“Kenapa kamu tidak membalas WA-ku, Feiza?” tanya Furqon memecah sunyi begitu dirinya dan Feiza duduk berdua.Setelah menjemput Feiza di depan kelasnya, Furqon membawa istrinya itu pergi ke salah satu kafe yang terkenal lumayan sepi jika di pagi hari. Dan di situlah mereka saat ini. Duduk saling berhadapan di meja berbentuk bundar yang terdiri dari dua bangku yang kini sama-sama penuh akibat mereka tempati.Keduanya saling diam sejak lama sampai Furqon barusan melayangkan tanya. Tepatnya, sejak Feiza mengekor suaminya itu ke mobilnya lalu keluar kampus dan pergi berdua tanpa siapa pun bersuara ataupun berkata-kata.Furqon memesan minuman dan makanan untuk mereka, pesanan diantarkan, dan keduanya duduk dalam diam saling pandang hingga Furqon yang pertama membuka konversasi di antara mereka.Menanggapi pertanyaan Furqon, Feiza menghela napas diam-diam dengan wajah datar.Pagi ini perempuan cantik itu sedang malas mengawali perdebatan. Namun, jika Furqon nanti terus mencecar dan memancing
“Kenapa njenengan bertanya seperti itu, Mas?” tanya Feiza pelan masih menatap Furqon tidak percaya. Furqon menghela napas lalu mengedikkan bahunya. “Kamu seperti nggak pernah serius dalam hubungan kita, Feiza,” katanya menatap serius Feiza yang ada di depannya lalu membiarkan jeda. “Aku mencintaimu. Tapi sepertinya, ada laki-laki lain di hatimu,” lanjut Furqon. Feiza ternganga dengan napas terhela kasar mendengar kalimat yang diutarakan Furqon. “Kenapa njenengan berpikir seperti itu?” Perempuan itu kembali bertanya. “Fahmi dan aku hanya teman biasa. Kami mungkin dekat dan dia mungkin memiliki perasaan untukku. Tapi dia bukan siapa-siapa di hidupku selain teman baik dan sekarang wakilku di HMJ. Kalau aku nggak mencintai njenengan, aku nggak akan mau lepas keperawananku dengan njenengan, Mas Furqon.” Feiza menyuarakan kalimat terakhirnya sambil melempar tatap penuh luka. Furqon memalingkan muka sembari kembali menghela napasnya. “Bisa saja
“Apa?? Serius, Fe?!” Kedua manik mata Ella menatap Feiza dengan tatapan tidak percaya setelah mendengar apa yang telah diceritakan teman sekamarnya yang memiliki paras cantik dengan manik mongoloid itu. “Kamu … nggak bercanda, kan, Fe?” lanjut Ella masih dengan ekspresi sangsinya menatap Feiza dengan kedua mata melotot. “Aku nggak salah denger, kan?” tambah gadis itu meminta kepastian. “Hn.” Feiza hanya mengangguk singkat. Ella segera menggeleng-gelengkan kepalanya masih dengan mata lebar miliknya yang membola. “Feizaaaaa. Ini gilaaa, Fe!” gumam gadis itu. “Gimana bisa?” tanya Ella sembari memegang erat kedua tangan Feiza yang ada di depannya. “Kalau aku jadi kamu, nggak akan kulepas suamiku, Feee! Bikin hajatan besar-besaran aku dan akan kubuat semua orang, termasuk seisi kampus tahu akan statusku. Kenapa kalian malah backstreet? Bener-bener nggak habis pikir aku tuh.” Feiza menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menghela napasnya. “Poinnya adalah ... aku sebenernya belum si
“Jadi apa keputusan njenengan, Mas?” tanya Feiza masih dengan kedua manik berembun miliknya yang sekuat tenaga perempuan itu tahan supaya tidak meluruhkan cairan larikma.“Aku harap njenengan setuju untuk saling menjaga jarak dulu,” lanjut Feiza. “Kita nggak lagi tinggal bersama empat hari sekali dalam seminggu seperti sebelumnya. Aku tetap di kosku, dan njenengan tetap di rumah njenengan.”Furqon hanya diam.“Aku mohon, Mas,” pinta Feiza kemudian dengan wajah memelasnya, yang pada akhirnya, kembali berhasil membuat Furqon menganggukkan kepalanya perlahan—mungkin karena tidak tega melihat kesedihan di wajah Feiza—meskipun Furqon tetap tidak mengatakan apa-apa..Feiza memutar kilas balik pertemuan terakhirnya dengan Furqon di kafe dua hari lalu di dalam kepalanya lalu kembali fokus menatap Ella yang masih duduk di depannya. Menantikan cerita Feiza.“Ayo, gimana ceritanya, Fe?!” pinta Ella.Tak lama, perempuan cantik bermata sipit itu kemudian berusaha mengembangkan senyum di bibirnya.
Drtt ... Drtt .... Ponsel yang Feiza letakkan di atas meja bergetar menampilkan panggilan masuk. Sebab Feiza yang mengatur ponselnya dalam mode silent seperti biasa, ia tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada apa yang sedang disampaikan oleh teman-teman pengurus himpunan mahasiswanya akan persiapan acara mereka. Perempuan itu baru menyadarinya ketika Fahmi menyerukan namanya. “Ada panggilan masuk tuh,” ucap Fahmi yang duduk di samping kiri Feiza begitu Feiza menoleh ke arahnya. Laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah ponsel Feiza yang ada di atas meja. Feiza segera melihat ke arah ponselnya dan langsung terkesiap dan membulatkan mata ketika tahu siapa yang coba menghubunginya. Umi Seseorang yang sedang mencoba melakukan panggilan dengannya itu bernamakan kontak itu. “Umi siapa, Fe? Masa Ibu kamu? Sejak kapan kamu manggilnya ganti Umi?” tanya Fahm
Muhammad Furqon Al-Akhyar POV“Siapa yang ada di tempat sebelah Timur kita, Lim?”Salim yang baru kembali dari kasir angkringan setelah membuat beberapa pesanan kulempari tanya.Dia meletakkan tasnya di atas meja, menatapku dengan kedua alis yang tampak sedikit terangkat dan tangan yang melakukan gerakan menggaruk rambut belakang kepala.“Timur kita, Gus?” tanggapnya, balik bertanya sembari mendudukkan diri di sampingku dengan bersila.“Hn.” Aku mengiyakan pertanyaan Salim lalu melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 09.35 WIB.Dua puluh lima menit lebih awal dari jam rapat yang sudah menjadi kesepakatan.Sudah menjadi kebiasaanku datang lebih awal saat ada rapat seperti hari ini. Minimal lima belas menit sebelum jam rapat berlangsung. Hal itu kulakukan agar aku tahu, siapa saja orang-orangku yang datang tepat waktu dan siapa saja yang terlambat. Selain itu, sebagai pemimpin mereka aku tentu harus memberi contoh yang baik pula.“Sepertinya ... anak-anak PGMI, Gus,” ja
Double update nih .... Happy reading xixi . . . Nurul Faizah Az-Zahra POV Gus Furqon tidak bisa dihubungi. Setelah berdebat dengan diri sendiri perihal haruskah aku menghubunginya dan bagaimana caranya, aku akhirnya berusaha mendial nomor teleponnya. Namun, beberapa kali aku mencoba meneleponnya, ia tidak menjawab panggilannya sama sekali. Pesan demi pesan W******p yang kukirim juga tidak berbalas. Hanya centang dua tanpa berubah warna karena telah terkirim tetapi tidak dibaca oleh si penerima. Gus Furqon ... apakah pada akhirnya dia benar-benar mengabaikanku? Aku meringis saat menyadari semua yang terjadi adalah karena keinginan dan permintaanku. Aku yang meminta Gus Furqon agar menjaga jaraknya dariku. Aku juga yang menginginkan supaya ia tidak sering-sering menghubungiku. Namun, bagaimana dengan Umi? Umi ingin aku melakukan panggilan video lagi dengannya saat Gus Furqon ada di sisiku—berkat kebohonganku. Beliau ingin bicara dengan putranya tapi dengan ponselku sebagai
"Ada apa, Feiza?"Lidah Feiza langsung terasa kelu mendengar suara bernada dingin yang mengalun dari seberang teleponnya itu."Halo?"Suara berat yang tidak lain adalah milik Furqon itu kembali mengudara."Feiza?!"Feiza mengerjapkan mata, menghela napas, baru menyahuti suara Furqon yang memanggil namanya.Tidak. Feiza tidak boleh merasa sakit atau kecewa mendengar nada yang digunakan Furqon ketika berbicara dengannya.Sebab ini, kan, yang memang diinginkannya?Feiza benar-benar telah menegarkan dirinya ketika menanggapi ucapan Furqon. "Assalamualaikum, Mas.” Ia mengulang salamnya lagi yang sebelumnya belum mendapat sahutan.Tercipta jeda."Waalaikumussalam."Lalu terdengar jawaban salam dari orang yang menjadi mitra tutur Feiza. Furqon, suaminya."Ha ha ha." Feiza berusaha sedikit tertawa dengan suara riang. "Ya gitu dong, Mas. Kalau ada yang salam dijawab," celetuknya.Furqon tidak menyahut apa-apa."Ada apa, Feiza?" gumam Furqon tak berselang lama dengan nada yang tidak sedingin se
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang