“Ekhem.” Furqon akhirnya memilih berdeham. “Iya, Fe,” sahut Furqon akhirnya, sambil mengulas senyumnya. “Untuk jadi orang tua memang tanggung jawab yang besar. Kalau belum siap memang lebih baik jangan,” tambah Furqon. “Beneran?” Feiza balas menatap Furqon dengan tajam. “Iya, Sayang.” Furqon kembali mengulas senyuman lebar. Keduanya pun saling berpandangan. “Kenapa natap aku kayak gitu, sih, Fe?” tanya Furqon setelah beberapa lama kembali mengumbar senyum lebar dengan gigi rapihnya. “Kayak punya dendam kesumat gitu,” lanjut Furqon masih menatap Feiza. “Huft.” Feiza mengela napas. “Cuma nggak yakin aja sama jawaban njenengan.” “Astagfirullah, Fe.” Furqon terkekeh. “Aku serius, Feiza,” katanya. “Kalau kamu belum siap hamil, nggak pa-pa, aku setuju juga. Toh, kamu yang nanti akan mengandung dan melahirkan. Badan kamu adalah punya ka
"Bu Tum, wajahmu kenapa? Kok pucet gitu?" tanya Ririn pada Feiza yang duduk di depannya. "Eh?" Feiza yang sibuk membaca sebuah berkas elektronik di ponsel yang ada di genggaman tangannya menoleh kepada temannya itu. "Masa, sih?" balasnya dengan tanya. "Hm." Ririn menganggukkan kepala. "Kamu sakit?" lanjut gadis itu sambil tanpa permisi meletakkan punggung tangan kanannya ke dahi Feiza, disusul punggung tangan kirinya yang ia letakkan pada dahinya sendiri. "Emm, normal. Nggak panas kok tapi," lanjut Ririn menggumam. Feiza langsung mengulas senyuman. "Makasih, ya, udah perhatian, Beb. Tapi alhamdulillah, aku emang lagi nggak sakit kok," tutur Feiza lalu lembut menyingkirkan tangan Ririn yang ada di dahinya. "Beneran?" tanya Ririn tidak yakin. "Iyaa." Feiza mengangguk mantap. "Oke, deh. Alhamdulillah kalau gitu." Ririn tersenyum yang juga langsung dibalas senyuman oleh Feiza. "Tummm. Tum Feizaa." Tiba-tiba sebuah suara terdengar menggelegar, memanggil nama Feiza dari ara
“Feiza?” Fahmi yang tampak duduk di salah satu bangku kayu yang ada di basecamp DEMA FTIK membulatkan kedua matanya mendapati kehadiran Feiza yang baru saja masuk ke dalam basecamp itu tak jauh darinya di depan pintu. “Mi.” Feiza menatap tajam ke arah Fahmi, seolah melampiaskan kekesalannya kini. Perempuan itu kemudian segera menatap lurus ke depan dan mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Salam Feiza langsung dijawab serentak oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan itu dan perempuan itu pun segera menjadi pusat perhatian bagi seluruh pasang manik mata yang ada di sana. “Tum Feiza?” Salah satu pengurus DEMA yang Feiza lupa namanya cepat-cepat datang menghampirinya. “Ada apa, Tum? Nyari siapa? Nyari wakilnya, ya? Tuh, daritadi keukeuh mau duduk di situ,” cerocos laki-laki berkumis tipis dan berkacamata itu pelan. Feiza menatap sebentar ke arah Fahmi dengan lirikan sebal lantas kembali memandang laki-laki yang ada di depannya. “He he. Nggak, Kak. Sa
Dua orang itu saling tatap dalam sunyi. Tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri. Hingga beberapa waktu kemudian, Feiza kembali buka suara kepada Fahmi yang berdiri di sisi kirinya. “Aku nggak tahu maksud kamu apa. Tapi tolong, Fahmi. Ke depannya jangan bergerak sendiri kalau itu menyangkut HMJ kita.” Feiza sengaja kembali membawa HMJ sebagai bahan obrolan mereka untuk menenangkan dirinya. Fahmi pun merekahkan senyum di wajahnya lantas menganggukkan kepala. "Pasti, Fe," jawabnya. "Kamu ketuaku dan aku wakil kamu. Aku nggak akan berani bertindak tanpa ngasih tahu kamu terlebih dahulu." Feiza diam tidak segera merespons ucapan laki-laki yang ada di depannya itu. Beberapa sekon, Feiza kemudian mengangguk. "Makasih, Mi," ucapnya. "Soal peminjaman aula, biar aku aja yang komunikasikan sama Pak Pres. Kamu tolong bantu ketupel acara kita aja untuk nyiapin plan B, bersiap menghadapi situasi terburuk yang mungkin dapat terjadi," sambung Feiza lagi. "Oke siap, Bu Tum Feiza." Pelan Feiza
"Mas," ucap Feiza pelan pada akhirnya. "Iya, Fe?" balas Furqon yang masih serius menatap Feiza. "Bukan masalah itu yang mau aku bicarakan dengan njenengan." Ekspresi wajah Furqon langsung berubah kebingungan. "Lalu, masalah apa?" tanyanya. Feiza menghela napas lalu kembali memasang wajah kesalnya. "Bukan masalah itu yang mau kubicarakan, Mas. Yang mau kubahas adalah soal DEMA FTIK yang seenaknya menggeser HMJ PGMI buat pakai aula B di tanggal 12." Kedua mata Furqon langsung mengerjap. "Apa?" desisnya. Feiza mencebikkan mulutnya. "Njenengan tuh jahat banget tahu nggak?! Kok bisa aula gedung B dipinjam sama DEMA F, padahal PGMI dulu yang mengajukan peminjaman, Mas? Njenengan pakai orang dalam, ya?" Furqon mengerutkan kening mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Feiza. "Tunggu, tunggu!" ucap Furqon tak berselang lama. "Feiza," panggilnya masih menatap wajah cantik Feiza. "Kamu ... bukan mau komplain karena sedang hamil?" Laki-laki itu berpindah menatap tangan kanan
Sesampainya Feiza di dalam kamar indekosnya di Rumah Kos Putri Citra, perempuan itu langsung menangis sejadi-jadinya.Ia merasa sangat sedih, marah, kesal, juga kecewa. Apa yang beberapa minggu ini ia usahakan bersama teman-temannya di Himpunan Mahasiswa terancam akan gagal berjalan sesuai yang mereka rencanakan.Ella yang melihat tangisan Feiza langsung merasa panik sekaligus heran. Sebab, ia tidak pernah melihat Feiza menangis sampai seperti itu.“Fe, kenapa? Kok nangis?” tanya Ella bernada khawatir setelah meletakkan semangkuk mie instan yang baru saja gadis cantik itu masak di dapur umum di atas meja belajar lipatnya yang serbaguna. Kadang meja itu dipakainya untuk belajar, kadang dipakainya pula untuk menyantap makanan.“Fe, ada apa?” panik Ella sembari menyentuh bahu Feiza setelah menghampirinya yang duduk di atas kasur bagiannya.Feiza hanya diam dalam tangisnya.“Jangan bikin panik gini, dong! Kamu kenapa, Fe?” Ella kemba
Jlek! Feiza menutup pintu mobil Furqon dengan keras. Sedetik setelahnya, perempuan itu langsung menghempas punggungnya ke sandaran kursi duduk mobil yang ada di sebelah kemudi setelah mendudukkan diri. "Njenengan mau apa?" desau Feiza tanpa menatap sosok laki-laki yang duduk di sebelah kanannya. "Hah." Furqon terdengar menghela napasnya. "Kamu sedang PMS, ya?" katanya balik bertanya setelah beberapa detik membuat jeda. Feiza ikut menghela napas kemudian menjawab Furqon. "Emang," balasnya dengan nada sewot. Furqon mengangguk-angguk. "Ternyata betulan nggak hamil," katanya tanpa suara lalu mengulas sebuah senyum kecil di sudut bibirnya. Feiza tetap diam di posisinya dengan kedua netra yang masih enggan menatap Furqon yang duduk di sampingnya, memilih memandang ke luar apa yang ada di balik kaca mobil bagian depan. Hanya tercipta keheningan. "Njenengan ngapain ke sini malam-malam?" tanya Feiza tak berselang lama. "Kalau ada yang lihat bagaimana?" terdengar nada pasrah na
“Feiza?! Kamu dari mana?”Binta baru saja pulang ke Kos Putri Citra dengan diantarkan salah seorang temannya karena sebelumnya ia pergi berdua setelah dijemput oleh temannya itu, ketika sebelum masuk ke dalam gerbang indekos, ia mendapati Feiza di luar sama seperti dirinya.“Kok jalan kaki, Fe?” Binta menambah pertanyaannya sembari melempar tatap heran terhadap Feiza.Gadis itu menarik kembali tangannya yang semula memegang gagang pintu masuk besi gerbang indekos lalu menjatuhkan tangannya itu lunglai di sebelah badan, menanti jawaban Feiza.Feiza yang cukup terkejut melihat presensi Binta segera mengendalikan ekspresi kagetnya dan menjawab, “Eh. Hai, Ta. Aku habis nyari makan,” tuturnya tak berterus terang.“Owalah, iya.” Binta mengangguk. “Tumben kok jalan kaki,” komentarnya.“He he, iya,” balas Feiza. “Lagi pengen jalan sekalian olahraga.”Binta kembali mengangguk. “Eh, terus makanan kamu mana, Fe? Kok nggak bawa?” tanyanya lagi tak berselang lama, setelah memperhatikan kedua tanga
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang