Gilang melajukan motornya meninggalkan Sekar yang masih dipenuhi emosi menuju sebuah rumah makan tak jauh dari kediaman Sakina. Rumah makan yang didesain seperti cafe yang sangat cocok untuk nongkrong anak muda sekarang memang menjamur di kota kelahiran Gilang. Sesaat setelah acara lamaran usai, Sakina mengirim pesan pada Gilang jika ia ingin bertemu karena saat lamaran, Sakina tak melihat Gilang.[Aku mau cerita, Lang. Aku tunggu, ya!]Meski Gilang tahu, harapannya sudah berakhir, namun, meninggalkan Sakina secara tiba-tiba, adalah suatu yang tak mungkin. Status yang selama ini dalam hubungan mereka adalah teman. Tak mungkin pertemanan berakhir hanya karena lamaran. Dan kini Gilang menyadari, apakah ada yang salah dalam pertemanannya?Setelah memarkir motornya, Gilang segera memilih bangku di pojok. Agak terhalang oleh pengunjung lain, tapi leluasa melihat siapa yang datang dari luar. Sesuai janji, tak lama pandangannya tertuju pada mobil yang dikenalnya memasuki halaman parkir. G
“Ndhuk, kamu kalau sama suamimu mbok ya yang sabar. Nanti kualat lho ngomong sama suami kenceng-kenceng.” Ibu masuk kamar saat Mas Gilang sudah pergi. Wanita paruh baya ini berusaha mengingatkanku. Mungkin beliau malu karena merasa gagal mendidikku. Harusnya aku bisa lebih hormat pada suami. Aku bergeming. Malas menanggapi kata-kata Ibu. Bukan karena tidak hormat padanya. Justru karena aku tahu karena aku salah. Tapi, aku hanya ingin Mas Gilang itu memahami, kalau sebenarnya dia itu tak pernah dianggap oleh Sakina. Wanita itu hanya memanfaatkan Mas Gilang saja. “Nanti kalau suamimu pulang, minta o maaf, ya, Ndhuk,” nasehat ibu sambil mengusap lenganku. Sementara aku masih berbaring menghadap tembok dan memeluk guling.“Nggih, Buk,” jawabku serak. Masih tersisa kesal pada Mas Gilang yang justru rela pergi untuk menemui wanita itu. Wanita yang jelas-jelas sudah akan meninggalkannya. Bahkan, Mas Gilang sendiri juga sudah menikah. Lalu apa lagi yang akan dia cari. Bukannya semuanya suda
Usai makan makan malam di rumah mertua, kami berbincang santai di ruang keluarga. Aku sudah selesai membereskan perkakas makan malam karena tadi tidak membantu memasak. Mas Gilang belum pulang. Setelah lamaran Sakina, dia hanya pulang sebentar sambil marah-marah padaku, lalu balik lagi entah kemana. Malas juga bertanya padanya. “Ngurusin Masmu itu memang harus sabar. Anaknya semaunya sendiri. Tapi dia sebenarnya baik,” ujar mama mertua sambil mengusap bahuku. “Lagian, kalo Mas Gilang dari dulu nggak mau nikah sama Sekar, kenapa dipaksa sih, Ma?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku ingin tahu, sebenarnya apa yang melatarbelakangi dia mendadak mau menggantikan Fajar.“Siapa yang terpaksa. Wong Gilang yang mau.” Mata mama mertua malah mengerling ke papa mertuaku. Keduanya lalu tertawa bersama. Aku hanya menatap keduanya bergantian, tak mengerti.Dia yang mau? Nggak salah? Bukannya dia berulang kali mengutarakan padaku, bahwa dia sebenarnya tak pernah menginginkan menik
“Mas! Mas, bangun!” Sekar mengguncang bahu lelaki yang ada di sebelahnya. Samar terlihat dari balik jendela, langit sudah tidak gelap. Sepertinya keduanya terlewat azan subuh. “Mas, sudah siang,” bisik Sekar sambil mendudukkan tubuhnya di ranjang. Rambutnya yang tergerai segera diikat. “Astagfirullohaladziimmmmm....” pekik Gilang sambil bangkit dari tidurnya. Lelaki itu langsung turun dari ranjangnya.“Kamu kenapa baru bangunin sih?” ujarnya kesal sambil menyalakan lampu kamar. Pria yang memakai kaos oblong dan celana training itu segera membuka lemari bajunya, mencari baju ganti. Tak sampai lima menit, dia sudah keluar kamar. Sekar hanya dapat menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh, salah lagi. Kenapa sampai tidak mendengar alarm dari hpnya? Padahal, hampir setiap hari Sekar sudah mengatur hpnya agar alarm berbunyi sebelum waktu subuh. Selama ini tak pernah ada masalah. Kenapa justru malah tidur bersama pria paling menyebalkan sekaligus suaminya malah telat bangun. Duh! Kred
“Habis ini, kita jangan sering-sering pulang,” ujar Sekar saat dia sudah duduk di sebelah Gilang, dalam kereta yang membawanya kembali ke Jakarta. Bisa bangkrut keuangan jika terlalu sering pulang. Meskipun kepulangan saat ini tiketnya dibayar oleh Gilang. Tapi, kalau dipikir-pikir, tiket buat dua orang pulang pergi, sama dengan bayar kosan Sekar sebulan masih sisa. Gilang hanya diam saja. Jika biasanya dia asik dengan hpnya saat di kereta, kali ini dia sudah tak tertarik dengan hapenya. Pesan yang selama ini ditunggunya, panggilan yang selama ini dinantinya, kini sudah tak ada lagi. Memang, Sakina masih mengirim pesan padanya, ataupun menelponnya sejak lamaran itu. Tapi, kini Gilang sadar, dia hanya sebatas teman curhat. Toh, Sakina sudah benar-benar menerima lamaran pria lain. Bukan lagi sekedar pacar atau gebetan. Tak ada lagi yang diharapkan dari seorang Sakina. Bahkan, Sakina tampak bahagia. Buktinya, dia sengaja mengunggah kebahagian itu di akun sosmednya. “Kamu nggak penas
“Selama ini ‘kan aku laundry dan makan malam jajan di luar. Kamu boleh tinggal di tempatku, tapi nyuci dan gosok baju, kamu yang tanggung jawab. Makan malam, kamu harus masak. Sepakat?” Sekar berfikir sejenak. Nyuci bajunya sendiri saja sering dikumpulin seminggu baru di cuci. Menggosok baju juga cuma weekend. Tapi bisalah diatur. Gilang orangnya tidak suka menunda pekerjaan. Jadi, pasti bisa disiasati.Tapi, memasak? Itu pekerjaan paling sulit! Dia memang sering bantu ibu dan mamanya Gilang di dapur. Tapi, bukan dia yang masak. Sekar hanya membantu memotong sayuran, mengupas bawang dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya. Paling banter ya nyicip aja. Kalau masak dari nol, tidak pernah. Masak iya harus bilang ke Gilang kalau dia sesunggunya ngga bisa masak. Bisa dibully.Jadi, selama ini hanya akting di dapur? Duh! Benak Sekar berperang sendiri. “Gimana, setuju nggak?” tanya Gilang. “Boleh, deh. Nanti aku bilang ke ibu kos kalau bulan depan nggak diperpanjang,” ujar Sekar kemudian.Masi
Langkah Gilang terhenti saat melihat Daniar, sekretaris atasannya, sedang bersolek di depan meja kerjanya. Wanita itu terbiasa merapikan dandannya di meja kerjanya ketika baru datang. Tak seperti staf lainnya, Daniar memang terlihat paling kinclong. Selain Sebagian besar karyawan di situ adalah lelaki, karyawati lainnya memang tidak terlalu heboh seperti Daniar dalam bersolek. Di dekatinya meja sang sekretaris itu. Sepertinya, ada kesempatan untuk mengorek keterangan dari pacar Fajar ini. Apakah status mereka masih berpacaran, ataukah sudah putus!“Siapa bilang kami putus?” Daniar terkekeh begitu mendengar pertanyaan dari Gilang. “Maksud kamu apa?” Gilang menggebrak meja Daniar. Gadis dengan rambut sedikit kecoklatan karena diwarnai yang selalu modis dicatok hingga ujungnya kruwel-kruwel itu terlonjak kaget. “Hei! Kamu kenapa, Lang?” teriak gadis itu saat Gilang hendak menjauh.“Nggak ada!” Gilang meninggalkan meja Daniar begitu saja. Menyesal juga dia menumpahkan kekesalan barus
“Agak jauh Mbak. Sharing sama tetangga kampung. Kebetulan dia kerja di Jakarta juga,” jawab Sekar. Untungnya, Gilang memang tetangganya. Paling tidak, jika bukan tetangga, dia juga bisa mengakui sebagai teman satu SMA. Tidak bohong kan?“Temanmu nggak bisa masak juga?” Ups! Hampir saja Sekar mau bilang, kalau temannya cowok. Untung belum kelepasan. “Masak sekarang gampang, Sekar. Kamu tinggal pengen menu apa, bumbunya sudah banyak dijual,” ujar Tini serius. “Maksudnya, bumbu yang dipasar itu ya, Mbak? Yang dikemas di kantong plastik?” Sekar ingat bumbu jadi kemasan plastik yang sering dibawa ibunya dari pasar. Ada bumbu gule, bumbu kare, atau apa aja. “Itu bisa. Tapi, itu tidak awet. Yang awet banyak di supermarket.” Tini merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan hapenya. Setelah mengusap layar itu dan menemukan apa yang dicari, Tini menunjukkan tampilan hp nyapada Sekar. “Pake bumbu kayak gini saja bagi pemula. Ini bumbu anti gagal.” Tini tersenyum penuh percaya diri. Sekar mangg
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi