Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.
Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.
Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karena kolam ikan tersebut di design sangat indah. Meski sedang berada di klinik namun setiap pasien seolah sedang berada di tengah taman. Belum lagi design interior di setiap sudut ruangan yang sangat indah dan menggambarkan suasana yang berbeda. Jika duduk di musola maka siapa pun yang duduk di situ seolah sedang duduk di hadapan bukit beradu, lukisan pemandangan alam membuat siapa pun yang berada di musola merasakan kebesaran Allah SWT, dan masih banyak lagi design-design yang dibuat sangat rapi dan indah. Tak heran jika klinik Dokter Afandi selalu dipenuhi dan diburu oleh pasien-pasien dari berbagai penjuru.
“Pasien atas nama Belinda Idelina Zaifa.” Panggilan dari petugas apotek membuyarkan lamunan Zee.
“Ya...” Jawab Zee sambil menuju etalase apotek.
“Ayo mas...” Ujar Zee sambil menarik lengan Alvendra.
“Ini obatnya bu, mohon diminum secara rutin ya. Petunjuk minum dari masing-masing obat sudah saya tuliskan di dalamnya.” Jelas petugas apotek.
“Terima kasih suster. Jadi semuanya berapa?” Tanya Zee sambil melirik Alvendra yang sedang melipatkan tangannya di depan dada.
“Semuanya Rp. 1.345.000,- bu.” Kata petugas sambil memberikan bungkusan obat.
Astaga... semahal ini. Gumam Zee dalam hati sambil memandang Alvendra.
“Kok diem? Ayo cepat bayar terus pulang.” Ujar Alvendra ketus.
“Mas, aku gak punya uang sebanyak itu.” Bisik Zee kepada Alvendra.
“Bohong. Mana ATM mu, sini aku ambilkan uang.” Ujar Alvendra sambil membuka paksa tas Zee.
“Suster, maaf kami tidak membawa uang cash. Saya ke depan dulu ya, sepertinya di depan ada ATM. Nanti saya kembali lagi ke sini.” Jelas Zee kepada suster.
“Baik bu.”
Tanpa pikir panjang Alvendra segera menarik lengan Zee keluar klinik dan segera menyebrang menuju ATM.
“Mas, pelan-pelan dong, peruntuku kan masih sakit.” Jelas Zee sambil mengaduh. Kemudian Alvendra memperlambat langkahnya.
“Mas, kenapa harus pakai ATM ku sih, kamu kan punya ATM. Lagian kan ini untuk calon anak kamu mas.” Tanya Zee sambil menahan kecewa.
“Sudahlah Zee, kenapa kau tiba-tiba jadi perhitungan seperti ini?”
“Perhitungan kau bilang, sebetulnya siapa yang perhitungan? Aku atau kamu mas?!!”
“Sudahlah gak usah banyak tanya, mana ATM mu?” Tanya Alvendra sambil membuka paksa tas Zee dan mengambil ATM di dalam dompet Zee.
“Masukan PIN nya!!!” Paksa Alvendra di dalam ruang ATM.
Dengan rasa kecewa dan menahan amarah Zee menekan tombol demi tombol untuk memasukan PINnya.
Kejam sekali mas Alvendra meminta aku untuk membayarnya sendiri, padahal kan ini untuk anak kandungnya sendiri. Gumam Zee dalam hati sambil berjalan menuju loket pembayaran.
“Maaf tadi jumlahnya berapa sus, obat pasien atas nama Belinda Idelina Zaifa?” Tanya Alvendra di depan loket pembayaran.
“Totalnya Rp. 1.345.000,- pak.” Jawab Suster sambil menyerahkan kwitansi.
“Ini sus.” Ujar Alvendra sambil menyodorkan uang.
“Uangnya 1.350.000,- jadi kembaliannya Rp. 5.000,- ya pak. Ini obatnya. Semoga sehat selalu.” Ujar suster sambil menyerahkan kembalian beserta obat Zee.
“Terima kasih sus.” Jawab Alvendra.
“Yuk pulang.” Ujar Alvendra sambil merangkul Zee.
Selama perjalanan menuju rumah Zee hanya diam membisu, pandangannya menerobos menerawang jauh, sorot matanya begitu redup dan menyebar sekedar untuk melihat pemandangan. Hatinya sakit, teriris pedih. Tega-teganya Alvendra mengambil uang Zee secara paksa, Zee masih tak habis pikir kenapa bukan dia yang membayarnya. Bukan karena Zee tidak rela, toh ini buat anak Zee sendiri. Namun cara Alvendra mengambil uangnya secara paksa, gayanya sudah seperti perampok kelas kakap saja.
“Zee, kamu kenapa, kok diam saja? Masih sakit?” Tanya Alvendra sambil menyetir mobil.
“Gak papa. Hatiku yang sakit.” Jawab Zee ketus.
“Apa?!!!” Alvendra mengerem mendadak.
“Kau masih marah soal pembayaran tadi?” Sambung Alvendra sambil menatap Zee, sementara Zee hanya terdiam sambil menahan pilu. “Jawab Zee?!! Kau tidak rela? Itu kan anakmu... kenapa kau perhitungan sih?!!” Bentak Alvendra.
“Anakku? Hanya anakku? Lalu kau siapa? Kau calon Ayahnya?!! Kenapa sih kamu tega melakukan ini padaku? Kau tau uang itu akan aku gunakan untuk biaya Ibu dan Bapak umroh. Susah payah aku menabung sejak aku belum menikah denganmu. Itu uangku sendiri, hasil jeripayahku sendiri mas. Tega-teganya kau ambil paksa, padahal aku tau kau punya uang banyak. Biaya pengobatan sebanyak tadi ku rasa bukanlah hal yang sulit mas. Tapi apa? Gayamu sudah seperti perampok kelas kakap saja!!”
Plaaakkkkkk
Tiba-tiba tamparan keras melayang di pipi kiri Zee. Sontak Zee kaget hingga badannya menduyung ke sudut pintu mobil.
“Kau tega menamparku mas?” Tanya Zee lirih sambil memegangi pipinya.
“Kenapa tidak? Kau kurang ajar. Tak sepantasnya sebagai seorang isitri kau berkata seperti itu kepadaku!!” Bentak Alvendra sambil mengemudikan mobilnya kembali.
“Kurang ajar kau bilang? Kau yang mulai duluan mas.” Jawab Zee sambil menahan isak tangis.
“Sudahlah. Diam kau Zee. Aku sedang fokus menyetir, jika kau banyak bicara kita bisa celaka!!” Bentak Alvendra.
Tak disangka ternyata Alvendra sekasar itu, tamparannya tadi memang tak begitu sakit, tapi rasa sakit di hati Zee seolah menggunung setinggi gunung fuji.
Sesampainya di halaman rumah, Dika dan Kinasih sudah menunggu di depan teras dengan wajah cemas tentunya.
“Zee,” Panggil Kinasih dengan wajah yang berbinar dan mendekati mobil Alvendra.
“Pelan-pelan sayang... habis ini kau istirahat ya... jangan terlalu capek. Sini biar aku gendong ke kamar.” Ujar Alvendra sambil menuntun Zee.
“Gak usah. Aku bisa sendiri.” Jawab Zee datar.
“Zee, biar Ibu bantu nak.” Ucap Kinasih sambil menuntun Zee.
“Alvendra, kenapa daritadi kau tidak menelpon ibu? Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Kinasih sambil menuntun Zee sementara Alvendra berjalan di belakang mereka sambil membawa tas Zee.
“Astaghfirullohaladzim maaf bu, aku lupa sangkin fokusnya nungguin Zee tadi.”
Fokus apaan, orang dari tadi di klinik dia ngegame kok. Gumam Zee sambil mendengus kesal. Sayang tak ada yang mendengar gerutu Zee.
“Terus bagaimana kondisimu Zee, apa kata dokter?” Tanya Kinasih sambil menaiki tangga menuju lantai 2.
“Tadi kata dokter...”
“Tidak apa-apa bu, Zee hanya butuh istirahat.” Jelas Alvendra memotong ucapan Zee.
“Iya kan sayang?” Tanya Alvendra sambil melempar senyum. Sementara Zee hanya terdiam menahan amarah.
Sesampai di kamar Zee hanya bisa terbaring lemah, tidak hanya perutnya yang merasakan kram hebat, namun batinnya juga terkoyak.
“Zee, Ibu buatkan puding kesukaanmu dulu ya.” Ujar Kinasih sambil mengelus kepala Zee, sementara Alvendra masih sibuk megeluarkan obat-obat dari tas Zee.
“Zee, kamu mau makan apa? Biar setelah ini kau minum obat.” Tanya Alvendra sambil memainkan ponselnya.
“Apa aja yang penting gak pedes.” Jawab Zee sambil melihat foto hasil USG tadi.
“Tongseng mau?”
“Boleh.” Jawab Zee datar. Sementara Alvendra segera melihat-lihat list makanan di ponselnya karena berniat untuk Delivery Order.
Kring...
“Hallo mah” Jawab Alvendra saat menerima telpon dari Martini.
“Alvendra kamu di mana?” Tanya Martini di seberang telpon.
“Di rumah mah, ada apa?”
“Loh kamu gak ke kantor?”
“Enggak mah, aku udah menugaskan ke Rina sekretarisku untuk menghandle semua pekerjaan ku hari ini.”
“Kok tumben gitu? Biasanya kamu semangat kalo ke kantor.”
“Zee tadi pendarahan mah. Jadi langsung aku bawa ke dokter.”
“Oh terus gimana keadaannya?”
“Gak papa mah ini udah di rumah kok.”
Hah, bisa-bisanya mas Alvendra gak panik sama sekali dan bilang gak papa sama mamah. Padahal kondisiku begitu lemah. Gumam Zee sambil mengepalkan tangan saat mendengar Alvendra berbincang-bincang dengan Martini di telpon. Kebetulan telponnya dilaudspeaker jadi Zee bisa mendengar semua percakapannya.
“Alvendra bisa ke sini sekarang?” Pinta Martini.
“Bisa mah. Aku ke sana sekarang.” Jawab Alvendra sebelum menutup telponnya.
Benar-benar suami tak punya hati, istri nyaris keguguran tapi kok malah santai-santai saja. Bahkan mamah sama sekali tak menghiraukan keadaanku. Gumam Zee sambil memejamkan mata.
“Zee, Aku ke rumah mamah dulu.” Ujar Alvendra sambil mengenakan jaket, karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sementara belum sempat Zee menjawab, Alvendra langsung menghambur keluar kamar dan meninggalkan Zee.
Ya Allah, berilah aku kekuatan, di saat seperti ini mas Alvendra masih belum berubah. Dia manis jika di hadapan semua orang. Aku harus kuat melewati ini semua demi calon anakku. Gumam Zee sambil memeluk foto hasil USG.
***
Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
"Mas, ini tehnya." Zee menyodorkan secangkir teh celup. "Gimana kabar mamah sama papah?" Tanya Zee mencoba memecah suasana."Mereka baik." Jawab Alvendra datar sambil menyeruput kopinya."Lantas Rio gimana, aku dengar dia udah punya pacar ya?" Tanya Zee lagi sambil tersenyum tipis."Ya begitulah, namanya Dina." Jawab Al sambil menengguk tehnya lagi."Wah, Dina mantan sekretaris Rio ya?" Zee nampak terkejut saat mendengar nama kekasih Rio."Yups.""Ya ampun... Dina kan baik banget mas. Cantik, pintar, seksi lagi. Ga nyangka ya mereka bisa jadian. Hihihi" Jawab Zee sambil tertawa geli."Bagaimana bisa kau kenal dengan Dina?" Tanya Alvendra heran."Kamu lupa? Saat kamu kecelakaan dan dinyatakan meninggal, Rio yang mengambil alih perusahaan. Rio juga yang menggantikan posisimu. Saat itu, Rio keresafel sejumlah karyawan dan memilih Dina sebagai sekretarisnya." Jelas Zee sambil melempar senyum."Wait, jangan-jangan Dina yang w
Bunga kian bermekaran, mereka mulai menampakkan keceriaannya terlebih saat embun melewati pori-pori dan setiap sudut dedaunan. Lebih lengkap lagi karena sinar mentari mulai menampakkan keberadaannya. Angin sepoi-sepoi menyapa wajah Zee dan memainkan rambut hitamnya.Pagi itu terlihat sangat cerah. Namun sepertinya tak secerah hati Zee. Bagaimana tidak? 'Besok aku akan membuatkan surat pengunduran diri untukmu' kata-kata Alvendra semalam masih sangat terngiang.Sesekali ingatan Zee kembali mencuak. Terputar kembali saat-saat kebersamaannya dengan Andrea, Cika, Doni, dan si kembar Rara Rere. Ya... merekalah murid terdekat Zee. Tak jarang Zee mendengar curhatan-curhatan mereka."Bunda Zee, cantik deh. Aku minta maaf ya Bunda." Terngiang kembali kata-kata rayuan khas Andrea jika ia melakukan kesalahan."Bunda kenapa? Bunda lelah? Sini Rara bantu." Atau tingkah si kembar yang baik hati. Dan,,, ahhh masih banyak lagi kenangan-kenangan yang pastinya
"Assalamualaikum." Alvendra mengetuk pintu kepala sekolah. "Waalaikum salam. Silahkan masuk." Terdengar suara serak-serak basah dari dalam ruangan. "Wah, mas Al, mba Zaifa. Silahkan duduk." Ucap pak Dody sambil beranjak dari tempat duduknya. Pak Dody merupakan kepala sekokah di Madrasah tempat Zee mengajar. Sekilas tampangnya terlihat sangar, kumisnya menjulang nampak seperti pak raden, hihihi. Bodynya kekar, berjalannyapun tegap. Tapi jangan salah, beliau ini pandai sekali memainkan alat musik. Terlebih jika beliau menyanyi... uwwwhhh suaranya gak kalah kaya Pasha Ungu. Hahaha "Ada apa mas Al? Tumben datang kemari?" Tanya Pak Dody sambil membuka tutup toples dan menyuguhkan air mineral yang selalu ready di mejanya. "Silahkan diminum dulu mas, mba" "Terimakasih Pak." Jawab Zee singkat sambil menengguk air putih. Berharap air ini dapat mencairkan suasana hatinya, mendinginkan pikirannya dan menenangkan suasana. "Jadi begini pak, maksud dan tuju
Kebersamaan Zee bersama rekan kerjanya kini hanya tinggal kenangan. Sepertinya sulit bagi Zee untuk menemukan kenyamanan seperti itu lagi. Zee masih duduk terbelenggu. Sementara Alvendra asyik mendengarkan musik jazz kesukaannya. Sambil sesekali memencet tlakson mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Alvendra, Zee hanya diam. "Mas, kita bisa berhenti sebentar gak di taman depan?" Pinta Zee sambil menunjuk taman di pinggir lampu merah. "Hah? Berhenti? What for?" Tanya Alvendra heran. "Aku mohon mas." Zee menempelkan kedua telapak tangannya serya memohon. Sebetulnya Alvendra malas untuk menuruti keinginan Zee, namun apa boleh buat. "Oke, tapi jangan lama-lama." Jawab Alvndra singkat sambil memarkirkan mobilnya. "Terimaksih mas." Ucap Zee sambil melepaskan sabuk pengamannya. "Ayok mas, temani aku sebentar." "Aduh, apalagi sih Zee." Al nampak begitu kesal. Tsngannya mengepal sambil memukul setir mobil. "Sebentar... saja
I think I'm in love for the first timeAnd it's making my heart confusedTell me what exactly happenedHow I wonder it will beYou're touching my heart and my soulWhile your hands in my hands indeedTell me what exactly happenedMakes me feel I'm drowning too deepSeems weird for meI will never let this feeling coldIf You were mineSharing all ups and downsI'm gonna be aroundAnd forever it would beCause I'm falling in loveI'm falling in loveYes, I'm falling in loveI'm falling in loveYes, I'm falling in loveIm falling in love with youYou're touching my heart and my soulWhile your hands in my hands indeedTell me what exactly happenedMakes me feel I'm drowning too deepSeems weird for meI will never let this feeling coldIf You were mineSharing all ups and downsI'm gonna be aroundAnd forever ...Cause I'm fa
Alvendra dan Zee masih duduk terpaku di Taman Wangi Asri. Zee yang dari tadi memutar lagu Falling In Love, yaps lagu kenangan mereka saat Alvendra belum mengalami kecelakaan dan belum mengganti nama panggilannya. Sudah hampir tiga kali lagu itu diputar, sementara Alvendra masih asik bermain game, tak sedikitpun ia merespon lagu ini. "Mas, kamu ingat gak foto ini?" Zee mencoba memecah suasana dengan menunjukkan foto mereka saat HUT perusahaan di taman tersebut. "Ya." Alvendra hanya melirik cuek. "Pestanya meriah banget ya mas, waktu itu kamu juga bilang kalo aku cantik banget pake gaun itu." Meskipun Zee telah menunjukkan foto-foto mereka, namun Al masih belum bergeming. "Kalo kamu mau, aku bisa kok pake gaun itu lagi. Ya meskipun sekarang aku udah agak gendutan si, but no worries, yang penting kamu suka." Zee meneruskan kata-katanya sambil menyenderkan kepalanya di bahu Alvendra. "Cukup Zee!! Kamu itu apa-apaan si, halumu ga jelas tau ga
Derap langkah Alvendra kian terdengar. Alvendra terhenti sejenak melihat pemandangan di meja makan. "Ini ada apa, kok kalian malah berpelukan?" Raut muka Alvendra terlihat begitu heran. "Udah kaya teletubies aja." Sambung Alvendra sambil tertawa geli. "Al, sejak kapan kau berdiri disitu?" Tanya Keke sambil menghapus air matanya. "Sejak mamah dan kamu menangis dan berpelukan. Kalian kenapa si?" Tanya Alvendra sambil mengusap air mata Keke. "Keke, apa kamu masih mencitai Alvendra?" Tanya Martini dengan wajah serius. "Mencintai? Apa maksud tante?" "Ayolah Keke, jawab jujur. Tante melihat ada cinta yang tertinggal di sorot matamu." "Mah, tolonglah jangan desak Keke." "Mamah gak mendesak Keke. Dulu dia meninggalkanmu karena terdesak oleh keadaan. Bukan karena dia tak mencintaimu lagi kan?" "Tapi mah, semua sudah berlalu. Sekarang juga aku sudah menikah dengan Zee." "Mamah punya solusinya. Mamah hanya ingin anak
Rio masih membereskan percahan beling yang sempat tertunda. Sementara Keke hanya diam sambil mengunyah makanannya, kehadiran Zee di tengah suasana dinner kala itu memang membuat Keke terkejut sekaligus geram. "Mbak Zee itu rajin sekali, dalam kondisi sakit seperti tadipun ia masih bisa masak ini semua." Rio menggerutu sambil berjalan membuang percahan beling. "Beruntungnya Mas Alvendra punya istri kayak Mbak Zee. Udah rajin, pinter masak, pinter cari duit, cantiknya alami lagi." Rio melirik tajam Keke. "Gak kaya si onoh, cantiknya karena di touch up." "Apa maksudmu Rio." Keke meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya sambil melipatkan tangan di dadanya. Rio duduk sambil meneruskan makan. "Gak ada maksud." Ujar Rio sambil mengunyah makananya. Martini mengatupkan rahangnya. "Sudah-sudah, Rio kalau kamu disini hanya akan merusak suasana mending kamu segera selesaikan..." "Selesaikan makan terus beranjak dari sini?" Rio menatap tajam Mar
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat