanya ke dalam kamar, dan berakhir membanting istrinya di atas kasur tanpa perhitungan. Toh, Kinan sudah pasti tidur bagai orang mati. Dia tidak akan bangun dalam waktu dekat.
Membiarkan Kinan dengan dunia mimpinya, Trian memilih meninggalkan kamar dan melenggang menuju dapur. Kulkas dibukanya dengan cepat, sedang tangannya bergerak meraih botol air mineral lantas meminumnya hingga tandas. Sampai kemudian, mimik wajahnya berubah semakin kaku begitu ponselnya berdering dan memunculkan nama si pemanggil.
Tatiana.
Untuk apa wanita itu menghubunginya lagi?
Panggilan itu baru benar-benar berhenti tepat pada panggilan kelima, Trian jelas tidak pikir panjang untuk mengabaikannya kendati hatinya berkata lain. Ponselnya diletakkan di atas meja makan sementara kedua manik pria itu menyorotinya dengan tajam.
Menarik napas, Trian lalu melenggang pergi.
***
Begitu Kinan terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Dia duduk termenung di atas kasur selama beberapa saat baru kemudian beranjak menuju kamar mandi. Begitu dia menyambangi ruang tengah, sama sekali tidak ada kehidupan selain barang-barang antik yang terlalu memukau. Menyadari Trian sedang keluar, Kinan lantas bersorak kesenangan.
Buru-buru dia mencari telepon khusus yang terhubung langsung dengan para penjaga di bawah bukit villa. Tidak hitung-hitung, dia meminta kepada mereka untuk mengantarkannya ke pusat perbelanjaan. Detik itu juga.
Tentu saja, hari ini dia akan menghabiskan banyak uang.
Bukankah ini menyenangkan?
Kinan benar-benar memanfaatkan situasinya dengan baik. Begitu tidak mendapati suaminya di rumah, dia tidak membiarkan kesempatan emas itu terbuang dengan hanya terkurung di perbukitan teh yang jauh dari kota. Butuh waktu beberapa menit dia bisa keluar dari hamparan tanaman hijau hingga gedung-gedung tinggi bermunculan dalam jarak pandangnya. Begitu kedua kakinya menapaki lantai keramik pusat perbelanjaan, senyumnya kontan mengembang penuh antusias. Dua orang pengawal yang bertugas menjaganya berdiri tidak jauh di belakang. Jangan pikir para penjaga itu berpenampilan sama dengan mereka yang kerap muncul di layar kaca. Tidak! Jelas itu akan terlihat mengerikan. Pakaian kedua pria besar itu tampak manusiawi dengan kaos biasa dan celana panjang yang umum dikenakan pria. Sekilas, mereka hanya tampak bagai pria normal dengan badan besar. Bisa jadi, pikiran orang-orang menerka mereka sebagai sosok yang menyen
Sepanjang jalan menuju villa, selepasmengantar Tatiana, Trian tidak berhenti menyunggingkan senyum begitu mengingat insiden lucu yang dialami Kinan di mall. Setelah Bagas menghubunginya dan mengatakan perihal masalah Kinan yang telah memborong banyak tas mahal tetapi tidak punya uang untuk membayar, alih-alih memberi bantuan, Trian justru membiarkan Kinan dalam masalah tersebut. Ya, pria itu berencana mengerjai istrinya. Hitung-hitung sebagai hukuman mengingat Kinan berani pergi tanpa sepengetahuannya. Dia ingat jelas bagaimana panggilan Bagas kembali mengisi ponselnya, sementara yang bersuara keras di seberang sana ialah Kinan. Kemarahan perempuan itu tidak terbendung begitu dirinya dipermalukan pegawai toko yang menyebutnya sebagai penipu. Kinan bersumpah akan kembali ke toko itu dan membuat mereka menganga dengan uangnya, pikirnya. Bukan main cerahn
"Sudah siap?" Trian muncul dari balik pintu, sementara tubuh pria itu dibalut setelan jas putih yang benar-benar menambah pesonanya. Tetapi sayang, penampilan Trian sama sekali tidak bisa menggetarkan hati seorang Kinan yang tidak pernah peduli kepada lawan jenis. Kinan berbalik sekilas sebelum kemudian maniknya kembali pada dress selutut di atas tempat tidur. Ada dua, satu berwarna merah maron, satunya lagi berwarna senada dengan pakaian Trian. Trian berdecak sembari berjalan mendekati Kinan yang tengah menopang dagu. Tampak jelas, perempuan gila itu sedang sibuk memilah. Trian menarik dress berwarna putih lantas merentangkannya di hadapan Kinan. "Pakai yang ini!" Sembari melempar benda itu ke arah Kinan yang sedang mengerutkan kening, Trian berkata ketus, "begini saja harus memilih." Raut wajah Kinan mendadak keruh, tetapi detik berikutnya dia memilih untuk tidak m
Kinan sedang berdiri menatap air mancur di taman belakang rumah besar papa mertuanya, ketika sosok cantik Tatiana datang menghampirinya. Sementara Trian, mau tidak mau harus mengikuti papanya ke ruangan lain di dalam sana, sembari menampilkan aura gelap. Kemungkinan mereka sedang berdebat habis-habisan, meluruskan apa yang mungkin saja perlu diluruskan. Itupun jika Trian mau mengalah, mengingat bagaimana keras kepalanya pria itu kepada papanya sendiri. Terserah, Kinan tidak peduli. Kinan tidak beranjak dari posisinya begitu Tatiana berdiri di sebelahnya, sementara tangan wanita itu terulur meraih percikan air mancur hingga ujung-ujung jarinya berakhir basah. Kinan melotot, berpikir, apa yang wanita itu kenakan hingga kulitnya semulus porselen? Apakah dia menghabiskan banyak uang untuk itu? Jika benar, maka Kinan perlu mencobanya. Mendadak lamunan Kinan buyar begitu suara halus tetapi penuh in
"Kinan!" Mendadak kedua manik Kinan terpejam begitu mendapati suara Devi yang keras. Orang-orang kontan menatapnya penuh kebingungan begitu wanita itu membuka pintu cafe dengan tergesa. Kinan bahkan meringis saat menyadari bagaimana cepatnya Devi berlari ke arahnya, padahal wanita itu tengah mengandung. Apakah bayi dalam perutnya sedang jungkit balik sekarang? pikir Kinan. "Kamu kenapa—aw!" Kinan mengadu sembari mengusap bahu. Devi yang baru tiba di meja yang sudah Kinan pesan, tahu-tahu mendaratkan satu pukulan keras di sana, tanpa perhitungan sedikitpun. Ketika Kinan merasa dirinya harus protes berat, sayangnya dia bahkan tidak sanggup membuka mulut begitu mendapati wajah garang Devi. Wanita itu kini duduk di hadapannya, memandanginya dengan sorot membunuh yang nyata. Sembari meringis takut, Kinan berujar pelan, "apa, sih?" Kedua manik Devi seketika melotot, sedang bibirny
Hari ini Kinan memutuskan bermain ke rumah Devi begitu Trian berangkat ke kantor di pagi buta. Tentu saja mengingat jarak kantor pusatnya dengan villa terbilang cukup jauh, jadi untuk mengejar waktu pria itu bangun lebih awal dan berangkat lebih dini. Kinan tidak habis pikir, Trian bisa saja membeli atau membuat rumah tidak jauh dari kantor sehingga pria itu tidak perlu repot seperti ini. Akan tetapi, dia justru kekeuh untuk tinggal dan melakukan semuanya seolah-olah itu bukan masalah besar. Huh! Trian itu terlalu banyak memendam rahasia. Nyatanya, Kinan belum mendapat persetujuan atau jawaban apapun dari Trian mengenai boleh tidaknya Devi berkunjung ke villa, dan karenanya, mau tidak mau Kinan harus menepati janji untuk mendatangi rumah wanita itu. Toh, rasa bosan akan tetap menghampirinya betapa pun senangnya dia bertahan di tempat-tempat mewah. Dasarnya, perasaan alamiah
"Kamu sudah puas bila hanya seperti itu?" Kinan mengangguk, sementara Devi di sampingnya hanya bisa menghela napas. Kinan masih menyaksikan serial yang sama ketika Devi kembali menanyakan hal serupa dengan tarikan napas tertahan, berharap kalau saja Kinan akan berubah pikiran. Nyatanya, dia tidak pernah bisa tenang memikirkan kehidupan rumah tangga Kinan yang menurutnya sangat-sangat tidak menyenangkan. Ada buncahan yang tidak bisa Devi utarakan bila konteksnya berhadapan langsung dengan perempuan muda itu. Semua perasaannya bercampur menjadi satu. Mungkin karena dia tahu, semua ini terjadi karena dirinya yang mengusulkan ide pernikahan tersebut. Kendati usia pernikahannya dengan Dion sendiri masih terbilang baru, tetapi dia sudah cukup tahu apa yang paling penting dalam sebuah pernikahan. Tentu saja ialah adanya keterikatan, serta saling membagi perasaan kasih kepada pasangan. Sayangnya, Kinan t
"Kinann!!" Wajah Trian memerah marah. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat, sementara maniknya berkilat penuh emosi. Dia jelas tidak menyangka jika wajahnya akan berubah menjadi badut begitu dia berkaca di dalam kamar mandi. Sosok yang berdiri menggunakan tubuhnya di balik sana jelas adalah refleksinya sendiri tetapi dengan gambaran wajah menakutkan. Rambutnya terikat, bedak putih memenuhi nyaris semua wajahnya, dan jangan lupakan polesan lipstik membentang lebar dari dahi hingga dagu. Bentukannya melintang vertikal dan horizontal. Di dapur, Kinan tersenyum miring saat mendengar suara keras itu berhasil terdengar seperti yang dia perkirakan. Pembalasannya berjalan lancar dan sesuai ekspektasi; Trian berteriak tidak keruan di dalam sana. Tidak mengindahkan teriakan tersebut, perempuan itu justru dengan tenang memecah es batu di dalam mulut tanpa beban. Bukankah ini benar-benar awal yang menye
"Di mana Kinan?"Trian tidak bisa menahan diri untuk bertanya saat mendapati Joko keluar dari dalam pos jaga, sementara dirinya tengah berdiri di teras villa. Ini sudah pukul 19 : 13 pm saat dia berhasil menginjakkan kaki di lantai kayu villa dan masuk dengan tergesa, tetapi sialnya, dia justru tidak menjumpai Kinan di manapun.Di sisi lain, Joko bergegas menghampiri pria tampan itu dengan raut wajah terkejut. Pasalnya, setahunya Trian baru akan pulang dua hari lagi. Lalu bagaimana bisa dia ada di sini? Bahkan sudah berdiri sembari menatapnya dengan raut menyelidik."Bos?" Joko mencoba memastikan, namun saat melihat Trian melangkah menuruni tangga, Joko seketika berdiri tegap di hadapan pria itu. "Ini benar-benar, Bos?" tanyanya setengah tidak percaya. Joko menggaruk alis saat berkata, "loh, kok sudah pulang?"Trian tidak menanggapi perkataan pria besar itu, sebaliknya dia justru kembali menanyakan keberadaan Kinan. Wajahnya terlihat ker
Tatiana melangkah maju ke pinggiran kolam. Tatapannya lurus, sinis, dan tampaknya wanita itu tidak berniat memutus kontak matanya dengan Kinan. Dagunya diangkat tinggi seolah dia ingin menunjukkan kuasa atas diri Kinan. Baginya, Kinan bukan lah tandingan. Perempuan muda itu hanya debu kecil yang perlu dia singkirkan, cepat atau lambat.Sepulang dari New York, Tatiana tidak bisa menahan diri untuk segera menjumpai perempuan satu ini. Tentu saja untuk memberinya kejut ringan.Dan sepertinya, rencana wanita itu berhasil sebab kini Kinan cukup terkejut saat melihatnya muncul dengan tiba-tiba. Setahu Kinan, Trian pernah berkata jika tempat ini tidak diketahui oleh siapapun, terutama papa dan mamanya.Lalu, bagaimana Tatiana bisa ada di sini? Berdiri menatapnya dengan keangkuhannya yang menjijikkan.Sesaat kemudian, Kinan menarik napas. "Aku tidak akan bertanya bagaimana caramu masuk, sebab semua pencuri memang
"Sebaiknya kamu pulang." Tatiana menoleh ketika suara Trian yang berat terdengar dari arah samping. Dia baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut terlilit handuk, sementara Trian, pria itu sedang tiduran di atas ranjang. Wajahnya tidak menunjukkan mimik berarti, hanya saja, tatapannya lurus menghunus ke arah telepon genggam di tangannya. Tatiana tidak menjawab. Sebaliknya, dia bergerak mendekati pria itu dengan wajah resah. Dia duduk di pinggiran ranjang sembari meraih tangan Trian. Dia berkata dengan wajah muram, "Sayang, kenapa aku harus pulang? Aku juga sudah izin sama Papamu. Tenang saja, dia tidak akan tahu, apalagi curiga," katanya. Trian menoleh. Mendadak Tatiana terkejut tatkala Trian bergerak melepas tangannya. Tidak kasar, tetapi wanita itu sunggu merasa tersinggung. Bagaimana bisa Trian bertindak seperti itu? pikirnya. Selama ini, Trian sangat suka dibelai olehnya. "Aku punya banyak pekerjaan di sini. Kalau kam
Dua hari. Kinan mengulang jangka waktu itu di dalam benaknya. Benar, sudah selama itulah Trian bertandang ke luar negeri dan meninggalkannya bersama para pengawal.Awalnya Kinan pikir hidupnya akan tenang tanpa kehadiran pria itu, mengingat saat Trian tidak pulang beberapa hari belakangan karena urusan kantor, Kinan benar-benar merasa bahagia. Saking senangnya, dia sampai ingin melakukan syukuran.Kalau saja dia tidak berbaik hati menyerahkan kembali telepon genggam milik Bagas, kemungkinan Trian tidak akan banting setir kembali ke villa, setelah mendengar rencananya yang ingin membangun kolam renang.Tetapi, semua sudah telanjur terjadi. Trian semakin bertingkah aneh dan menjengkelkan. Kinan bahkan tidak berhenti merinding begitu mengingat hal-hal mengerikan yang telah dilakukan pria itu. Berdoa saja, Trian hanya sedang linglung karena ditimbun beban pekerjaan, karena itulah dia bertingkah kesurupan.
"Astaga!" Kinan memekik. Maniknya melotot terkejut tatkala mendapati satu sorot tajam terang-terangan tengah mengawasinya. Perempuan itu baru saja akan bangun. Dia bahkan baru hendak merenggangkan otot-otot tubuhnya, tetapi begitu membuka mata, sosok Trian sudah berbaring miring menghadapnya sembari mengamatinya. Menjauh sedikit, Kinan memejamkan mata saat berkata, "Padahal aku ingin memulai pagi dengan melihat kolam renang ku." Dia menggerutu sembari menggertakkan gigi. "Ish! Kenapa harus mukamu yang pertama kulihat," ujarnya, tanpa dosa. Trian tersenyum miring. Posisinya masih sama, dan tampaknya pria itu tidak berniat mengubahnya dalam waktu dekat. Begitu mendapati Kinan hendak bangkit dari pembaringan, dia menahannya dan menariknya kembali untuk terbaring. Trian mengabaikan saat Kinan melotot ke arahnya. Lelaki itu tidak akan terpengaruh dengan raut wajah Kinan yang hendak memarahinya. Toh, wajah p
Sejak pagi ketegangan melanda suasana kantor. Tidak ada pergerakan lain selain hilir mudik para pekerja yang bergerak menjalankan tugas. Nyatanya, hal ini sudah berlangsung selama beberapa hari belakangan. Selepas dari Bali, mendadak penjualan produk menurun drastis. Timbulnya artikel dan pemberitaan mengenai minuman sehat yang Eco.T. Grup kelola memiliki kandungan berbahaya, memaksa penarikan barang secara besar-besaran. Kendati masalah dengan kepolisian sudah berhasil ditangani. Tetapi, kerugian besar yang tak terelakkan tidak bisa ditarik ulang. Rugi tetaplah rugi. Mengingat bagaimana jayanya perusahaan besar itu, beberapa pesaing tentu akan menjatuhkan. Meski artikel itu hanyalah salah satu akalan musuh, tetapi dia berhasil menimbulkan kerugian besar di pihak Trian. Bukan main peningnya kepala pria itu. Tetapi berkat kemampuannya, dibantu para pekerja handal yang kepercayaannya tak perlu diintip, T
Ketika Kinan terbangun lalu membuka mata, sudah ada Bagas dan Joko di hadapannya. Kinan pikir dia sedang bermimpi mendapati kedua perinya itu, jika saja Bagas tidak mendekat sembari menyinggungkan satu senyum lebar hingga giginya terlihat. Perempuan itu terduduk dengan wajah malas. Tampak sekali magnet matras masih bekerja untuk menariknya kembali berbaring. "Mbak sudah bangun?" Kinan mengangguk meski tidak mendongak menatap Bagas. Sementara maniknya memicing sesaat setelah Joko yang berdiri menghalangi cahaya dari pintu masuk, berpindah dan kini terduduk menyamai posisinya. Maniknya yang besar berpendar begitu menatap Kinan. Sejurus kemudian, tatapan khawatir dia layangkan ketika bibirnya mengucap, "Aduh," Joko menarik Bagas mendekat, memaksa pria itu ikut berjongkok di sebelahnya. Joko melanjutkan, "lihat, Gas. Leher Mbak Kinan jadi merah karena tidur di matras." Telunjuknya mengarah tepat ke a
"Pokoknya, malam ini kamu tidur di sini." Trian menarik Kinan hingga memasuki gudang di bawah bukit villa tidak jauh dari rumah para penjaga. Keributan itu cukup keras hingga beberapa kawanan hitam menyeruak keluar dan berdiri sembari berbisik menatap pasangan itu. Sama sekali tidak ada yang menduga bila Trian akan menarik istrinya hingga ke tempat ini. Namun dipikir berulang kali pun, mengingat bagaimana sikap Trian selama ini, bukan hal lumrah bila kejadian seperti ini akan terjadi. Napas Trian berhembus tidak stabil. Emosinya benar-benar di puncak dan dia tidak bisa mengendalikannya dengan baik. Sementara di sisi lain, Kinan justru tidak bereaksi. Perempuan itu terdiam sembari mengamati kondisi gudang dalam diam. Tempat ini tidak begitu buruk. Hanya ada beberapa debu yang bersarang di tumpukan-tumpukan barang tak terpakai yang belum dibuang. "Kamu dengar aku, kan?" Trian bertanya. Maniknya menyorot Kinan den
Sebagai bayaran karena tidak berhasil mengelilingi Bali, Kinan melepas kekecewaan dengan hal lain. Sepertinya, mengunjungi wahana bermain dengan Devi dan Dion bukan ide yang buruk. Untuk memacu adrenalin, perempuan itu mencoba memainkan wahana roller coaster. Mengingat Devi tidak bisa bergerak banyak dan diharuskan memonitor kondisi jantung selama mengandung, wanita itu memilih untuk tidak ikut bermain. Alhasil, mau tudak mau, Kinan harus puas duduk dengan Dion dan merelakan pria itu untuk bermain bersamanya. Kinan pikir, Dion adalah salah satu pria pemberani yang tidak akan mempan dengan wahana semacam ini, tetapi tidak seperti yang Kinan bayangkan pria itu justru tampak bagai orang kehilangan akal. Dion berteriak keras tepat setelah wahana begerak dan meluncur turun; menukik tajam bagai bilah pedang yang hendak membelah daging. Kinan akui jantungnya bedetak lebih keras dan dia tahu dirinya sedang men