Bab 57 Tempat wisata yang akan mereka kunjungi selanjutnya adalah patung Sigale gale. Mereka ingin melihat atraksi patung yang manortor atau menari. Setelah membayar tiket masuk mereka memilih duduk di tempat yang telah disediakan. Agha selalu menggengam tangan Artha, ia tak ingin sang kekasih jatuh atau tertabrak orang seperti saat mereka akan ke Makam Batu Raja Sinabutar. "Kapan kamu berencana pulang Ai?" tanya Agha setelah memposisikan Artha tepat duduk di sampingnya. Jari tangan mereka masih saling terjalin. "Kamu sudah bosan denganku, Sepupu? Atau kamu merasa terganggu dengan kehadiran kami berdua?" bukan menjawab Aisyah malah bertanya balik. Perasaan selama mereka jalan-jalan ini tak pernah mengganggu Agha maupun Artha. Malah justru mereka berdua yang tak menganggap keberadaan Ucok dan Aisyah. "Bukan begitu maksudku, hanya saja apa bisa butikmu dihandle sama karyawanmu saja?" Sudah hampir seminggu Aisyah berada di Samosir dan butiknya tentu saja mungkin terbengkalai ka
Bab 58Dering ponsel membangunkannya. Mereka tidur cepat malam ini, selesai makam malam mereka hanya mengobral selama 30 menit dan memutuskan untuk membaringkan tubuh. Apalagi kasur yang empuk dan baru membuat mata langsung terlelap begitu tubuh menyentuh permukaan kasur yang lembut. Ia melirik jam yang ada di dinding kamar pukul 11.00 malam, ia merasa telah tidur berjam-jam padahal baru 2 jam saja memejamkan mata. Dering ponsel terus berbunyi mengharuskan ia bangkit, ia menyandarkan punggung di kepala ranjang dan meraih ponsel di atas nakas kemudian menggeser ikon berwarna hijau ke atas."Lo kemana aja sih, Gha? Udah dua bulan lo menghilang bagai ditelan bumi." Tanpa kata sapaan dan langsung to the point begitu panggilan diterima dan memunculkan wajah bangun tidur Agha."Lo lagi tidu
Bab 59Agha sedang memeriksa dokumen, tidak begitu banyak. Ia masih berada di dalam kamar bersama Artha yang sedang bermain game di ponsel. Mereka masih menghabiskan waktu di resort, tapi Artha sedikit kesal karena tidak ada yang bisa ia lakukan. Berbaring, menatap birunya danau dari jendela kamar, dan kemudian duduk atau berbaring lagi sambil bermain ponsel. "Apa pekerjaanmu sangat banyak?" tanya Artha tanpa menatap wajah Agha. Tangannya masih sibuk bermain game di ponsel. "Kenapa?" tanya balik Agha. Ia juga masih sibuk membaca dokumen dan sesekali melihat Mac-booknya. "Tidak apa-apa," desah Artha. Kini ia duduk mengambil cemilan, tapi memasukkan kembali ke tempatnya. Tak berminat untuk memakan cemilan itu. "Kamu bosan?" Tentu saja Artha bosan, ia seharian terkurung dalam kamar. Ingin keluar, tapi Agha melarang dan menahannya untuk tetap menemani di kamar, sementara ia bekerja dan Artha tidak ada yang dapat ia lakukan. "Seminggu yang lalu kamu sangat terburu-buru dan begitu tid
Bab 60Sesuai dengan ucapan Agha, hari ini mereka kembali ke Medan. Mereka berangkat sekitar pukul 8 pagi karena tidak ada yang perlu dikejar. Kini mereka sedang berada di jalan Limbong, Agha mengambil jalan via Tele agar tidak terlalu lama menunggu kapal ferry saat penyeberangan dari Tomok ke Parapat. Saat sampai di persimpangan Agha malah belok kiri yang seharusnya belok kanan jika ingin menuju Medan. "Lho, kita mau kemana?" tanya Artha saat sadar mobil telah ke lain arah. "Kamu tadi bilang mau melalui Tele saja untuk ke Medan, kenapa malah berbelok?" lanjutnya penuh kebingungan. "Kita mau ke suatu tempat," jawab Agha. Artha tak mau membantah dan mengikut saja kemana Agha akan membawanya. Karena ia tak ingin berdebat yang membuat konsentrasi menyetir Agha jadi terganggu. Karena Artha tidak bisa menggantikan Agha menyetir sebab ia tak bisa mengemudi. Ia memilih menyalakan musik dan memilih lagu yang enak untuk di dengar dan pilihannya jatuh pada lagu "Bulani do gabe saksi, Di Topi
Bab 61"Pesan dari siapa?""Dari Mitha, besok mau ajak ketemuan.""Gimana kabar dia?""Sepertinya dia sudah mulai membaik."Artha meminta Agha untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Medan. Sebenarnya mereka sudah istirahat tadi di Merek sambil makan siang. Hanya saja Artha tidak tega melihat wajah Agha yang sudah mulai kelelahan, menyetir sendirian tanpa ada yang mengantikan.Lebih baik mencegah daripada mengobati, jika dipaksakan lanjut perjalanan, Artha takut terjadi sesuatu pada mereka akibat Agha kelelahan. Lagian mereka beristirahat di Panatapan Sibolangit. Sambil menyelam minum air, sambil istirahat mereka jug
Bab 62Artha memindai sekitar Ring Road point, tempat makan dengan konsep foodcourt. Tempat makan dan nongkrong anak muda juga ada tempat bermain anak. Yang terletak di Jalan Gatot Subroto No. 175, Sei Sikambing B, pas depan mall Manhattan Times Square. Tempat ini menyajikan berbagai jenis makanan dan minuman. Mulai dari western, Japanese, Asia, dan Indonesia. Tempat makan ini juga menyediakan spot foto selfie dengan pemandangan keren langsung menghadap ke mall Manhattan Time square, serasa lagi di Manhattan beneran. Untuk lahan parkir cukup luas di tempat ini. Setelah melihat di mana Mitha duduk barulah ia melangkah menghampiri Mitha yang tengah memainkan ponsel. Mungkin untuk mengusir rasa bosan akibat menunggu, wajah Mitha sudah mulai tampak cerah tidak sepucat dulu saat baru keluar dari rumah sakit seminggu lalu. "Sudah lama?" tanya Artha sembari mendaratkan bokong di bangku tepat depan Mitha. Mitha melihat wajah Artha yang berseri kemudian pindah ke bibir Artha, tampaknya gad
Bab 63Pramusaji telah pergi setelah mengantar kentang goreng yang mereka pesan. Artha kembali menyeruput jus jeruk yang tinggal setengah dan memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya. "Kau mau ngapain ajak aku ketemuan. Di luar pula bukan di rumah kau. Apa gak marah mertuamu kau lama berada di luar?" tanya Artha pada Mitha yang sedang memakan kentang goreng juga. "Ada hal penting yang harus aku sampaikan secara empat mata samamu. Makanya aku ajak kau ketemu di sini. Kalau kita ketemu di rumah akan banyak telinga yang mendengar." "Cepatlah kau bilang, bukan aku tak suka jumpa samamu, tapi kasihan kau lama di luar dan mertuamu nanti kewalahan ngurus anak-anakmu," ucap Artha memperingatkan. Mitha menarik nafas dalam dan membuangnya secara perlahan sebelum memulai ceritanya. Ia juga menghitung satu sampai sepuluh agar lebih siap menyampaikan akar permasalahan retaknya hubungan persahabatan mereka. Kesalahpahaman yang tidak menemukan jalan keluar. Mitha tak pernah bisa memberi penje
Bab 64"Apa kamu tidak tahu ada orang lain di rumahmu saat itu selain kita?" tanya Artha. Mitha mencoba mengingat kembali, karena kejadian itu sudah lama tepatnya delapan tahun yang lalu. Ia memejamkan mata kebiasaan dia jika ingin mengingat sesuatu, keningnya mengkerut tanda ia sedang berpikir keras. "Seingatku tidak ada. Karena saat itu bapak dan ibu sedang ada urusan. Itu sebabnya aku meminta kalian untuk datang ke rumah saja membahas pembangunan restoran," jawab Mitha. "Atau mungkin ibumu tidak jadi ikut pergi dan kembali ke rumah. Ia tak sengaja mendengar percakapan kita. Atau bisa saja ibumu sudah merencanakan semuanya dari awal." "Maaf, bukan maksud menfitnah ibumu," lanjut Artha dengan nada rendah. Mitha menarik napas kemudian mengeluarkan secara perlahan, "aku juga berpikir demikian." "Bagaimana ibumu bisa mengambil uang yang telah ditransfer ke rekeningmu?" tanya Artha. Seseorang tidak akan bisa mengambil uang dari rekening begitu saja. Kecuali ia mengetahui pin si p