Langkah Gilang terhenti saat melihat Daniar, sekretaris atasannya, sedang bersolek di depan meja kerjanya. Wanita itu terbiasa merapikan dandannya di meja kerjanya ketika baru datang. Tak seperti staf lainnya, Daniar memang terlihat paling kinclong. Selain Sebagian besar karyawan di situ adalah lelaki, karyawati lainnya memang tidak terlalu heboh seperti Daniar dalam bersolek. Di dekatinya meja sang sekretaris itu. Sepertinya, ada kesempatan untuk mengorek keterangan dari pacar Fajar ini. Apakah status mereka masih berpacaran, ataukah sudah putus!“Siapa bilang kami putus?” Daniar terkekeh begitu mendengar pertanyaan dari Gilang. “Maksud kamu apa?” Gilang menggebrak meja Daniar. Gadis dengan rambut sedikit kecoklatan karena diwarnai yang selalu modis dicatok hingga ujungnya kruwel-kruwel itu terlonjak kaget. “Hei! Kamu kenapa, Lang?” teriak gadis itu saat Gilang hendak menjauh.“Nggak ada!” Gilang meninggalkan meja Daniar begitu saja. Menyesal juga dia menumpahkan kekesalan barus
“Agak jauh Mbak. Sharing sama tetangga kampung. Kebetulan dia kerja di Jakarta juga,” jawab Sekar. Untungnya, Gilang memang tetangganya. Paling tidak, jika bukan tetangga, dia juga bisa mengakui sebagai teman satu SMA. Tidak bohong kan?“Temanmu nggak bisa masak juga?” Ups! Hampir saja Sekar mau bilang, kalau temannya cowok. Untung belum kelepasan. “Masak sekarang gampang, Sekar. Kamu tinggal pengen menu apa, bumbunya sudah banyak dijual,” ujar Tini serius. “Maksudnya, bumbu yang dipasar itu ya, Mbak? Yang dikemas di kantong plastik?” Sekar ingat bumbu jadi kemasan plastik yang sering dibawa ibunya dari pasar. Ada bumbu gule, bumbu kare, atau apa aja. “Itu bisa. Tapi, itu tidak awet. Yang awet banyak di supermarket.” Tini merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan hapenya. Setelah mengusap layar itu dan menemukan apa yang dicari, Tini menunjukkan tampilan hp nyapada Sekar. “Pake bumbu kayak gini saja bagi pemula. Ini bumbu anti gagal.” Tini tersenyum penuh percaya diri. Sekar mangg
Gilang diam-diam mengikuti Daniar yang baru saja meninggalkan kantor. Gilang sudah siaga di atas motornya saat Daniar hendak naik ke taksi online dari depan lobi kantornya. Motor yang dikendarai Gilang mengikuti taksi itu, hingga berhenti di pusat perbelanjaan yang tak jauh dari kantornya. Untungnya, ada parkir motor di pelataran pusat perbelanjaan. Gilang memarkir begitu saja motornya di area kosong, karena Gilang ingin segera cepat membuntuti Daniar yang masih tampak berdiri menunggu seseorang. Dengan langkah hati-hati, Gilang mendekat ke arah pintu utama pusat perbelanjaan itu di mana Daniar berdiri. Posisinya sengaja membelakangi Daniar meskipun ekor matanya masih terus mengawasi perempuan dengan dandanan modis itu. Hingga tak lama, terlihat pria yang sudah familiar di mata Gilang menghampiri sekretaris atasannya itu. Ada rasa kesal saat Gilang melihat lelaki itu. Lelaki yang selalu beruntung menjadi saingannya. Hingga dia pun rela merogoh kocek untuk melunasi hutang ibunya Se
Gilang menatap Sakina. Begitu pula sebaliknya. Pemuda itu terdiam. Tapi, kemudian ingat kalau dia harus segera pergi sebelum Fajar melihat keberadaannya. Dia ingat kalau Fajar sangat posesif. “Sekar, ayo kita pergi!” Gilang menarik tangan Sekar. Namun, wanita muda itu menepiskannya. Sekar masih menatap Sakina dengan nanar. Marah bercampur kesal. Karena wanita itu masih saja berhubungan dengan suaminya. “Kin, kita duluan,” pamit Gilang. Dia sudah melihat Fajar yang sudah beranjak dari duduknya. Sepertinya lelaki itu memahami ada kegaduhan di luar restoran. “Tunggu!” Fajar sudah berdiri di ambang pintu restoran. Lelaki itu berjalan mendekat. “Selamat ya atas pernikahan kalian. Kamu menang,” ujar Fajar sambil menepuk pundak Gilang. Tentu saja Gilang gelagapan. Sakina di depannya juga kebingungan. Gilang? Menikah? Dengan siapa? Kalian? Berarti orangnya ada di sini. Lalu siapa?Sakina menatap Gilang, Fajar dan Sekar bergantian. “Kamu sudah menikah, Lang? Kok kamu nggak bilang? Sama
Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Untung nasi goreng pesanan mereka sudah matang. Kalau tidak, Gilang akan semakin lama terjebak dalam mencari argumentasi yang tak berujung. Usai menyantap makan malam, keduanya jalan beriringan menuju parkir motor. “Kamu yakin tidak jadi belanja?” Gilang mengingatkan sebelum mereka pulang. Sekar menggeleng lemah. Dia memang tidak mau belanja bahan makanan bareng Gilang. Itu terlalu ribet. Dia pun malas mendengarkan komentarnya jika nanti Sekar terlihat bodoh di mata Gilang. Lelaki itu bakal tak segan untuk membullynya. Parkiran itu sudah sangat penuh dibanding saat Gilang masuk tadi. Padahal hari semakin malam, dan itu bukan hari libur. Gilang terpaksa menggeser-geser motor lain agar motornya bisa keluar. Memang kejam Jakarta!“Pegangan, Sekar!” perintah Gilang saat hendak menjalankan motornya.Kedua tangan Gilang terulur ke belakang mencari tangan Sekar. Lalu dilingkarkan kedua tangan Sekar ke pinggangnya. Gilang pun menggeser tubuhnya
“Mas, ka—kamu mau apa?” tanya Sekar saat Gilang sudah semakin mendekat mengikis jarak ke arahnya. Sekar bergeser mundur. Gilang sedang marah. Sekar tak ingin memberikan hak Gilang jika lelaki itu masih marah. Semakin Sekar mundur, lelaki itu semakin maju. “Jangan, Mas....” Sekar mendorong dada bidang itu menjauh darinya. Tapi, tenaga Sekar tak kuat untuk benar-benar membuat pria itu menjauh darinya. Mata perempuan itu menatap Gilang dengan tajam, meski dalam hatinya dia merasa takut. Sementara, sorot mata Gilang semakin menunjukkan kemarahan. “Kamu menolakku, ha?” bisik lelaki itu. Wajah pria itu semakin mendekat. “Mas, .jangan lakukan. Kamu sedang marah. Ini ibadah. Aku tak mau dipaksa,” cicit Sekar. Tangannya masih berusaha mendorong tubuh Gilang menjauh. Tapi, pria itu bergeming. Dia tak memedulikan ucapan Sekar. Dia terus maju dan mendekat, hingga mengikis jarak antara keduanya. “A—ku tidak mau kalau masih ada Sakina dalam pikiranmu,---” Lirih Sekar berucap. Mendengar kat
“Tapi secara agama kamu istriku. Aku berhak meminta hak darimu. Kecuali kalau kamu mau dilaknat malaikat sampai pagi! Aku yang berhak menentukan. Bukan kamu!” Geram lelaki itu berkata. Sekar yang sudah pindah duduk di kursi belajar itu menoleh. Ia membalas tatapan tajam lelaki itu, meski dalam hatinya sudah tahu, tak pantas dia membalas tatapan itu. Tapi, hatinya sudah kesal. Pria itu terlalu arogan. Apakah dia harus terus-terusan mengalah pada pria itu? Satu jam berlalu. Sepasang manusia berlainan jenis itu masih bergeming di tempatnya masing-masing. Gilang masih duduk di ranjang. Sementara Sekar masih duduk di kursi belajar. Sesekali Sekar menyusut lelehan air matanya. Dia tak kuat lagi menahan rasa sakit itu. Sisi lain hatinya mengakui memang dia yang salah. Dia yang memulai perdebatan itu. Tapi, sisi hati lainnya, dia menginginkan Gilang juga mengakui kesalahannya. Akankah pernikahan seumur jagung ini harus kandas karena ego masing-masing? Gilang sesekali melirik ke arah Sek
Gilang terbangun saat suara azan subuh sayup terdengar. Tangan kirinya mencari-cari sosok yang semalaman berada dalam dekapannya. Rasa bersalah membuatnya sulit mengatakan maaf, dibayarnya dengan sentuhan fisik, berharap Sekar akan luluh. Mata pria itu mengerjap. Dipindainya kamarnya. Tak ada Sekar. Padahal, semalaman dia tertidur sambil memeluk gadis itu. Kapan Sekar bangun? Gilang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat Sekar hendak keluar. “Bajunya di mana dijemur?” tanya Sekar. Gilang tertegun sejenak. Raut muka Sekar seperti mereka tak pernah terjadi apa-apa. Lalu, pandangan Gilang tertuju pada ember yang penuh dengan cucian yang sepertinya sudah selesai dicuci. “Nanti biar aku yang jemur habis dari masjid. Tempat jemurnya ada di atas,” ujar Gilang.Sekar hanya mengangguk. “Harusnya kamu nggak usah nyuci sepagi ini. Kita bisa nyuci bareng-bareng nanti,” tambah Gilang saat dia selesai wudhu, sambil mengelap wajahnya yang basah. Lelaki itu kemudian ganti dengan baju
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi