“Dik....” panggil Gilang saat mereka berdua sudah duduk di gerbong kereta. Bawaan yang berjibun membuatnya terpaksa meletakkan dus itu sebagian di kaki, untungnya mereka mendapatkan duduk paling depan. “Kamu masih punya tabungan kan?” tanya Gilang tanpa menunggu jawaban Sekar. Sekar menoleh. Satu alisnya terangkat. Sementara mulutnya mencebik. "Makanya kalau menikah itu sering-sering ngobrol. Nggak mikirin wanita lain yang sudah melepehmu," guman Sekar dalam hati. Terhitung tiga minggu menikah, tapi mereka berdua memang belum pernah serius membahas masa depan. Setiap hari bertengkar hal nggak penting. Salah paham. Komunikasi belum pernah berusaha dijalin dan dibicarakan serius. Tak seperti teori di buku-buku islami atau ceramah-ceramah ustadz tentang membina rumah tangga islami. Apalagi keduanya mantan aktivis organisasi yang mestinya lebih mahir mengenai planning. Gilang berpikir berkeluarga itu beda sama organisasi. Masak iya pake AD/ART. Masak iya dikit-dikit harus rapat atau
Gilang sudah duduk manis di atas jok motornya menunggu Sekar di pintu gerbang kantor seperti biasa. Dia sudah mencari info kontrakan murah dan terjangkau. Hari ini, usai kerja, dia berencana mengajak Sekar untuk survei. “Kemana kita?” tanya Sekar saat menyadari kalau Gilang melajukan motornya ke arah yang berlainan dengan arah kosannya. “Cari kontrakan. Tadi, Mas sudah kontak orangnya. Mau lihat sekarang,” ujar Gilang dengan suara keras, melawan bisingnya lalu lintas jalanan yang padat merayap. “Ck! Kebiasaan. Nggak ada komunikasi, nggak ada diskusi, sudah main memutuskan saja,” batin Sekar kesal. Padahal, dia merasa sangat lelah karena kemarin seharian di kereta. Dia ingin cepat-cepat sampai kosan, ganti baju, mandi dan istirahat. Mungkin karena bawaan bayi, Sekar jadi merasa tidak nyaman dengan suasana panasnya ibukota. Padahal, biasanya dia juga panas-panasan tak masalah. Tapi kali ini, panas itu membuat ingin segera mandi dan ganti pakaian rumahan. Motor Gilang melaju, sambil
Sekar mengerjap saat menyadari arah motor Gilang. Hari itu ke dua dia survei kontrakan. Sekarang lokasinya berbeda dengan tempo hari. Kalau tempo hari di area padat penduduk, hari ini di kompleks perumahan. “Yakin, Mas?” tanya Sekar saat melihat rumah perumahan yang lumayan bagus.“Kita lihat dulu,” tukas Gilang.Keduanya turun dari motor kala menemukan rumah yang dituju. Rumah itu terlihat kosong. “Berapa sewanya?” tanya Gilang saat selesai survei ke dalam. Sekar pun juga senang. Ada dua kamar tidur. Ada dapur dan dua kamar mandi. Bahkan ada kamar kecil yang bisa digunakan sebagai gudang atau kamar pembantu di belakang kalau mau. Tidak terlalu besar, tapi cukup buat berdua. “Tiga puluh enam juta untuk setahun,” ujar Bu Halimah, pemilik rumah yang tinggal beberapa rumah dari situ. Mata Sekar langsung melotot. Otaknya menghitung. "Jadi, sebulan tiga juta? Mahal sekali!" Padahal jarak ke kantor juga lumayan. Kelebihannya, berada di lingkungan yang asri. Ada masjid juga dekat dari
“Jauh banget, Mas,” ujar Sekar saat dia turun dari motor. Pant*tnya sudah terasa panas karena terlalu lama di boncengan.. Sebenarnya hanya sekitar 12 kilometer. Sama dengan dari rumahnya di kampung ke SMAnya. Tapi, Jakarta selalu macet di jam pulang kerja. Meskipun dengan motor, tetap saja melelahkan. Apalagi biasanya mereka hanya mengendarai motor lima sampai sepuluh menit, dari kantor hingga kosan. Ini sudah empat hari berturut-turut hunting kontrakan. “Sabar...” sahut Gilang yang terdengar menyebalkan bagi Sekar. Dia pikir aku nggak tahu sabar apa, masih saja diingatkan tentang sabar, gerutu Sekar dalam hati. “Tapi, kalau jadi ke sini, jauh banget lho, Mas. Bayangin kalau tiap hari,” gerutu Sekar lagi. Kini, Sekar baru menyadari beratnya hidup di ibukota setelah berumah tangga. Jaman masih sendiri, mudah saja tinggal cari kosan belakang kantor. Sekarang? Mana mungkin kos. Apalagi sebentar lagi tentu harus menyiapkan kelahiran anaknya. Mungkin lain cerita jika dia ibu rumah tan
Tak perlu menunggu lama, akhirnya hari keenam, mereka sudah pindahan. Barang hanya sedikit, karena memang tidak punya perabot. Hanya baju dan beberapa perlengkapan pribadi lainnya, karena selama ini mereka menggunakan fasilitas kosan. “Hanya ini, Mas?” tanya Pak Hanif yang datang saat Gilang hendak mengambil kunci. Rumah Pak Hanif, tepat di sebelah rumah yang hendak mereka kontrak. Gilang dan Sekar baru sadar, kalau mereka butuh banyak perabot, terutama kasur untuk tidur, karpet untuk alas duduk, dan lemari untuk merapikan baju. Belum termasuk peralatan bersih-bersih. Untungnya, mereka pindahan masih pagi, jadi hari lumayan masih panjang. “Dik, ternyata banyak juga, ya pengeluaran,” ujar Gilang saat menyadari membeli barang-barang pokok saja sudah keluar kocek yang cukup menguras. Akhirnya merasakan juga memulai sebuah rumah tangga. Tidak apa mencicil beli barang sedikit demi sedikit. Bahkan, terpaksa harus membeli yang kualitasnya biasa, tak seperti impiannya. Yang penting fungs
“Memasak bersama suami itu bisa meningkatkan kemesraan dengan pasangan,” ujar Sekar sambil menaikturunkan alisnya. Lelaki modern sudah tidak lagi seperti lelaki jaman dulu yang tidak tahu pekerjaan rumah. Apalagi tuntutan sang istri harus bekerja, membuat suami istri harus mau berbagi peran. Salah satunya dengan urusan dapur. “Laki-laki itu kalau pinter masak, makin seksi lho, Mas,” rayu Sekar. Raut mukanya dibuat seserius mungkin. “Halah, itu hanya imajinasimu aja. Kebanyakan nonton master chef!” Telunjuk Gilang sudah menoyor jidat Sekar, hingga kepala gadis itu ikut mendongak mengikuti dorongan telunjuk Gilang. Benar juga. Pasti Gilang pernah mengintip dirinya melihat youtube tentang lomba masak-memasak itu. Padahal, Sekar hanya mempelajari teknik memasak agar terlihat ahli. Tak masalah belum praktek, yang penting agak sok-sokan tahu gimana cara memotong bahan makanan atau mengaduk masakan agar terlihat profesional. “Kamu list dulu kebutuhannya, biar kita nggak bolak-balik
Usai makan siang di luar, Gilang langsung mengajak Sekar ke pasar tradisional. Ternyata ke pasar lebih mendebarkan dibanding tes wawancara pekerjaan, batin Sekar. Tentu saja dia tidak berpengalaman belanja sayur sendirian. Memori Sekar mencoba mengingat-ingat saat dia mengantar ibunya berbelanja, sambil sesekali menirukannya, layaknya sudah biasa belanja. Untungnya, Gilang menunggu di motor. Kalau ikut-ikutan, pasti dia akan malu. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Gayanya pura-pura percaya diri, meski hati kebat-kebit. “Mbak, cari apa, Mbak!” sapa penjual di ujung gang pasar. Sekar hanya tersenyum. Mata elangnya melirik ke sana kemari. Padahal sudah dia buat daftar yang hendak dibeli. Namun percaya diri untuk berhenti di salah satu kios pedagang belum juga muncul. Sudah satu putaran dia kelilingi pasar itu. Di putaran kedua, dia harus mendapat sesuatu. “Mbak, tanya saja mbak!” sapa penjual lainnya. Sepertinya dia memperhatikan Sekar yang masih bertangan kosong, padahal s
Sesampai di rumah, aku segera merapikan belanjaan. Sementara, Mas Gilang duduk di depan sambil menunggu tukang kulkas, kompor gas dan rak piring yang kami beli tadi di toko dekat pasar. Jangan tanya, berapa rupiah kami habiskan, sepertinya setara dengan gaji sebulan kami berdua. Pantas saja biasanya pengantin baru dapat hadiah perabot rumah tangga. Ternyata, itu sangat berharga bagi kami-kami seperti ini. Menyesal juga aku menikah buru-buru. Selain nggak bisa mengundang teman kantor dan teman sekolah, tentu saja aku pun tak mendapatkan kado, eh!Beruntung, tak lama kulkas sudah datang. Perlu beberapa menit dicolokkan hingga stabil, sebelum aku memasukkan barang belanjaan. Dapur kami ini masih belum seperti dapur kekinian di tivi-tivi atau iklan rumah minimalis. Tidak ada kitchen set. Tapi beruntung ada wastafel untuk sekedar mencuci bahan makanan. Tadinya aku hendak meniru cara-cara emak-emak yang sering diposting di sosmed, yang memilah dan menyiangi sayuran, lalu menempatkan pa