Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Untung nasi goreng pesanan mereka sudah matang. Kalau tidak, Gilang akan semakin lama terjebak dalam mencari argumentasi yang tak berujung. Usai menyantap makan malam, keduanya jalan beriringan menuju parkir motor. “Kamu yakin tidak jadi belanja?” Gilang mengingatkan sebelum mereka pulang. Sekar menggeleng lemah. Dia memang tidak mau belanja bahan makanan bareng Gilang. Itu terlalu ribet. Dia pun malas mendengarkan komentarnya jika nanti Sekar terlihat bodoh di mata Gilang. Lelaki itu bakal tak segan untuk membullynya. Parkiran itu sudah sangat penuh dibanding saat Gilang masuk tadi. Padahal hari semakin malam, dan itu bukan hari libur. Gilang terpaksa menggeser-geser motor lain agar motornya bisa keluar. Memang kejam Jakarta!“Pegangan, Sekar!” perintah Gilang saat hendak menjalankan motornya.Kedua tangan Gilang terulur ke belakang mencari tangan Sekar. Lalu dilingkarkan kedua tangan Sekar ke pinggangnya. Gilang pun menggeser tubuhnya
“Mas, ka—kamu mau apa?” tanya Sekar saat Gilang sudah semakin mendekat mengikis jarak ke arahnya. Sekar bergeser mundur. Gilang sedang marah. Sekar tak ingin memberikan hak Gilang jika lelaki itu masih marah. Semakin Sekar mundur, lelaki itu semakin maju. “Jangan, Mas....” Sekar mendorong dada bidang itu menjauh darinya. Tapi, tenaga Sekar tak kuat untuk benar-benar membuat pria itu menjauh darinya. Mata perempuan itu menatap Gilang dengan tajam, meski dalam hatinya dia merasa takut. Sementara, sorot mata Gilang semakin menunjukkan kemarahan. “Kamu menolakku, ha?” bisik lelaki itu. Wajah pria itu semakin mendekat. “Mas, .jangan lakukan. Kamu sedang marah. Ini ibadah. Aku tak mau dipaksa,” cicit Sekar. Tangannya masih berusaha mendorong tubuh Gilang menjauh. Tapi, pria itu bergeming. Dia tak memedulikan ucapan Sekar. Dia terus maju dan mendekat, hingga mengikis jarak antara keduanya. “A—ku tidak mau kalau masih ada Sakina dalam pikiranmu,---” Lirih Sekar berucap. Mendengar kat
“Tapi secara agama kamu istriku. Aku berhak meminta hak darimu. Kecuali kalau kamu mau dilaknat malaikat sampai pagi! Aku yang berhak menentukan. Bukan kamu!” Geram lelaki itu berkata. Sekar yang sudah pindah duduk di kursi belajar itu menoleh. Ia membalas tatapan tajam lelaki itu, meski dalam hatinya sudah tahu, tak pantas dia membalas tatapan itu. Tapi, hatinya sudah kesal. Pria itu terlalu arogan. Apakah dia harus terus-terusan mengalah pada pria itu? Satu jam berlalu. Sepasang manusia berlainan jenis itu masih bergeming di tempatnya masing-masing. Gilang masih duduk di ranjang. Sementara Sekar masih duduk di kursi belajar. Sesekali Sekar menyusut lelehan air matanya. Dia tak kuat lagi menahan rasa sakit itu. Sisi lain hatinya mengakui memang dia yang salah. Dia yang memulai perdebatan itu. Tapi, sisi hati lainnya, dia menginginkan Gilang juga mengakui kesalahannya. Akankah pernikahan seumur jagung ini harus kandas karena ego masing-masing? Gilang sesekali melirik ke arah Sek
Gilang terbangun saat suara azan subuh sayup terdengar. Tangan kirinya mencari-cari sosok yang semalaman berada dalam dekapannya. Rasa bersalah membuatnya sulit mengatakan maaf, dibayarnya dengan sentuhan fisik, berharap Sekar akan luluh. Mata pria itu mengerjap. Dipindainya kamarnya. Tak ada Sekar. Padahal, semalaman dia tertidur sambil memeluk gadis itu. Kapan Sekar bangun? Gilang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat Sekar hendak keluar. “Bajunya di mana dijemur?” tanya Sekar. Gilang tertegun sejenak. Raut muka Sekar seperti mereka tak pernah terjadi apa-apa. Lalu, pandangan Gilang tertuju pada ember yang penuh dengan cucian yang sepertinya sudah selesai dicuci. “Nanti biar aku yang jemur habis dari masjid. Tempat jemurnya ada di atas,” ujar Gilang.Sekar hanya mengangguk. “Harusnya kamu nggak usah nyuci sepagi ini. Kita bisa nyuci bareng-bareng nanti,” tambah Gilang saat dia selesai wudhu, sambil mengelap wajahnya yang basah. Lelaki itu kemudian ganti dengan baju
Sepulang kerja, aku langsung menuju tempat kerja Sekar. Sebenarnya, aku sejak dulu sudah tahu kantor dan kos-kosan Sekar, karena Bulik Ndari, tetanggaku sekaligus ibunya Sekar sudah sejak bocah itu diterima bekerja di Jakarta selalu mewanti-wantiku untuk mengawasi. Dalam hati, dongkolnya bukan main. Bocah ini sangat merepotkan bagiku. Tapi gimana lagi, ibunya Sekar sudah kayak orang tuaku sendiri juga. Ini semua gara-gara persahabatannya dengan mamaku. Mengenai perasaanku ke Sekar? Aku juga bingung. Dia sudah kuanggap sebagai adikku. Aku tak pernah memiliki rasa apapun padanya. Tapi, memang mama dan kakakku reseh ingin menjodohkanku dengannya sejak lama. Sebenarnya, rencana itu sejak lama tak pernah kutanggapi. Umurku masih muda. Aku tak ingin terlibat cinta di usia remaja. Apalagi, dalam hatiku tertambat rasa pada gadis lain. Sakina, gadis paling cantik dan jadi primadona di sekolah. Beruntungnya lagi, saat aku kuliah di Bandung, rupanya dia pun kuliah di bumi priangan. I
“Ngga ada. Aku pengen konsultasi aja,” ujarku ngeles sambil menggeleng. Aku takut kalau aku mengatakan yang sesungguhnya, dia akan menolak ajakanku. “Itu namanya buang-buang uang. Kalau nggak sakit, ya nggak usah ke klinik. Di Jakarta itu apa-apa mahal.” Nah kan? Apa aku bilang. Aku malah dinasehatinya. Padahal, aku sudah lebih lama dan berpengalaman di sini. Aku menatap gadis itu setelah menghentikan sejenak tusukan siomayku. Gadis itu mengunyah siomaynya sampai pipinya menggembung. “Ke klinik nggak perlu menunggu sakit dulu. Mencegah lebih baik dari mengobati,” ujarku enteng. Segera kulanjutkan menusuk siomay dengan garpu. Siomayku sudah hampir habis. Ingin rasanya nambah, tapi tidak! Nanti perutku bisa penuh. Aku ingin mengajak Sekar jajan makanan yang lain lagi setelah dari klinik. Sebenarnya, rencanaku mengajak Sekar ke klinik sudah lama. Sejak aku memutuskan akan menikah dengannya. Aku sebenarnya yakin, Sekar itu cantik kalau terawat. Tapi, gimana mau terawat kalau merawat
Kuputuskan kembali duduk di atas jok motorku usai menerima kembalian dari babang siomay. Meskipun kesal dengan babang itu, tapi aku tak mungkin memarahinya. Dia juga sedang mengais rejeki. Nafkah untuk keluarganya.Tak mungkin aku menyusul Sekar ke dalam gedung itu. Di lantai mana dia bekerja saja aku tak tahu. Gedung itu ada lebih dari dua puluh lantai. Bertanya ke resepsionis atau satpam, jelas tak mungkin. Ini bukan kantor kelurahan yang semua orang bakal kenal. Begonya memang aku tak pernah bertanya padanya dia kerja di lantai berapa, divisi apa dan nama kantornya apa. apalagi kantornya bukan perusahaan besar yang terkenal. Namanya pun juga tak mudah kuingat. Mungkin, kalau aku kepepet sih bisa saja aku tanya satpam. Pasti dia tahu jika aku menyebutkan detail pekerjaan Sekar. Tapi, ini sudah di luar jam kantor, Bung. Alih-alih, malah aku dicurigai yang tidak-tidak. HP di saku celana kurogoh kembali. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Sakina. Kubiarkan saja. Biarlah waktu
“Atas nama?” Kujawab dengan menyebutkan nama lengkap Sekar. Gadis itu melotot padaku saat aku menoleh padanya usai menyebut namanya. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku, namun tak kulepaskan. Kubalas saja dengan senyum kemenangan. “Silahkan ditunggu ya, Kak!” ujar resepsionis yang berseragam dengan nama klinik di dadanya ini. Kuajak Sekar duduk di bangku yang berderet di depan resepsionis itu. Beruntung, klinik ini sepi. Jadi, hanya kami berdua di sana. Wajah Sekar pun masih cemberut. “Kenapa Mas? Kamu kecewa karena aku nggak cantik? Nggak secantik Sakina?” tanyanya. Hadeehhhh. Sakina lagi. Bisa tidak sih dia berhenti bicara mengenai Sakina. Kapan aku bisa melupakan Sakina jika tiap detik Sekar masih membahasnya. “Siapa bilang kamu tidak cantik? Kita kesini hanya konsultasi saja. Biar wajahmu tampak lebih segar. Aku malah suka, kamu selalu tampil natural,” gombalku. Padahal ini hanya bahasa halusku saja. Aku juga ingin punya pendamping yang wajahnya tidak kusam. Aku s