Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.
Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?
“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.
“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.
“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.
“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam hangout bersama Alvendra, entah kenapa Keke tak bisa berhenti memikirkan Alvendra.
“Hai Keke apa kabar?” Sapa Alvendra sambil membalas senyum Keke.
"Aku baik." Ujarnya.
“Alvendra apa kamu sudah makan?” Tanya Martini.
“Belum mah.” Jawab Alvendra sambil menyantap cemilan di atas meja.
“Loh udah lewat waktu Isya kok kamu belum dinner?” Jawab Martini terkejut.
“Gimana mau dinner mah, kan Mamah tau kalo aku habis mengantar Zee ke dokter.” Jawab Alvendra datar.
“Kalo gitu kebetulan dong, Keke ke sini bawa makanan kesukaanmu.” Ujar Martini.
“Hhhhmmmm kalo baunya si kayak nasi bakar, ” Ujar Alvendra sambil mendengus-ndengus.
“Iya Alvendra, tadi aku bikin nasi bakar.” Ujar Keke sambil mengamati Alvendra.
“Kamu kok masih ingat makanan kesukaanku Ke? Padahal udah lama banget loh kita gak dinner bareng.” Tanya Alvendra sambil membuka bungkusan nasi bakar.
“Apa sih yang gak aku ingat dari kamu Alvendra.” Ujar Keke sambil membantu Alvendra membuka bungkus nasi bakar. Alvendra menoleh ke arah Keke, kemudian bola mata mereka saling bertemu dan mengantarkan ingatan masa-masa indah dahulu.
“Alvendra, tolong ambilkan satu buat mamah. Kelihatannya enak mamah jadi lapar lagi.” Pinta Martini membuyarkan lamunan Alvendra dan Keke. Tanpa menjawab sepatah katapun Alvendra segera memberikan sebungkus nasi bakar kepada Martini.
Alunan merdu musik jazz terdengar dari kamar Rio, adik Alvendra. Seolah mengantarkan suasana malam itu menjadi lebih hangat dan akrab. Alvendra seakan lupa bahwa di rumah sudah ada Zee dan calon bayinya yang sedang menunggu kehadiran Alvendra, menunggu kehangatan dan perhatian Alvendra.
“Al, enak ga masakanku?” Tanya Keke saat Alvendra terus memandanginya.
“Eeeenak kok. Enak banget malah.” Jawab Alvendra gugup. “Seandainya setiap hari aku bisa makan makanan seenak ini, pasti aku seneng banget.” Sambung Alvendra sambil terus memandangi Keke.
Uhuk uhuk... Keke tersedak.
“Emangnya Zee ga pernah bikinin kamu makanan Al?” Sambung Martini. Sementara Al hanya terdiam.
“Kalo kamu mau, aku bisa kok masakin kamu setiap hari.” Ujar Keke sambil memegang tangan Alvendra.
Deburan ombak seolah menghiasi relung hati Alvendra dan Keke. Padahal mereka tak sedang berada di pantai. Ya, hanya di ruang tengah, meski terkesan clasic tapi masih terlihat elegan dan megah.
“Al, mamah udah selese makan nih, tolong antarkan mamah ke kamar ya, mamah mau istirahat.” Pinta Martini sambil menggeser kursi rodanya. Sementara Al mengikuti perintah ibunya. “Al, kamu temani Keke ya, kasihan dia sudah menunggu kamu dari tadi. Mamah ngantuk.” Ujarnya sambil menarik selimut.
“Tapi mah, Zee pasti udah nungguin aku.” Bantah Alvendra sambil merapikan slimut Martini.
“Halah, perempuan kayak gitu masih kamu pikirin.” Jawab Martini singkat.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Namun Alvendra dan Keke masih duduk termangu di taman teras depan. Sambil menikmati gemercik air mancur di tengah kolam ikan. Sementara bintang bertaburan kian menambah keindahan malam itu.
“Al, kamu ingat gak dulu waktu kita masih pacaran, kamu selalu ajak aku ke taman?” Tanya Keke sambil bersandar di bahu Alvendra.
“Tentu ingat lah, mana mungkin aku bisa melupakan masa-masa indah itu.” Jawab Alvendra sambil mengelus rambut panjang Keke.
Anneke (29 tahun) biasa dipanggil Keke. Wajahnya cantik sesuai dengan namanya. Bibir dan tubuhnya dangat sexy, kulitnya putih, matanya sipit, hidungnya mancung, kulit putih dan tinggi semampai. Tak sedikit pria yang jatuh hati saat melihat keke. Baru mendengar desahan suaranya saja sejumlah pria langsung klepek-klepek. Gaya bicara keke memang manja terlebih jika dekat dengan pria, ia seolah menebarkan bunga-bunga di hadapan pria. Jari jemarinya begitu lentik dan ia sering kali mengenakan rok di atas lutut. Siapa pria yang tak deg deg ser melihat penampilan gadis ini.
“So far, aku juga gak bisa nglupain kenangan-kenangan kita Al.” Ujar Keke sambil menatap Alvendra. “Kamu tahu? Selama aku tinggal di Aussie tak henti-hentinya aku memikirkan kamu.” Kata Keke sambil memeluk Alvendra.
“Tapi kenapa waktu itu kau meninggalkanku di hari pertunangan kita.” Tanya Alvendra sambil melepaskan pelukan Keke.
“Saat itu...” Keke beranjak dari tempat duduknya. Berdiri tepat di depan Alvendra sambil membalikkan punggungnya. Matanya tak henti-hentinya memandangi bintang. Sambil melipatkan kedua tangannya di dada. Seolah mengisyaratkan dingin yang sangat luar biasa. Padahal malam itu sama sekali tidak dingin. Angin sepoi-sepoi memang kerap kali menghampiri dua insan ini. Bahkan sesekali merasuk ke pori-pori, menambah nuansa romantis dan kesejukan dari semesta. “Aku berada di pilihan yang sangat sulit kala itu. Mendadak oma telpon dan memberi kabar jika opa jatuh sakit. Sontak aku kaget, pikiranku kalang kabut. Bingung apa yang harus aku lakukan, sementara oma dan opa belum mengetahui rencana pertunangan kita.” Jelas Keke.
“Lalu kenapa saat itu kau tidak mengatakan yang sebenarnya Keke? Mengapa kau membuat hatiku hancur?” Tanya Alvendra dengan suara yang cukup keras.
“Al, kamu tahu bahwa ayahku anak tunggal. Semenjak bunda meninggal, aku hidup dan dibesarkan oleh oma dan opa di Aussie karena Ayah harus banting tulang merintis usahanya dari 0. Kalaulah bukan karena oma dan opa, belum tentu aku bisa merasakan hidup berkecukupan seperti ini. Terlebih saat Ayah terjerat kasus korupsi yang menyeretnya ke jeruji besi? Siapa yang menopang hidupku Al?” Jelas Keke dengan nada sendu. Tentu dia menahan pekik yang begitu dalam. “Oma dan Opa yang selalu ada untukku Al. Hingga saat aku berusia 17 tahun aku diberi pilihan oleh mereka, mau tetap tinggal di Aussie atau kembali ke Indonesia meneruskan bisnis Ayah. Karena kabarnya Ayah akan dibebaskan di tahun itu.” Sambung Keke sambil membalikkan punggungnya dan menatap Alvendra.
“Lalu kenapa kau tidak jujur kepada oma dan opa bahwa kita telah menjalin hubungan Ke? Kenapa?” Tanya Alvendra sambil meremas-remas rambut kepalanya. Sementara Keke masih diam membisu, sekujur tubuhnya seolah kaku. “Jawab Keke, jawab? Kau tahu pasca kau meninggalkanku di hari pertunangan kita, berapa besar rasa sakit dan kecewaku? Terlebih malu yang ditanggung oleh keluargaku?” Ujar Alvendra meneruskan kata-katanya.
“Karena oma dan opa telah menjodohkanku dengan lelaki pilihan mereka.” Jawab Keke sambil menghapus air mata.
“Apah?!” Alvendra nampak begitu terkejut. Seluruh pandangannya tertatap dan tertuju kepada Keke. “Kenapa kau baru bilang sekarang Ke? Lalu kemana laki-laki itu, kenapa sampai sekarang kau belum menikah dengannya?”
“Mas Rendy sudah pergi.” Jawab Keke datar.
“Hhh pergi katamu? Mungkin ini karma karena kau telah meninggalkanku, jadi kau ditinggal pergi juga.” Ujar Alvendra sambil tersenyum pahit.
“Pergi untuk selamanya, karena kecelakaan.” Ujar Keke sambil menahan getir. “Tapi percayalah Al, aku tak pernah mencintai mas Rendy. Sejak dulu dia hanya aku anggap sebagai kakakku, karena selama di Aussie dia selalu mengawalku, kemanapun aku pergi. Bahkan membantu memenuhi kebutuhan dan segala keperluanku.” Terang Keke sambil mengelus pundak Alvendra.
Sementara Alvendra masih terdiam, membisu, bahkan terbelenggu. Lidahnya kelu, pikirannya melayang jauh.
Seandainya kau berkata jujur sejak dulu, mungkin saat ini aku belum menikah dengan Zee. Karena ternyata aku.... Gumam Alvendra dalam hati.
“Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Mana mungkin kita bisa memutar kembali waktu yang sudah berlalu.” Jawab Alvendra sambil mengibaskan tangan.
“Tapi kau masih mencintaiku kan?” Tanya Keke sambil menatap Alvendra. Sementara kedua tangannya terus menggenggam erat tangan Alvendra.
“Aku sudah menikahi Zee.” Tersirat jawaban yang masih penuh misteri. Namun Alvendra tidak bisa menolak genggaman erat Keke. Justru ia membalasnya dengan pelukan yang begitu hangat.
Tangis Keke pecah di pelukan Alvendra. Begitu pula dengan Alvendra yang tak bisa menepis perasaannya, entah perasan apa yang kian menyelubung di hatinya. Sedih? Kecewa? Marah? Atau bahkan bahagia?
Kini mereka hanya bisa meratapi kenyataan. Entah bagaimana kedepannya, yang jelas malam itu Alvendra lupa jika istri dan calon bayinya sangat menunggu kehadirannya. Malam itu seakan milik Alvendra dan Keke. Tak ada kata lagi semenjak penjelasan itu dilontarkan oleh Keke. Mereka sama sekali tak bersua, namun pelukan erat seolah menjadi saksi bahwa ternyata cinta mereka masih saling bersemayam. Namun apakah cinta Alvendra dan Keke akan kembali bersatu seperti sedia kala? Sedangkan kenyataannya kini sudah berbeda. Alvendra sudah menikah dan bahkan sebentar lagi akan memiliki anak. Entahlah... yang jelas pelukan mereka seakan menjadi saksi dan hati mereka kini kian bernyanyi... Seperti lagunya Dadali.
Kenangan indah saat bersamamuSaat kau ada di sampingkuKini semua terulang kembaliMasa-masa terindah bersamamu
Aku jatuh cinta lagiCinta yang dulu bersemi kembaliAku jatuh cinta lagiCinta pada mantan kekasihku
Cinta yang pernah ada di hatikuKini t'lah hadir kembali di jiwakuMungkinkah semua terulang kembaliKuingin engkau seperti dulu
Kurasa ku t'lah jatuh cinta kepada dirimu
***
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
"Mas, ini tehnya." Zee menyodorkan secangkir teh celup. "Gimana kabar mamah sama papah?" Tanya Zee mencoba memecah suasana."Mereka baik." Jawab Alvendra datar sambil menyeruput kopinya."Lantas Rio gimana, aku dengar dia udah punya pacar ya?" Tanya Zee lagi sambil tersenyum tipis."Ya begitulah, namanya Dina." Jawab Al sambil menengguk tehnya lagi."Wah, Dina mantan sekretaris Rio ya?" Zee nampak terkejut saat mendengar nama kekasih Rio."Yups.""Ya ampun... Dina kan baik banget mas. Cantik, pintar, seksi lagi. Ga nyangka ya mereka bisa jadian. Hihihi" Jawab Zee sambil tertawa geli."Bagaimana bisa kau kenal dengan Dina?" Tanya Alvendra heran."Kamu lupa? Saat kamu kecelakaan dan dinyatakan meninggal, Rio yang mengambil alih perusahaan. Rio juga yang menggantikan posisimu. Saat itu, Rio keresafel sejumlah karyawan dan memilih Dina sebagai sekretarisnya." Jelas Zee sambil melempar senyum."Wait, jangan-jangan Dina yang w
Bunga kian bermekaran, mereka mulai menampakkan keceriaannya terlebih saat embun melewati pori-pori dan setiap sudut dedaunan. Lebih lengkap lagi karena sinar mentari mulai menampakkan keberadaannya. Angin sepoi-sepoi menyapa wajah Zee dan memainkan rambut hitamnya.Pagi itu terlihat sangat cerah. Namun sepertinya tak secerah hati Zee. Bagaimana tidak? 'Besok aku akan membuatkan surat pengunduran diri untukmu' kata-kata Alvendra semalam masih sangat terngiang.Sesekali ingatan Zee kembali mencuak. Terputar kembali saat-saat kebersamaannya dengan Andrea, Cika, Doni, dan si kembar Rara Rere. Ya... merekalah murid terdekat Zee. Tak jarang Zee mendengar curhatan-curhatan mereka."Bunda Zee, cantik deh. Aku minta maaf ya Bunda." Terngiang kembali kata-kata rayuan khas Andrea jika ia melakukan kesalahan."Bunda kenapa? Bunda lelah? Sini Rara bantu." Atau tingkah si kembar yang baik hati. Dan,,, ahhh masih banyak lagi kenangan-kenangan yang pastinya
"Assalamualaikum." Alvendra mengetuk pintu kepala sekolah. "Waalaikum salam. Silahkan masuk." Terdengar suara serak-serak basah dari dalam ruangan. "Wah, mas Al, mba Zaifa. Silahkan duduk." Ucap pak Dody sambil beranjak dari tempat duduknya. Pak Dody merupakan kepala sekokah di Madrasah tempat Zee mengajar. Sekilas tampangnya terlihat sangar, kumisnya menjulang nampak seperti pak raden, hihihi. Bodynya kekar, berjalannyapun tegap. Tapi jangan salah, beliau ini pandai sekali memainkan alat musik. Terlebih jika beliau menyanyi... uwwwhhh suaranya gak kalah kaya Pasha Ungu. Hahaha "Ada apa mas Al? Tumben datang kemari?" Tanya Pak Dody sambil membuka tutup toples dan menyuguhkan air mineral yang selalu ready di mejanya. "Silahkan diminum dulu mas, mba" "Terimakasih Pak." Jawab Zee singkat sambil menengguk air putih. Berharap air ini dapat mencairkan suasana hatinya, mendinginkan pikirannya dan menenangkan suasana. "Jadi begini pak, maksud dan tuju
Kebersamaan Zee bersama rekan kerjanya kini hanya tinggal kenangan. Sepertinya sulit bagi Zee untuk menemukan kenyamanan seperti itu lagi. Zee masih duduk terbelenggu. Sementara Alvendra asyik mendengarkan musik jazz kesukaannya. Sambil sesekali memencet tlakson mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Alvendra, Zee hanya diam. "Mas, kita bisa berhenti sebentar gak di taman depan?" Pinta Zee sambil menunjuk taman di pinggir lampu merah. "Hah? Berhenti? What for?" Tanya Alvendra heran. "Aku mohon mas." Zee menempelkan kedua telapak tangannya serya memohon. Sebetulnya Alvendra malas untuk menuruti keinginan Zee, namun apa boleh buat. "Oke, tapi jangan lama-lama." Jawab Alvndra singkat sambil memarkirkan mobilnya. "Terimaksih mas." Ucap Zee sambil melepaskan sabuk pengamannya. "Ayok mas, temani aku sebentar." "Aduh, apalagi sih Zee." Al nampak begitu kesal. Tsngannya mengepal sambil memukul setir mobil. "Sebentar... saja
I think I'm in love for the first timeAnd it's making my heart confusedTell me what exactly happenedHow I wonder it will beYou're touching my heart and my soulWhile your hands in my hands indeedTell me what exactly happenedMakes me feel I'm drowning too deepSeems weird for meI will never let this feeling coldIf You were mineSharing all ups and downsI'm gonna be aroundAnd forever it would beCause I'm falling in loveI'm falling in loveYes, I'm falling in loveI'm falling in loveYes, I'm falling in loveIm falling in love with youYou're touching my heart and my soulWhile your hands in my hands indeedTell me what exactly happenedMakes me feel I'm drowning too deepSeems weird for meI will never let this feeling coldIf You were mineSharing all ups and downsI'm gonna be aroundAnd forever ...Cause I'm fa
Alvendra dan Zee masih duduk terpaku di Taman Wangi Asri. Zee yang dari tadi memutar lagu Falling In Love, yaps lagu kenangan mereka saat Alvendra belum mengalami kecelakaan dan belum mengganti nama panggilannya. Sudah hampir tiga kali lagu itu diputar, sementara Alvendra masih asik bermain game, tak sedikitpun ia merespon lagu ini. "Mas, kamu ingat gak foto ini?" Zee mencoba memecah suasana dengan menunjukkan foto mereka saat HUT perusahaan di taman tersebut. "Ya." Alvendra hanya melirik cuek. "Pestanya meriah banget ya mas, waktu itu kamu juga bilang kalo aku cantik banget pake gaun itu." Meskipun Zee telah menunjukkan foto-foto mereka, namun Al masih belum bergeming. "Kalo kamu mau, aku bisa kok pake gaun itu lagi. Ya meskipun sekarang aku udah agak gendutan si, but no worries, yang penting kamu suka." Zee meneruskan kata-katanya sambil menyenderkan kepalanya di bahu Alvendra. "Cukup Zee!! Kamu itu apa-apaan si, halumu ga jelas tau ga
"Zee, ngapain kamu duduk di bawah?" Alvendra menghalau Zee."Ini istrimu mas?" Tanya Keke sambil melirik Zee yang sedang duduk bersimpuh.Sekejap Zee benar-benar terkejut saat Alvendra dan Keke sudah berdiri tepat di hadapannya. Ternyata adegan tadi membuat Zee duduk tersimpuh."Gak papa mas. Lagi pengin duduk di bawah aja." Jawab Zee asal, sambil berdiri dan menghapus air matanya."Oya Zee. Kenalin ini keke.""Keke..." Ujar Keke sambil mengulurkan tangan."Zee. Istrinya mas Al." Jawab Zee sambil membalas uluran tangan Keke. "Maaf, kamu siapanya mas Al ya?" Zee bertanya sinis."Aku...""Dia temen bisnis aku. Mamah juga kenal kok. Jadi kamu ga usah berpikir macam-macam." Alvendra seolah mengambil alih kata-kata yang hendak keke jawab."Oh. Gitu ya. Ya udah kita pulang yuk mas. Aku udah capek." Zee menggandeng tangan Alvendra."Oke tapi kita antar Keke dulu ya." Jawab Alvendra sambil berjalan menuju parkiran.
Derap langkah Alvendra kian terdengar. Alvendra terhenti sejenak melihat pemandangan di meja makan. "Ini ada apa, kok kalian malah berpelukan?" Raut muka Alvendra terlihat begitu heran. "Udah kaya teletubies aja." Sambung Alvendra sambil tertawa geli. "Al, sejak kapan kau berdiri disitu?" Tanya Keke sambil menghapus air matanya. "Sejak mamah dan kamu menangis dan berpelukan. Kalian kenapa si?" Tanya Alvendra sambil mengusap air mata Keke. "Keke, apa kamu masih mencitai Alvendra?" Tanya Martini dengan wajah serius. "Mencintai? Apa maksud tante?" "Ayolah Keke, jawab jujur. Tante melihat ada cinta yang tertinggal di sorot matamu." "Mah, tolonglah jangan desak Keke." "Mamah gak mendesak Keke. Dulu dia meninggalkanmu karena terdesak oleh keadaan. Bukan karena dia tak mencintaimu lagi kan?" "Tapi mah, semua sudah berlalu. Sekarang juga aku sudah menikah dengan Zee." "Mamah punya solusinya. Mamah hanya ingin anak
Rio masih membereskan percahan beling yang sempat tertunda. Sementara Keke hanya diam sambil mengunyah makanannya, kehadiran Zee di tengah suasana dinner kala itu memang membuat Keke terkejut sekaligus geram. "Mbak Zee itu rajin sekali, dalam kondisi sakit seperti tadipun ia masih bisa masak ini semua." Rio menggerutu sambil berjalan membuang percahan beling. "Beruntungnya Mas Alvendra punya istri kayak Mbak Zee. Udah rajin, pinter masak, pinter cari duit, cantiknya alami lagi." Rio melirik tajam Keke. "Gak kaya si onoh, cantiknya karena di touch up." "Apa maksudmu Rio." Keke meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya sambil melipatkan tangan di dadanya. Rio duduk sambil meneruskan makan. "Gak ada maksud." Ujar Rio sambil mengunyah makananya. Martini mengatupkan rahangnya. "Sudah-sudah, Rio kalau kamu disini hanya akan merusak suasana mending kamu segera selesaikan..." "Selesaikan makan terus beranjak dari sini?" Rio menatap tajam Mar
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat