Kevin menghela napas berat. "Saya tidak bisa menjelaskannya. Kita lihat saja nanti.""Kapan?" tanya Jasmine kembali."Setelah waktunya tiba."Jasmine berhenti bertanya. Sampai mulutnya berbusa pun, Kevin tidak akan mau menjelaskannya. Hanya bisa menunggu waktunya tiba. Dan Jasmine tak tahu kapan itu akan terjadi.Makan siang itu akhirnya selesai. Kevin dan Jasmine bergegas pergi ke mall. Di mana mereka akan belanja semua kebutuhan yang dibutuhkan oleh Jasmine."Pokoknya, apa pun yang ingin kamu ambil, ambilah. Jangan sungkan apalagi ragu," ucap Kevin setelah akhirnya mereka tiba di mall terdekat."Baik, Mas. Terima kasih sebelumnya."Kevin terdiam. Matanya fokus menatap pakaian tidur milik perempuan. Melihat beberapa motif yang dipajang di dalam sana. Kemudian, Jasmine mengambil baju tersebut dan memperlihatkan kepada Kevin."Mas mau suruh saya pakai lingerie seperti ini?" tanya Jasmine sambil mengadahkan lingerie tersebut kepada Kevin."Taruh kembali!" titah Kevin dengan lemas. "Kamu
Justin kembali tersenyum kepada Kevin yang sedari memegang kepalanya sambil menunduk. Sementara Jasmine mendengarkan secara saksama. Ucapan Justin yang berhasil membuat Jasmine kembali ragu akan perasaan Kevin untuknya."Jasmine. Kamu tenang aja. Kalau Kevin berani berkhianat, aku akan datang untuk mengobati luka yang sudah Kevin torehkan ke kamu. See you." Justin melambaikan tangannya kepada Jasmine sambil mengulas senyumnya.Kevin dan Jasmine saling terdiam. Meresapi setiap ucapan yang diucapkan oleh Justin tadi.'Aku akan mengalah, jika Arshi yang membutuhkan Mas Kevin. Tapi, aku juga bisa berontak, kalau dia lebih mementingkan Mbak Desi daripada aku,' ucapnya dalam hati.Hingga makanan tiba. Jasmine mendehem pelan. Kemudian berinisiatif untuk menyuapi Kevin. "Jangan terbawa suasana sama ucapan Pak Justin tadi. Mas Kevin punya rasa tersendiri. Jika memang tidak ada ruang di hati Mas Kevin untuk saya, ya sudah. Mau gimana lagi."Kevin menoleh pelan ke arah Jasmine yang sedang mengad
Jasmine menyimpan ponselnya di atas meja. Dan lagi, Dewi menatap layar ponsel tersebut."Kenapa nggak pake foto pernikahan kalian? Malah gambar kucing yang kamu pajang. Kucing ... suami kamu?""Ribet hidup kamu, Dew. Nggak perlu pajang foto pasangan di HP kita. Karena, belum tentu pasangan kita pajang foto kita juga." Jasmine memutar bola matanya dengan malas.Ting!Pesan masuk dari Andrian.Pak Andrian: [Ada. Jam lima sore nanti. Mungkin akan pulang agak malam. Ada apa?]Jasmine: [Nggak apa-apa, Pak. Cuma mau tanya saja. Terima kasih atas jawabannya, Pak Andrian. Selamat bekerja.]Jasmine kembali menyimpan ponselnya di atas meja.Sementara di ruangan Kevin. Rupanya, Andrian tengah berada di ruangan tersebut. Sedang membahas pekerjaan dengan bosnya itu."Dia hanya bertanya, Pak. Mungkin, ingin menyiapkan sesuatu untuk Anda. Maka dari itu, dia bertanya," kata Andrian sembari memperlihatkan isi pesan dari Jasmine.Kevin hanya terdiam. Ia jadi kepikiran. Tiba-tiba Jasmine menanyakan ada
Di rumah sakit.Jasmine tengah menunggu Kevin yang sedang diperiksa oleh dokter yang biasa menangani kondisi Kevin. Menunggu di kursi besi bersama dengan Andrian. Ia menangis sendu, memikirkan kondisi sang suami yang masih dalam pemeriksaan.Andrian melirik ke arah Jasmine. Setelahnya, ia menepuk pundak perempuan itu dengan kaku. Jasmine menoleh sambil terisak."Pak Andrian pasti tahu, kenapa Mas Kevin bisa seperti itu. Dia berteriak brengsek, pengkhianat. Setelah itu, matanya melotot, tubuhnya kaku, terus kejang. Kenapa, Pak? Kenapa dia seperti itu? Apa yang terjadi pada suami saya, Pak?"Jasmine mencecar dengan beberapa pertanyaan kepada Andrian. Berharap pria itu mau membuka suara, kemudian memberi tahu tentang semuanya. Tentang kondisi Kevin yang sebenarnya."Saya pikir kamu sudah tahu. Harusnya kamu tahu," kata Andrian dengan pelan.Jasmine menggeleng. "Kalau saya tahu, mana mungkin saya nanya ke Bapak. Saya tidak akan banyak tanya. Satu lagi. Dia meminta saya menghubungi Pak And
Jasmine tertawa campah saat mendengarnya. "Mencintai Mas Kevin? Sudah saya lakukan, Dok. Tapi, buktinya masih gagal," ucapnya penuh kecewa. "Mas Kevin masih mencintai Mbak Desi, Dok. Sulit untuk bisa masuk ke dalam hatinya Mas Kevin."Dokter menerbitkan senyumnya, lalu terkekeh dengan pelan. "Kamu salah, Jasmine. Justru, Kevin sedang berusaha membuat kamu jatuh cinta padanya."Jasmine menoleh dengan cepat ke arah Dokter Fadil. "Hah?"Jasmine tersenyum pasi mendengar ucapan Dokter Fadil. Ia kembali menatap pria itu, kemudian mengulas senyumnya dengan lebar."Sejak pertama kali saya menjadi istrinya Mas Kevin, saya sudah mencintainya, Dok. Dia yang tidak bisa melihat dan merasa jika perasaan ini sebenarnya sudah ada untuk dia." Jasmine menghela napasnya dengan panjang."Hati Mas Kevin masih tertutup. Masih belum siap untuk dibuka lagi. Padahal, yang akan masuk ke sana adalah istrinya sendiri," kata Jasmine kembali bersuara.Dokter Fadil menangkup dagu dengan kedua tangannya. Menatap Jas
"Nggak apa-apa, Mas. Saya paham. Dan ... saya harap Mas Kevin bisa melupakan itu semua. Saya bukan Mbak Desi, Mas. Saya Jasmine. Lihat saya sebagai masa depan Mas Kevin, bukan terus menatap masa lalu Mas Kevin."Saya memang menjadi nomor dua yang masuk dalam hidup Mas Kevin. Tapi, saya juga punya hati dan perasaan yang bisa terluka, jika suami saya tidak bisa melupakan masa lalunya sendiri."Jasmine berbicara sambil menitikan air matanya. Berbicara tanpa menoleh sedikit pun kepada Kevin. Ia ingin melihat Kevin. Melihat perasaan yang sebenarnya Kevin rasakan untuknya."Ada apa ini? Kenapa kamu berbicara seperti itu, Jasmine? Bukankah kalian sudah melakukannya? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Ranti yang masih bingung dengan keadaan di ruangan itu.Jasmine menelan saliva dengan pelan. Selanjutnya, menghela napasnya dengan panjang."Kami belum melakukan apa pun, Ma. Saya rasa, Mas Kevin tidak bisa keluar dari bayang-bayang itu. Kata Dokter Fadil, saya harus bisa menyembuhkannya. Tapi, sep
Justin mengangguk. “Ya. Kamu tenang saja. Saya bukan laki-laki pengkhianat, yang akan merebut milik orang. Terlebih, kamu adalah milik sahabatku sendiri. Tidak akan terjadi, Jasmine.”Padahal, di hatinya ia sangat menyesal karena baru kenal dengan Jasmine, setelah Kevin mempersuntingnya.“Saya antar kamu pulang, mau? Kamu dan Kevin marahan karena apa?” Dan Justin baru bertanya mengenai Jasmine yang menangis sendirian di sana.Jasmine menggeleng pelan. “Hanya sedikit kecewa. Karena Mas Kevin belum seratus persen melupakan mantan istrinya itu.”Justin manggut-manggut. “Ya sudah. Nanti juga cinta seratus persen sama kamu. Ini hanya sebuah cobaan yang harus kamu hadapi. Harus bisa kamu hadapi. Ayo, pulang! Jangan buat Kevin cemas.”Jasmine mengangguk dan menuruti titah Justin. Pulang bersama dengan Justin. Jasmine mengira jika Kevin masih di rumah sakit. Dan Jasmine juga tidak membawa ponsel maupun dompet.“Pak. Terima kasih sudah menghampiri saya. Saya lupa, kalau saya tidak membawa apa
Andrian memperingati Justin agar berhenti mendekati Jasmine. Sebab ia tak ingin bosnya itu kembali terluka akibat ulah sahabatnya sendiri.‘Kamu tidak pernah melihat Diandra yang selalu mencintai dan menunggumu. Adikku yang sejak lama mencintai kamu, tidak pernah kamu lirik sekali pun.‘Sedangkan Jasmine, yang baru kamu lihat … langsung menaruh perasaannya kepada perempuan itu. Jangan mengganggu Jasmine. Jasmine sudah milik Pak Kevin.’Andrian hanya bisa berucap dalam hati. Ia tak akan memberi tahu Justin perihal perasaan Diandra padanya. Biarkan Justin sendiri yang peka dan tahu dengan sendirinya.“Kamu tenang saja. Aku bukan laki-laki brengsek yang akan merebut istri dari sahabatku sendiri. Aku hanya akan datang ketika Jasmine terluka oleh Kevin,” ucap Justin dengan lugas.Andrian tersenyum pasi. ‘Bukan itu yang kumaksud, Justin. Seharusnya kamu melihat orang yang selalu ada di samping kamu. Diandra. Dia menunggumu, selalu menunggumu.’Andrian yang menyayangi adik satu-satunya selal
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa