“Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku nikahi, Fe. Sebelum menikah denganmu, aku membuat kesepakatan dengan Ayah dan Ibu kalau kita tidak akan berencana punya anak, sampai pernikahan kita disahkan negara,” ucap Furqon. “Hal itu bertujuan untuk kebaikan semua orang terutama calon anak kita nantinya. Karena itu, aku tidak ingin menyentuhmu, Feiza. Terlebih tanpa kamu yang menginginkan dan mengizinkannya.”
Feiza yang mendengarnya langsung menatap Furqon dengan pandangan tidak percaya. “Hah? Tapi, Ibuku ….” “Itu lain cerita,” jawab Furqon. “Karena Ibu pikir kita menggunakan kontrasepsi,” lanjutnya pelan. Tempo hari hubungan ranjang Furqon dengan Feiza memang sempat dijadikan pembahasan oleh ibu mertuanya ketika menginap di Jombang. Wajah Feiza langsung memerah. Ia menggigit pelan bibir bawahnya sembari melempar tatap ke arah lain. Furqon yang menyadarinya menahan senyumny“Feiza.” Feiza meremas-remas jemari tangannya sampai suara Furqon terdengar memanggil namanya dari bilik kamar mandi. “Iya, Gus?” sahut Feiza segera menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar mandi itu. “Ada apa?” tanyanya. Furqon melongokkan kepalanya dari dalam melalui pintu kayu kamar mandi yang sedikit dibukanya. “Tolong ambilkan baju gantiku,” pintanya. Feiza menelan air ludahnya sebentar melihat wajah dan rambut basah Furqon. Ia kemudian mengangguk dan segera menuju lemari Furqon guna mengambilkan baju. “Terima kasih,” ucap Furqon menerima uluran baju dari Feiza. Feiza hanya menganggukkan kepala lalu kembali mendudukkan diri di sofa. “Masih punya wudu?” tanya Furqon sekeluarnya laki-laki itu dari kamar mandi. Ia tampak sudah memakai setelan sarung biru dengan atasan kaus putih lengan pendek yang sebelumnya diambilkan oleh Feiza.
Furqon menatap Feiza yang masih terlelap dalam tidurnya di hadapannya.Ia tidak menyangka, perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu kini benar-benar ada di depannya, terlelap di sisinya, satu ruangan dan satu tempat tidur dengan dirinya, berstatus sebagai istrinya, dan baru saja mereguk kenikmatan surga dunia bersama-sama dengannya.Secara sepenuhnya, Feiza telah menerima Furqon sebagai suaminya dan itu adalah kado ulang tahun terbaik Furqon selama dua puluh satu tahun dirinya hidup.Sejak beberapa menit yang lalu terhitung dari Furqon yang kembali terjaga, laki-laki itu sama sekali tidak ingin mengedipkan kedua netranya, takut-takut kalau Feiza yang ada di depannya ini tidak nyata dan hanya ilusi.Furqon khawatir jika ia berkedip, gadis cantik yang beberapa saat lalu sudah ia ubah menjadi wanita itu akan menghilang. Lenyap dari pandangan.Sangat perlahan, Furqon kemudian menggerakkan tangannya dan menggunakan jemarinya untuk menyentuh wajah Feiza. Merasakan hangat kulitnya lalu pe
“Guss … aku mau tidur, ih. Jangan ganggu!” ucap Feiza mencoba kembali memejamkan kedua matanya. Sungguh, meski saat ini matahari semakin tinggi mengudara dan sangkala akan segera sampai pada tengah hari, Feiza benar-benar hanya ingin tidur saat ini. Tubuhnya perlu istirahat. Bukan yang lain. Namun, Furqon yang sejak tadi ada di sisi Feiza seolah tidak pernah membiarkannya karena tangannya yang Feiza rasa selalu usil dan terus menjailinya. “Guss ….” Sekali lagi rengek Feiza. “Apa, Feiza?” sahut Furqon. “Tangannya jangan usil!” Furqon terkekeh. “Usil bagaimana?” Ia balik bertanya. “Cuma mau peluk doang,” lanjutnya sembari masih melingkarkan lengannya di tubuh Feiza. “Iyaa. Tapi geli, Gus. Aku ngantuk, mau tidur,” sahut Feiza dengan nada sebal. “Iya sudah, tidur saja, Sayang,” ujar Furqon masih belum mau melepaskan rangkulan. Feiza mencebik. “Ndak bisa,” katanya lalu berbalik menghadap Furqon sepenuhnya. Furqon langsung memasang senyum cerah menatap Feiza. “Kenapa?” ta
“Ekhem.” Furqon akhirnya memilih berdeham. “Iya, Fe,” sahut Furqon akhirnya, sambil mengulas senyumnya. “Untuk jadi orang tua memang tanggung jawab yang besar. Kalau belum siap memang lebih baik jangan,” tambah Furqon. “Beneran?” Feiza balas menatap Furqon dengan tajam. “Iya, Sayang.” Furqon kembali mengulas senyuman lebar. Keduanya pun saling berpandangan. “Kenapa natap aku kayak gitu, sih, Fe?” tanya Furqon setelah beberapa lama kembali mengumbar senyum lebar dengan gigi rapihnya. “Kayak punya dendam kesumat gitu,” lanjut Furqon masih menatap Feiza. “Huft.” Feiza mengela napas. “Cuma nggak yakin aja sama jawaban njenengan.” “Astagfirullah, Fe.” Furqon terkekeh. “Aku serius, Feiza,” katanya. “Kalau kamu belum siap hamil, nggak pa-pa, aku setuju juga. Toh, kamu yang nanti akan mengandung dan melahirkan. Badan kamu adalah punya ka
"Bu Tum, wajahmu kenapa? Kok pucet gitu?" tanya Ririn pada Feiza yang duduk di depannya. "Eh?" Feiza yang sibuk membaca sebuah berkas elektronik di ponsel yang ada di genggaman tangannya menoleh kepada temannya itu. "Masa, sih?" balasnya dengan tanya. "Hm." Ririn menganggukkan kepala. "Kamu sakit?" lanjut gadis itu sambil tanpa permisi meletakkan punggung tangan kanannya ke dahi Feiza, disusul punggung tangan kirinya yang ia letakkan pada dahinya sendiri. "Emm, normal. Nggak panas kok tapi," lanjut Ririn menggumam. Feiza langsung mengulas senyuman. "Makasih, ya, udah perhatian, Beb. Tapi alhamdulillah, aku emang lagi nggak sakit kok," tutur Feiza lalu lembut menyingkirkan tangan Ririn yang ada di dahinya. "Beneran?" tanya Ririn tidak yakin. "Iyaa." Feiza mengangguk mantap. "Oke, deh. Alhamdulillah kalau gitu." Ririn tersenyum yang juga langsung dibalas senyuman oleh Feiza. "Tummm. Tum Feizaa." Tiba-tiba sebuah suara terdengar menggelegar, memanggil nama Feiza dari ara
“Feiza?” Fahmi yang tampak duduk di salah satu bangku kayu yang ada di basecamp DEMA FTIK membulatkan kedua matanya mendapati kehadiran Feiza yang baru saja masuk ke dalam basecamp itu tak jauh darinya di depan pintu. “Mi.” Feiza menatap tajam ke arah Fahmi, seolah melampiaskan kekesalannya kini. Perempuan itu kemudian segera menatap lurus ke depan dan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Salam Feiza langsung dijawab serentak oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan itu dan perempuan itu pun segera menjadi pusat perhatian bagi seluruh pasang manik mata yang ada di sana. “Tum Feiza?” Salah satu pengurus DEMA yang Feiza lupa namanya cepat-cepat datang menghampirinya. “Ada apa, Tum? Nyari siapa? Nyari wakilnya, ya? Tuh, daritadi keukeuh mau duduk di situ,” cerocos laki-laki berkumis tipis dan berkacamata itu pelan. Feiza menatap sebentar ke arah Fahmi dengan lirikan sebal lantas kembali memandang laki-laki yang ada di depannya. “He he. Nggak, Kak. Sa
Dua orang itu saling tatap dalam sunyi. Tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri. Hingga beberapa waktu kemudian, Feiza kembali buka suara kepada Fahmi yang berdiri di sisi kirinya. “Aku nggak tahu maksud kamu apa. Tapi tolong, Fahmi. Ke depannya jangan bergerak sendiri kalau itu menyangkut HMJ kita.” Feiza sengaja kembali membawa HMJ sebagai bahan obrolan mereka untuk menenangkan dirinya. Fahmi pun merekahkan senyum di wajahnya lantas menganggukkan kepala. "Pasti, Fe," jawabnya. "Kamu ketuaku dan aku wakil kamu. Aku nggak akan berani bertindak tanpa ngasih tahu kamu terlebih dahulu." Feiza diam tidak segera merespons ucapan laki-laki yang ada di depannya itu. Beberapa sekon, Feiza kemudian mengangguk. "Makasih, Mi," ucapnya. "Soal peminjaman aula, biar aku aja yang komunikasikan sama Pak Pres. Kamu tolong bantu ketupel acara kita aja untuk nyiapin plan B, bersiap menghadapi situasi terburuk yang mungkin dapat terjadi," sambung Feiza lagi. "Oke siap, Bu Tum Feiza." Pelan Feiza
"Mas," ucap Feiza pelan pada akhirnya. "Iya, Fe?" balas Furqon yang masih serius menatap Feiza. "Bukan masalah itu yang mau aku bicarakan dengan njenengan." Ekspresi wajah Furqon langsung berubah kebingungan. "Lalu, masalah apa?" tanyanya. Feiza menghela napas lalu kembali memasang wajah kesalnya. "Bukan masalah itu yang mau kubicarakan, Mas. Yang mau kubahas adalah soal DEMA FTIK yang seenaknya menggeser HMJ PGMI buat pakai aula B di tanggal 12." Kedua mata Furqon langsung mengerjap. "Apa?" desisnya. Feiza mencebikkan mulutnya. "Njenengan tuh jahat banget tahu nggak?! Kok bisa aula gedung B dipinjam sama DEMA F, padahal PGMI dulu yang mengajukan peminjaman, Mas? Njenengan pakai orang dalam, ya?" Furqon mengerutkan kening mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Feiza. "Tunggu, tunggu!" ucap Furqon tak berselang lama. "Feiza," panggilnya masih menatap wajah cantik Feiza. "Kamu ... bukan mau komplain karena sedang hamil?" Laki-laki itu berpindah menatap tangan kanan
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang