“Mas....” panggil Sekar. Meskipun Gilang hanya bercanda, tapi ternyata dipikirkan juga oleh Sekar kata-kata Gilang tadi. Apalagi, tampaknya Gilang masih enggan mengakui statusnya sebagai istrinya di hadapan teman-temannya, meski temannya sudah tahu kalau Gilang sudah menikah. “Hemmm...” sahut Gilang malas. Matanya sudah terpejam. Seharian dia sungguh lelah. Habis antri beli bubur, ke dokter kandungan, ke pasar, dan malamnya berakhir dengan prahara bertemu dengan Sakina. Hari yang melelahkan. “Aku jelek,ya?” tanya Sekar sambil memainkan ujung selimut yang menutupi hingga batas lehernya. Sementara Gilang di sebelahnya sudah hendak terpejam. “Heem...” “Jadi, beneran aku jelek?” Sekar langsung memiringkan badannya. Matanya menatap Gilang yang ogah-ogahan menjawab pertanyaannya. “Iya....” jawab Gilang setengah bergumam. “Jadi, karena aku jelek, sampai kamu ajak ke klinik, biar aku ngga malu-maluin?” tanya Sekar lagi. Dia teringat Gilang yang rela merogoh kocek sangat dalam, dem
Bergegas Gilang meninggalkan Sekar yang masih membereskan barang bawaannya. Ada beberapa jajanan yang tidak mudah ditemui di Jakarta yang ingin dia bawa. "Dasar orang ngidam, aneh-aneh saja," dengus Gilang saat tahu Sekar membeli banyak jajan saat ke pasar kemarin. Lelaki itu menatap tamu yang sudah duduk di kursi tamu dengan tatapan tak suka. “Suaminya Sekar?” tanya Arfan sambil berdiri, berniat berkenalan dengan Gilang. Bukan menyambutnya dengan ramah, Gilang malah menatap uluran tangan itu, meski kemudian menyambutnya dan berjabat tangan dengan dingin. Sekar buru-buru ke depan. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi, semalam Gilang sudah kena tonjok Fajar, dan Sekar pura-pura tak tahu. Salah sendiri bermain api, itulah akibatnya, batin Sekar tatkala melihat Gilang memegangi wajahnya malam itu, tanpa berniat bertanya seberapa sakitnya. Sekar lalu ikut duduk di sebelah Gilang. Suaminya itu menampilkan wajah juteknya seperti kemarin-kemarin tatkala melihat ses
"Kalau lelaki itu sudah mengenal Sekar dan keluarganya, bukankah lebih tepat kalau yang dijodohkan adalah pria itu, bukan aku?"Seolah Gilang sudah kehilangan akal. Dia lupa kalau dia justru dia yang menolak perjodohan Sekar dengan Fajar. Otaknya mulai ruwet mengingat puzle-puzle yang berserakan. “Nanti kamu nyesel....” ledek Pak Sidik sambil menaik-turunkan satu alisnya, tersenyum menyentil Gilang. Pria itu menatap menantunya yang ekspresinya mulai gelisah. "Tak masuk akal jika tak ada hubungan apa-apa, Sekar dan keluarganya bisa sedekat itu. Apalagi, sampai mengirim hadiah segala," gumam Gilang dalam hati. Mau bertanya, gengsi juga.Sementara Sekar malah asik membuka kardus hadiah dari mamanya Arfan. “Masyaallah! Satu set alat masak!” Ada rasa senang saat pertama melihatnya. Alat masak yang super mewah terbuat dari bahan berkualitas yang sekarang lagi in dipromosikan di mana-mana. Dia pernah melihatnya sekilas di iklan saat dia harus googling mencari bahan kerjaan kantornya.Ta
“Dik....” panggil Gilang saat mereka berdua sudah duduk di gerbong kereta. Bawaan yang berjibun membuatnya terpaksa meletakkan dus itu sebagian di kaki, untungnya mereka mendapatkan duduk paling depan. “Kamu masih punya tabungan kan?” tanya Gilang tanpa menunggu jawaban Sekar. Sekar menoleh. Satu alisnya terangkat. Sementara mulutnya mencebik. "Makanya kalau menikah itu sering-sering ngobrol. Nggak mikirin wanita lain yang sudah melepehmu," guman Sekar dalam hati. Terhitung tiga minggu menikah, tapi mereka berdua memang belum pernah serius membahas masa depan. Setiap hari bertengkar hal nggak penting. Salah paham. Komunikasi belum pernah berusaha dijalin dan dibicarakan serius. Tak seperti teori di buku-buku islami atau ceramah-ceramah ustadz tentang membina rumah tangga islami. Apalagi keduanya mantan aktivis organisasi yang mestinya lebih mahir mengenai planning. Gilang berpikir berkeluarga itu beda sama organisasi. Masak iya pake AD/ART. Masak iya dikit-dikit harus rapat atau
Gilang sudah duduk manis di atas jok motornya menunggu Sekar di pintu gerbang kantor seperti biasa. Dia sudah mencari info kontrakan murah dan terjangkau. Hari ini, usai kerja, dia berencana mengajak Sekar untuk survei. “Kemana kita?” tanya Sekar saat menyadari kalau Gilang melajukan motornya ke arah yang berlainan dengan arah kosannya. “Cari kontrakan. Tadi, Mas sudah kontak orangnya. Mau lihat sekarang,” ujar Gilang dengan suara keras, melawan bisingnya lalu lintas jalanan yang padat merayap. “Ck! Kebiasaan. Nggak ada komunikasi, nggak ada diskusi, sudah main memutuskan saja,” batin Sekar kesal. Padahal, dia merasa sangat lelah karena kemarin seharian di kereta. Dia ingin cepat-cepat sampai kosan, ganti baju, mandi dan istirahat. Mungkin karena bawaan bayi, Sekar jadi merasa tidak nyaman dengan suasana panasnya ibukota. Padahal, biasanya dia juga panas-panasan tak masalah. Tapi kali ini, panas itu membuat ingin segera mandi dan ganti pakaian rumahan. Motor Gilang melaju, sambil
Sekar mengerjap saat menyadari arah motor Gilang. Hari itu ke dua dia survei kontrakan. Sekarang lokasinya berbeda dengan tempo hari. Kalau tempo hari di area padat penduduk, hari ini di kompleks perumahan. “Yakin, Mas?” tanya Sekar saat melihat rumah perumahan yang lumayan bagus.“Kita lihat dulu,” tukas Gilang.Keduanya turun dari motor kala menemukan rumah yang dituju. Rumah itu terlihat kosong. “Berapa sewanya?” tanya Gilang saat selesai survei ke dalam. Sekar pun juga senang. Ada dua kamar tidur. Ada dapur dan dua kamar mandi. Bahkan ada kamar kecil yang bisa digunakan sebagai gudang atau kamar pembantu di belakang kalau mau. Tidak terlalu besar, tapi cukup buat berdua. “Tiga puluh enam juta untuk setahun,” ujar Bu Halimah, pemilik rumah yang tinggal beberapa rumah dari situ. Mata Sekar langsung melotot. Otaknya menghitung. "Jadi, sebulan tiga juta? Mahal sekali!" Padahal jarak ke kantor juga lumayan. Kelebihannya, berada di lingkungan yang asri. Ada masjid juga dekat dari
“Jauh banget, Mas,” ujar Sekar saat dia turun dari motor. Pant*tnya sudah terasa panas karena terlalu lama di boncengan.. Sebenarnya hanya sekitar 12 kilometer. Sama dengan dari rumahnya di kampung ke SMAnya. Tapi, Jakarta selalu macet di jam pulang kerja. Meskipun dengan motor, tetap saja melelahkan. Apalagi biasanya mereka hanya mengendarai motor lima sampai sepuluh menit, dari kantor hingga kosan. Ini sudah empat hari berturut-turut hunting kontrakan. “Sabar...” sahut Gilang yang terdengar menyebalkan bagi Sekar. Dia pikir aku nggak tahu sabar apa, masih saja diingatkan tentang sabar, gerutu Sekar dalam hati. “Tapi, kalau jadi ke sini, jauh banget lho, Mas. Bayangin kalau tiap hari,” gerutu Sekar lagi. Kini, Sekar baru menyadari beratnya hidup di ibukota setelah berumah tangga. Jaman masih sendiri, mudah saja tinggal cari kosan belakang kantor. Sekarang? Mana mungkin kos. Apalagi sebentar lagi tentu harus menyiapkan kelahiran anaknya. Mungkin lain cerita jika dia ibu rumah tan
Tak perlu menunggu lama, akhirnya hari keenam, mereka sudah pindahan. Barang hanya sedikit, karena memang tidak punya perabot. Hanya baju dan beberapa perlengkapan pribadi lainnya, karena selama ini mereka menggunakan fasilitas kosan. “Hanya ini, Mas?” tanya Pak Hanif yang datang saat Gilang hendak mengambil kunci. Rumah Pak Hanif, tepat di sebelah rumah yang hendak mereka kontrak. Gilang dan Sekar baru sadar, kalau mereka butuh banyak perabot, terutama kasur untuk tidur, karpet untuk alas duduk, dan lemari untuk merapikan baju. Belum termasuk peralatan bersih-bersih. Untungnya, mereka pindahan masih pagi, jadi hari lumayan masih panjang. “Dik, ternyata banyak juga, ya pengeluaran,” ujar Gilang saat menyadari membeli barang-barang pokok saja sudah keluar kocek yang cukup menguras. Akhirnya merasakan juga memulai sebuah rumah tangga. Tidak apa mencicil beli barang sedikit demi sedikit. Bahkan, terpaksa harus membeli yang kualitasnya biasa, tak seperti impiannya. Yang penting fungs
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi