Malam hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Indi tengah menunggu kepulangan Damian yang katanya sudah dijalan.“Kenapa, Nda?” Indi menerima panggilan dari sahabatnya itu.“Indiraaaa! Bener apa kata elo, Indiraaa!”Indi menjauhkan ponselnya karena Manda yang berteriak di dalam panggilan tersebut. “Berisik, setan! Kenapa sih lo? Kayak orang gila baru gila aja lo, teriak-teriak gak jelas.” Indi memarahi Manda.“Indira. Dengerin gue baik-baik.”“Gue dengerin,” ucap Indi pelan.“Rhea … ternyata beneran hamil, Ndi.”Spontan Indi bangun dari duduknya. Mulutnya menganga mendengar ucapan Manda tentang Rhea yang memang benar bila perempuan itu tengah hamil. “Serius, Manda? Elo nggak lagi mabuk, kan?”“Nggak, Indi. Besok, kita ke rumah Rhea kalau elo nggak percaya. Gue juga tahu dari nyokapnya, tadi ketemu di mall. Tadinya Tante Winda mau nemuin si Brandon. Tapi, dilarang sama Rhea. Katanya, Rhea masih mampu urus anak sendiri. Nggak butuh Brandon yang udah nikah sama pilihan
“Sebenarnya aku paling males dengerin penjelasan kalau udah ada bukti kayak gini—““Indi. Aku mohon, tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Aku akan menjelaskan dengan detail pada kamu, Indi.” Damian menggenggam erat tangan Indi karena tidak ingin Indi salah paham kepadanya.“Dua menit!” ucap Indi memberi kesempatan kepada Damian.“Itu foto lama sebelum kita menikah. Sekitar enam bulan yang lalu. Dia sendiri yang datang ke sana dan kata Diego, sebenarnya yang aku sebutkan itu bukan nama dia, tapi nama kamu. Kamu bisa telepon Diego sekarang juga kalau masih tidak percaya.”Tanpa bernapas lagi, Damian menjelaskan dengan detail tentang foto tersebut. Indi lalu menatap foto itu lagi seraya menghela napasnya dengan panjang.“Nggak masalah kalau hanya masa lalu karena aku nggak ada hak untuk marah-marah. Karena aku dengan Rangga dulu jauh lebih parah dari ini. Kalau kamu melihatnya, pasti bakalan geleng-geleng kepala.” Indi kemudian masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Damian yang masih dudu
Indi kembali melangkahkan kakinya menuuju lift setelah diberi tahu ruangan Diego dan sekretarisnya itu.“Itu bukannya istrinya Pak Damian? Astaga, pakaiannya. Udah kayak ngajak tidur,” ucap salah satu staff yang mengenali Indi.“Mungkin semalam nggak dikasih jatah makanya nyusul kemari buat kasih jatah ke suaminya.”Dan lain-lainnya lagi membicarakan Indi karena penampilan luar biasa Indi di hari itu. Kedua kalinya masuk ke kantor Damian dan untuk yang kedua kalinya ini karena ingin menemui Cindy.“Ketemu juga.” Indi lalu membuka kacamata hitamnya yang masih ia kenakan itu.“Mau ngapain lo ke sini? Pakai baju kurang bahan, nggak sopan! Elo tahu kan, pengaruh elo di sini?” Cindy memarahi Indi karena menghampirinya dengan mengenakan pakaian kurang bahan itu.Indi lantas tertawa mendengarnya. “Elo mengingatkan siapa gue di sini. Tapi, elo sendiri nggak menganggap gue siapa gue sebenarnya. Masih mencoba ganggu rumah tangga gue dengan Damian lalu mengirim foto busuk elo ini ke rumah gue!”
“Are you ready?” tanya Damian setelah ia melepas celana yang masih ia kenakan itu.“Sure!” jawab Indi lalu mengusap miliknya seraya menatap Damian dengan tatapan penuh nafsu. Mata sayu yang menantang Damian agar segera menyentuhnya.Satu persatu berkas yang ada di atas meja turun berantakan di bawah karena ulah mereka yang bercinta di atas meja kerja. Namun, keduanya tidak mengindahkan hal tersebut sebab nafsu masing-masing lebih penting untuk dituntaskan.Damian kembali menarik tubuh Indi. Meraup bibir itu dengan penuh juga jari jemarinya mengoyak lubang sensitive di bawah.“Oh! Damian ….” Indi mengerang hebat. Kepalanya mengadah ke atas lalu mendesah kembali. Udara dingin yang dikeluarkan oleh AC nampaknya tidak membuat mereka kedinginan. Yang ada suhu panas tengah mereka rasakan.Damian kembali mengisap pucuk buah dada milik Indi satu persatu. Meninggalkan jejak cintanya di sana sembari mengusapi liang kehangatan itu dengan lembut. Indi tidak bisa berkutik. Damian terlalu lihai bah
“Damian?” panggil Indi setelah lelaki itu menghentikan aksinya yang sedari tadi membuatnya gila.“Heum? Apa lagi, Honey?” tanya Damian dengan napas yang terengah-engah.“Aku duluan.” Indi lalu mendorong tubuh Damian dan mendudukkan pria itu di atas sofa. Lalu, Indi naik ke atas paha lelaki itu dan menyatukan dirinya di bawah sana.“Eeuumpph ….” Indi mendesah pelan kala miliknya masuk sempurna di bawah sana. Penuh, dan itu membuat Indi sedikit sesak. Ia kemudian menaik-turunkan tubuhnya. Melajukan temponya dengan tangan memegang kedua bahu Damian.Lelaki itu ikut menggoyangkan tubuh Indi dengan memegang pinggang ramping sang istri lalu memompanya. Tangan kekar itu berhasil membuat Indi tidak perlu menggoyang dengan tenaganya. Sebab dengan tangan Damian pun ia sudah bergerak naik dan turun.“Euumhh ….” Indi kembali mendesah. Lalu menggigit bibir bawahnya seraya menikmati setiap goyangan dan dia lakukan di atas tubuh Damian.Lalu keduanya saling berciuman. Indi melingkarkan keduanya tang
“Kenapa lo? Kayak baru pernah lihat cewek bugil aja!” sengal Indi lalu menyunggingkan bibirnya.“Ganti agama, lo?” sengal Damian kesal.“Oh, iyaa. Lupa, Damian. Nih! Bajunya. Suruh dipake sebelum ada orang lain yang lihat.” Diego memberikan paper bag kepada Damian lalu keluar lagi dari ruangan tersebut.Damian kembali menutup pintu tersebut dan memberikan baju yang dibelikan oleh Diego kepada Indi. “Cepat pakai, Indi. Jangan sampai ada orang lain yang melihat tubuh kamu ini.”Indi kemudian mengerucutkan bibirnya lalu mengambil baju tersebut dan segera mengenakannya.“Tahu aja, ukuran baju aku.”“Karena ukuran baju kamu dengan Manda hampir sama. Makanya tahu, dengan ukuran baju kamu.”Indi manggut-manggut dengan pelan lalu menatap Damian dengan tatapan lekatnya. “Damian. Aku mau tanya sama kamu.”“Tanya apa, Sayang?”Indi menghela napas kasar. “Sebenarnya kamu pernah cinta atau tidak pada Cindy? Kenapa dia ngebet banget pengen miliki kamu?”Damian menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak.
Bulan keempat bulan pernikahan Damian dan Indi. Melewati hari-hari dengan segala macam cobaan mereka lalui. Tidak bisa dikatakan berjalan dengan baik karena selama empat bulan itu ada saja masalah yang datang menghampiri mereka.Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Malam itu, Damian belum juga pulang dari kantor dan entah apa yang sedang dia lakukan di sana.Indi yang sabar menanti itu masih duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton film dan juga snack kesukaannya. Tak lama setelahnya, dering ponselnya berbunyi, ia kemudian menoleh dan menerima panggilan tersebut.“Kenapa, Nda?” tanya Indi pelan.“Besok, Kak Novia sama Kak Moses mau fitting baju. Bisa, kan? Elo nggak ke mana-mana, kan?”“Nggak. Besok gue free. Ya udah, suruh datang aja ke butik. Jam berapa?”“Paling juga jam sepuluh siang.”“Oke.” Indi menutup panggilan tersebut lalu menatap jam di layar ponselnya. “Udah mau jam satu. Si Damian masih ngapain sih?” gumamnya lalu berdecak pelan.Baru saja ia mematikan televis
Keesokan harinya ….“Indi? Indiraaa?” Manda menggoyang-goyangkan bahu Indi karena sedari tadi tampak melamun dan tidak tahu apa yang tengah dia lamunkan.Sedikit terperanjat, perempuan itu menoleh kepada Manda. “Heuuh?” tanyanya dengan pelan.“Elo kenapa? Dari tadi kayaknya melamun terus. Ada apa, Indi?” tanya Manda dengan pelan. “Kak Moses sama Kak Novia udah mau sampai. Bajunya ada di kamar, kan?”Indi menganggukkan kepalanya. “Iya. Ada di kamar.”“Elo kenapa gue tanya.” Manda kembali bertanya mengenai Indi.Indi menghela napas kasar lalu menggeleng pelan. “Nggak ada. Cuma lemes aja.”“Lemes kenapa sih? Belum sarapan? Indi, cerita sama gue. Jangan kayak Rhea ngapa sih, lo!”Indi tersenyum tipis kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Dua hari yang lalu gue coba tes kehamilan pakai tespack. Ternyata garis satu. Dan Damian nemuin tespack itu di tempat sampah. Nggak tahu ngapain juga dia ngorek-ngorek sampah. Dia marah sama gue.”“Yaa elo juga aneh, Indi. Elo kan tahu kalau Damian ba
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.