“Kenapa harus ketemua sama dia lagi?! Astaga, dunia sempit banget,” gerutu Indi dengan pelan agar Wijaya ataupun orang yang ada di sana tidak mendengarnya.
“Indi. Ini, Damian. Katanya kalian sudah saling kenal,” kata Pradipta kepada Indi. Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Ng—nggak, Om. Aku nggak kenal sama dia.” Indi meringis pelan seraya melirik Damian. “Walaah. Kata Damian, kalian satu kampus dulu?” Indi terdiam dan hanya memberikan cengiran kepada calon mertuanya itu. Sementara Damian hanya menyunggingkan senyum. Tidak ingin membahas dengan detail, bila mereka memang sudah saling kenal bahkan satu kampus di dua tahun yang lalu. “Jadi begini, Indi. Damian ini, anak bungsu saya. Saya dan papa kamu sudah merencanakan perjodohan ini enam bulan yang lalu setelah Damian ditinggal pergi oleh istrinya.” “Heeuhh?” Indi menoleh ke arah Satya. “Duda?” tanyanya kemudian. “Sial! Gue … nikah sama duda?” Indi meringis lemas. “Di mana, istri elo? Kenapa harus nikah sama gue? Kenapa nggak coba balik lagi sama istri elo?” Indi bertanya dengan nada sinisnya. “Indi.” Wijaya berucap dengan pelan. “Istri Damian sudah meninggal dunia karena kecelakaan satu tahun yang lalu.” Indi mengatup bibirnya setelah mendengar penjelasan sang papa. “Ooh!” ucapnya pelan. “Kalian bisa saling mengenal satu sama lain setelah menikah nanti. Kalau bisa, bulan depan langsung menikah saja,” ucap Pradipta yang sepertinya sudah tidak sabar ingin menikahkan anaknya dengan Indi. Perempuan itu kemudian menolehkan kepalanya pada Pradipta. “What? Bulan depan? Cepet amat!” ucapnya terkejut. “Kita bisa siapkan dari sekarang, Indi. Usia kamu juga sudah cukup matang. Apa lagi yang kamu cari, Indi? Sudahlah, berhenti foya-foya, pergi ke bar, mabuk dan lainnya. Sudah waktunya kamu membina rumah tangga. Papa sudah tua, Papa hanya ingin melihat kamu menikah. Sudah … itu saja.” Wijaya berucap dengan sangat pelan. Memelas, supaya Indi mau menerima perjodohan itu. Benar-benar jodoh yang dipilihkan oleh sang papa untuknya. Tidak pernah ia sangka, rupanya Wijaya berhasil menjodohkannya dengan pria pilihan lelaki itu. **Satu bulan berlalu ….Pernikahan itu benar-benar terjadi. Keduanya telah mengikat janji suci setelah Indi ‘terpaksa’ menerima perjodohan itu. Bukan karena dia ingin apalagi ingat umur, hanya karena tidak enak hati kepada sang papa yang memohon-mohon agar mau menerima perjodohan itu. Di malam itu pula, Indi pindah ke rumah yang sudah disediakan oleh Pradipta sebagai hadiah pernikahan dan juga ucapan terima kasih kepada perempuan itu karena mau menikah dengan Damian—anak bungsu harapan satu-satunya Pradipta yang akhirnya senang melihat Damian mau menikah lagi setelah melepas kepergian Rachel. “Sialan! Ini mimpi buruk bukan sih? Gue, nikah sama dugong satu itu? Astaga! Kenal dari mana sih, papa gue sama keluarganya Damian. Aah! Bikin hidup gue nggak tenang kalau begini ceritanya,” gerutu Indi yang masih belum menerima takdirnya harus berjodoh dengan Damian. “Mana kejadian di malam itu bikin gue shock juga.” Indi mengeluh lesu. Sungguh, nasib seperti ini benar-benar membuatnya tak karuan dan malu sendiri menghadapinya. Tak lama kemudian, Damian masuk ke dalam kamar itu lalu mengulas senyum kepada sang istri yang tengah berdiri di tepi tempat tidur.“Ma—mau ngapain lo, ke sini?” tanya Indi gugup. Selama satu bulan lamanya Indi berpikir dengan keras dan masih belum bisa menerima kenyataan bila dirinya akan menjadi istri Damian Kusuma—seorang duda ditinggal pergi selamanya oleh istrinya itu.Keadaan seperti ini membuatnya canggung bahkan tidak mau menartap Damian sekali pun. Ia benar-benar seperti terjebak dalam situasi yang amat rumit ini. “Damian … lebih baik elo tidur. Gu—gue nggak … gue belum siap,” ucap Indi memohon kepada Damian agar jangan menyentuhnya di malam itu. Damian mengenyitkan dahi. “Kenapa? Kalau alasannya karena datang bulan, aku akan memaklumi. Tapi, kalau alasannya karena capek, itu bukan alasan. Aku juga sama capek! So, kamu mau pakai alasan yang mana?” tanyanya ingin tahu. ‘Gue nggak mau Damian tahu kalau gue punya kelainan juga. Hormon gue akan naik drastis kalau disentuh Damian. Ini nggak boleh terjadi. Dia nggak boleh tahu kalau gue lihai dalam segalanya,’ ucapnya dalam hati. Bahkan, ia tidak mampu menatap tubuh kekar Damian yang sengaja tidak mengenakan apa pun, bertelanjang dada dan itu membuat Indi risi dibuatnya. “Dulu, kamu terkenal binal dan tidur dengan berbagai pria adalah salah satu hobi kamu. Lantas, kenapa tidur denganku malah tidak mau?” tanya Damian meminta penjelasan kepada Indi yang terus menolaknya. Indi menelan salivanya dengan pelan. “Tahu dari mana? Hoax itu, Damian. Mana ada! Nggak … gue nggak pernah tidur dengan berbagai pria!” ucapnya menyangkal ucapan Damian. Pria itu tersenyum miring. “Lantas, kenapa sudah longgar saat kita bercinta satu bulan yang lalu? Siapa yang sudah merenggut kesucian kamu?” tanya Damian mendesak Indi agar jujur saja kepadanya. Indi menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengeluarkannya lagi. ‘Makin malu deh gue! Kenapa juga gue oon, dia kan udah tahu dan udah ngerasain. Ketahuan bohong kan, gue.’ Indi menggerutu dalam hati. Sungguh, perempuan itu tengah dibuat malu oleh suaminya sendiri. Seraya mengembuskan napas panjang, Indi menatap Damian dengan tatapan dalamnya. “Oke! Tapi, kalau elo kalah sebelum perang, jangan pernah minta itu lagi ke gue!” tantangnya kemudian.“Apa yang kamu katakan, Indi? Bukankan kamu sudah pernah merasakan keperkasaanku?” “Saat itu gue lagi mabuk, Damian. Mana tahu rasanya kayak gimana. Nggak usah aneh-aneh deh, lo!” ucapnya menyangkal dan memang kenyataanya Indi hanya merasakan tubuhnya remuk seperti baru kerja rodi tujuh hari tujuh malam saat bangun dari tidurnya kala itu.Damian terkekeh pelan. “Baiklah. Kita mulai saja sekarang. Agar kamu tahu, bagaimana permainanku yang akan membuatmu lemah tak berdaya.”Indi mengendikan bahunya. “Silakan! Gue nggak takut tuh!” ucapnya menantang dengan mata menatap wajah Damian yang terlihat begitu tenang akan tetapi menyimpan banyak kekesalan kepada istrinya itu.“Shit!” Damian lantas meraup bibir perempuan itu dengan penuh. Ingin memperlihatkan kalau dirinya bisa menjadi suami yang mampu memberikan hasrat yang ada di dalam diri perempuan itu.“Ready to our first night?” bisik Damian dengan suara halus nan menggoda.Usai puas menciumi bibirnya, bibir itu turun ke bawah. Menikmati setiap jengkal demi jengkal kulit putih milik sang istri. “Damian … oh my God!” raung Indi sembari meremas sprei lantaran sentuhan Damian yang begitu panas dan membuatnya bergairah hebat. Damian tersenyum menyeringai. “Satu tahun sudah, aku tidak pernah menyentuh perempuan. Akhirnya bisa menyentuh lagi dan tentunya istriku sendiri.” “Oh, yaa? Kenapa nggak nyari perempuan lain di luaran sana? Lemah!” ledeknya kemudian. Damian tersenyum tipis. “Terserah, mau bilang apa, i don’t care! Yang penting saat ini, kamu menjadi milikku dan aku tidak akan pernah melepasmu!” ucapnya kemudian mengisap pucuk dada perempuan itu penuh nafsu. “Arrghh!” pekik Indi seraya membusungkan dadanya dengan spontan. Damian benar-benar membuatnya menggila. Lelaki itu memang hebat hingga berhasil membuatnya mabuk kepayang. Indi sudah masuk dalam perangkap lelaki yang berhasil membuat hasratnya menggila. Lima belas menit melakukan pemanasan, Da
Indi terdiam seraya menatap Damian dengan tatapan datarnya. “Bukan karena Rangga. Nggak usah bahas dia lagi kalau elo emang mau gue nurut sama elo!” Dengan sengaja, Damian kemudian melingkarkan tangan kekarnya di pinggang ramping perempuan itu. Hingga membuat Indi ingin sekali menghajarnya detik itu juga. “Istirahatlah, sudah malam. Besok pagi, aku punya kejutan untukmu,” ucapnya kemudian mencium pipi kiri sang istri dan melangkahkan kakinya dengan santai ke tempat tidur. Indi menghela napasnya dengan pelan lalu menghampiri Damian yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Mau ke mana dan jam berapa?” tanya Indi ingin tahu. “Rahasia!” ucapnya dengan lembut. “Have a nice dream, Hone!” ucapnya kemudian mengulas senyumnya. Indi kemudian menyunggingkan bibirnya seraya menatap Damian. “Kayaknya elo seneng banget, nikah sama gue? Aneh, lo!” ucapnya kemudian memutar bola mata. Damian hanya menyunggingkan senyum dengan mata sudah tertutup. Tidak peduli dengan ucapan sang is
Sementara Damian tengah packing pakaian miliknya, Indi menatap datar wajah suaminya itu sembari menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di dada. “Extided banget yang mau bulan madu!” ucapnya kemudian mengambil sebuah kotak kecil di dalam lacinya. Mata itu memicing dan menoleh cepat ke arah sang istri. Yang mana rupanya perempuan itu mengambil rokok serta korek api di dalamnya. Dengan cepat Damian lantas beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan itu. “Apa-apaan kamu ambil ini? Kamu … perokok?” Damian bertanya seraya mengambil rokok itu di tangan sang istri. “Emang kenapa kalau gue perokok? Elo udah tahu dunia gue kayak gimana, kalau mau jadiin gue istri elo, harus nerima gue apa adanya, right?” “Yaa tapi nggak harus merokok juga, Indi. Kamu dengar kan, permintaan papa aku dan papa kamu apa tadi? Cucu! Kamu nggak boleh merokok lagi karena ini akan menyeba—““Gue nggak mau punya anak dulu, Damian! Apalagi sama elo yang sama sekali nggak gue cinta!” seru Indi berucap denga
Tangan kekar milik Damian meluncur mulus di atas paha sang istri dengan mata menatap dengan lekat wajah Indi. “Katakan dengan jujur. Kamu … sering bermain dengan mulutmu yang seksi ini?” tanyanya sembari mengusapi bibir itu.“Mau ngapain lo? Nyuruh gue lakuin hal itu di sini?” tanya Indi kemudian.Damian mengangguk seraya menatap Indi. “Ya. Lakukan sekaraang juga!” titahnya seraya membuak celana pendek yang ia kenakan itu. Pusaka itu sudah berdiri tegak menantang Indi yang langsung terpusat padanya. “Lakukan atau aku akan mengurungmu!” ancamnya sungguh-sungguh. Indi berdecak pelan seraya menatap malas pada suaminya itu. “Kenapa? Pasti sudah biasa kan, melakukan itu? Kenapa dengan suamimu sendiri tidak mau?” “Bukan nggak mau, Damian. Ini di pesaw—““I don’t care! Bahkan, kalau kamu mau, di tempat umum aku tidak peduli! Agar semua orang tahu kalau kamu adalah milikku!” Indi tersenyum miring mendengarnya. “Gilak! Elo gila, Damian.”“Karena kamu lebih gila dariku. Jangan banyak alas
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah pulau terpencil yang ada di Chicago, Amerika Serikat. Yang mana hanya ada satu villa di sana sesuai dengan yang disebutkan oleh Damian kepada Indi. Hanya ada mereka berdua di sana dan bisa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Indi geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan indah yang ada di depan matanya itu. “Damn! So beautiful,” ucapnya memuji kecantikan pemandangan di sana. Damian tersenyum mendengar ucapan dari istrinya itu. “Aku senang, setidaknya kamu tidak kecewa karena mengagumi keindahan di sini. Semoga betah, Indi.”Perempuan itu lantas membalikkan tubuhnya kemudian melipat tangan di dadanya, menatap datar wajah Damian yang tengah berdiri tepat di depannya. “Ya. Harus kasih poin plus setidaknya gue nggak kabur dari sini kalau pemandangannya membosankan,” ucap Indi kepada sang suami. Damian mengulas senyum tipis. “Enjoy, Indi. Jangan minta yang aneh-aneh karena di sini tidak ada mall atau apa pun itu.”“Lalu, kalau lapar g
“Ada apa, Indi?” tanya Damian dengan suara lembutnya. Mata penuh gairah itu menatap Indi yang tengah mengatur napasnya. Indi menggelengkan kepalanya. “Nothing,” ucapnya parau. Seolah tengah menutupi gairah yang telah hadir dalam dirinya. Damian kemudian menyunggingkan senyum. “Enjoy!” ucapnya lalu menarik tubuh Indi dan meraup dua gundukan kenyal yang sedari tadi ingin dipuaskan. Spontan, perempuan itu membusungkan dadanya. Kepalanya terangkat ke atas dengan tangan meremas rambut hitam nan lebat milik sang suami. Tidak kuasa menahan gejolak gairah yang sudah hadir di dalam dirinya atas permainan luar biasa yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “Arggh … Damian!” pekik Indi tak kuasa menahan segala permainan yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “You so … arrgghh!” pekiknya lagi.Bukan Indi namanya kalau tidak berisik dan melontarkan kata-kata luar biasa yang dikeluarkan olehnya kala bercinta. Selalu begitu dan Damian sudah sangat hafal dengan istrinya itu. Dan tentunya Damian sanga
Dengan langkah santainya Indi keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Indi?” panggil Damian dengan suara menekan. Matanya menatap tajam wajah istrinya itu lalu menghela napasnya dengan panjang.“Heung?” ucapnya datar tanpa menatap lelaki itu. "Kenapa muka elo kusut kayak gitu?" tanyanya merasakan keanehan pada raut wajah Damian kala menatapnya.“Apa maksud kamu meminum pil kontrasepsi?” tanya Damian meminta penjelasan Indi. "Kenapa kamu menunda kehamilan, Indi? Apa yang membuat kamu menjaganya, huh?"Perempuan itu lantas menghentikan acara mengeringkan rambutnya itu. Lalu menatap Damian yang tengah memegang pil tersebut. Ia pun menghampiri sang suami dan mengambil pil tersebut. Akan tetapi, begitu kuatnya Damian memegang pil tersebut, lantas tidak bisa diambil begitu saja. “Mau elo apakan pil KB gue, Damian? Nggak usah nanya kenapa gue pakai pil KB. Elo udah tahu jawabannya dan nggak perlu gue jelasin!” ucapnya menantang. Damian menghela napasnya. Men
Belum mendengar jawaban dari Damian, perempuan itu kemudian menggeser tombol hijau untuk mencari jawaban siapa perempuan yang menghubungi suaminya itu. “Indi … a—aku bisa jelasin.” Indi menahan tangan Damian yang hendak mencegah Indi menerima panggilan tersebut. “Damian … kamu di mana? Kenapa nomor kamu baru aktif dan … dan kenapa kamu menghilang gitu aja?” tanyanya dengan lemas bahkan bisa dibilang hendak menangis. Indi kemudian menyalakan loudspeaker agar Damian mendengar semua ucapan yang diucapkan oleh Cindy di dalam panggilan tersebut. “Damian ….” Cindy menghela napasnya dengan pelan. “Aku tahu, aku salah. Tapi, nggak seharusnya kamu pergi gitu aja dan nggak mau maafin aku. Aku janji, nggak akan mengulangi hal itu lagi. Aku janji, Damian,” ucapnya lirih—memohon agar Damian mau memaafkan entah salah apa perempuan itu hingga memohon agar dimaafkan oleh Damian. “Kamu ke mana? Sudah tiga hari ini kamu tidak masuk kantor. Aku tanya ke sekretaris kamu, katanya kamu lagi cuti meni
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.