Sesampainya Feiza di dalam kamar indekosnya di Rumah Kos Putri Citra, perempuan itu langsung menangis sejadi-jadinya.
Ia merasa sangat sedih, marah, kesal, juga kecewa. Apa yang beberapa minggu ini ia usahakan bersama teman-temannya di Himpunan Mahasiswa terancam akan gagal berjalan sesuai yang mereka rencanakan.Ella yang melihat tangisan Feiza langsung merasa panik sekaligus heran. Sebab, ia tidak pernah melihat Feiza menangis sampai seperti itu.“Fe, kenapa? Kok nangis?” tanya Ella bernada khawatir setelah meletakkan semangkuk mie instan yang baru saja gadis cantik itu masak di dapur umum di atas meja belajar lipatnya yang serbaguna. Kadang meja itu dipakainya untuk belajar, kadang dipakainya pula untuk menyantap makanan.“Fe, ada apa?” panik Ella sembari menyentuh bahu Feiza setelah menghampirinya yang duduk di atas kasur bagiannya.Feiza hanya diam dalam tangisnya.“Jangan bikin panik gini, dong! Kamu kenapa, Fe?” Ella kembaJlek! Feiza menutup pintu mobil Furqon dengan keras. Sedetik setelahnya, perempuan itu langsung menghempas punggungnya ke sandaran kursi duduk mobil yang ada di sebelah kemudi setelah mendudukkan diri. "Njenengan mau apa?" desau Feiza tanpa menatap sosok laki-laki yang duduk di sebelah kanannya. "Hah." Furqon terdengar menghela napasnya. "Kamu sedang PMS, ya?" katanya balik bertanya setelah beberapa detik membuat jeda. Feiza ikut menghela napas kemudian menjawab Furqon. "Emang," balasnya dengan nada sewot. Furqon mengangguk-angguk. "Ternyata betulan nggak hamil," katanya tanpa suara lalu mengulas sebuah senyum kecil di sudut bibirnya. Feiza tetap diam di posisinya dengan kedua netra yang masih enggan menatap Furqon yang duduk di sampingnya, memilih memandang ke luar apa yang ada di balik kaca mobil bagian depan. Hanya tercipta keheningan. "Njenengan ngapain ke sini malam-malam?" tanya Feiza tak berselang lama. "Kalau ada yang lihat bagaimana?" terdengar nada pasrah na
“Feiza?! Kamu dari mana?”Binta baru saja pulang ke Kos Putri Citra dengan diantarkan salah seorang temannya karena sebelumnya ia pergi berdua setelah dijemput oleh temannya itu, ketika sebelum masuk ke dalam gerbang indekos, ia mendapati Feiza di luar sama seperti dirinya.“Kok jalan kaki, Fe?” Binta menambah pertanyaannya sembari melempar tatap heran terhadap Feiza.Gadis itu menarik kembali tangannya yang semula memegang gagang pintu masuk besi gerbang indekos lalu menjatuhkan tangannya itu lunglai di sebelah badan, menanti jawaban Feiza.Feiza yang cukup terkejut melihat presensi Binta segera mengendalikan ekspresi kagetnya dan menjawab, “Eh. Hai, Ta. Aku habis nyari makan,” tuturnya tak berterus terang.“Owalah, iya.” Binta mengangguk. “Tumben kok jalan kaki,” komentarnya.“He he, iya,” balas Feiza. “Lagi pengen jalan sekalian olahraga.”Binta kembali mengangguk. “Eh, terus makanan kamu mana, Fe? Kok nggak bawa?” tanyanya lagi tak berselang lama, setelah memperhatikan kedua tanga
Keesokan paginya, Feiza tidak bisa berkata-kata saat mendapati sosok Furqon kembali berdiri di depan gerbang indekosnya ketika ia dan ketiga temannya akan berangkat kuliah. Tidak ada yang bisa perempuan cantik itu lakukan selain memelototkan mata. Kali ini tidak dengan mobil mewahnya, Furqon datang mengendarai motor N-MAXnya dengan tampilan good looking dan tas kuliahnya. Ya, hari ini Feiza dan teman-temannya ada kelas pagi. Sama seperti laki-laki yang menatapnya dalam-dalam kini. Sama seperti Furqon yang hafal jadwal perkuliahan Feiza, belakangan Feiza pun sama. Sungguh, Feiza tidak tahu apa maksud dan niat Furqon datang. Namun, Feiza merasa dirinya benar-benar ingin meledak sekarang. Selain Ella teman sekamarnya dan juga Binta, kedua temannya yang lain yakni Ririn dan Nisa kini pasti akan curiga. Jika bisa Feiza ingin segera menyeret Furqon pergi saat ini juga. “Itu bukannya Pres Furqon? Ngapain dia ke kos kita?” kata Ririn lirih kepada Feiza dan lainnya. “Iya. Ngapain, ya?” ta
“Njenengan mau apa, sih?” tanya Feiza lagi dengan nada sebal. Furqon lagi-lagi mengulas senyuman. “Yakin mau bicara di sini?” balas Furqon masih memasang senyumnya sembari menatap sekelilingnya. Feiza segera melakukan hal yang sama yaitu melihat ke sekelilingnya lalu mendengkus dan bergegas menaiki motor suaminya itu. Feiza masih cukup waras untuk membiarkan semakin banyak orang melihat dirinya dan Furqon berdua di depan kawasan indekosnya, terlebih oleh anak-anak indekosnya sendiri yang pagi ini mulai hilir-mudik melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri. Belum lagi mahasiswa lainnya yang berangkat kuliah melintas lewat depan jalan indekosnya pun mahasiswa-mahasiswi lain dari indekos di sekitarnya. Furqon semakin memperlebar senyumnya melihat Feiza yang sudah duduk di boncengan motornya. “Pegangan dulu, Fe! Nanti kamu jatuh,” peringatnya. “Kita mau ke mana?” balas Feiza dengan tanya. “Adaa,” jawab Furqon. “Pegangan dulu atau kita tetep di sini.” Feiza kembali mendengkus la
Tanpa menunggu lama, pesanan Furqon dan Feiza segera tersaji manis di atas meja mereka hanya beberapa menit setelah Furqon datang langsung ke kasir untuk menyebut pesanannya.Dua porsi nasi kuning, dua porsi ayam betutu, dua porsi sate kambing, dua gelas jus jeruk, dua botol air mineral, satu porsi bakso urat jumbo spesial, dan semangkuk es krim tiga rasa dalam ukuran besar juga, yang mana dua menu terakhir itu adalah milik Feiza.Furqon menatap Feiza yang memasang wajah semringah dengan tatapan awasnya sebelum menyantap makanan yang menjadi pesanannya. Laki-laki itu benar-benar khawatir jika istrinya itu tidak akan sanggup menghabiskan makanannya dan makanan itu akan berakhir mubazir dan sia-sia.“Wah, enak banget nih kayaknya,” gumam Feiza sembari menggosok-gosokkan kedua tangannya di depan dada.Furqon hanya diam memperhatikan Feiza dengan sebelah alis terangkatnya.“Ayo, agi dimakan, Fe!” seru Furqon lalu menyuapkan sendok nasi kuningnya lagi ke dalam mulut.“Nggeh, Mas.” Feiza me
Feiza meninggalkan kafe dengan wajah berseri, seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru kesukaan yang sudah lama diincar dan diinginkannya. Ia tidak berhenti memasang senyum di bibir ranumnya yang merah muda karena puas membuat Furqon kesal. Baru saat dirinya dan Furqon sampai di tempat parkir untuk mengambil motor suaminya itu, senyum Feiza memudar teringat apa yang telah terjadi hari ini di depan gerbang indekosnya. Tadi pagi, Furqon mendatanginya di depan teman-temannya. Feiza kemudian meninggalkan ketiga temannya itu dengan tanda tanya besar yang pasti hinggap di kepala mereka. Dan Feiza belum memberi penjelasan apa-apa. “Mas,” panggil Feiza menghentikan langkahnya. “Iya, Fe?” sahut Furqon. “Aku ke kampus pesen ojol aja. Njenengan pergi sendiri.” Dahi Furqon langsung berkerut. “Kenapa? Sekalian saja, Fe,” kata Furqon. “Nggak mau.” Kepala Feiza menggeleng. “Nanti banyak yang mikir macam-macam.” “Huff.” Furqon menghela napas pelan. “Nggak akan,
“Feiza, kamu dari mana aja sama Pres Furqon?” tanya Ririn dengan berbisik ketika Feiza muncul di ruang kelas untuk kelas perkuliahan dosen kedua mereka hari ini belum lama setelah Feiza mendudukkan diri. “Ngopi bentar, Rin,” sahut Feiza mengubah istilah pertemuannya dengan Furqon yang sebelumnya disebut ‘kencan’ oleh Furqon dengan sebutan ‘ngopi’. “Ngopi sampai jam matkul Prof Heri selesai? 2 SKS, Fe? Serius?! Ngomongin apa?” Ririn seolah ingin berteriak histeris meski gadis itu masih memelankan suaranya. “Biasa. Urusan HMJ.” “Urusan HMJ apa? Dan cuma berdua?” “Hn.” Feiza menganggukkan kepalanya. “Masalah aula gedung B. Kamu kemarin udah tahu, kan, waktu Aghisna ngabarin di BC kalau aula B dipakai DEMA F. Aku nyoba lobbying masalah itu sama Pres.” Ririn akhirnya mengangguk-angguk. “Tapi kenapa sampai kamu bolos matkul? Mana dari pagi juga? Kenapa Pres Furqon sampe nyamperin kosan kita?” cecar Ririn yang dibalas Feiza kedikan bahunya. “Nggak tahu,” ucap Feiza pendek lantas
Sebelum Feiza menjelaskan apa-apa, dosen mata kuliahnya datang dan kelas perkuliahan pun dimulai.Pada akhirnya, situasi yang sedikit hingar akibat tersebarnya foto sosok Furqon dan Feiza di depan indekos Feiza mereda karena ada tanggapan dari Ziyana Nafisa yang belum lama tersebar juga.Ziyana Nafisa mengatakan bahwa Furqon dan Feiza bertemu karena Feiza yang ingin melakukan negosiasi dengan Furqon perkara peminjaman gedung di kampus. Tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka dan Furqon memang sosok presiden mahasiswa yang tidak segan meluangkan waktunya untuk ketua-ketua umum himpunan jurusan di fakultasnya yang ada di bawah kepemimpinannya untuk mendengar keluh-kesahnya, termasuk itu juga Feiza.Meski Furqon pada akhirnya tidak bisa memberikan izin pakai gedungnya kepada Feiza, namun ia sudah menawarkan bantuan semampunya. Ziyana Nafisa juga mengatakan Furqon tidak dekat dengan perempuan mana pun dan menyiratkan jika dialah satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengan Furqon.
"Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p