Sebelum Feiza menjelaskan apa-apa, dosen mata kuliahnya datang dan kelas perkuliahan pun dimulai.Pada akhirnya, situasi yang sedikit hingar akibat tersebarnya foto sosok Furqon dan Feiza di depan indekos Feiza mereda karena ada tanggapan dari Ziyana Nafisa yang belum lama tersebar juga.Ziyana Nafisa mengatakan bahwa Furqon dan Feiza bertemu karena Feiza yang ingin melakukan negosiasi dengan Furqon perkara peminjaman gedung di kampus. Tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka dan Furqon memang sosok presiden mahasiswa yang tidak segan meluangkan waktunya untuk ketua-ketua umum himpunan jurusan di fakultasnya yang ada di bawah kepemimpinannya untuk mendengar keluh-kesahnya, termasuk itu juga Feiza.Meski Furqon pada akhirnya tidak bisa memberikan izin pakai gedungnya kepada Feiza, namun ia sudah menawarkan bantuan semampunya. Ziyana Nafisa juga mengatakan Furqon tidak dekat dengan perempuan mana pun dan menyiratkan jika dialah satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengan Furqon.
Gus Furqon: Kamu di mana Feiza?Pesan WhatsApp yang dikirim Furqon itu hanya Feiza baca tanpa dibalasnya.Gus Furqon: Fe?Lagi-lagi Feiza hanya membacanya saat Furqon mengiriminya pesan lagi, kurang lebih setelah 5 menit pesan Furqon yang sebelumnya hanya menjadi buntalan chat tanpa balasan.Feiza menghela napasnya perlahan.Hari ini Kamis, saat seharusnya ia datang ke rumah Furqon. Namun, mengingat 'kehebohan' kemarin hari yang disebabkan oleh suaminya itu, Feiza jadi merasa enggan untuk bertandang. Ia terlanjur kesal dan sebal akan apa yang terjadi. Dan meski segalanya telah mereda, ada begitu banyak kekhawatiran di hatinya jika ia dan Furqon sampai tertangkap mata tampak kembali bersama.Feiza melanjutkan kegiatannya menyetrika setelan baju yang akan dipakainya ke kampus hari ini dan memilih mengabaikan ponselnya, membiarkan benda persegi panjang pipih itu tergeletak dalam hening di atas kasur tempat tidurnya.Seperti biasa, mode silent ponsel Feiza sedang perempuan cantik itu akti
"Tum Feiza." Feiza kaget luar biasa karena Furqon tiba-tiba muncul di hadapannya sekeluarnya perempuan cantik itu dari kelas selesai perkuliahan. Ya, benar. Di depan kelas Feiza. Furqon muncul di depan kelas Feiza dengan banyak teman-teman Feiza yang ada di sekitar mereka. "Mas?!" Kedua bola mata Feiza langsung membola, terbelalak karena sangat terkejut melihat Furqon di depannya. Ia langsung melihat ke sekitarnya. "Pres Furqon, kenapa njenengan ada di sini?" ucap Feiza lagi sembari berusaha mengendalikan ekspresi. Sebab Feiza sadar, di sekelilingnya banyak teman-temannya yang memilih berhenti untuk memperhatikan Furqon dan dirinya. Bahkan beberapa tidak segan-segan menatap lurus ke arahnya dengan kamera ponsel yang tampak menyala. Sungguh gila! Mati Feiza jika ada yang salah dalam gerak-geriknya dan tertangkap atau bahkan terekam oleh kamera itu. "Ada yang mau saya bicarakan," kata Furqon. "Mari ikut saya," lanjutnya. "Pak Pres." Fahmi tiba-tiba muncul di antara ke
“Kenapa kamu tidak membalas WA-ku, Feiza?” tanya Furqon memecah sunyi begitu dirinya dan Feiza duduk berdua.Setelah menjemput Feiza di depan kelasnya, Furqon membawa istrinya itu pergi ke salah satu kafe yang terkenal lumayan sepi jika di pagi hari. Dan di situlah mereka saat ini. Duduk saling berhadapan di meja berbentuk bundar yang terdiri dari dua bangku yang kini sama-sama penuh akibat mereka tempati.Keduanya saling diam sejak lama sampai Furqon barusan melayangkan tanya. Tepatnya, sejak Feiza mengekor suaminya itu ke mobilnya lalu keluar kampus dan pergi berdua tanpa siapa pun bersuara ataupun berkata-kata.Furqon memesan minuman dan makanan untuk mereka, pesanan diantarkan, dan keduanya duduk dalam diam saling pandang hingga Furqon yang pertama membuka konversasi di antara mereka.Menanggapi pertanyaan Furqon, Feiza menghela napas diam-diam dengan wajah datar.Pagi ini perempuan cantik itu sedang malas mengawali perdebatan. Namun, jika Furqon nanti terus mencecar dan memancing
“Kenapa njenengan bertanya seperti itu, Mas?” tanya Feiza pelan masih menatap Furqon tidak percaya. Furqon menghela napas lalu mengedikkan bahunya. “Kamu seperti nggak pernah serius dalam hubungan kita, Feiza,” katanya menatap serius Feiza yang ada di depannya lalu membiarkan jeda. “Aku mencintaimu. Tapi sepertinya, ada laki-laki lain di hatimu,” lanjut Furqon. Feiza ternganga dengan napas terhela kasar mendengar kalimat yang diutarakan Furqon. “Kenapa njenengan berpikir seperti itu?” Perempuan itu kembali bertanya. “Fahmi dan aku hanya teman biasa. Kami mungkin dekat dan dia mungkin memiliki perasaan untukku. Tapi dia bukan siapa-siapa di hidupku selain teman baik dan sekarang wakilku di HMJ. Kalau aku nggak mencintai njenengan, aku nggak akan mau lepas keperawananku dengan njenengan, Mas Furqon.” Feiza menyuarakan kalimat terakhirnya sambil melempar tatap penuh luka. Furqon memalingkan muka sembari kembali menghela napasnya. “Bisa saja
“Apa?? Serius, Fe?!” Kedua manik mata Ella menatap Feiza dengan tatapan tidak percaya setelah mendengar apa yang telah diceritakan teman sekamarnya yang memiliki paras cantik dengan manik mongoloid itu. “Kamu … nggak bercanda, kan, Fe?” lanjut Ella masih dengan ekspresi sangsinya menatap Feiza dengan kedua mata melotot. “Aku nggak salah denger, kan?” tambah gadis itu meminta kepastian. “Hn.” Feiza hanya mengangguk singkat. Ella segera menggeleng-gelengkan kepalanya masih dengan mata lebar miliknya yang membola. “Feizaaaaa. Ini gilaaa, Fe!” gumam gadis itu. “Gimana bisa?” tanya Ella sembari memegang erat kedua tangan Feiza yang ada di depannya. “Kalau aku jadi kamu, nggak akan kulepas suamiku, Feee! Bikin hajatan besar-besaran aku dan akan kubuat semua orang, termasuk seisi kampus tahu akan statusku. Kenapa kalian malah backstreet? Bener-bener nggak habis pikir aku tuh.” Feiza menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menghela napasnya. “Poinnya adalah ... aku sebenernya belum si
“Jadi apa keputusan njenengan, Mas?” tanya Feiza masih dengan kedua manik berembun miliknya yang sekuat tenaga perempuan itu tahan supaya tidak meluruhkan cairan larikma.“Aku harap njenengan setuju untuk saling menjaga jarak dulu,” lanjut Feiza. “Kita nggak lagi tinggal bersama empat hari sekali dalam seminggu seperti sebelumnya. Aku tetap di kosku, dan njenengan tetap di rumah njenengan.”Furqon hanya diam.“Aku mohon, Mas,” pinta Feiza kemudian dengan wajah memelasnya, yang pada akhirnya, kembali berhasil membuat Furqon menganggukkan kepalanya perlahan—mungkin karena tidak tega melihat kesedihan di wajah Feiza—meskipun Furqon tetap tidak mengatakan apa-apa..Feiza memutar kilas balik pertemuan terakhirnya dengan Furqon di kafe dua hari lalu di dalam kepalanya lalu kembali fokus menatap Ella yang masih duduk di depannya. Menantikan cerita Feiza.“Ayo, gimana ceritanya, Fe?!” pinta Ella.Tak lama, perempuan cantik bermata sipit itu kemudian berusaha mengembangkan senyum di bibirnya.
Drtt ... Drtt .... Ponsel yang Feiza letakkan di atas meja bergetar menampilkan panggilan masuk. Sebab Feiza yang mengatur ponselnya dalam mode silent seperti biasa, ia tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada apa yang sedang disampaikan oleh teman-teman pengurus himpunan mahasiswanya akan persiapan acara mereka. Perempuan itu baru menyadarinya ketika Fahmi menyerukan namanya. “Ada panggilan masuk tuh,” ucap Fahmi yang duduk di samping kiri Feiza begitu Feiza menoleh ke arahnya. Laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah ponsel Feiza yang ada di atas meja. Feiza segera melihat ke arah ponselnya dan langsung terkesiap dan membulatkan mata ketika tahu siapa yang coba menghubunginya. Umi Seseorang yang sedang mencoba melakukan panggilan dengannya itu bernamakan kontak itu. “Umi siapa, Fe? Masa Ibu kamu? Sejak kapan kamu manggilnya ganti Umi?” tanya Fahm
"Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p