Kuputuskan kembali duduk di atas jok motorku usai menerima kembalian dari babang siomay. Meskipun kesal dengan babang itu, tapi aku tak mungkin memarahinya. Dia juga sedang mengais rejeki. Nafkah untuk keluarganya.Tak mungkin aku menyusul Sekar ke dalam gedung itu. Di lantai mana dia bekerja saja aku tak tahu. Gedung itu ada lebih dari dua puluh lantai. Bertanya ke resepsionis atau satpam, jelas tak mungkin. Ini bukan kantor kelurahan yang semua orang bakal kenal. Begonya memang aku tak pernah bertanya padanya dia kerja di lantai berapa, divisi apa dan nama kantornya apa. apalagi kantornya bukan perusahaan besar yang terkenal. Namanya pun juga tak mudah kuingat. Mungkin, kalau aku kepepet sih bisa saja aku tanya satpam. Pasti dia tahu jika aku menyebutkan detail pekerjaan Sekar. Tapi, ini sudah di luar jam kantor, Bung. Alih-alih, malah aku dicurigai yang tidak-tidak. HP di saku celana kurogoh kembali. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Sakina. Kubiarkan saja. Biarlah waktu
“Atas nama?” Kujawab dengan menyebutkan nama lengkap Sekar. Gadis itu melotot padaku saat aku menoleh padanya usai menyebut namanya. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku, namun tak kulepaskan. Kubalas saja dengan senyum kemenangan. “Silahkan ditunggu ya, Kak!” ujar resepsionis yang berseragam dengan nama klinik di dadanya ini. Kuajak Sekar duduk di bangku yang berderet di depan resepsionis itu. Beruntung, klinik ini sepi. Jadi, hanya kami berdua di sana. Wajah Sekar pun masih cemberut. “Kenapa Mas? Kamu kecewa karena aku nggak cantik? Nggak secantik Sakina?” tanyanya. Hadeehhhh. Sakina lagi. Bisa tidak sih dia berhenti bicara mengenai Sakina. Kapan aku bisa melupakan Sakina jika tiap detik Sekar masih membahasnya. “Siapa bilang kamu tidak cantik? Kita kesini hanya konsultasi saja. Biar wajahmu tampak lebih segar. Aku malah suka, kamu selalu tampil natural,” gombalku. Padahal ini hanya bahasa halusku saja. Aku juga ingin punya pendamping yang wajahnya tidak kusam. Aku s
Aku menepikan motor di mulut gang dekat kosanku. Siomay yang sore tadi masuk ke perut seolah tak lagi dapat mengganjal rasa laparku. Cacing di pencernakanku meronta-ronta minta diberi jatah ransum. “Mau makan apa?” tanyaku sambil menoleh ke belakang. Sekar menaikkan kaca helmnya. Matanya masih sembab, tapi dia sudah tak lagi menangis. Bisa jadi sembab akibat facial di klinik tadi juga. Yang jelas aku sedikit lega melihatnya. “Seafood, boleh?” tanyanya mirip anak kecil minta jajan. Aku baru tahu sisi manjanya. Imut dan menggemaskan. Biasanya dia sok-sokan dewasa meskipun sangat polos. Aku memindai deretan warung tenda di mulut gang itu. Tahu saja dia makanan mahal. Tanpa mengangguk, aku jalankan lagi motorku mendekati warung seafood di sana. “Makan di rumah aja ya,” ujarku tanpa menawarinya menu. Aku sendiri saja yang pilih. Pilih beberapa macam, bisa sharing di makan berdua. Dari pada milih sendiri-sendiri, boros dan mahal. Sekar mengangguk. Dia memilih menunggu di atas motor dib
Astaganaga...semua perempuan begitu memusingkan kepalaku. Mengapa aku harus hidup dengan perempuan? Kuremas rambutku frustasi. “Ada apa, Mas?” tanya Sekar. Kudongakkan kepala. Aku sampai tak sadar kalau dia sudah berdiri di depanku. “Baca ini,” ujarku menunjuk HP yang sudah kuletakkan di ranjang. Aku bangkit dan mengambil baju ganti yang telah kusiapkan di atas kursi. Sejak Sekar tinggal di sini, aku mulai membiasakan lagi membawa baju ganti ke kamar mandi. Aku tak mau Sekar mengikutiku melakukan hal yang sama. Aku mandi singkat saja. Demi membersihkan diri. Aku teringat seafood dan nasi yang tadi dibeli di warung tenda keburu dingin. Aku tak suka makan makanan dingin. Mau dihangatkan juga repot. Meski ada kompor, tapi aku tak punya peralatan masak. Hanya ada satu pan untuk membuat mie instan atau menjerang air untuk minum panas. Saat aku keluar kamar mandi, Sekar bukannya melihat HP yang kutunjukkan, dia malah sibuk membuka bungkusan makanan yang tadi kubeli. Dia s
“Malas. Nggak penting. Kekanak-kanakan,” ujarnya pendek. Aku mengangguk setuju. Tak ingin pula aku membahasnya lebih lanjut. Mungkin, kalau tidak habis selesai makan, aku ingin segera membawanya ke alam mimpi. Tapi, perutku masih penuh dengan nasi. “Jangan lupa krimnya tadi segera dipakai….” Peringatanku ini bukan apa-apa. Ingat jumlah uang yang didebet dari rekening, aku tak ingin sia-sia mubazir. Lagi pula, siapa sih yang tak ingin punya istri yang wajahnya lebih segar dan tidak kusam. Aku tersenyum puas saat melihatnya duduk manis di kursi meja belajarku, menatap cermin kecil yang disandarkan pada tumpukan buku dan mengaplikasikan krim malam ke permukaan wajahnya. Baru sekali di facial saja, kulihat wajahnya sudah berbeda. Mungkin ini hanya sugestiku saja. Beberapa bagian terlihat memerah karena jerawat yang dikeluarkan paksa. “Teman-teman kantor minta tasyakuran,” ucapku seraya masih menatapnya. Dia melirik ke arahku sejenak. “Jadi mereka sudah tahu?” Aku mengangg
Sekar kembali masuk ke mobil itu dengan kesal. Bahkan, saat aku turun dari tangga dan berniat mengejarnya, mobil itu sudah terlanjur jalan menjauh dariku. Aku hanya dapat menatap kepergiannya hingga mobil itu keluar dari pelataran gedung kantor. “Sekar kenapa, Lang? Dia marah padaku?” tanya Sakina tanpa rasa bersalah. Dia masih berdiri di tempatnya semula saat aku menaiki tangga menuju lobi gedung kantorku itu. Kalau dulu, jelas aku tak akan marah pada Sakina. Tapi kini, aku jadi kesal pada perempuan cantik di depanku ini. Bagaimana bisa dia tidak punya rasa sensitif sama sekali terhadap Sekar. Padahal beberapa hari lalu, Sekar sudah memperingatinya, hingga menunjukkan telunjuk ke hidungnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah merasa tak nyaman lagi dengan kehadirannya. Selain dia datang pada waktu yang tidak tepat, aku pun sudah tak mengharapkan kehadirannya lagi, sejak aku menyadari komitmenku dengan Sekar. Aku laki-laki. Dan aku imam bagi rumah tanggaku
“Fajar bisa marah kalau kamu menyakiti calon istrinya.” Daniar tiba-tiba sudah di depan meja kerjaku saat aku hendak pulang. Suasana kantor sudah sepi. Sebenarnya aku sedari tadi ingin pulang awal, tapi sayangnya pekerjaan sangat banyak dan menumpuk. Sekar pasti ngambek lagi karena aku bakal telat menjemputnya. Mana usai kejadian tadi, pesanku tak satupun dibalas. Malah hanya contreng satu. Anak ini sepertinya malah mematikan ponselnya. Dasar, wanita. Begitu sulitnya dipahami. “Apa maksudmu?” “Lihat saja nanti,” ujar Daniar sambil tersenyum mengejek. Ah bodo amat. Aku tidak peduli lagi dengan kehidupan Sakina. Masa bodo dengan apa yang jadi pembicaraan teman-teman satu grup SMA. Toh, Sekar juga cuek. Yang penting hidupku dan Sekar aman. Aku segera memacu motorku ke kantor Sekar. Aku sudah terbiasa lewat jalan tikus di belakang kantor ini untuk menghindari macet. Begitu tiba di belakang gerbang, segera kupinggirkan motor seperti biasa. Helm kulepas agar bisa bernafas lega. Lalu
“Mana nomor rekening kamu?” ujarku tanpa berminat melihat detail tagihan itu, karena sebenarnya Sekar sudah mengirimkan foto tagihan itu sejak kemarin. Aku saja yang terlalu cuek tak segera menggantinya.Dia menatapku sejenak. Aku jadi merasa bersalah. Apakah aku punya nomor rekeningnya? Sepertinya tidak. “Jangan lupa, uang nafkah untukku juga,” ujarnya kemudian sambil tersenyum malu-malu. Bod*h! Bahkan aku pun lupa memberinya jatah bulanan. “Mana nomormu?” ulangku lagi. HP di tanganku sudah menampilkan aplikasi mobile banking. Aku sudah siap mentransfer sejumlah uang untuknya.“Kan ada di slip transfer tempo hari,” ujarnya datar. Wajah polosnya memang semakin membuatku gemas. Ya Tuhan….benar-benar deh. Aku tidak sensitif. Bahkan, kalau Sekar tidak memberiku tagihan barusan, bisa-bisa aku menganggapnya impas. Tak lama, terdengar notifikasi dari hpnya. Dia segera menyambar hape yang tergeletak di atas meja belajar. Hpnya masih jadul. Aku berniat nanti kalau punya uang, mengganti
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi